Tinjauan Yuridis Sertifikasi Tanah Eks Hutan Tanaman Industri Di Desa Buntu Turunan

(1)

TESIS

Oleh :

JUNI IRIANTI SITINJAK

087011057/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS SERTIFIKASI TANAH EKS HUTAN

TANAMAN INDUSTRI DI DESA BUNTU TURUNAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

JUNI IRIANTI SITINJAK

087011057/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS SERTIFIKASI TANAH EKS HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI DESA BUNTU TURUNAN

Nama Mahasiswa : Juni Irianti Sitinjak

Nomor Pokok : 087011057

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum) Ketua

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Chairani Bustami, SH, SpN, MKn) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 22 Desember 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.

2. Chairani Bustami, S.H., SpN, M.Kn

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N 4. Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., C.N., M.Hum


(5)

ABSTRAK

Tanah adat (tanah ulayat) adalah tanah yang berada dalam penguasaan suatu masyarakat hukum adat. Untuk mendapatkan tanah ulayat, pihak tersebut mengadakan musyawarah dahulu dengan wakil dari masyarakat hukum adat untuk mencapai kesepakatan pelepasan hak. Tanah Buntu Turunan merupakan tanah garapan masyarakat (hak ulayat), yang diambil alih oleh Kehutanan dengan memberikan pago-pago kepada masyarakat. Kemudian, masyarakat Buntu Turunan mengajukan permohonan untuk memperoleh hak atas tanah seluas 340,70 Ha, yang ditindaklanjuti dengan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.53/Menhut-II/2005 tanggal 23 Pebruari 2005.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa masalah yang terjadi dalam proses sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah hambatan sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan, akibat hukum pembatalan/pencabutan Berita Acara Musyawarah dan Surat Pernyataan terhadap sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan, dan penyelesaian sengketa atas sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan dan menganalisis masalah-masalah yang akan dikemukakan, yang dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini, meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoretis ilmiah, yang dapat menganalisis permasalahan yang akan dibahas serta ditambah data lainnya yang diperoleh di lapangan mengenai sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan.

Hambatan sertifikasi tanah eks HTI antara lain, pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun kesulitan untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan SK Menteri Kehutanan. Akibat hukum pembatalan/pencabutan Berita Acara Musyawarah dan Surat Pernyataan terhadap sertifikasi tanah eks HTI adalah terhentinya sertifikasi tanah di Desa Buntu Turunan. Penyelesaian sengketa sertifikasi eks HTI ada dua alternatif, yaitu melalui musyawarah dan jalur hukum. Petugas pendaftaran tanah hendaknya bertindak jujur dalam melaksanakan tugasnya. Peraturan perundang-undangan dalam pendaftaran tanah harus memuat aturan pidana karena adanya kemungkinan indikasi tindak pidana yang dilakukan oleh petugas pendaftaran tanah. Sebaiknya tanah Buntu Turunan seluas 340,70 Ha dikembalikan kepada masyarakat karena telah ada perintah dari Menteri Kehutanan RI agar tanah tersebut disertifikatkan atas nama masyarakat Buntu Turunan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.53/Menhut-II/2005 tanggal 23 Pebruari 2005.


(6)

ABSTRACT

Village adat land (communal reserved land) is an area of land owned by a customary law community. In orde to own the land, these people will hold a meeting with the resepresentatives of all members of the community to reach an agreement in renunciation of rights. The land at Buntu Turunan village is the tilled land (collective rights) which has been expropriated by Forestry Service by giving “pago-pago” (compensation) to the tillers. After that, the people at Buntu Turunan village request the land rights with an area of 340.70 hectares, followed by the Decree of the Minister of Forestry, Number SK.53/Menhut-II/2005, on February 23, 2005.

This research was based on some problems which occurred in the process of land certification of ex-Industrial Forest at Buntu Turunan village. The problem was that there was an abstacle in obtaining the land sertificates of ex-Industrial Forest because of the legal expropriation/concellation of the Minutes of the meeting, of the notification of the land certification of ex-Industrial Forest, and the resolution of the dispute on the land certification of ex- Industrial Forest at Buntu Turunan village.

This research used descriptive method which described and analyzed the problems mentioned above, by using judicial normative approach, covering the study of legal principles, legal resources, and scientific-theoretical legal provisions which were able to analyze the problems. In addition to that, there were the data which were obtained at the site.

The obstacles in obtaining the land certificates of ex-Industrial Forest are as follows: the employees of the Land Office at Simalungun District found difficulties in doing their jobs because of the Decree of the Minister of Forestry. The expropriation/cancellation of the Minutes of the meeting and of the Notification of land certification of ex-Industrial Forest brought about the abstacles in obtaining the land sertificates of ex-Industrial Forest at Buntu turunan village. The resolution of the disputes has two alternatives: through streamlined arbitration or through legal process. It is suggested that land registry employees should contain penal provisions since there is potential indication of criminal acts done by the land registry employees. It is also suggested that the land at Buntu turunan village with an area of 340.70 hectares should be returned to the people because there is an instruction from the Minister of Forestry which states that the land is sertified for the people at Buntu Turunan village, based the Decree of the Minister of Forestry, Number SK.53/Menhut-II/2005, on the February 23, 2005.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya, Penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “SERTIFIKASI TANAH EKS HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI DESA BUNTU TURUNAN.”

Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada para pihak yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan bantuan dalam menyelesaikan tesis ini, yaitu: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan, yang telah memberikan kesempatan pada Penulis untuk melanjutkan studi hingga dapat memperoleh gelar Magister pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. DR Muhammad Yamin SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara juga Guru Besar dan Dosen yang telah membimbing dan memberikan pengetahuan kepada Penulis.

3. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., dan Ibu Chairani Bustami, S.H., SpN, M.Kn selaku Komisi Pembimbing; Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., C.N., M.Hum., selaku Komisi Penguji yang dengan sabar


(8)

membantu memberikan bimbingan dan saran kepada Penulis dalam penyusunan tesis ini.

4. Seluruh Staf Sekretariat Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dan mengurus administrasi Penulis selama kuliah.

5. Teman-teman di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, baik yang sudah mendapat gelar Magister Kenotariatan maupun yang masih berjuang meraih gelar Magister Kenotariatan.

6. Kepada Ayahanda, Ropinus Sitinjak dan Ibunda, Sutri Ginting yang selalu mendoakan dan memotivasi Penulis, baik secara moril maupun materil, sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi di Program Studi Magister Kenotariatan. 7. Kepada adik-adik Penulis, Sisfonyi Nurani Sitinjak dan Alferos Sudirman

Sitinjak, yang telah memberikan semangat dan membantu Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkat dan karunia-Nya kepada kita dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Penulis. Harapan Penulis, semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan Ilmu Hukum, khususnya di bidang Hukum Agraria.

Medan, 22 Desember 2010 Hormat Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

A. KETERANGAN PRIBADI

1. Nama : Juni Irianti Sitinjak

2. Tempat/ Tanggal Lahir : Pematang Siantar, 04 Juni 1985 3. Status Perkawinan : Belum Kawin

4. Agama : Kristen Protestan

5. Alamat : Jl. Semangka IV No. 15 Perumnas Batu VI P. Siantar

B. KETERANGAN KELUARGA

Nama Orang Tua :

a. Ayah : Ropinus Sitinjak b. Ibu : Sutri Ginting Pekerjaan Orang Tua :

a. Ayah : Pensiunan Pegawai Negeri Sipil b. Ibu : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

C. Riwayat Pendidikan

1. SD RK Budi Mulia 3 Tahun 1997 2. SLTP Negeri 1 Siantar Tahun 2000 3. SMU Negeri 1 Siantar Tahun 2003

4. S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2008 5. S2 Magister Kenotariatan USU Medan Tahun 2010


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT………. ii

KATA PENGANTAR ………. iii

RIWAYAT HIDUP ………. v

DAFTAR ISI ……… vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

G. Metode Penelitian ... 24

BAB II HAMBATAN SERTIFIKASI TANAH EKS HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI DESA BUNTU TURUNAN ... 31

A. Sertifikasi Tanah Eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan ... 31

B. Hambatan Sertifikasi Tanah Eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan ……….. 55

BAB III AKIBAT HUKUM PEMBATALAN/PENCABUTAN BERITA ACARA MUSYAWARAH DAN SURAT PERNYATAAN TERHADAP SERTIFIKASI TANAH EKS HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI DESA BUNTU TURUNAN ... ... 63

A. Pembatalan/Pencabutan Berita Acara Musyawarah dan Surat Pernyataan ……… 63

B. Akibat Hukum Pembatalan/Pencabutan Berita Acara Musyawarah dan Surat Pernyataan ... 70


(11)

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA SERTIFIKASI TANAH EKS HUTAN TANAMAN INDUSTRI

DI DESA BUNTU TURUNAN ... 77

A. Sengketa Sertifikasi Tanah Eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan ... 77

B. Penyelesaian Sengketa Sertifikasi Tanah Eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ……….. 105

DAFTAR PUSTAKA ... 107


(12)

ABSTRAK

Tanah adat (tanah ulayat) adalah tanah yang berada dalam penguasaan suatu masyarakat hukum adat. Untuk mendapatkan tanah ulayat, pihak tersebut mengadakan musyawarah dahulu dengan wakil dari masyarakat hukum adat untuk mencapai kesepakatan pelepasan hak. Tanah Buntu Turunan merupakan tanah garapan masyarakat (hak ulayat), yang diambil alih oleh Kehutanan dengan memberikan pago-pago kepada masyarakat. Kemudian, masyarakat Buntu Turunan mengajukan permohonan untuk memperoleh hak atas tanah seluas 340,70 Ha, yang ditindaklanjuti dengan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.53/Menhut-II/2005 tanggal 23 Pebruari 2005.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh beberapa masalah yang terjadi dalam proses sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah hambatan sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan, akibat hukum pembatalan/pencabutan Berita Acara Musyawarah dan Surat Pernyataan terhadap sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan, dan penyelesaian sengketa atas sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan dan menganalisis masalah-masalah yang akan dikemukakan, yang dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini, meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoretis ilmiah, yang dapat menganalisis permasalahan yang akan dibahas serta ditambah data lainnya yang diperoleh di lapangan mengenai sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan.

Hambatan sertifikasi tanah eks HTI antara lain, pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun kesulitan untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan SK Menteri Kehutanan. Akibat hukum pembatalan/pencabutan Berita Acara Musyawarah dan Surat Pernyataan terhadap sertifikasi tanah eks HTI adalah terhentinya sertifikasi tanah di Desa Buntu Turunan. Penyelesaian sengketa sertifikasi eks HTI ada dua alternatif, yaitu melalui musyawarah dan jalur hukum. Petugas pendaftaran tanah hendaknya bertindak jujur dalam melaksanakan tugasnya. Peraturan perundang-undangan dalam pendaftaran tanah harus memuat aturan pidana karena adanya kemungkinan indikasi tindak pidana yang dilakukan oleh petugas pendaftaran tanah. Sebaiknya tanah Buntu Turunan seluas 340,70 Ha dikembalikan kepada masyarakat karena telah ada perintah dari Menteri Kehutanan RI agar tanah tersebut disertifikatkan atas nama masyarakat Buntu Turunan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.53/Menhut-II/2005 tanggal 23 Pebruari 2005.


(13)

ABSTRACT

Village adat land (communal reserved land) is an area of land owned by a customary law community. In orde to own the land, these people will hold a meeting with the resepresentatives of all members of the community to reach an agreement in renunciation of rights. The land at Buntu Turunan village is the tilled land (collective rights) which has been expropriated by Forestry Service by giving “pago-pago” (compensation) to the tillers. After that, the people at Buntu Turunan village request the land rights with an area of 340.70 hectares, followed by the Decree of the Minister of Forestry, Number SK.53/Menhut-II/2005, on February 23, 2005.

This research was based on some problems which occurred in the process of land certification of ex-Industrial Forest at Buntu Turunan village. The problem was that there was an abstacle in obtaining the land sertificates of ex-Industrial Forest because of the legal expropriation/concellation of the Minutes of the meeting, of the notification of the land certification of ex-Industrial Forest, and the resolution of the dispute on the land certification of ex- Industrial Forest at Buntu Turunan village.

This research used descriptive method which described and analyzed the problems mentioned above, by using judicial normative approach, covering the study of legal principles, legal resources, and scientific-theoretical legal provisions which were able to analyze the problems. In addition to that, there were the data which were obtained at the site.

The obstacles in obtaining the land certificates of ex-Industrial Forest are as follows: the employees of the Land Office at Simalungun District found difficulties in doing their jobs because of the Decree of the Minister of Forestry. The expropriation/cancellation of the Minutes of the meeting and of the Notification of land certification of ex-Industrial Forest brought about the abstacles in obtaining the land sertificates of ex-Industrial Forest at Buntu turunan village. The resolution of the disputes has two alternatives: through streamlined arbitration or through legal process. It is suggested that land registry employees should contain penal provisions since there is potential indication of criminal acts done by the land registry employees. It is also suggested that the land at Buntu turunan village with an area of 340.70 hectares should be returned to the people because there is an instruction from the Minister of Forestry which states that the land is sertified for the people at Buntu Turunan village, based the Decree of the Minister of Forestry, Number SK.53/Menhut-II/2005, on the February 23, 2005.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam UUPA, tidak ada satu pasalpun yang secara tegas menyebut pembebasan hak atas tanah. Namun, dalam Pasal 27, 34, dan 40 UUPA disebutkan bahwa salah satu penyebab hapusnya hak atas tanah adalah apabila dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya.

Pelepasan hak atas tanah adalah perbuatan hukum melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah dan benda-benda yang terdapat di atasnya, dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah, sehingga tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara dan kemudian diberikan hak baru yang sesuai kepada pihak yang memerlukan tanah.1

Setelah pelepasan hak terjadi, maka status tanah adat tersebut berubah menjadi tanah negara, maka pihak yang membutuhkan harus melakukan prosedur permohonan hak terhadap tanah negara. Tata cara permohonan hak dapat dilakukan apabila tanah yang tersedia berstatus tanah negara, yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Dalam pengertian ini, termasuk tanah negara yang berasal dari pembebasan hak atau pelepasan hak untuk kepentingan pihak lain. Untuk memperoleh hak atas tanah, baik melalui konversi (pengakuan hak dan penegasan hak) maupun dengan permohonan baru atas tanah negara, tetap harus melalui suatu proses untuk didaftarkan menjadi hak milik seseorang tersebut.

1

Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, Tugu Jogja Pustaka, Yogyakarta, 2005, hal. 44.


(15)

Tanah Buntu Turunan dahulunya seluas 680 Ha, sebelah Utara diserahkan kepada Kehutanan seluas 340 Ha tanggal 28 Mei 1980 dan Kehutanan memberikan pago-pago kepada rakyat sebesar Rp.3.570.000,- (tiga juta lima ratus tujuh puluh ribu rupiah) atas tanah 340 Ha dan sisanya 340 Ha di sebelah Selatan untuk pertanian.2 Sebelah Utara sudah menjadi PIR (Perkebunan Inti Rakyat) Kelapa Sawit, yang sebelumnya adalah milik Kehutanan yang telah diserahkan oleh masyarakat Buntu Turunan.

Kemudian masyarakat Dusun I, Desa Buntu Turunan mengajukan permohonan untuk memperoleh hak atas tanah seluas ± 340,70 Ha yang terletak di Kawasan Hutapadang, Desa Buntu Turunan, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Menanggapi permohonan tersebut, Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan Surat Nomor: 170/Menhutbun-VII/1999 tanggal 23 Pebruari 1999 yang memberikan persetujuan prinsip permohonan hak atas tanah.3

Pemberian persetujuan prinsip permohonan hak atas tanah tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.4 Pelepasan kawasan hutan tersebut kemudian dipertegas dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.53/Menhut-II/2005 tanggal

2

Surat Ny. Sarintan Br. Purba tanggal 7 Pebruari 2006, Perihal: Kekeliruan.

3

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.53/Menhut-II/2005 tanggal 23 Pebruari 2005 tentang Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Seluas 340,70 (Tiga Ratus Empat Puluh, Tujuh Puluh Perseratus) Hektar, Terletak di Kawasan Hutan Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, untuk Hak atas Tanah atas Nama Masyarakat Dusun I, Desa Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

4


(16)

23 Pebruari 2005 tentang Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Seluas 340,70 (Tiga Ratus Empat Puluh, Tujuh Puluh Perseratus) Hektar, Terletak di Kawasan Hutan Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, untuk Hak atas Tanah atas Nama Masyarakat Dusun I, Desa Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 170/Menhutbun-VII/1999 tanggal 23 Pebruari 1999 yang memberikan persetujuan prinsip permohonan hak atas tanah, maka dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/2000 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan tanggal 7 Juni 2000.

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan itu dikeluarkan dengan beberapa pertimbangan, di antaranya adalah bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 25 Juli 1990 Nomor: 364/Kpts-II/1990, Nomor: 519/Kpts/HK.050/7/90 dan Nomor: 23-VIII-90, telah ditetapkan ketentuan dan persyaratan tentang Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk Pengembangan Usaha Pertanian, dan sesuai kenyataan masih banyak permohonan pelepasan kawasan hutan serta banyak pemohon yang sudah mendapat izin prinsip atau izin pelepasan kawasan hutan, tidak melaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku sehingga berakibat timbulnya lahan terlantar.

Yang dimaksud dengan evaluasi adalah kajian dan penilaian pelepasan kawasan hutan mulai dari tahap permohonan, pemanfaatan kawasan hutan sampai


(17)

dengan tahap penyelesaian status kawasan untuk menentukan tindak lanjut penyelesaian dalam rangka optimalisasi pemanfaatan lahan budidaya kebun.5 Tujuan dilaksanakannya evaluasi terhadap pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan usaha budidaya perkebunan adalah dalam rangka efisiensi penggunaan kawasan hutan untuk pengembangan usaha budidaya perkebunan.6 Sasaran pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud di atas adalah meliputi tahap permohonan, tahap persetujuan izin prinsip, dan tahap pelepasan kawasan hutan.

Evaluasi tersebut dilaksanakan oleh Tim yang terdiri dari unsur-unsur Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi dan Direktorat Jenderal Perkebunan. Tim ditetapkan oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan. Tim tersebut bertugas mengevaluasi atas permohonan pelepasan kawasan hutan mulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap pelepasan kawasan hutan, bertanggung jawab dan melaporkan hasilnya kepada Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tim harus sudah dapat menyelesaikan tugasnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan di atas.

Untuk tahap persetujuan izin prinsip diatur sebagai berikut:

a. Bagi pemohon yang telah memperoleh izin prinsip dan dalam rangka waktu 6 (enam) bulan sejak keputusan diterbitkan tidak ada perkembangan

5

Pasal 1 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/2000 tanggal 7 Juni 2007 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan.

6

Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/2000 tanggal 7 Juni 2007 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan.


(18)

penyelesaian/kemajuan baik fisik maupun administratif, persetujuan izin prinsip dapat dibatalkan.

b. Sebelum sanksi pembatalan ditetapkan, diberikan peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 15 (lima belas) hari kerja.

c. Pelaksanaan peringatan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dilaksanakan oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan atas nama Menteri Kehutanan dan Perkebunan.

d. Kawasan hutan yang pernah diberikan izin prinsip yang telah batal sebagaimana dimaksud butir c diarahkan untuk menampung permohonan baru yang memenuhi syarat.7

Untuk tahap pelepasan kawasan hutan diatur sebagai berikut:

(1) Bagi pemohon yang telah memperoleh pelepasan kawasan hutan, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun:

a. Tidak memanfaatkan kawasan hutan tersebut, atau b. Menyalahgunakan pemanfaatannya, atau

c. Tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan proposal dan IUP, atau

d. Tidak menyelesaikan pengurusan Hak Guna Usaha persetujuannya dapat dibatalkan.

(2) Sebelum sanksi pembatalan ditetapkan, kepada pemohon diberikan peringatan 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 15 (lima belas) hari kerja. (3) Pelaksanaan peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilaksanakan

oleh Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan atas nama Menteri Kehutanan dan Perkebunan.8

Bagi pemohon yang telah memperoleh pelepasan kawasan hutan, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun telah memanfaatkan kawasan hutan tersebut dan atau menyelesaikan pengurusan Hak Guna Usaha, tetap diarahkan pada areal yang dimohon.9

7

Pasal 5 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/2000 tanggal 7 Juni 2007 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan.

8

Pasal 6 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/2000 tanggal 7 Juni 2007 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan.

9

Pasal 7 Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/2000 tanggal 7 Juni 2007 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan.


(19)

Pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan budidaya pertanian sebelum tanggal 25 Juli 1990, dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 145/Kpts-II/1986 tanggal 5 Mei 1986 tentang Ketentuan-ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Pertanian.10 Sejak tanggal 25 Juli 1990 telah dikeluarkan Keputusan Bersama antara Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 364/Kpts-II/90, Nomor: 519/Kpts/HK.050/7/90 dan Nomor 23-VIII-90 tentang Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak Guna Usaha untuk Pengembangan Usaha Pertanian.11

Keputusan Bersama ini juga berlaku untuk permohonan pelepasan kawasan hutan dan Hak Guna Usaha (HGU) untuk usaha pertanian dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam Negeri, dengan memperhatikan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1984 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1984.

Dalam Keputusan Bersama Tiga Menteri ini dijelaskan tata cara pelepasan kawasan hutan dan pemberian Hak Guna usaha (HGU) untuk kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk usaha pertanian, dengan beberapa pengertian yang berhubungan erat dengan pelepasan kawasan hutan untuk budidaya pertanian, antara lain:

1. Pelepasan Kawasan Hutan adalah perubahan status kawasan hutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk keperluan usaha pertanian.

10

Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 165

11


(20)

2. Usaha Pertanian adalah usaha di bidang tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan.

3. Penataan Batas adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, pengukuran hutan dan pemetaan, pemsangan tanda-tanda batas serta pembuatan Berita Acara (Tata Batas) atas kawasan hutan yang dilepas untuk pengembangan usaha pertanian.

4. Pengukuran Kadastral adalah pengukuran yang dilaksanakan untuk memperoleh kepastian letak, batas dan luas suatu bidang tanah yang nantinya sebagai bagian dari sertifikat hak atas tanah yang merupakan gambar situasi/surat ukur.

5. Tim Pertimbangan adalah tim yang memberikan pertimbangan dan saran dalam rangka persetujuan pelepasan kawasan hutan yang terdiri dari Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Direktur Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan dan Eselon I Departemen Kehutanan yang terkait.12

Kawasan hutan yang dapat dilepaskan menjadi tanah usaha pertanian adalah kawasan hutan yang berdasarkan kemampuan tanahnya cocok untuk usaha pertanian, dan menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan tidak dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap atau kawasan untuk keperluan lain.

Tanah garapan masyarakat (hak ulayat) Dusun I, Desa Buntu Turunan seluas 680 Ha sejak tahun 1950 sudah dikelola oleh penduduk setempat sebagai sumber mata pencaharian. Kemudian pada tahun 1970, tanah tersebut diambil alih pihak Kehutanan. Tanggal 28 Mei 1980 akhirnya dicapai kesepakatan dengan membagi dua tanah tersebut, yaitu 340 Ha sebelah Utara diserahkan oleh masyarakat kepada Kehutanan dengan memberikan pago-pago kepada masyarakat sebesar Rp.3.570.000,- (tiga juta lima ratus tujuh puluh ribu rupiah) dan 340 Ha sebelah Selatan dikembalikan kepada masyarakat petani Dusun I Desa Buntu Turunan. Pada tanggal 24 Maret 1983, telah dibuatkan Peta Situasi tanah yang terletak di Desa

12


(21)

Buntu Turunan dan Desa Tonduhan, Kecamatan Tanah Jawa, Dati II Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, dengan luas 340 Ha yang dipertahankan sebagai daerah Kawasan Hutan.

Ternyata tanah sebelah Utara yang disepakati untuk Dinas Kehutanan telah diambil oleh Pemda Tk. II Simalungun untuk PIR-Bun Kelapa Sawit. Tanah sebelah Selatan untuk garapan rakyat diambil pula oleh Dinas Kehutanan dengan dibantu Pemda Simalungun, dan kemudian menyerahkan tanah tersebut kepada PT. Sintong Sari Union untuk dijadikan HTI. Bina Graha telah menerima surat tertanggal 28 April 1993 dari Ny. Sarintan Br. Purba, wakil Dusun I Desa Buntu Turunan, Kecamatan Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, yang melaporkan tanahnya yang diambil oleh Pemda Tk. II Simalungun bersama Dinas Kehutanan setempat, yang kemudian diserahkan kepada PT. Sintong Sari Union untuk HTI.13

Areal eks HTI itu pada tahun 2005 lalu dilepas oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor: SK.53/Menhut-II/2005 untuk dibagikan kepada masyarakat Dusun I, Buntu Turunan/Buntu Bayu. Ditegaskan pula, limit waktu pembagian selama 1 (satu) tahun sejak surat dikeluarkan. Bila pembagian lahan kepada masyarakat tidak selesai, maka keseluruhan lahan yang dilepaskan seluas 340,70 Ha itu dikembalikan kepada Departemen Kehutanan.

Pemerintah telah melepaskan kawasan ini untuk dibagikan kepada masyarakat sejak tahun 2005 lalu, namun pembagian lahan kepada masyarakat Dusun Buntu

13

Surat Bina Graha Nomor: B-430/SEKBANG/5/93 tanggal 8 Mei 1993, Perihal:

Pengembalian Tanah Masyarakat Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun.


(22)

Turunan sebagaimana isi surat pelepasan dikeluarkan Menteri Kehutanan tidak kunjung datang. Menurut beberapa warga setempat, dulu memang sempat ada pendataan nama-nama mereka, namun hingga kini tidak ada tindak lanjutnya.14

Yusmar NJ, S.Ag, Ketua DPP Forum Anak Bangsa Indonesia (FaBIN) mengatakan bahwa jangka waktu pembagian lahan kepada masyarakat hanya 1 (satu) tahun sejak SK dikeluarkan.15 Yusmar juga mengatakan: ”Karena tenggang waktu pembagian yang cuma setahun itu telah berakhir, seharusnya lahan eks HTI yang mencapai 340,70 hektar itu dikembalikan kepada penguasaan negara.16

Pemkab Simalungun dinilai telah melanggar kewajiban atas SK Menhut Nomor: SK.53/Menhut-II/2005 karena proses sertifikasi tanah seluas 340,7 Ha telah lewat 1 (satu) tahun, tetapi status tanah sampai saat ini masih mengambang. Wakil Ketua Komisi I, Sabar Maruli Simarmata mengatakan bahwa tanah seluas 340,70 Ha tersebut merupakan milik masyarakat setelah dilepaskan oleh Menteri Kehutanan tanggal 23 Februari 2005 lalu.17

Sebagaimana diketahui, Pemkab Simalungun mengeluarkan dana dari APBD tahun 2006 untuk biaya pengukuran tanah senilai Rp.700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah).18 Dana sertifikasi dimasukkan ke dalam anggaran karena pada intinya isi dari SK Menhut Nomor: SK.53/Menhut-II/2005, Pemkab Simalungun diwajibkan

14

http://tabloidforsas.wordpress.com/2010/01/17/eks-hti-jadi%E2%80%E2%80%99%hutan-kadaluarsa, Eks HTI Jadi Hutan Kadaluarsa, diakses tanggal 6 Juni 2010.

15

Ibid.

16

Ibid.

17

http://bantors-media.blogspot.com/2007/07/kasus-tanah-buttu-turunanpemkab.html, Kasus Tanah Buttu Turunan, Pemkab Diharuskan Bertanggung Jawab Urusan Sertifikat, diakses tanggal 30 Nopember 2010.

18


(23)

menyelesaikan biaya proses sertifikasi yang selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diterbitkannya Surat Perintah Pembayaran (SPP) dari Badan Pertanahan Nasional. Dana tersebut belum terpakai karena Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun membatalkan proses pengukuran tanah. Alasannya adalah karena Menteri Kehutanan memberikan perintah kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun untuk membatalkan pengukuran tanah tersebut, berikut dengan adanya surat Ny. Sarintan Br. Purba yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan yang berisi bahwa proses pengukuran tanah penuh kecurangan.

Ny. Sarintan Br. Purba melihat adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Panitia Pembagian Tanah dalam proses sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan. Pelanggaran yang dilakukan Panitia, di antaranya adalah tidak transparan dalam membagikan tanah tersebut, mengulur-ulur waktu untuk mengkaplingan tanah, mengusulkan pensertifikatan tanah atas beberapa nama masyarakat ke Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun, dan Panitia juga membuat daftar nama masyarakat yang akan mendapat tanah tersebut berkisar 200 orang dan ada yang tumpang tindih, sementara rencana Panitia lahan tersebut dibuat 310 kapling.19

Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun pada awal bulan April 2009 telah menerbitkan sertifikat sebanyak 42 lembar atas tanah 340,70 Ha padahal sebelumnya tahun 2006, LSM Aliansi Ketahanan Nasional Wilayah Siantar-Simalungun sudah

19

Surat Ny. Sarintan Br. Purba tanggal 4 Pebruari 2008, Perihal: Pembatalan/Pencabutan Berita Acara Hasil Musyawarah Tanggal 6 Juni 2007 dan Surat Pernyataan Saya Tanggal 8 Juni 2007.


(24)

pernah meminta pembatalan kepada Kakanwil BPN Sumatera Utara atas keberatannya sebagai social control (kontrol masyarakat).

Selain itu, garap menggarap dan jual menjual lahan yang diserahkan Menteri Kehutanan kepada masyarakat Dusun I, Buntu Turunan kepada orang lain maupun kepada sesama warga Buntu Turunan yang dilakukan oleh Panitia Pengembalian Lahan Eks HTI telah menimbulkan keresahan dan masalah sosial di tengah-tengah masyarakat, baik antara sesama warga maupun antara warga dengan Panitia tersebut.20

Saat ini masyarakat berlomba menanam kelapa sawit di lokasi yang sedang bermasalah, meskipun sudah ada ketentuan dari pihak Penyidik Unit Tipikor Polres sesuai dengan SP2HP yang menyatakan bahwa pemilik alas hak yang sah belum dapat ditentukan sesuai dengan Diktum Keempat, Kelima, dan Keenam SK Menhut Nomor 53 Tahun 2005. Transaksi jual beli lahan kepada warga maupun antara sesama warga juga berjalan lancar tanpa ada himbauan maupun larangan dari Pemkab Simalungun. Hal ini terjadi karena masyarakat Dusun I, Buntu Turunan masih berpenghasilan rendah dan masih banyak masyarakat setempat yang belum mempunyai lahan pertanian.

Kehidupan perekonomian masyarakat yang sangat rendah dan tidak jelasnya status tanah akibat dari perbuatan Panitia atau Kepala Desa yang terkesan mengulur-ulur waktu membuat masyarakat menjadi jenuh dan ragu terhadap kepastian hukum

20

Surat LSM Aliansi Ketahanan Nasional Wilayah Siantar-Simalungun Nomor: 006/AT-SS/V/2010 tanggal 5 Mei 2010, Perihal: Penerbitan SK Menhut No. 53 Tahun 2005 Mohon Ditinjau Ulang.


(25)

atas tanah tersebut. Dengan kapasitasnya, Panitia atau kepala desa mendekati dan membujuk masyarakat agar mau menjual namanya kepada para pengusaha, meskipun masyarakat sendiri tidak mengetahui letak, luas dan batas-batas tanah tersebut. Artinya, tanah/lahan tersebut dimanfaatkan Panitia sebagai ajang bisnis/makelar tanah untuk kepentingan pribadi, meskipun Panitia tidak pernah melarang masyarakat untuk menjual tanah tersebut kepada pihak lain.

Adanya tindakan menjual lahan dan hasil penjualan lahan tersebut tidak transparan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Panitia menyebabkan terjadinya berbagai persoalan yang semakin rumit karena lahan yang dijual tersebut hingga pada saat ini belum jelas dan belum ditentukan letak, luas dan batas-batasnya.21

Apa yang menjadi hambatan-hambatan dalam proses sertifikasi tanah eks HTI di Desa Buntu Turunan dan juga adanya tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan pribadi, hal inilah yang akan menjadi pembahasan di dalam Penelitian ini pada Bab-bab berikutnya.

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan awal dari segenap proses ilmiah.22 Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan

21

Ibid.

22

Wasty Soemanto, Pedoman Teknik Penulisan Skripsi (Karya Ilmiah), Bumi Aksara, Jakarta, 1994, hal. 10.


(26)

yang hendak dicarikan jawabannya.23 Perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah.24 Dengan adanya pembatasan masalah, jenis atau sifat hubungan antara variabel yang timbul dalam perumusan masalah dengan subjek penelitian, semakin kecil ruang lingkupnya.

Yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana hambatan sertifikasi tanah eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan?

2) Bagaimana akibat hukum pembatalan/pencabutan Berita Acara Musyawarah tanggal 6 Juni 2007 dan Surat Pernyataan tanggal 8 Juni 2007 terhadap sertifikasi tanah eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan?

3) Bagaimana penyelesaian sengketa sertifikasi tanah eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian.25 Isi dan rumusan tujuan penelitian mengacu pada isi dan rumusan masalah penelitian. Tujuan penelitian hakekatnya adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan perumusan masalah.26 Perbedaannya terletak pada cara merumuskannya.

23

Bahdin Nur Tanjung dan Ardial, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi dan Tesis) dan Mempersiapkan Diri Menjadi Penulis Artikel Ilmiah, Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal. 56.

24

Ibid.

25

Ibid, hal. 57.

26

Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang, 2009, hal. 102.


(27)

Masalah penelitian dirumuskan dengan menggunakan kalimat tanya, sedangkan rumusan tujuan penelitian dituangkan dalam bentuk kalimat pernyataan.

Bertitik tolak dari rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui hambatan sertifikasi tanah eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan.

2) Untuk mengetahui akibat hukum pembatalan/pencabutan Berita Acara Musyawarah tanggal 6 Juni 2007 dan Surat Pernyataan tanggal 8 Juni 2007 terhadap sertifikasi tanah eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan. 3) Untuk mengetahui penyelesaian sengketa sertifikasi tanah eks Hutan Tanaman

Industri di Desa Buntu Turunan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah hasil yang diharapkan dari penelitian.27 Manfaat penelitian itu sekurang-kurangnya untuk 2 (dua) kepentingan, yaitu untuk kepentingan studi ilmiah jika dapat dijadikan bahan untuk penelitian lanjutan/pengembangan atau penelitian sejenis/setaraf untuk objek yang berbeda. Dikatakan bermanfaat untuk kepentingan terapan jika memiliki nilai praktis.

1. Secara Teoritis

Dengan adanya penelitian ini dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan dan berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan

27


(28)

kebenaran dan fakta yang terjadi di lapangan dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu terutama ilmu hukum.

Selain itu, manfaat penelitian mengacu pada perumusan masalah di atas adalah manfaat penelitian ini untuk kepentingan studi ilmiah diharapkan dapat dijadikan referensi/bahan bagi penelitian lanjutan/pengembangan yang sejenis.

2. Secara Praktis

Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak, baik kepada Pemerintah, khususnya Badan Pertanahan Nasional dalam menyelesaikan masalah pertanahan, dan dapat dijadikan oleh pihak lain sebagai sesuatu yang berguna jika menghadapi masalah hukum yang serupa.

Selain itu juga, untuk kepentingan praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam rangka penegakan peraturan tentang pendaftaran tanah bagi instansi-instansi terkait dengan pendaftaran tanah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ”Tinjauan Yuridis Sertifikasi Tanah Eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan” ini belum ada yang membahasnya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.


(29)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah susunan konsep, defenisi, yang dalam, yang menyajikan pandangan yang sistematis tentang fenomena, dengan menunjukkan hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain, dengan maksud untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena.28

Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris, sehingga teori tentang ilmu merupakan penjelasan rasional yang sesuai dengan objek penelitian dijelaskannya dan untuk mendapat verifikasi, maka harus didukung oleh data empiris yang membantu dalam mengungkapkan kebenaran.29

Keberadaan teori dalam dunia ilmu sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap sebagai sarana yang memberikan rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.30

Beberapa pakar ilmu pengetahuan memberikan definisi tentang teori sebagai berikut:

1. Fred N. Kerlinger menguraikan teori adalah sekumpulan kontruksi (konsep, definisi, dan dalil) yang saling terkait, yang menghadirkan suatu pandangan secara sistematis tentang fenomena dengan menetapkan hubungan di antara beberapa variabel, dengan maksud menjelaskan dan meramalkan fenomena. 2. Braithwaite mengemukakan bahwa teori adalah sekumpulan hipotesis yang

membentuk suatu sistem deduktif, yaitu yang disusun sedemikian rupa, sehingga dari beberapa hipotesis yang menjadi dasar pikiran beberapa hipotesis, semua hipotesis lain secara logis mengikutinya.

28

Sofyan Syafri Harahap, Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komprehensi, Pustaka Quantum, Jakarta, hal. 40.

29

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27.

30


(30)

3. Menurut Jack Gibbs, teori adalah sekumpulan pernyataan yang saling berkaitan secara logis dalam bentuk penegasan empiris mengenai sifat-sifat dari kelas-kelas yang tak terbatas dari berbagai kejadian atau benda.

4. S. Nasution mengemukakan teori adalah susunan fakta-fakta yang saling berhubungan dalam bentuk sistematis, sehingga dapat dipahami. Fungsi dan peranan teori dalam penelitian ilmiah adalah mengarahkan, merangkum pengetahuan dalam sistem tertentu, serta meramalkan fakta.

5. Kartini Kartono menyatakan bahwa teori adalah suatu prinsip umum yang dirumuskan untuk menerangkan sekelompok gejala-gejala yang saling berkaitan.31

Agar kerangka teori meyakinkan, maka harus memenuhi syarat32: Pertama, teori yang digunakan dalam membangun kerangka berpikir harus merupakan pilihan dari sejumlah teori yang dikuasai secara lengkap dengan mencakup perkembangan-perkembangan terbaru. Kedua, analisis filsafat dari teori-teori keilmuan dengan cara berpikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi, dan prinsip yang mendasarinya. Ketiga, mampu mengidentifikasikan masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut. Teori merupakan pijakan bagi peneliti untuk memahami persoalan yang diteliti dengan benar dan sesuai dengan kerangka berpikir ilmiah.33

Kerangka teori utama yang digunakan dalam menganalisis permasalahan sertifikasi tanah eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun adalah pokok-pokok pikiran dari Teori Kepastian Hukum. Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum, dikenal 3 (tiga) jenis

31

Ibid, hal. 113-114.

32

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 318-321.

33

Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2006, hal. 26.


(31)

aliran konvensional tentang tujuan hukum, salah satu di antaranya adalah aliran normatif-dogmatik. Aliran ini menganggap bahwa pada asasnya hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.34

Salah satu penganut aliran ini adalah John Austin dan van Kant, yang bersumber dari pemikiran positivistis yang lebih melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom atau hukum dalam bentuk peraturan tertulis. Artinya, karena hukum itu otonom, sehingga tujuan hukum semata-mata untuk kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak dan kewajiban seseorang. Van Kant berpendapat bahwa tujuan hukum adalah menjaga setiap kepentingan manusia agar tidak diganggu dan terjamin kepastiannya.35

Utrecht menyatakan bahwa tujuan hukum adalah demi adanya kepastian hukum.36 Beliau secara tegas menghendaki agar tujuan hukum hendaknya diarahkan untuk adanya kepastian hukum. Kepastian hukum, artinya hukum dimungkinkan sebesar-besarnya untuk adanya peraturan umum yang berlaku bagi setiap orang, tanpa melihat latar belakang dan status sosial.37 Dalam kepastian hukum, maka hukum dalam pengertian yuridis (tertulis) sangat diagung-agungkan. Dalam sejarah dan teori maupun mazhab hukum, paham kepastian hukum merupakan pengejawantahan dari

34

Ibid, hal. 74.

35

Ibid.

36

Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum dalam Perspektif Hukum Positif, Djambatan, Jakarta, 2001, hal. 44.

37


(32)

aliran ”legisme”, yang tidak mengakui adanya hukum yang tidak tertulis.38 Konsekuensinya, faktor-faktor non-yuridis belum mendapat prioritas di dalamnya.

Apabila kepastian hukum menjadi tujuan utama dari hukum, maka yang terjadi justru ketidakadilan. Dengan kata lain, tujuan hukum yang hanya memfokuskan pada kepastian hukum akan menyempitkan rasa keadilan tumbuh yang seharusnya menjadi sendi adanya hukum.

Tanah eks Hutan Tanaman Industri wajib didaftarkan. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 19 UUPA, yang menyebutkan: ”Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dibebankan kepada Pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan tunggal, yaitu untuk menjamin kepastian hukum.39 Menurut Penjelasan UUPA, pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari Pemerintah bertujuan menjamin kepastian hukum yang bersifat rechtscadaster. Rechtscadaster artinya, untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti perpajakan.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi agar pendaftaran tanah dapat menjamin kepastian hukum adalah:

38

Ibid, hal. 47.

39

Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, CV. Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 167.


(33)

1. Tersedianya peta bidang tanah yang merupakan hasil pengukuran secara kadastral, yang dapat dipakai untuk rekonstruksi batas di lapangan dan batas-batasnya merupakan batas yang sah menurut hukum.

2. Tersedianya daftar umum bidang-bidang tanah yang dapat membuktikan pemegang hak yang terdaftar sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum. 3. Terpeliharanya daftar umum pendaftaran tanah yang selalu mutakhir, yakni setiap

perubahan data mengenai hak atas tanah, seperti peralihan hak tercatat dalam daftar umum.

Dalam rangka untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum, maka kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah, sedangkan untuk melaksanakan fungsi informasi, data yang berkaitan dengan aspek fisik dan yuridis dari bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar, dinyatakan terbukti untuk umum (asas publisitas), sementara dalam hal mencapai tujuan tertib administrasi pertanahan, maka setiap bidang tanah termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas tanah, dan wajib didaftar.40

Sebagai teori pendukung digunakan Teori Hukum Rasional menurut pandangan Max Weber, teori mengenai perjanjian dan teori kekuatan mengikat perjanjian sesuai asas-asas perjanjian. Teori perbuatan melawan hukum juga digunakan karena perbuatan melawan hukum mengakibatkan pembatalan/pencabutan Berita Acara Musyawarah dan Surat Pernyataan. Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan: ”Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Sesuai Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diartikan secara sempit, yaitu hanya mengenai perbuatan yang langsung melanggar suatu peraturan hukum, namun telah diperluas bahwa perbuatan melawan hukum diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang memperkosa hak

40


(34)

orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kepatutan dalam masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.

Untuk menganalisis perlindungan terhadap para pihak yang bersengketa dengan diharuskannya para pihak melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, digunakan teori pendukung berdasarkan asas itikad baik. Menurut Ridwan Khairandy, walaupun itikad baik sangat penting dalam hukum kontrak, tapi sampai sekarang permasalahan definisi itikad baik tetap abstrak, tidak universal.41

Itikad baik dalam konteks Pasal 1338 KUH Perdata harus didasarkan pada kerasionalan dan kepatutan. Itikad baik pra kontrak tetap mengacu pada itikad baik yang bersifat subjektif, yang digantungkan pada kejujuran para pihak. Dalam proses negosiasi, pihak Pemerintah memiliki kewajiban menjelaskan fakta materiil yang berkaitan dengan pokok yang dinegosiasikan, sedangkan pihak yang bersengketa berkewajiban meneliti fakta materiil tersebut.

Dalam penelitian ini, apa yang telah dibuat dan disepakati di dalam Berita Acara Musyawarah yang dibuat pada tanggal 6 Juni 2007 yang merupakan musyawarah antara masyarakat Nagori Buntu Bayu dengan Ny. Sarintan Br. Purba yang difasilitasi oleh Yayasan Bina Insani serta Surat Pernyataan yang dibuat oleh Ny. Sarintan Br. Purba pada tanggal 8 Juni 2007 seharusnya dilaksanakan oleh para

41

Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 347.


(35)

pihak dengan itikad baik karena apa yang telah disepakati mengikat bagi para pihak yang membuatnya.

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam satu bidang studi, sehingga dengan demikian merupakan penjabaran abstrak daripada teori.42 Pendefenisian konsep dan perumusan teori berlangsung setiap saat. Hal ini merupakan langkah yang diperlukan dalam suatu proses penelitian ilmiah.

Konsep adalah unsur yang tidak bisa dihilangkan dari teori atau sistem teoretis. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut dengan operational definition.43

Yang dimaksud dengan definisi operasional ialah suatu definisi yang didasarkan pada karakteristik yang dapat diobservasi dari apa yang didefinisikan atau ”mengubah konsep-konsep yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dan yang dapat diuji kebenarannya oleh orang lain.”44

Definisi operasional memungkinkan sebuah konsep yang bersifat abstrak dijadikan suatu yang operasional, sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan pengukuran. Definisi istilah atau definisi operasional diperlukan apabila diperkirakan

42

Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal. 57.

43

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.

44


(36)

akan timbul perbedaan pengertian atau kekurangan makna seandainya penegasan istilah tidak diberikan.45 Istilah yang perlu diberi penegasan adalah istilah yang berhubungan dengan konsep pokok yang terdapat di dalam skripsi dan tesis. Defenisi istilah lebih dititikberatkan pada pengertian yang diberikan oleh peneliti.

Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati.46 Secara tidak langsung, definisi operasional itu akan menunjuk alat pengambil data yang cocok digunakan atau mengacu pada bagaimana mengukur suatu variabel. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.47

Dalam hal ini, seolah-olah konsepsi tidak berbeda dengan teori, tetapi perbedaannya terletak pada latar belakangnya. Kegunaan dari adanya konsepsi agar ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan.

Oleh karena itu, di dalam penelitian ini dikemukakan beberapa konsep dasar sebagai berikut:

1. Tinjauan yuridis adalah pandangan menurut hukum.

45

Bahdin Nur Tanjung dan Ardial, Op. cit., hal. 60.

46

Ibid.

47

Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi PPs USU, Medan, 2002, hal. 35.


(37)

2. Sertifikasi adalah penyertifikatan, pembuatan sertifikat.48

3. Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan.49 4. Desa Buntu Turunan adalah desa yang terletak di Kecamatan Hatonduhan,

Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Setelah pemekaran, Desa Buntu Turunan menjadi Desa Buntu Bayu.

5. Penguasaan atas tanah adalah adanya suatu hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyainya.50

6. Pelepasan kawasan hutan adalah suatu perubahan dan penggunaan kawasan hutan menjadi areal perkebunan, peternakan, perikanan, dan tanaman pangan.51

7. Hambatan adalah suatu halangan atau rintangan yang menghalang-halangi untuk mencapai sasaran atau hasil yang akan dicapai.52

8. Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum.53

G. Metode Penelitian

Metode adalah bagian dari metodologi yang berkaitan dengan penjelasan tentang teknik atau alat yang dipakai dalam mengumpulkan dan menganalisa data.

48

Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, Gita Media Press, Surabaya, 2006, hal. 435.

49

Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.

50

Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. cit., hal. 235.

51

Chairuddin K. Nasution, Hukum Agraria (Hak-hak atas Tanah/Kehutanan/PIR-Transmigrasi/Dll), Fakultas Hukum UISU/UMSU, Medan, 1993, hal. 131.

52

Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 97.

53


(38)

Metode penelitian yang ideal adalah metode yang sesuai dengan tuntutan atau permintaan dari problema penelitian yang akan dipelajari atau yang akan dijawab. Metode penelitian harus dapat membuktikan sendiri keakuratan dan validitasnya.

1. Spesifikasi Penelitian

Dari judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif menurut pendapat Soerjono Soekanto adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara lengkap ciri-ciri dari suatu keadaan, perilaku pribadi dan perilaku kelompok, serta untuk menentukan frekuensi suatu gejala, penelitian dilakukan tanpa didahului hipotesis.54

Penelitian deskriptif,55 yaitu menggambarkan dan menganalisis masalah-masalah yang akan dikemukakan, yang dilakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif.56 Pendekatan yuridis normatif ini digunakan dengan maksud untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai teori.57

Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan judul dan permasalahan dalam

54

Tampil Anshari Siregar, Op. cit., hal. 62.

55

Soerjono Soekanto, Beberapa Cara dan Mekanisme dalam Penyuluhan Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986.

56

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 13.

57

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 11.


(39)

penelitian ini, yang meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum,58 sumber-sumber hukum,59 peraturan perundang-undangan yang bersifat teoretis ilmiah, yang dapat menganalisis permasalahan yang akan dibahas serta ditambah data lainnya yang diperoleh di lapangan mengenai sertifikasi tanah eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, maka teknik pengumpulan data dilakukan dengan:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Tujuan studi pustaka ialah untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti.60

Studi kepustakaan (library research) dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, menafsirkan dan mentransfer dari sumber-sumber atau bahan tertulis, seperti:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,61 seperti Undang-undang Dasar, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Surat Keputusan, dan Instruksi Presiden.

Bahan hukum primer yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

58

M. Solly Lubis, Pembahasan Undang-Undang Dasar, Alumni, Bandung, 1997, hal. 89.

59

Amiruddin, A. Wahab, Pengantar Hukum Indonesia, Bahan Ajar untuk Kalangan Sendiri, Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh, 2007, hal. 73.

60

Ibid. 61


(40)

a) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

b) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. c) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.53/Menhut-II/2005 tentang

Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Seluas 340,70 Ha, terletak di Kawasan Hutan Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara untuk Hak atas Tanah atas Nama Masyarakat Dusun I, Desa Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

d) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 433/Menhut-VII/2006 tanggal 17 Juli 2006 tentang Penyelesaian atas Penguasaan Tanah 340,70 Ha di Desa Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun.

e) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

f) Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, termasuk rancangan peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah para sarjana, dan hasil-hasil penelitian.


(41)

3) Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya bibliografi dan indeks kumulatif.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan merupakan desain penelitian yang mengkombinasikan antara pencarian literatur (literature study), survei berdasarkan pengalaman dan/atau studi kasus dimana peneliti berusaha mengidentifikasi variabel-variabel penting dan hubungan antar variabel tersebut dalam situasi permasalahan tertentu.62 Studi lapangan dilakukan dengan wawancara. Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi.

Wawancara dilakukan dengan:

1) Januar Sinaga, Pangulu Buntu Bayu.

2) Lumuntar Saragi, warga Nagori Buntu Bayu.

3) Trisepandri Nainggolan, warga Nagori Buntu Bayu.

3. Analisis Data

Pengertian dasar analisis adalah melakukan decomposition, yaitu menguraikan sesuatu ke dalam bagian yang membentuk sesuatu itu.63 Sedangkan data berarti sesuatu yang diketahui atau dianggap.64 Data yang dapat dipergunakan untuk penelitian ada 2 (dua), yaitu data sekunder dan data primer.

62

Jonathan Sarwono, Op. cit., hal. 82.

63

H. Bahdin Nur Tanjung dan H. Ardial, Op. cit., hal. 43.

64


(42)

Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia, sehingga hanya mencari dan mengumpulkan, sedangkan data primer adalah data yang hanya dapat diperoleh dari sumber asli atau pertama. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan data sekunder ialah data dan/atau informasi yang tidak didapat secara langsung dari sumber pertama (responden) yang didapat melalui wawancara.

Pemilihan jenis analisis data ditentukan oleh jenis data yang dikumpulkan dengan tetap berorientasi pada tujuan yang hendak dicapai atau hipotesis yang hendak diuji. Oleh karena itu, yang pokok untuk diperhatikan dalam analisis data adalah ketepatan teknik analisisnya, bukan kecanggihannya. Isi analisis data ini adalah, setelah data tersebut terkumpul, bagaimana cara menganalisa data tersebut.

Kajian dokumen merupakan sarana pembantu peneliti dalam pengumpulan data atau informasi dengan cara membaca surat-surat, pengumuman, ikhtisar rapat, pernyataan tertulis kebijakan tertentu dan bahan-bahan tulisan lainnya. Peneliti dengan mempelajari dokumen-dokumen tersebut dapat mengenal budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh objek yang diteliti. Penggunaan dokumen ini berkaitan dengan apa yang disebut analisis isi. Cara menganalisis isi dokumen ialah dengan memeriksa dokumen secara sistematik bentuk-bentuk komunikasi yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk dokumen secara objektif.

Setelah pengumpulan data dilakukan, baik dengan studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data-data tersebut dianalisis secara kualitatif, yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang


(43)

terkait dengan permasalahan yang diteliti, sehingga dengan logika induktif, yaitu berpikir dari hal yang khusus menuju hal yang lebih umum, dengan menggunakan perangkat normatif, yakni interpretasi dan konstruksi hukum, sehingga diharapkan dapat dihasilkan kesimpulan yang bersifat umum terhadap permasalahan dan tujuan penelitian.

Analisis kualitatif merupakan analisis yang mendasarkan pada adanya hubungan semantis antar variabel yang sedang diteliti. Tujuannya ialah agar peneliti mendapatkan makna hubungan variabel-variabel, sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian.


(44)

BAB II

HAMBATAN SERTIFIKASI TANAH EKS HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI DESA BUNTU TURUNAN

A. Sertifikasi Tanah Eks Hutan Tanaman Industri di Desa Buntu Turunan

Tanah adat (tanah ulayat) adalah tanah yang berada dalam penguasaan suatu masyarakat hukum adat. UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tidak memerintahkan pendaftaran hak ulayat, juga tidak dimasukkan ke dalam golongan obyek pendaftaran tanah.

Untuk mendapatkan tanah ulayat, pihak tersebut mengadakan musyawarah dahulu dengan wakil dari masyarakat hukum adat untuk mencapai kesepakatan pelepasan hak. Tanah Buntu Turunan merupakan tanah garapan masyarakat (hak ulayat), yang luasnya 680 Ha. Sejak tahun 1950, tanah tersebut sudah dikelola oleh penduduk setempat sebagai sumber mata pencaharian.65

Namun pada tahun 1970, tanah tersebut diambil alih oleh Pihak Kehutanan. Ada pembayaran uang dari Kepala Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan Asahan/Pelaksana Lapangan Hutapadang sebesar Rp.130.000,- (seratus tiga puluh ribu rupiah) atas pembayaran ganti rugi tanaman rakyat di dalam areal calon tanaman tahun 1975/1976 seluas 150 (seratus lima puluh) Ha, yang diukur tanggal 15 Oktober 1975. Pembayaran tersebut dilakukan tanggal 2 Desember 1975.

65

Surat Bina Graha Nomor: B-430/SEKBANG/5/93 tanggal 8 Mei 1993, Perihal:


(45)

Pada tanggal 28 Mei 1980, akhirnya dicapai kesepakatan dengan membagi dua tanah tersebut, 340 Ha sebelah Utara diserahkan oleh masyarakat kepada Kehutanan dengan memberikan pago-pago kepada masyarakat sebanyak Rp.3.570.000,- (tiga juta lima ratus tujuh puluh ribu rupiah).66 Tanah yang seluas 340 Ha sebelah Selatan dikembalikan kepada masyarakat petani Dusun I, Desa Buntu Turunan.

Tanah sebelah Selatan untuk garapan masyarakat diambil pula oleh Dinas Kehutanan dengan dibantu Pemda Simalungun dan kemudian menyerahkan tanah tersebut kepada PT. Sintong Sari Union untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri. Setelah diadakan musyawarah dengan masyarakat, konsensus yang diperoleh ialah bahwa sebagian areal Huta Padang yang sudah pernah ditanami/direboisasi Dinas Kehutanan di Kabupaten Simalungun, masyarakat akan menyerahkan hanya sebagian areal (± 340 Ha) dan sebagian lagi harus kembali. Untuk itu sudah ada pernyataan dari pengetua-pengetua setempat diketahui oleh Pemda setempat.

Pada tanggal 6 Oktober 1980, Tim yang dibentuk oleh Bupati Simalungun telah memeriksa ancar-ancar batas yang dibuat, yaitu;

a. Bagian Selatan dari:

Perpotongan Aek Liman dengan jalan Panglong di Batas Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Asahan memanjang ke BT 50˚. Pada dasarnya diambil oleh masyarakat kembali.

b. Bagian Utara dari:

Batas tersebut di atas (a), diserahkan kepada Kehutanan tidak kurang 340 Ha.67

66

Ibid.

67

Surat Dinas Kehutanan Kesatuan Pemangkuan Hutan Aek Na Uli Nomor: 4406/V/2 tanggal 23 Oktober 1980, tentang Pembuatan Batas Hutan di Huta Padang.


(46)

Sejak tahun 2001 ketika PT. Sintong Sari Union menyerahkan lahan itu kepada Pemerintah Kabupaten Simalungun, hingga kini kondisi lahan tersebut terlantar. Saat dikelola oleh PT. Sintong Sari Union, lahan itu merupakan Kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI). Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.53/Menhut-II/2005 tanggal 23 Pebruari 2005 tentang Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Seluas 340,70 (Tiga Ratus Empat Puluh, Tujuh Puluh Perseratus) Hektar, Terletak di Kawasan Hutan Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, untuk Hak atas Tanah atas Nama Masyarakat Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, menyatakannya sebagai tanah hak untuk masyarakat Dusun/Desa Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan.68 Tapi ternyata, tanah sebelah utara yang disepakati untuk Dinas Kehutanan telah diambil alih oleh Pemda Tk. II Simalungun untuk PIR-Bun Kelapa Sawit.

Perkebunan Inti Rakyat (PIR) adalah suatu perusahaan yang terdiri atas perkebunan milik perusahaan sebagai kebun inti yang membangun perkebunan milik petani sebagai kebun plasma.69 PIR terdiri dari PIR Berbantuan dan PIR Swadana. PIR Berbantuan adalah PIR yang berasal dari luar negeri dan sebagian dana dalam negeri. Sedangkan PIR Swadana adalah PIR yang dananya bersumber dari dalam negeri.70 PIR Swadana diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 310/Kpts/Org/4/1981 tentang Pembentukan PIR Swadana.

68

http://tabloidforsas.wordpress.com/2009/23/34070-hektare-terlantar/, 340,70 Hektare Terlantar, diakses tanggal 6 Juni 2010.

69

Chairuddin K. Nasution, Op. cit., hal. 109.

70


(47)

PIR Swadana dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu PIR Lokal dan PIR Khusus. PIR Lokal adalah PIR yang pesertanya terdiri dari penduduk setempat, apakah untuk komoditi perkebunan ekspor ataupun perkebunan pangan, sedangkan PIR Khusus adalah PIR yang pesertanya diambil dari para Transmigran yang umumnya adalah perkebunan untuk komoditi ekspor (sawit, karet, dan coklat).71 PIR Khusus diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 856/Kpts/Um/1981 tentang Pembangunan PIR Khusus di Daerah Transmigrasi.

Pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan, selanjutnya disingkat Pola PIR adalah pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai Inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan.72

Proyek PIR adalah proyek pengembangan perkebunan dengan pola PIR yang terdiri dari kegiatan pembangunan perkebunan inti dan wilayah plasma yang dilaksanakan oleh perusahaan intinya dalam jangka waktu tertentu.73 Perusahaan inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik milik Swasta maupun milik Negara yang ditetapkan sebagai pelaksana proyek PIR.74 Perkebunan Inti adalah perkebunan besar

71

Ibid.

72

Pasal 1 angka 1 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi.

73

Pasal 1 angka 2 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi.

74

Pasal 1 angka 3 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi.


(48)

lengkap dengan fasilitas pengolahannya yang dibangun (dikembangkan) dan dimilki oleh perusahaan inti dalam rangka pelaksanaan proyek PIR.75

Wilayah Plasma adalah wilayah pemukiman dan usaha tani yang dikembangkan oleh petani peserta dalam rangka pelaksanaan proyek PIR yang meliputi pekarangan, perumahan, dan kebun plasma.76 Kebun Plasma adalah areal Wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan inti dengan tanaman perkebunan.77 Petani peserta proyek PIR, selanjutnya disingkat petani peserta adalah petani yang ditetapkan sebagai penerima pemilikan kebun plasma dan berdomisili di wilayah plasma.78 Tanaman perkebunan adalah kelapa sawit, karet, tebu dan tanaman keras lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.79

Pengembangan perkebunan dengan pola PIR dilakukan untuk membangun dan membina perkebunan rakyat di wilayah baru dengan teknologi maju agar mampu memperoleh pendapatan yang layak serta meningkatkan kegiatan transmigrasi dengan mewujudkan suatu sistem pengelolaan usaha yang memadukan pelbagai kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil.80

75

Pasal 1 angka 4 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi.

76

Pasal 1 angka 5 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi.

77

Pasal 1 angka 6 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi.

78

Pasal 1 angka 7 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi.

79

Pasal 1 angka 8 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi

80

Pasal 2 Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdurrahman, Muslan. 2009. Sosiologi dan Metodologi Penelitian Hukum. UMM Press. Malang.

Chandra, S. 2005. Sertipikat Kepemilikan Hak atas Tanah (Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan). PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Harahap, Sofyan Syafri. Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komprehensi. Pustaka Quantum. Jakarta.

Harsono, Boedi. 1994. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan. Jakarta.

Lubis, M. Solly. 1994. Filsafat Ilmu dan Penelitian. CV. Mandar Maju. Bandung.

Lubis, M. Solly. 1997. Pembahasan Undang-Undang Dasar. Alumni. Bandung.

Lubis, Muhammad Yamin dan Abdul Rahim Lubis. 2008. Hukum Pendaftaran Tanah. CV. Mandar Maju. Bandung.

Mas, Marwan. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Murad, Rusmadi. 1999. Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah. Alumni. Bandung.

Nasution, Chairuddin K. 1993. Hukum Agraria (Hak-hak atas Tanah/Kehutanan/PIR-Transmigrasi/Dll). Fakultas Hukum UISU/UMSU. Medan.

Pamulardi, Bambang. 1999. Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Parlindungan, A.P. 1990. Pendaftaran Tanah di Indonesia. CV. Mandar Maju. Bandung.

Parlindungan, A.P. 2002. Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria. CV. Mandar Maju. Bandung.

Sarjita. 2005. Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah. Tugu Jogja Pustaka. Yogyakarta.


(2)

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Siregar, Tampil Anshari. 2005. Metodologi Penelitian Hukum. Pustaka Bangsa Press. Medan.

Sjahdeini, Sutan Remy. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Institut Bankir Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Beberapa Cara dan Mekanisme dalam Penyuluhan Hukum. PT. Pradnya Panatita. Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1995. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soemanto, Wasty. 1994. Pedoman Teknik Penulisan Skripsi (Karya Ilmiah). Bumi Aksara. Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Tanjung, Bahdin Nur dan Ardial. 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi dan Tesis) dan Mempersiapkan Diri Menjadi Penulis Artikel Ilmiah. Prenada Media Group. Jakarta.

Waluyadi. Pengantar Ilmu Hukum dalam Perspektif Hukum Positif. 2001. Djambatan. Jakarta.

B. Makalah, Jurnal, dan Karya Ilmiah

A. Wahab, Amiruddin. 2007. Pengantar Hukum Indonesia, Bahan Ajar untuk Kalangan Sendiri. Fakultas Hukum Unsyiah. Banda Aceh.

Kalo, Syafruddin. 2006. Kebijakan Kriminalisasi dalam Pendaftaran Hak-hak atas Tanah di Indonesia : Suatu Pemikiran. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum, Kampus USU Medan, tanggal 2 September 2006.


(3)

Kamello, Tan. 2002. Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara. Disertasi. Medan.

Khairandy, Ridwan. 2004. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.

Wuisman, M. J. J. J. dan M. Hisyam. 1996. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas. FE-UI. Jakarta.

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/2000 tanggal 7 Juni 2007 tentang Evaluasi dan Tindak Lanjut Pelepasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Budidaya Perkebunan.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.53/Menhut-II/2005 tanggal 23 Pebruari 2005 tentang Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Seluas 340,70 Ha, terletak di Kawasan Hutan Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, untuk Hak atas Tanah atas Nama Masyarakat Dusun I, Desa Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 433/Menhut-VII/2006 tanggal 17 Juli 2006 tentang Penyelesaian atas Penguasaan Tanah Seluas 340,70 Ha di Lokasi Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang Dikaitkan dengan Program Transmigrasi.


(4)

D. Kamus

Pena, Tim Prima. 2006. Kamus Ilmiah Populer. Gita Media Press. Surabaya. Sudarsono. 1993. Kamus Filsafat dan Psikologi. Rineka Cipta. Jakarta.

E. Surat

Surat Bupati Simalungun Nomor: 591/5138-Tapem tanggal 25 April 2006, Perihal: Penjelasan Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Buntu Turunan di Nagori Buntu Bayu, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun.

Surat Bupati Simalungun Nomor: 433/9524-Tapem tanggal 11 Desember 2007, Perihal: Penyelesaian Permasalahan Tanah Seluas 340,70 Ha Eks Kawasan Hutan Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

Surat Dinas Kehutanan Kesatuan Pengakuan Hutan Aek Na Uli Nomor: 4406/V/2 tanggal 23 Oktober 1980, Perihal: Pembuatan Batas Hutan di Huta Padang.

Surat Kakanwil BPN Provinsi Sumatera Utara Nomor: 500-732 tanggal 7 April 2008, Perihal Pembatalan/Pencabutan Berita Acara Musyawarah tanggal 6 Juni 2007.

Surat Kakanwil BPN Provinsi Sumatera Utara Nomor: 57.1300 tanggal 25 Agustus 2006, Perihal: Penyelesaian atas Pengukuran Tanah Seluas 340,70 Ha di Desa Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun.

Surat Kakanwil BPN Provinsi Sumatera Utara Nomor: 570-1494 tanggal 10 September 2008, Perihal: Pensertifikatan Tanah Seluas 340,70 Ha di Lokasi Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun.

Surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Nomor: 570/508/5-06 tanggal 31 Mei 2006, Perihal: Keberatan Pensertifikatan Tanah Seluas 340 Ha di Desa Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun.

Surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Nomor: 570/2138/11-07 tanggal 30 Nopember 2007, Perihal: Mohon Petunjuk Penyelesaian Sertifikat Eks HTI Buntu Turunan, Kecamatan Hatonduhan, Seluas 340,70 Ha.


(5)

Surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Nomor: 000/401/5-08 tanggal 23 Mei 2008, Perihal: Proses Pensertifikatan Tanah Seluas 340,70 Ha di Lokasi Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun.

Surat Kapolres Simalungun Nomor: B/26/XII/2007/Reskrim tanggal 28 Desember 2007 tentang Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan.

Surat Panitia Pengembalian Lahan Eks HTI Buntu Turunan (Buntu Bayu), Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun Nomor: 03/PAN/BB/2007 tanggal 30 Agustus 2007, Perihal: Laporan.

Surat PD Toppan Kabupaten Simalungun tanggal 29 Juni 2007, Perihal: Klarifikasi/Penyelesaian atas Penguasaan/Pembagian Tanah seluas 340,70 Ha di Lokasi Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun.

Surat Bina Graha Nomor: B-430/SEKBANG/5/93 tanggal 8 Mei 1993, Perihal: Pengembalian Tanah Masyarakat Buntu Turunan, Kabupaten Simalungun.

Surat LSM Aliansi Ketahanan Nasional Wilayah Siantar-Simalungun Nomor: 006/AT-SS/V/2010 tanggal 5 Mei 2010, Perihal: Penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 53 Tahun 2005 Mohon Ditinjau Ulang.

Berita Acara Tata Batas tanggal 5 Pebruari 2004.

Berita Acara Rapat Tim Peneliti Nama-nama yang Berhak untuk Memperoleh Hak atas Tanah Seluas 340,70 (Tiga Ratus Empat Puluh, Tujuh Puluh Perseratus) Hektar, Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Buntu Turunan di Nagori Buntu Bayu, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, tanggal 23 Maret 2006.

Berita Acara Hasil Peninjauan Lapangan Terhadap Pengumuman Nama-nama Masyarakat yang Berhak atas Tanah seluas 340,70 (Tiga ratus empat puluh, tujuh puluh perseratus) Hektar, Pelepasan Kawasan Hutan Buntu Turunan di Nagori Buntu Bayu, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, tanggal 3 April 2006.

Berita Acara Musyawarah tanggal 6 Juni 2007.

Surat Ny. Sarintan Br. Purba tanggal 4 Pebruari 2008, Perihal: Pembatalan/Pencabutan Berita Acara Musyawarah tanggal 6 Juni 2007 dan Surat Pernyataan tanggal 8 Juni 2007.


(6)

Surat Ny. Sarintan Br. Purba tanggal 7 Pebruari 2006, Perihal: Kekeliruan.

Surat Pengaduan Masyarakat Buntu Bayu tanggal 20 Agustus 2007.

Surat Kuasa Hukum dr. Tuan Muda H. Siburian, Kantor Advokat Batahi H. Simanjuntak, SH & Rekan tanggal 22 April 2010.

F. Wawancara

Wawancara dengan Januar Sinaga, Pangulu Buntu Bayu, tanggal 10 Juni 2010.

Wawancara dengan Trisepandri Nainggolan, warga Nagori Buntu Bayu, tanggal 10 Juni 2010.

Wawancara dengan Lumuntar Saragi, warga Nagori Buntu Bayu, tanggal 10 Juni 2010.

G. Internet

http://dpr.go.id/majalahparlementaria/index.php?option=com_content&task=view&id =24

http://herman-notary.blogspot.com/2009/03/penyelesaian-sengketa-tanah.html, Penyelesaian Sengketa Tanah

http://tabloidforsas.wordpress.com/2010/01/17/eks-hti-jadi%E2%80%E2%80%99%hutan-kadaluarsa,Eks HTI Jadi Hutan Kadaluarsa

http://tabloidforsas.wordpress.com/2009/23/34070-hektare-terlantar/340,70 Hektare Terlantar

http://bantors-media.blogspot.com/2007/07/kasus-tanah-buttu-turunanpemkab.html, Kasus Tanah Buttu Turunan, Pemkab Diharuskan Bertanggung Jawab Urusan Sertifikat

http://bantors-media.blogspot.com/2007/07/kasus-tanah-buttu-turunan.html, Farpem Bantah Jual 15 Ha Tanah Buntu Turunan

http://www.scaleup.or.id/publikasi-kolom/PIR harus ditinjau ulang-IND.pdf