Epidemiologi Etiopatogenesis Akne Vulgaris .1 Definisi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Akne Vulgaris 2.1.1 Definisi Akne Vulgaris adalah penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja Zanglein et al, 2008. Ditandai dengan adanya erupsi komedo, papul, pustul, nodus dan kista pada tempat predileksi: muka, leher, lengan atas, dada dan punggung Wasitaatmadja, 2011.

2.1.2 Epidemiologi

Akne vulgaris merupakan penyakit kulit yang paling umum diderita oleh masyarakat. Di Amerika Serikat, 85 dari penduduk usia 12-24 tahun menderita akne vulgaris. Dan data yang hampir serupa didatati pada sebagian besar dunia barat. Di Afrika sendiri, melalui sebuah studi cross sectional, didapati prevalensi akne vulgaris pada remaja sebesar 90,7 Husein, 2009. Untuk Asia, beberapa data yang bisa diperoleh menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi juga. Di Cina, tepatnya distrik Zhou Hai provinsi Guangdong, prevalensi penderita jerawat sebesar 53,5 remaja Wu et al, 2007. Dari survei di Asia Tenggara, terdapat 40-80 kasus jerawat. Sedangkan di Indonesia, catatan kelompok studi dermatologi kosmetika Indonesia, menunjukkan terdapat 60 pasien jerawat pada tahun 2006 dan 80 pada tahun 2007. Penelitian yang dilakukan oleh Anggrenni 2014 didapatkan hasil, jumlah pasien akne vulgaris yang berkunjung di RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari 2010 – Desember 2012 berjumlah 182 orang dengan proporsi kejadian sebesar 1,10. Karakteristik pasien umumnya berjenis kelamin perempuan, terbanyak berusia 16-20 tahun, pekerjaan terbanyak pelajarmahasiswa, tingkat keparahan terbanyak derajat II, lokasi terbanyak pada wajah, durasi penyakit terbanyak 1 – 52 minggu. Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Etiopatogenesis

Etiologi penyakit ini diduga multifaktorial dan kadang-kadang kontroversial. Wasitaatmadja, 2011. Etiologi akne vulgaris belum jelas sepenuhnya. Patogenesis akne adalah multifaktorial, namun telah diidentifikasi empat teori sebagai etiopatogenesis akne. Keempat patogenesis tersebut adalah hiperproliferasi epidermis folikuler, produksi sebum yang berlebih, bakteri Propionibacterium acnesP. acnes, dan inflamasi Zaenglein et al, 2008. 2.1.3.1Hiperproliferasi epidermis folikuler Kulit penderita akne menunjukkan peningkatan densitas reseptor androgen dan aktivitas 5α reduktase yang lebih tinggi. Dihydrotestosterone DHT adalah androgen poten yang berperan pada akne. Androgen menyebabkan peningkatan ukuran kelenjar sebasea, menstimulasi produksi sebum, serta menstimulasi proliferasi keratinosit pada duktus kelenjar sebasea dan akroinfundibulum Zouboulis et al, 2005. Hiperproliferasi epidermal folikuler menyebabkan terbentuknya lesi primer akne, yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut bagian atas, infundibulum, menjadi hiperkeratotik dan disertai peningkatan kohesi keratinosit. Peningkatan sel dan kepekatannya menyebabkan sumbatan pada ostium folikuler. Sumbatan ini menyebabkan terjadinya akumulasi keratin, sebum dan bakteri pada folikel, yang kemudian menyebabkan dilatasi pada folikel rambut bagian atas, dan terjadi mikrokomedo Zaenglein et al, 2008. 2.1.3.2 Produksi sebum berlebih Penderita akne memproduksi sebum yang lebih banyak, jika dibandingkan dengan yang tidak menderita akne. Salah satu komponen sebum yaitu trigliserida, berperan penting dalam patogenesis akne. Flora normal unit pilosebasea yaitu P. acnes akan memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini Universitas Sumatera Utara akan menyebabkan terjadinya lebih banyak kolonisasi P. acnes, memicu inflamasi, dan selain itu juga bersifat komedogenik Zaenglein et al, 2008. 2.1.3.3 Bakteri Propionibacterium acnes P. acnes Patogenisitas Propionibacteria diduga disebabkan karena adanya dua hal, yaitu : a. Produksi enzim eksoseluler dan produk ekstraseluler bioaktif lainnya, seperti protease, lipase, lecithinase, hyaluronat lipase, neuramidase, phospatase, phospolipase, proteinase, dan RNase. b. Interaksi mikroorganisme dengan sistem imun manusia. 
Pada saat pubertas, jumlah P. acnes pada wajah dan pipi penderita acne meningkat drastis, dan saat dewasa akan menunjukkan jumlah yang konstan. Penelitian tentang DNA P.acnes yang dilakukan oleh Miura et al, menemukan bahwa pada penderita acne berusia 10-14 tahun didapatkan jumlah P.acnes di hidung dan dahi yang lebih tinggi secara signifikan daripada non akne. Namun pada pasien akne berusia lebih dari 15 tahun, tidak didapatkan perbedaan jumlah P.acnes yang signifikan Miura et al, 2010. 2.1.3.4 Inflamasi Beberapa hipotesis menyatakan peran P.acnes dalam terbentuknya acne. Kerusakan jaringan kulit dapat merupakan akibat dari enzim bakteri yang memiliki sifat degradasi, dan mempengaruhi integritas sel epidermis kulit dan fungsi barier dinding folikuler folikel sebaseus. Hal ini menyebabkan pelepasan sitokin pro inflamasi dari keratinosit, yang akan berdifusi ke dermis dan memicu inflamasi Bruggemann, 2005.

2.1.4 Gejala Klinis