2.2.5. Sejarah Suplemen Makanan
Sejak awal sejarah kehidupannya, manusia telah berupaya mendapatkan sesuatu yang dapat menyembuhkannya dari penyakit. Berdasarkan atas apa yang
dialaminya dan apa yang dia makan, manusia menemukan obat, yang pada saat itu sebagian besar berasal dari tumbuh-tumbuhan. Dengan bertambahnya ilmu
pengetahuan dan berkembangnya teknik isolasi dan identifikasi, manusia berhasil menemukan komponen aktif dalam tumbuh-tumbuhan yang memiliki daya
menyembuhkan. Zat aktif tersebut kemudian distandarisasi, diformulasikan, dan disajikan dalam bentuk pil, tablet, kapsul, dan sediaan lain yang kita kenal saat ini
sebagai obat. Beberapa penemuan penting menandai kegigihan manusia dalam menemukan
obat yang dapat menyembuhkan penyakit. Di antaranya, penemuan reserpin dari tumbuhan Raulwolfia serpentina yang berkhasiat menurunkan tekanan darah pada
tahun 1950 dan antibiotik penicillin oleh Alexander Fleming tahun 1940. Obat dan makanan mempunyai kesamaan, keduanya dikonsumsi masuk ke
dalam tubuh, sehingga memerlukan pengendalian mutu untuk menjamin kemurnian dan keamanannya. Tetapi, kedua hal ini juga memiliki perbedaan yang
jelas. Makanan dikonsumsi setiap hari dan memasok tubuh dengan zat esensial yang diperlukan oleh tubuh baik untuk metabolisme dasar maupun melaksanakan kegiatan
sehari-hari sedangkan obat dikonsumsi bila perlu dan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan yang sederhana itu mulai menjadi kabur ketika masyarakat mulai memperbincangkan makanan kesehatan atau lebih dikenal dengan suplemen
makanan. Hal ini ditandai dengan terjadinya pergeseran paradigma sehat dari penyembuhan kepada pencegahan. Penelitian di bidang kesehatan yang menitik-
beratkan pada pencegahan penyakit, telah membuktikan pentingnya peranan diet dalam pencegahan penyakit jantung dan penyakit kanker.
Makanan yang sehat kini tak lagi sekadar makanan yang berwarna hijau, melainkan makanan yang ditujukan untuk maksud tertentu yang dapat memberikan
manfaat bagi kesehatan. Keinginan masyarakat untuk mengelola dan meningkatkan kesehatannya sendiri melalui makanan, dari hari ke hari kian meningkat David,
2006. Pada Mei 2003 lalu, harian The New York Times melaporkan bahwa 70 persen
masyarakat Amerika mengonsumsi suplemen makanan. Sementara itu, majalah Nutraceutical edisi Mei-Juni 2002 menyampaikan data bahwa total konsumsi
suplemen makanan di seluruh dunia tahun 2001 diperkirakan 50,6 miliar dolar AS. Hal ini mendorong pertumbuhan industri yang cepat di sektor ini, sehingga dapat
dipahami kalau beberapa industri farmasi justru mengandalkan produk suplemen makanan sebagai tulang punggung usahanya.
Pada masa sekarang ini di sebagian masyarakat muncul persepsi bahwa mengonsumsi suplemen makanan merupakan keharusan karena menimbulkan rasa
lebih sehat pada individu. Ini karena tingginya minat masyarakat, pesatnya
Universitas Sumatera Utara
perkembangan industri suplemen makanan ditambah dengan gencarnya iklan suplemen makanan Astawan, 2007.
2.2.6 Penelitian Suplemen Makanan Penelitian terhadap suplemen makanan berdasarkan penandaan pada etiket,
brosur, leaflet, dan informasi penggunaan suplemen makanan dengan metode wawancara pada konsumen yang berkunjung ke apotek dan di toko obat Jakarta,
Bandung, dan Surabaya. Dari hasil penelitian diperoleh komponen yang terdapat di suplemen makanan adalah vitaminmineral selain bahan hasil tumbuhan. Karakter
konsumen suplemen makanan terbanyak perempuan 78,1, usia 36-55 tahun 43,8, pekerjaan swasta 39,1, pendidikan tingkat sarjana 60,9. Pengalaman
pemakaian kebanyakan konsumen mengonsumsi satu produk yaitu 71,9, dengan tujuan untuk menjaga kesehatanmeningkatkan stamina 69,4, lama pemakaian 1-3
tahun 40,6. Efek samping hanya dialami oleh beberapa orang 10,9 Gusmali,2000.
Konsumsi suplemen makanan oleh penduduk Jepang pada tahun 2002 berdasarkan penggunaan suplemen makanan yaitu 26,9 menggunakan berbagai
jenis suplemen dengan tujuan mengurangi tekanan kejiwaan dan stress terhadap penghasilan yang diperoleh, 18,7 menggunakan suplemen untuk kesehatan pribadi
seperti menghindari rokok, minum alkohol, latihan fisik masalah konsumsi sayur dan buah dan kebiasaan makan yang teratur, 35,7 mengonsumsi suplemen berdasarkan
penyebab lain Takano, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian lain juga mempublikasikan bahwa selama dua dekade beberapa suplemen efektif untuk mencegah penyakit-penyakit khusus misalnya penyakit yang
berhubungan dengan saraf, mencegah penyakit jantung dan stroke selain itu juga kasium-vitamin D digunakan untuk mencegah osteoforosis dan disebutkan juga
bahwa penggunaan berbagai macam suplemen dapat meningkatkan status kesehatan dan daya tahan tubuh informan Takano, 2005.
Sebuah penelitian di Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Bandung pada Mei 2006- Januari 2007 menyatakan bahwa konsumsi suplemen zat besi pada wanita prahamil dapat
menurunkan ADB Anemia Defisiensi Besi lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian suplemen bagi yang dimulai saat kehamilan. Populasi adalah pasangan yang merencanakan
kehamilan dimana yang menjadi sampel adalah ibu dengan ADB ringan. Sejumlah 99 pasangan yang belum hamil terdiri atas 47 sebagai kelompok perlakuan dan 52 sebagai
kelompok kontrol. Pada kedua kelompok dilakukan 3 kali pemeriksaan serum feritin dan kadar hemoglobin Hb yaitu prahamil, awal hamil dan 3 bulan hamil. Pada kelompok
perlakuan diberikan suplemen zat besi 66 mg ferrous sulfate per-oral sejak prahamil sampai 3 bulan kehamilan. Sementara pada kelompok kontrol diberikan suplemen yang sama
mulai saat hamil sampai dengan 3 bulan hamil Ani Luh Seri, 2007. Hasil dari penelitian pemberian suplemen besi sejak masa prahamil adalah dapat
meningkatkan kadar feritin serum dan hemoglobin dan mencegah ADB pada wanita hamil. Cadangan besi dapat meningkat menjadi 33
μgdL, sedangkan cadangan besi pada kelompok kontrol hanya 19,65
μgdL.
Universitas Sumatera Utara
Pemberian tablet besi sejak masa prahamil pada wanita hamil memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan pemberian tablet besi yang dimulai pada awal
kehamilan. Hal ini didukung dengan penemuan kadar rerata feritin serum dan kadar hemoglobin, rerata keduanya lebih tinggi pada kelompok perlakuan dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Program ini juga lebih efektif dalam pencegahan ADB pada wanita hamil serta sangat mungkin diimplementasikan pada masyarakat.
2.3 Kerangka Pikir