Latar Belakang Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., C.N., M.Hum

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam UUPA, tidak ada satu pasalpun yang secara tegas menyebut pembebasan hak atas tanah. Namun, dalam Pasal 27, 34, dan 40 UUPA disebutkan bahwa salah satu penyebab hapusnya hak atas tanah adalah apabila dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya. Pelepasan hak atas tanah adalah perbuatan hukum melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah dan benda-benda yang terdapat di atasnya, dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah, sehingga tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara dan kemudian diberikan hak baru yang sesuai kepada pihak yang memerlukan tanah. 1 Setelah pelepasan hak terjadi, maka status tanah adat tersebut berubah menjadi tanah negara, maka pihak yang membutuhkan harus melakukan prosedur permohonan hak terhadap tanah negara. Tata cara permohonan hak dapat dilakukan apabila tanah yang tersedia berstatus tanah negara, yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Dalam pengertian ini, termasuk tanah negara yang berasal dari pembebasan hak atau pelepasan hak untuk kepentingan pihak lain. Untuk memperoleh hak atas tanah, baik melalui konversi pengakuan hak dan penegasan hak maupun dengan permohonan baru atas tanah negara, tetap harus melalui suatu proses untuk didaftarkan menjadi hak milik seseorang tersebut. 1 Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, Tugu Jogja Pustaka, Yogyakarta, 2005, hal. 44. 1 Universitas Sumatera Utara Tanah Buntu Turunan dahulunya seluas 680 Ha, sebelah Utara diserahkan kepada Kehutanan seluas 340 Ha tanggal 28 Mei 1980 dan Kehutanan memberikan pago-pago kepada rakyat sebesar Rp.3.570.000,- tiga juta lima ratus tujuh puluh ribu rupiah atas tanah 340 Ha dan sisanya 340 Ha di sebelah Selatan untuk pertanian. 2 Sebelah Utara sudah menjadi PIR Perkebunan Inti Rakyat Kelapa Sawit, yang sebelumnya adalah milik Kehutanan yang telah diserahkan oleh masyarakat Buntu Turunan. Kemudian masyarakat Dusun I, Desa Buntu Turunan mengajukan permohonan untuk memperoleh hak atas tanah seluas ± 340,70 Ha yang terletak di Kawasan Hutapadang, Desa Buntu Turunan, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Menanggapi permohonan tersebut, Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan Surat Nomor: 170Menhutbun-VII1999 tanggal 23 Pebruari 1999 yang memberikan persetujuan prinsip permohonan hak atas tanah. 3 Pemberian persetujuan prinsip permohonan hak atas tanah tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 4 Pelepasan kawasan hutan tersebut kemudian dipertegas dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.53Menhut-II2005 tanggal 2 Surat Ny. Sarintan Br. Purba tanggal 7 Pebruari 2006, Perihal: Kekeliruan. 3 Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.53Menhut-II2005 tanggal 23 Pebruari 2005 tentang Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Seluas 340,70 Tiga Ratus Empat Puluh, Tujuh Puluh Perseratus Hektar, Terletak di Kawasan Hutan Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, untuk Hak atas Tanah atas Nama Masyarakat Dusun I, Desa Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara . 4 Ibid. Universitas Sumatera Utara 23 Pebruari 2005 tentang Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Seluas 340,70 Tiga Ratus Empat Puluh, Tujuh Puluh Perseratus Hektar, Terletak di Kawasan Hutan Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, untuk Hak atas Tanah atas Nama Masyarakat Dusun I, Desa Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 170Menhutbun-VII1999 tanggal 23 Pebruari 1999 yang memberikan persetujuan prinsip permohonan hak atas tanah, maka dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146Kpts-II2000 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan tanggal 7 Juni 2000. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan itu dikeluarkan dengan beberapa pertimbangan, di antaranya adalah bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 25 Juli 1990 Nomor: 364Kpts-II1990, Nomor: 519KptsHK.050790 dan Nomor: 23-VIII- 90, telah ditetapkan ketentuan dan persyaratan tentang Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk Pengembangan Usaha Pertanian, dan sesuai kenyataan masih banyak permohonan pelepasan kawasan hutan serta banyak pemohon yang sudah mendapat izin prinsip atau izin pelepasan kawasan hutan, tidak melaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku sehingga berakibat timbulnya lahan terlantar. Yang dimaksud dengan evaluasi adalah kajian dan penilaian pelepasan kawasan hutan mulai dari tahap permohonan, pemanfaatan kawasan hutan sampai Universitas Sumatera Utara dengan tahap penyelesaian status kawasan untuk menentukan tindak lanjut penyelesaian dalam rangka optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya kebun. 5 Tujuan dilaksanakannya evaluasi terhadap pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan usaha budidaya perkebunan adalah dalam rangka efisiensi penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan usaha budidaya perkebunan. 6 Sasaran pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud di atas adalah meliputi tahap permohonan, tahap persetujuan izin prinsip, dan tahap pelepasan kawasan hutan. Evaluasi tersebut dilaksanakan oleh Tim yang terdiri dari unsur-unsur Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi dan Direktorat Jenderal Perkebunan. Tim ditetapkan oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan. Tim tersebut bertugas mengevaluasi atas permohonan pelepasan kawasan hutan mulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap pelepasan kawasan hutan, bertanggung jawab dan melaporkan hasilnya kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tim harus sudah dapat menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu 6 enam bulan sejak ditetapkannya Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan di atas. Untuk tahap persetujuan izin prinsip diatur sebagai berikut: a. Bagi pemohon yang telah memperoleh izin prinsip dan dalam rangka waktu 6 enam bulan sejak keputusan diterbitkan tidak ada perkembangan 5 Pasal 1 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146Kpts-II2000 tanggal 7 Juni 2007 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan . 6 Pasal 2 ayat 1 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146Kpts- II2000 tanggal 7 Juni 2007 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan . Universitas Sumatera Utara penyelesaiankemajuan baik fisik maupun administratif, persetujuan izin prinsip dapat dibatalkan. b. Sebelum sanksi pembatalan ditetapkan, diberikan peringatan 3 tiga kali berturut- turut dengan tenggang waktu 15 lima belas hari kerja. c. Pelaksanaan peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dilaksanakan oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan atas nama Menteri Kehutanan dan Perkebunan. d. Kawasan hutan yang pernah diberikan izin prinsip yang telah batal sebagaimana dimaksud butir c diarahkan untuk menampung permohonan baru yang memenuhi syarat. 7 Untuk tahap pelepasan kawasan hutan diatur sebagai berikut: 1 Bagi pemohon yang telah memperoleh pelepasan kawasan hutan, dalam jangka waktu 1 satu tahun: a. Tidak memanfaatkan kawasan hutan tersebut, atau b. Menyalahgunakan pemanfaatannya, atau c. Tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan proposal dan IUP, atau d. Tidak menyelesaikan pengurusan Hak Guna Usaha persetujuannya dapat dibatalkan. 2 Sebelum sanksi pembatalan ditetapkan, kepada pemohon diberikan peringatan 3 tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu 15 lima belas hari kerja. 3 Pelaksanaan peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, dilaksanakan oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan atas nama Menteri Kehutanan dan Perkebunan. 8 Bagi pemohon yang telah memperoleh pelepasan kawasan hutan, dalam jangka waktu 1 satu tahun telah memanfaatkan kawasan hutan tersebut dan atau menyelesaikan pengurusan Hak Guna Usaha, tetap diarahkan pada areal yang dimohon. 9 7 Pasal 5 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146Kpts-II2000 tanggal 7 Juni 2007 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan . 8 Pasal 6 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146Kpts-II2000 tanggal 7 Juni 2007 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan . 9 Pasal 7 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146Kpts-II2000 tanggal 7 Juni 2007 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan . Universitas Sumatera Utara Pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan budidaya pertanian sebelum tanggal 25 Juli 1990, dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 145Kpts-II1986 tanggal 5 Mei 1986 tentang Ketentuan-ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Pertanian. 10 Sejak tanggal 25 Juli 1990 telah dikeluarkan Keputusan Bersama antara Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 364Kpts-II90, Nomor: 519KptsHK.050790 dan Nomor 23-VIII-90 tentang Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha untuk Pengembangan Usaha Pertanian. 11 Keputusan Bersama ini juga berlaku untuk permohonan pelepasan kawasan hutan dan Hak Guna Usaha HGU untuk usaha pertanian dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam Negeri, dengan memperhatikan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1984 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1984. Dalam Keputusan Bersama Tiga Menteri ini dijelaskan tata cara pelepasan kawasan hutan dan pemberian Hak Guna usaha HGU untuk kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk usaha pertanian, dengan beberapa pengertian yang berhubungan erat dengan pelepasan kawasan hutan untuk budidaya pertanian, antara lain: 1. Pelepasan Kawasan Hutan adalah perubahan status kawasan hutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk keperluan usaha pertanian. 10 Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 165 11 Ibid, hal. 165-166. Universitas Sumatera Utara 2. Usaha Pertanian adalah usaha di bidang tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. 3. Penataan Batas adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pengukuran hutan dan pemetaan, pemsangan tanda-tanda batas serta pembuatan Berita Acara Tata Batas atas kawasan hutan yang dilepas untuk pengembangan usaha pertanian. 4. Pengukuran Kadastral adalah pengukuran yang dilaksanakan untuk memperoleh kepastian letak, batas dan luas suatu bidang tanah yang nantinya sebagai bagian dari sertifikat hak atas tanah yang merupakan gambar situasisurat ukur. 5. Tim Pertimbangan adalah tim yang memberikan pertimbangan dan saran dalam rangka persetujuan pelepasan kawasan hutan yang terdiri dari Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan dan Eselon I Departemen Kehutanan yang terkait. 12 Kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi tanah usaha pertanian adalah kawasan hutan yang berdasarkan kemampuan tanahnya cocok untuk usaha pertanian, dan menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan tidak dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap atau kawasan untuk keperluan lain. Tanah garapan masyarakat hak ulayat Dusun I, Desa Buntu Turunan seluas 680 Ha sejak tahun 1950 sudah dikelola oleh penduduk setempat sebagai sumber mata pencaharian. Kemudian pada tahun 1970, tanah tersebut diambil alih pihak Kehutanan. Tanggal 28 Mei 1980 akhirnya dicapai kesepakatan dengan membagi dua tanah tersebut, yaitu 340 Ha sebelah Utara diserahkan oleh masyarakat kepada Kehutanan dengan memberikan pago-pago kepada masyarakat sebesar Rp.3.570.000,- tiga juta lima ratus tujuh puluh ribu rupiah dan 340 Ha sebelah Selatan dikembalikan kepada masyarakat petani Dusun I Desa Buntu Turunan. Pada tanggal 24 Maret 1983, telah dibuatkan Peta Situasi tanah yang terletak di Desa 12 Ibid, hal. 166. Universitas Sumatera Utara Buntu Turunan dan Desa Tonduhan, Kecamatan Tanah Jawa, Dati II Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, dengan luas 340 Ha yang dipertahankan sebagai daerah Kawasan Hutan. Ternyata tanah sebelah Utara yang disepakati untuk Dinas Kehutanan telah diambil oleh Pemda Tk. II Simalungun untuk PIR-Bun Kelapa Sawit. Tanah sebelah Selatan untuk garapan rakyat diambil pula oleh Dinas Kehutanan dengan dibantu Pemda Simalungun, dan kemudian menyerahkan tanah tersebut kepada PT. Sintong Sari Union untuk dijadikan HTI. Bina Graha telah menerima surat tertanggal 28 April 1993 dari Ny. Sarintan Br. Purba, wakil Dusun I Desa Buntu Turunan, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, yang melaporkan tanahnya yang diambil oleh Pemda Tk. II Simalungun bersama Dinas Kehutanan setempat, yang kemudian diserahkan kepada PT. Sintong Sari Union untuk HTI. 13 Areal eks HTI itu pada tahun 2005 lalu dilepas oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor: SK.53Menhut-II2005 untuk dibagikan kepada masyarakat Dusun I, Buntu TurunanBuntu Bayu. Ditegaskan pula, limit waktu pembagian selama 1 satu tahun sejak surat dikeluarkan. Bila pembagian lahan kepada masyarakat tidak selesai, maka keseluruhan lahan yang dilepaskan seluas 340,70 Ha itu dikembalikan kepada Departemen Kehutanan. Pemerintah telah melepaskan kawasan ini untuk dibagikan kepada masyarakat sejak tahun 2005 lalu, namun pembagian lahan kepada masyarakat Dusun Buntu 13 Surat Bina Graha Nomor: B-430SEKBANG593 tanggal 8 Mei 1993, Perihal: Pengembalian Tanah Masyarakat Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun . Universitas Sumatera Utara Turunan sebagaimana isi surat pelepasan dikeluarkan Menteri Kehutanan tidak kunjung datang. Menurut beberapa warga setempat, dulu memang sempat ada pendataan nama-nama mereka, namun hingga kini tidak ada tindak lanjutnya. 14 Yusmar NJ, S.Ag, Ketua DPP Forum Anak Bangsa Indonesia FaBIN mengatakan bahwa jangka waktu pembagian lahan kepada masyarakat hanya 1 satu tahun sejak SK dikeluarkan. 15 Yusmar juga mengatakan: ”Karena tenggang waktu pembagian yang cuma setahun itu telah berakhir, seharusnya lahan eks HTI yang mencapai 340,70 hektar itu dikembalikan kepada penguasaan negara. 16 Pemkab Simalungun dinilai telah melanggar kewajiban atas SK Menhut Nomor: SK.53Menhut-II2005 karena proses sertifikasi tanah seluas 340,7 Ha telah lewat 1 satu tahun, tetapi status tanah sampai saat ini masih mengambang. Wakil Ketua Komisi I, Sabar Maruli Simarmata mengatakan bahwa tanah seluas 340,70 Ha tersebut merupakan milik masyarakat setelah dilepaskan oleh Menteri Kehutanan tanggal 23 Februari 2005 lalu. 17 Sebagaimana diketahui, Pemkab Simalungun mengeluarkan dana dari APBD tahun 2006 untuk biaya pengukuran tanah senilai Rp.700.000.000,- tujuh ratus juta rupiah. 18 Dana sertifikasi dimasukkan ke dalam anggaran karena pada intinya isi dari SK Menhut Nomor: SK.53Menhut-II2005, Pemkab Simalungun diwajibkan 14 http:tabloidforsas.wordpress.com20100117eks-hti-jadiE280E28099hutan- kadaluarsa, Eks HTI Jadi Hutan Kadaluarsa, diakses tanggal 6 Juni 2010. 15 Ibid. 16 Ibid. 17 http:bantors-media.blogspot.com200707kasus-tanah-buttu-turunanpemkab.html, Kasus Tanah Buttu Turunan, Pemkab Diharuskan Bertanggung Jawab Urusan Sertifikat , diakses tanggal 30 Nopember 2010. 18 Ibid. Universitas Sumatera Utara menyelesaikan biaya proses sertifikasi yang selambat-lambatnya 1 satu tahun sejak diterbitkannya Surat Perintah Pembayaran SPP dari Badan Pertanahan Nasional. Dana tersebut belum terpakai karena Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun membatalkan proses pengukuran tanah. Alasannya adalah karena Menteri Kehutanan memberikan perintah kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun untuk membatalkan pengukuran tanah tersebut, berikut dengan adanya surat Ny. Sarintan Br. Purba yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan yang berisi bahwa proses pengukuran tanah penuh kecurangan. Ny. Sarintan Br. Purba melihat adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Panitia Pembagian Tanah dalam proses sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan. Pelanggaran yang dilakukan Panitia, di antaranya adalah tidak transparan dalam membagikan tanah tersebut, mengulur-ulur waktu untuk mengkaplingan tanah, mengusulkan pensertifikatan tanah atas beberapa nama masyarakat ke Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun, dan Panitia juga membuat daftar nama masyarakat yang akan mendapat tanah tersebut berkisar 200 orang dan ada yang tumpang tindih, sementara rencana Panitia lahan tersebut dibuat 310 kapling. 19 Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun pada awal bulan April 2009 telah menerbitkan sertifikat sebanyak 42 lembar atas tanah 340,70 Ha padahal sebelumnya tahun 2006, LSM Aliansi Ketahanan Nasional Wilayah Siantar-Simalungun sudah 19 Surat Ny. Sarintan Br. Purba tanggal 4 Pebruari 2008, Perihal: PembatalanPencabutan Berita Acara Hasil Musyawarah Tanggal 6 Juni 2007 dan Surat Pernyataan Saya Tanggal 8 Juni 2007 . Universitas Sumatera Utara pernah meminta pembatalan kepada Kakanwil BPN Sumatera Utara atas keberatannya sebagai social control kontrol masyarakat. Selain itu, garap menggarap dan jual menjual lahan yang diserahkan Menteri Kehutanan kepada masyarakat Dusun I, Buntu Turunan kepada orang lain maupun kepada sesama warga Buntu Turunan yang dilakukan oleh Panitia Pengembalian Lahan Eks HTI telah menimbulkan keresahan dan masalah sosial di tengah-tengah masyarakat, baik antara sesama warga maupun antara warga dengan Panitia tersebut. 20 Saat ini masyarakat berlomba menanam kelapa sawit di lokasi yang sedang bermasalah, meskipun sudah ada ketentuan dari pihak Penyidik Unit Tipikor Polres sesuai dengan SP2HP yang menyatakan bahwa pemilik alas hak yang sah belum dapat ditentukan sesuai dengan Diktum Keempat, Kelima, dan Keenam SK Menhut Nomor 53 Tahun 2005. Transaksi jual beli lahan kepada warga maupun antara sesama warga juga berjalan lancar tanpa ada himbauan maupun larangan dari Pemkab Simalungun. Hal ini terjadi karena masyarakat Dusun I, Buntu Turunan masih berpenghasilan rendah dan masih banyak masyarakat setempat yang belum mempunyai lahan pertanian. Kehidupan perekonomian masyarakat yang sangat rendah dan tidak jelasnya status tanah akibat dari perbuatan Panitia atau Kepala Desa yang terkesan mengulur- ulur waktu membuat masyarakat menjadi jenuh dan ragu terhadap kepastian hukum 20 Surat LSM Aliansi Ketahanan Nasional Wilayah Siantar-Simalungun Nomor: 006AT- SSV2010 tanggal 5 Mei 2010, Perihal: Penerbitan SK Menhut No. 53 Tahun 2005 Mohon Ditinjau Ulang . Universitas Sumatera Utara atas tanah tersebut. Dengan kapasitasnya, Panitia atau kepala desa mendekati dan membujuk masyarakat agar mau menjual namanya kepada para pengusaha, meskipun masyarakat sendiri tidak mengetahui letak, luas dan batas-batas tanah tersebut. Artinya, tanahlahan tersebut dimanfaatkan Panitia sebagai ajang bisnismakelar tanah untuk kepentingan pribadi, meskipun Panitia tidak pernah melarang masyarakat untuk menjual tanah tersebut kepada pihak lain. Adanya tindakan menjual lahan dan hasil penjualan lahan tersebut tidak transparan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Panitia menyebabkan terjadinya berbagai persoalan yang semakin rumit karena lahan yang dijual tersebut hingga pada saat ini belum jelas dan belum ditentukan letak, luas dan batas- batasnya. 21 Apa yang menjadi hambatan-hambatan dalam proses sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan dan juga adanya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi, hal inilah yang akan menjadi pembahasan di dalam Penelitian ini pada Bab-bab berikutnya.

B. Perumusan Masalah