Pelaksanaan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Tinghoa (Studi Penelitian Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan)

(1)

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DALAM HUKUM

ADAT TIONGHOA (STUDI PENELITIAN MASYARAKAT

TIONGHOA DI KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

080200025

TIA ARISANTI

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PK : HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DALAM HUKUM ADAT TIONGHOA (STUDI PENELITIAN MASYARAKAT TIONGHOA DI

KOTA MEDAN) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH : TIA ARISANTI

080200025 Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan PK : Hukum Perdata BW

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

NIP.196603031985081001 Dr.Hasim Purba, SH.M.Hum

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Prof.DR. Runtung, SH.M.Hum Rosnidar S, SH.M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan pada penulis sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini dengan judul; Pelaksanaan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Tinghoa (Studi Penelitian Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan).

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapatnya kekurangan baik dalam substansi maupun sistematika penyajiannya, namun demikian dengan berlapang dada penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan lebih lanjut.

Dalam proses perkuliahan hingga pada penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak menerima dukungan moriil maupun materiil dari berbagai pihak, untuk itu melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah mendukung penulis dalam studi selama ini. Teristimewa, ucapan terima kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan secara khusus kepada, yang terhormat :


(4)

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,

Prof.Dr.Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU,

Bapak Syafruddin, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU,

Bapak Muhammad Husni, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

2. Bapak Dr.Hasim Purba, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Rosnidar S, SH.M.Hum selaku Pembimbing II, yang telah

menyediakan waktu membimbing penulis dalam pembahasan dan cara penulisan skripsi serta memberi banyak masukan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Yusrin, SH.M.Hum selaku Dosen Wali dan menjadi orang tua

kedua bagi penulis selama mengikuti perkuliahan, yang telah mengarahkan dan memberikan masukan-masukan dalam bimbingan akademik di fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Halim Loe selaku Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa

Indonesia di Kota Medan, yang telah memberikan berbagai informasi serta materi-materi yang penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

6. Bapak Ong Boon Kok selaku Tokoh Masyarakat Adat Tionghoa Kota Medan, yang telah memberikan informasi serta materi-materi yang penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Abangda Khairun Na’im selaku Staf pengajar Fakultas Hukum USU yang

telah memberikan materi-materi dalam penulisan skripsi ini.

8. Seluruh Staf pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh dedikasi

menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

9. Terimakasih terbesar dan teristimewa kepada kedua orang tua penulis

yang tersayang : Ayahanda Ramlan Abdullah dan Ibunda Ardani Hasibuan yang telah membesarkan, mendidik, menasehati serta mendoakan tiada henti untuk keselamatan dan kesuksesan penulis.

10.Saudara-saudara tercinta kak Dewi Andriani, SH.M.Hum, bang M.Ridha

Yasirsyah Sitepu, SH, kak Fitri Yanti S.Sos, MA, kak Fika Fauzika, SE, bang M.Zulfadli, SH, kak Endang Sriwahyuni, S.pd, adik tersayang Fauzul Azmi serta ponakan yang lucu Mumtazul Ilmi Fikriansyah Sitepu dan Yasmine Mumtaz Sitepu yang telah mendoakan, memberi motivasi sekaligus sebagai sumber inspiratif penulis.

11.Rekan-rekan stambuk 2008 ; Mirza Firmansyah, Teuku Muhammad

Fahrul Razi, Dian Novita Sari, Lia Nurani, Indri Amelia Indrawan, Yohana, Habibah Nasution, Dian Lestari, Novrilanimiy dan anak grup A yang selalu bersama dalam keseharian serta menjadi mitra diskusi dalam mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum USU.


(6)

Tidak akan pernah terlupakan kepada orang-orang terdekat penulis, Nova Afrida dan Dewi Artika, terima kasih atas pengorbanan, kesabaran, kesetiaan,

dukungan dan doanya selama ini. I’ll miss u

Dengan kerendahan hati, penulis berharap kiranya skripsi ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi segenap masyarakat etnis Tionghoa dimanapun khususnya di Kota Medan atau kepada siapa saja yang membutuhkan informasi sehubungan dengan materi skripsi ini. Namun disadari masih ada kekurangan dan belum sempurna substansinya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikannya.

Akhirnya, satu babak dalam perjalanan hidup ini tercapai sudah, telah terbuka titik awal jalan baru untuk ditempuh dalam asa perjalanan hidup ini. Semoga harapan dan cinta yang selalu menyemangati penulis selama ini bisa terealisasi hanya dalam Pimpinan dan Anugerah dari Allah SWT amin.

Medan, Januari 2012


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...v

ABSTRAK...vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...8

D. Keaslian Penulisan...9

E. Tinjauan Kepustakaan...9

F. Metode Penelitiam...21

G. Sistematika Penulisan...22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK A. Pengertian Pengangkatan Anak dan Anak Angkat...24

B. Tujuan Pengangkatan Anak...27

C. Pengangkatan Anak menurut Peraturan Perundang-undangan...32


(8)

BAB III PELAKSANAAN PENGANGKATAN DAN KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT TIONGHOA

A. Masyarakat Tionghoa di Kota Medan………...40

B. Jenis-jenis Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat

Tionghoa………..46

C. Syarat-syarat Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat

Tionghoa………..50

D. Kedudukan Anak Angkat Dalam Hal Harta Warisan Orangtua

Angkat...60

E. Hambatan Yang Dihadapi Oleh Orangtua Angkat Dalam

Proses Pengangkatan Anak...66

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan...69 B. Saran...70 DAFTAR PUSTAKA


(9)

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DALAM HUKUM ADAT TIONGHOA (STUDI PENELITIAN MASYARAKAT TIONGHOA KOTA

MEDAN) Tia Arisanti*) Runtung Sitepu**)

Rosnidar***) ABSTRAKSI

Tujuan perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan dan meneruskan keturunan. Sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, dan adanya hubungan yang erat dengan keturunannya. Tetapi pada kenyataannya tidak jarang dalam suatu perkawinan atau keluarga tidak mendapat keturunan oleh berbagai sebab, oleh karena itu dilakukan dengan mengambil alih anak orang lain yang selanjutnya dimasukan ke dalam anggota keluarga sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pengangkatan anak dalam hukum adat Tionghoa di Kota Medan, kedudukan anak angkat dalam hal harta warisan orangtua angkat serta hambatan yang dihadapi oleh orangtua agkat dalam proses pengangkatan anak.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis empiris, adapun spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analisis dengan data yang diperoleh melalui kepustakaan dan hasil lapangan.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat Tionghoa di Kota Medan adalah melalui upacara adat, biasanya masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan anak akan membuat akta pengangkatan anak dihadapan notaris untuk digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pengangkatan anak. Anak angkat dianggap selayaknya anak kandung sehingga memperoleh harta warisan dari orangtua angkatnya.

*)Mahasiswi Fakultas Hukum USU stambuk 2008 **)Dekan Fakultas Hukum USU, Pembimbing I


(10)

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DALAM HUKUM ADAT TIONGHOA (STUDI PENELITIAN MASYARAKAT TIONGHOA KOTA

MEDAN) Tia Arisanti*) Runtung Sitepu**)

Rosnidar***) ABSTRAKSI

Tujuan perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan dan meneruskan keturunan. Sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, dan adanya hubungan yang erat dengan keturunannya. Tetapi pada kenyataannya tidak jarang dalam suatu perkawinan atau keluarga tidak mendapat keturunan oleh berbagai sebab, oleh karena itu dilakukan dengan mengambil alih anak orang lain yang selanjutnya dimasukan ke dalam anggota keluarga sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pengangkatan anak dalam hukum adat Tionghoa di Kota Medan, kedudukan anak angkat dalam hal harta warisan orangtua angkat serta hambatan yang dihadapi oleh orangtua agkat dalam proses pengangkatan anak.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis empiris, adapun spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analisis dengan data yang diperoleh melalui kepustakaan dan hasil lapangan.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat Tionghoa di Kota Medan adalah melalui upacara adat, biasanya masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan anak akan membuat akta pengangkatan anak dihadapan notaris untuk digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pengangkatan anak. Anak angkat dianggap selayaknya anak kandung sehingga memperoleh harta warisan dari orangtua angkatnya.

*)Mahasiswi Fakultas Hukum USU stambuk 2008 **)Dekan Fakultas Hukum USU, Pembimbing I


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna diantara makhluk lainnya. Manusia diberikan akal pikiran untuk dapat menjalani kehidupan serta mengelola dan memanfaatkan seluruh isi dunia ini. Selain itu kodrat manusia cenderung untuk berkembang memperbanyak diri, sebagai proses yang dilalui manusia dalam mempertahankan eksistensinya.

Mempertahankan eksistensinya tersebut, manusia melakukan perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga. Keluarga dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dipergunakan dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan setiap orang dan merupakan sarana untuk dapat melanjutkan silsilah keluarga dengan mempunyai keturunan, yakni seorang anak dengan jalan melakukan perkawinan yang sah.

Perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga ini, di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan : “perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa.”

Ketentuan Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, dan adanya hubungan yang erat dengan keturunannya.


(12)

Pelengkap dari suatu keluarga adalah kelahiran anak. Apabila dalam sebuah keluarga telah dikaruniai seorang anak, hendaknya dalam keluarga tersebut juga memperhatikan kepentingan seorang anak baik secara rohani, jasmani, maupun perkembangan dalam lingkungan sosialnya.

Membentuk suatu keluarga kemudian melanjutkan keturunan merupakan hak dari setiap orang. Konsekuensi dari adanya suatu hak adalah timbulnya suatu kewajiban, yakni kewajiban antara suami isteri dan kewajiban antara orangtua dan anak. Bagi setiap keluarga, anak merupakan sebuah anugerah yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya. Hadirnya seorang anak akan melengkapi kebahagiaan sebuah keluarga. Anak merupakan sebuah tumpuan harapan bagi kedua orangtuanya. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga.

Sebuah keluarga tanpa kehadiran seorang anak rasanya kurang lengkap, bahkan dalam kasus tertentu tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri. Keinginan untuk memperoleh anak yang tidak dapat tercapai menimbulkan berbagai perasaan dan pikiran pada tataran tertentu, tidak jarang perasaan dan pikiran tersebut berubah menjadi kecemasan. Kecemasan tersebut, selanjutnya diekspresikan oleh salah satu pihak atau kedua pihak, dalam hal ini pasangan suami isteri.

Keturunan berupa anak yang didambakan tidak diperoleh secara natural maka dilakukan dengan cara mengambil alih anak orang lain. Selanjutnya anak tersebut dimasukkan kedalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang


(13)

tidak bisa diperoleh secara alami tersebut. Cara memperoleh anak dengan cara ini, dalam istilah hukum Perdata Barat lazim disebut sebagai adopsi yang dalam tulisan ini disebut penulis sebagai pengangkatan anak.

Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai sejak lama. Masalah pengangkatan anak sebenarnya bukanlah merupakan suatu hal aneh bagi masyarakat Indonesia karena tujuan dan akibat hukum pengangkatan anak ini sangat penting dalam kehidupan masyarakat baik sebagai suatu cara untuk meneruskan keturunan, maupun sebagai perwujudan dari

perasaan kasihan.1

Hukum adat Tionghoa juga mengatur bahwa yang seharusnya masuk dalam preferensi pertama anak yang diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki dari seorang saudara

laki-Masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai praktek pengangkatan anak ini, salah satunya dalam masyarakat Tionghoa, hanya saja motivasi dan cara serta akibat pengangkatan anak tersebut berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain.

Menurut hukum adat Tionghoa, pengangkatan anak dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak, diharapkan keluarga tersebut dapat dikaruniai anak. Anak yang diangkat tersebut diperlukan sebagai anak sendiri, tidak dirasakan lagi dari mana asal anak tersebut dengan demikian diberi status anak dari orangtua yang mengangkatnya.


(14)

laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman, karena nantinya anak adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama.

Pengangkatan anak secara sah menurut hukum yang berlaku diperlukan suatu lembaga pengangkatan anak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai 290 KUHPerdata. Maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, pemerintah Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblad nomor 129 yang

mengatur masalah adopsi bagi golongan masyarakat Tionghoa (Pasal 5-Pasal15).2

Pengangkatan anak tidak hanya berlaku bagi anak laki-laki tetapi juga bagi anak perempuan. Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta

Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya mengenai hukum keluarga sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi didalam KUHPerdata. Masyarakat Tionghoa yang telah mengenal lembaga adopsi berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sebelum berlakunya KUHPerdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak atau tidak memiliki keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marga keluarga dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur.

2


(15)

No.907/1963/pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 558/63.6 tertanggal 17 oktober 1963, bahkan pada tahun yang sama pada kasus lain mengenai pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu keputusan antara lain menetapkan bahwa Pasal 5, 6, dan 15 ordonansi S.1917:129 yang hanya memperbolehkan pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar 1945.3

3

J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hal.202.

Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai sejak lama. Dalam masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai praktek pengangkatan anak ini. Hanya saja, motivasi dan cara serta akibat pengangkatan anak tersebut berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Pada mulanya pengangkatan anak akan dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak, diharapkan keluarga tersebut dapat dikaruniai anak. Sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan adopsi lebih ditujukan demi kesejahteraan anak, seperti yang telah diatur dalam Pasal 28B Undang – Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tercantum pula dalam Pasal 12 ayat (1) Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, yang menyatakan : “pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.”


(16)

Pelaksanaan pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia diselenggarakan bukan hanya dengan memperhatikan kepentingan orang tua angkatnya saja, tetapi juga dengan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan anak yang akan dijadikan sebagai anak angkat. Demi menjamin kepastian hukum dari pelaksanaan pengangkatan anak tersebut, maka hal ini diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara penulis dengan tokoh adat masyarakat Tionghoa, ada fenomena menarik yang terjadi pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan mengenai pengangkatan anak. Pengangkatan anak menurut masyarakat Tionghoa kebanyakan berdasarkan sebagai berikut:

a. Apabila anak yang akan diangkat berasal dari lingkungan keluarga sendiri

atau kerabat dari orang yang mengangkat maka pada umumnya pengangkatan dilakukan secara diam-diam yang dirahasiakan oleh anggota keluarga. Artinya tanpa diadakan acara syukuran tapi diketahui oleh ketua adat dan kepala lingkungan setempat.

b. Jika anak yang diangkat berasal dari luar lingkungan keluarga orangtua

yang mengangkat, biasanya dilakukan secara terang dan tunai. Artinya pengangkatan itu diramaikan oleh keluarga terdekat dan para tetangga dengan mengadakan acara syukuran. Maksudnya agar sewaktu-waktu anak tersebut tidak dapat ditarik oleh orangtua kandungnya.

Pembentuk Undang-undang tidak mungkin mengatur seluruh kegiatan kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas. Kemampuan pembentuk Undang-undang itu terbatas, ada kalanya pembentuk Undang-Undang-undang tidak sempat mengatur suatu perbuatan dalam Undang-undang tetapi mengatur lebih lanjut


(17)

dalam perundang-undangan lain. Ada kalanya pembentuk Undang-undang sengaja tidak mengatur suatu perbuatan dalam Undang-undang karena menyerahkan kepada Hakim untuk mengisinya. Ada kalanya tidak terpikirkan oleh pembentuk Undang-undang untuk mengatur suatu perbuatan dalam Undang-undang karena pada saat itu belum dirasakan mendesak untuk diatur atau tidak diduga akan terjadi kemudian.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan dengan judul penelitian: “Pelaksanaan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Tionghoa (Studi Penelitian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan)”.

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak dalam hukum adat Tionghoa.

2. Bagaimana kedudukan anak angkat dalam hal harta warisan orangtua angkat.

3. Apa hambatan yang dihadapi oleh orangtua angkat dalam proses


(18)

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan pengangkatan anak dalam hukum adat

Tionghoa.

2. Untuk mengetahui kedudukan anak angkat dalam hal harta warisan orangtua

angkat.

3. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi orangtua angkat dalam proses

pengangkatan anak.

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoretis, di harapkan kiranya penulisan skripsi ini bermanfaat untuk

dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat Tionghoa. Selain itu skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca yag tertarik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak.

2. Secara praktis, memberikan masukan-masukan tentang tata cara pelaksanaan

pengangkatan anak, akibat hukum terhadap harta warisan menurut hukum adat Tionghoa dan hambatan yang dihadapi dalam pengangkatan anak.


(19)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi dengan judul “Pelaksanaan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Tionghoa (Studi Penelitian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan)” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan kondisi dan fenomena dalam pelaksanaan pengangkatan anak yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik dan bantuan dari berbagai pihak, dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pengangkatan Anak

Dari segi etimologi yaitu asal usul kata adopsi berasal dari bahasa Belanda

“Adoptie” atau adoption (bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak. Dalam bahasa arab disebut “Tabanni” yang menurut prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”, sedang menurut kamus Munjid diartikan “menjadikannya sebagai anak”. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya

sendiri.4

4

Muderis Zaini, Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), Sinar Grafika, Jakarta, 1985, hal.4


(20)

Dari segi terminology, adopsi diartikan dalam kamus umum bahasa indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu, “anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”. Dalam ensiklopedia umum disebutkan, adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya adopsi diadakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak/tidak mempunyai anak.

Mengenai defenisi adopsi, terdapat beberapa sarjana yang telah memberikan pendapatnya, diantaranya adalah Surojo Wigjodiporo, menurut beliau adopsi adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungut/diangkat itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang

sama seperti yang ada antara orang tua dan anak kandungnya sendiri.5

Menurut Soerjono Soekanto adopsi adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan

pada faktor hubungan darah.6

5

Surojo Wignjodipoero, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, 1973, hal. 123

6


(21)

2. Pengertian Anak Angkat

Menurut ING Sugangga anak angkat adalah orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung

sendiri “ada kecintaan/kesayangan”.7

Di Jawa Tengah, pengangkatan anak menurut Djojodiguno dan Raden Tritawirnata adalah pengangkatan anak orang dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya. Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat yang resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan/famili atas

kekayaan rumah tangga.8

Menurut Tamakiran, anak angkat adalah seseorang bukan turunan suami istri yang diambil, dipelihara dan diperlakukan oleh mereka sebagai anak

turunannya sendiri.9

3. Pengangkatan Anak Menurut SEMA No.2 Tahun 1979 jo No.6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak

Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.6 tahun 1983, tidak melarang pengangkatan anak terhadap perempuan, karena pengangkatan anak (perempuan)

7

ING Sugangga, Hukum Waris Adat, Universitas Diponegoro, Semarang, Februari,1995, hal.35

8

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Badung, Alumni, 1991, hal.149

9


(22)

telah menjadi kebutuhan bagi semua masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Tionghoa. Hal tersebut tercermin dalam SEMA No.2 tahun 1979, Romawi I (satu) butir ke tiga dengan Romawi II butir ke 3 SEMA No. 6 tahun 1983, yang berbunyi “Semula digolongkan penduduk Tionghoa (Staatblad 1971 No.129)

hanya dikenal adopsi terhadap anak laki-laki, tetapi setelah yurisprudensi tetap menyatakan sah pula pengangkatan anak perempuan”.

4. Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

Di Indonesia Pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap anak-anak, untuk itu pemerintah mengeluarkan produk yang memberikan perlindungan terhadap anak-anak yaitu dengan disahkan nya Undang-Undang ini yang mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak.

Pengertian pengangkatan anak menurut PP Republik Indonesia No.54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertangguang jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Dengan demikan pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengambil anak orang lain dan dapat disamakan haknya dengan seorang anak kandungnya dari suatu perkawinan atau anak sendiri.


(23)

5. Hukum Adat

a. Pengertian Hukum Adat

Istilah hukum adat adalah terjemahan dalam bahasa belanda “adatrecht” Snouck Hurgronje adalah orang pertama yang memaknai istilah “adatrecht” kemudian dikutip dan dipakai selanjutnya oleh Van Vollenhoven sebagai istilah

teknis yuridis.10

Perkataan hukum adat adalah istilah untuk menunjukan hukum yang tidak dikodifikasi dikalangan bangsa Indonesia dan “Timur Asing”. Ketika orang berusaha menyelidiki hukum adat secara berilmu pengetahuan, dibutuhkan suatu istilah setegas-tegasnya untuk menyatakan keseluruhan hukum adat tersebut. Perundang-undangan Hindia Belanda menggunakan istilah “Undang-Undang Agama, Lembaga-Lembaga dan kebiasaan-kebiasaan”.

11

“Hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwa sahnya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum”.

Beberapa ahli hukum adat memberikan defenisi tentang hukum adat sebagai berikut :

Menurut Soepomo, sebagaimana dikutip oleh Jaren Saragih :

12

10

Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 1

11

Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Diterjemahkan oleh A.Soehardi Sumur, Bandung, 1982,hal.2

12


(24)

Soekanto mengemukakan bahwa jika diselidiki adat istiadat ini maka terdapatlah peraturan-peraturan yang bersanksi, yaitu kaidah-kaidah yang apabila dilanggar ada akibatnya dan mereka yang melanggar dapat dan kemudian dihukum. Kompleks adat istiadat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum),jadi

mempunyai akibat hukum, kompleks ini disebut hukum adat.13

“Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh penguasa toh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum”. J.H.P. Bellefroid dalam bukunya “Inleiding tot de rechtswetenschap in Nederland” sebagaimana dikutip Jaren Saragih, memberi pengertian :

14

“hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasan Belanda dahulu”.

C.Van Vollenhoven memberi pengertian:

15

Apabila dilihat dari pengertian-pengertian yang diberikan oleh para sarjana tersebut diatas, maka kiranya dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum adat itu adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan

13

Soekanto, Meninjau Hukum Adat IndonesiaSuatu Pengantar Untuk Mempelajari

Hukum Adat, disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, CV.Rajawali, Jakarta,1985,hal.2

14

Jaren Saragih, OpCit, hal.14 15

C.Van Vollenhoven, Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, jilid 1 E,J Brill, 1904-1933, hal.7


(25)

rakyat yang selalu berkembang (sifat dinamis) serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dalam kehidupan masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

b. Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang

mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud.16

b. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya keibuan atau matrilinial adalah kekerabatan yang lebih mengutamakan keturunan menurut garis perempuan.

Masyarakat hukum adat merupakan komunitas yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari para penguasa adat.

Pada dasarnya masyarakat adat terbagi menjadi empat:

a. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya kebapakan atau patrilinial adalah kekerabatan yang mengutamakan keturunan menurut garis keturunan laki-laki.

16

Soerjono Soekantao dan Soleman B Toneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982, hal.106


(26)

c. Masyarakat adat yang bersendi pada kebapakan dan keibuan atau parental/bilateral adalah kekerabatan yang menarik garis keturunan dari bapak dan ibu.

d. Masyarakat adat yang bersendi kebapakan beralih atau alteneren adalah kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan laki-laki namun adakalanya mengikuti garis keturunan wanita karena adanya pengaruh

dari faktor lingkungan, waktu dan tempat.17

Secara umum sistem kekeluargaan ini dapat dibedakan dalam 3 corak, Di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia para ahli waris atau waris tidak terlepas dari susunan kekerabatan atau sistem kekeluargaan/keturunan. Sistem kekeluargaan ini sudah berlaku sejak sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Kristen, dan Islam.

18

a. Sistem Patrilinial, adalah sistem kekeluargaan berdasarkan garis kebapakan/dari pihak ayah, yaitu suatu masyarakat hukum yang menarik garis kekeluargaan ke atas melalui garis bapak, bapak dari bapak terus keatas sehingga dijumpai seorang laki-laki sebagai moyangnya. Contoh masyarakat ini adalah Batak, Nias, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Ambon. Pada asasnya dalam susunan masyarakat, yang mempertahankan sistem ini yang berhak mewaris adalah anak laki-laki, kemungkinan bagi wanita menjadi ahli waris sangat kecil.

yaitu:

17

Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, hal. 23

18


(27)

b. Sistem Matrilinial, adalah sistem dimana para anggotanya menarik garis keturunan keatas melalui garis ibu, ibu dari ibu terus keatas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya, contoh masyarakatnya adalah Minangkabau, Pesisir Sumatra selatan bagian utara, Enggana, Lampung Pesisir, dan lain-lain. Yang menjadi ahli waris adalah anak perempuan. Menurut Ter Haar kedudukan perempuan sebagai ahli waris dalam sistem matrilinial berbeda dengan kedudukan anak laki-laki sebagai ahli waris dalam sistem patrilinial. c. Sistem Parental atau Bilateral, adalah suatu sistem dimana para

anggotanya menarik garis keturunan keatas baik bapak/ibu terus keatas hingga dijumpai seorang laki-laki dan perempuan sebagai moyangnya. Contoh, masyarakat Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, Aceh, Riau, Sulawesi dan Kalimantan. Baik anak-anak pria maupun wanita berhak mendapat warisan dari orang tuanya, baik terhadap harta peninggalan yang tergolong harta pusaka keturunan, maupun yang berasal dari harta bawaan ibu atau ayah, ataupun harta pencaharian selama hidup mereka.

6. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat

Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada

kecintaan/kesayangan”.19

19

Muderis Zaini, Op.Cit. hal.32.


(28)

a. pertama, pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap keluarga, pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai). Akibat hukum putus, hubungan hukum antara anak tersebut dengan orang tua aslinya.

b. Kedua, pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya

pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang keluarga seluruhnya atau hanya dihadiri oleh keluarga tertentu dan tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat.

Akibatnya tidak memutuskan hubungan antara anak tersebut dengan orang tua aslinya, maka disebut mewaris dari 2 (dua) sumber yaitu dengan orang tua asli dan orang tua angkat. Pelaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam

dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.20

Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya, yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, anak tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya, masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya serta mewaris dari orang tua angkatnya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan

20


(29)

hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya.

Dengan adanya Undang-Undang No.4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak maka pengangkatan anak pada dasarnya harus memperhatikan kepentingan kesejahteraan anak itu.

7. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Tionghoa Sebelum

Staatblaad Tahun 1917 No. 129 tentang Adopsi

Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 (S.1917:129) khususnya Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi golongan Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di Indonesia, telah mengatur hukum adat yang mengatur mengenai pengangkatan anak (adopsi).

Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat dibawah generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kekeluargaan.

Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan untuk mengangkat anak dari keluarga lain, yang tampak dari dipakainya


(30)

nama keluarga yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama keluarga lain

8. Pengangkatan Anak Menurut Staatblad Tahun 1917 No.129 tentang Adopsi

Staatblad tahun 1917 No.129 tidak memberikan defenisi mengenai pengangkatan anak, namun mengatur mengenai alasan, syarat, tata cara dan akibat hukum pengangkatan anak , bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Menurut Staatblad Tahun 1917 No.129, pengangkatan anak dilakukan dengan alasan apabila seorang laki-laki yang kawin atau telah pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah menurut garis laki-laki, baik karena pertalian darah maupun karena pengangkatan. Menurut Staatblad ini, pengangkatan anak dilakukan karena dalam suatu perkawinan tidak mendapatkan keturunan/anak laki-laki.


(31)

F. Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif yaitu dengan menggambarkan keadaan atau fenomena

yang berhubungan dengan permasalahan yang akan di teliti.21 Penelitian deskriptif

ini dimulai dengan pengumpulan data yang berhubungan dengan pembahasan di atas, lalu menyusun, mengklasifikasikan data sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang fenomena yang diteliti.

Metode pendekatan yang digunakan adalah teori yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Dengan metode library research dimaksudkan dapat dikumpulkan bahan-bahan kepustakaan, berupa buku-buku, majalah, dokumen-dokumen, serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam skripsi ini. Studi lapangan yang akan dilakukan dimaksudkan untuk melengkapi data yang telah diperoleh melalui studi literatur. Studi lapangan akan dilakukan dengan melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat Tionghoa di Kota Medan .

21

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta 2003, h. 36.


(32)

G. Sistematika Penulisan

Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk tahapan-tahapan atau bab-bab yang masalahnya diuraikan secara tersendiri, tetapi antar satu dengan lainnya mempunyai keterkaitan (komprehensif).

Berdasarkan sistematika yang baku, penulisan skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan gambaran isi.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK

Di dalam bab ini dijelaskan pengertian pengangkatan anak dan anak angkat, latar belakang pengangkatan anak, pengangkatan anak menurut peraturan perundang-undangan, dan akibat hukum pengangkatan anak.


(33)

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK

MENURUT HUKUM ADAT TIONGHOA

Di dalam bab ini dijelaskan tentang masyarakat Tionghoa di Kota Medan, dasar hukum, syarat-syarat serta akibat hukum Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat Tionghoa.

BAB IV : PELAKSANAAN PENGANGKATAN DAN KEDUDUKAN

ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT TIONGHOA

Di dalam bab ini dijelaskan tentang proses pengangkatan anak dalam hukum adat Tionghoa, kemudian tentang kedudukan anak angkat dalam hal harta warisan orangtua angkat serta tentang hambatan yang dihadapi oleh orangtua angkat dalam proses pengangktan anak tersebut.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini akan memberikan kesimpulan dari seluruh analisis dan pembahasan serta saran yang dapat diberikan oleh penulis.


(34)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian Anak Angkat dan Pengangkatan Anak

Dalam kamus umum bahasa Indonesia mengartikan anak angkat adalah

anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri.22

Menurut Hilman Hadikusuma, anak angkat adalah anak orang lain yang

dianggap anak sendiri oleh orangtua angkat dengan resmi menurut hukum adat

Menurut Ensiklopedia Umum, anak angkat adalah suatu cara untuk

mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak :

Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggunng jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

22

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta, Balai Pustaka, 1976,


(35)

setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangganya.23

Menurut Surojo Wignodipuro, anak angkat adalah suatu perbuatan

pengambilan anak orang lain kedalam keluarganya sendiri sedemikian rupa sehingga antara orangtua yang mengangkat anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orangtua dengan anak kandung sendiri.24

Menurut Muderis Zaini, anak angkat adalah penyatuan seseorang anak

yang diketahui bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluargannya. Ia diperlakukan sebagai anak segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, dan bukan diperlakukan sebagai anak nashabnya sendiri.25

Menurut M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata, anak angkat adalah

pengambilan anak orang lain dengan maksud supaya anak itu menjadi anak dari orangtua angkatnya. Ditambahkan bahwa adopsi ini dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga anak itu baik lahir maupun batin merupakan anaknya sendiri. 26

Beberapa definisi serta batasan dari beberapa sarjana yang telah disebut di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak angkat adalah upaya mengalihkan hak serta kewajiban anak yang bukan asli dari keturunannya untuk

23

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, Alumni, 1991, h.20.

24

Surojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat, Jakarta, Kinta, 1972, h.14.

25

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Bina Akasara, 1985, h.85.

26

M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum


(36)

dimasukkan kedalam satu keluarga, sehingga hak dan kewajiban si anak menjadi beralih kepada pihak yang mengangkatnya sebagai anak selayaknya anak kandung.

Dari segi etimologi yaitu asal usul kata pengangkatan anak berasal dari bahasa Belanda “Adoptie” atau adoption (bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan anak.

Dalam bahasa arab disebut “Tabanni” yang menurut prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”, sedang menurut kamus Munjid diartikan “menjadikannya sebagai anak”. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak

kandungnya sendiri.27

27

Mundaris Zain, Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), Sinar Grafika, Jakarta, 1985, h. 4.

Di dalam Ensiklopedia umum disebutkan pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orangtua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Biasanya pengangkatan anak diadakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orangtua yang tidak beranak/tidak mempunyai anak. Akibat dari pengangkatan yang demikian itu ialah bahwa anak yang diangkat kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan pengangatan anak calon orangtua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.


(37)

Mengenai definisi pengangkatan anak, terdapat beberapa sarjana yang telah memberikan pendapatnya, diantaranya adalah Surojo Wigjodiporo, menurut beliau pegangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang mengangkat anak dan anak yang dipungut/diangkat itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orangtua dan anak kandungnya

sendiri.28

Menurut Soerjono Soekanto pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah

didasarkan pada faktor hubungan darah.29

B. Tujuan Pengangkatan Anak

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan mengangkat anak untuk dijadikan sebagai anak kandung sendiri.

Dalam prakteknya pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa macam tujuan dan motivasi. Tujuannya adalah antara lain untuk meneruskan keturunan apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh

keturunan. 30

28

Surojo Wignjodipoero, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, 1973, h. 123.

29

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, 1980, h. 52.

30

UU. No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39 Ayat 1

Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak bisa mendapatkan keturunan/tidak mungkin melahirkan anak dengan


(38)

berbagai macam sebab, seperti mandul pada umumnya. Padahal mereka sangat mendambakan kehadiran seorang anak ditengah-tengah keluarga mereka.

Menurut Staatblad Tahun 1917 No.129, pengangkatan anak dilakukan dengan alasan apabila seorang laki-laki yang kawin atau telah pernah kawin, tidak mempunyai keturunan laki-laki yang sah menurut garis laki-laki, baik karena pertalian darah maupun karena pengangkatan. Menurut Staatblad ini, pengangkatan anak dilakukan karena dalam suatu perkawinan tidak mendapatkan keturunan/anak laki-laki.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.31

Praktek pengangkatan anak dengan motivasi komersial perdagangan, komersial untuk pancingan dan kemudian setelah pasangan tersebut memperoleh anak dari rahimnya sendiri atau anak kandung, si anak angkat yang hanya sebagai pancingan tersebut disia-siakan atau diterlantarkan, hal tersebut sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih maslahat.

Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orangtuanya.

31


(39)

Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Akan tetapi tidak selalu ketiga unsur tersebut dapat terpenuhi oleh berbagai macam sebab, sehingga kadang kala terdapat suatu keluarga yang tidak mempunyai anak, ibu ataupun tidak mempunyai seorang ayah, bahkan lebih dari itu. Dengan demikian dilihat dari eksistensi keluarga sebagai kelompok kehidupan masyarakat, menyebabkan tidak kurangnya mereka yang menginginkan anak, karena alasan emosional sehingga terjadilah perpindahan anak dari satu kelompok keluarga ke dalam kelompok keluarga yang lain. Kenyataan inilah yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Disamping untuk melanjutkan keturunan, kadang kala pengangkatan anak juga berujuan untuk mempertahankan ikatan perkawinan dan menghindari perceraian. Sepasang suami istri yang telah memiliki anak tidak akan mudah memutuskan untuk bercerai. Karena kepentingan akan keutuhan perkawinan tersebut tidak hanya untuk kedua belah pihak saja, namun termasuk pula kepentingan untuk anak-anak yang terikat dalam perkawinan tersebut.

Sejalan dengan perkembangan dalam masyarakat pada masa sekarang menunjukkan bahwa tujuan lembaga pengangkatan anak tidak lagi semata-mata atas motivasi meneruskan keturunan ataupun mempertahankan perkawinan saja tetapi lebih beragam dari itu. Ada berbagai motivasi yang mendorong orang


(40)

mengangkat anak bahkan tidak jarang pula karena faktor sosial, ekonomi, budaya

maupun politik. 32

Berdasarkan sumber-sumber yang ada, dalam hal ini terdapat beberapa alternatif yang digunakan sebagai dasar dilaksanakannya suatu pengangkatan

anak. Dilihat dari sisi adoptant, karena adanya alasan: 33

a) Keinginan untuk mempunyai anak atau keturunan.

b) Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau anaknya.

c) Keinginan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain

yang membutuhkan.

d) Adanya ketentuan hukum yang memberikan peluang untuk melakukan suatu

pengangkatan anak.

e) Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk

kepentingan pihak tertentu.

Dilihat dari sisi orangtua anak, karena adanya alasan :34

a) Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri.

b) Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orangtua karena ada pihak

yang ingin mengangkat anaknya.

c) Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak.

32

M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Aka Press, Jakarta,1991, h.1-2.

33

Irma Setyawati Soemitro, SH., Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, h. 40.

34

Irma Setyawati Soemitro, SH., Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, h. 40.


(41)

d) Saran-saran dan nasihat dari pihak keluarga atau orang lain.

e) Keinginan agar anaknya hidup lebih baik dari orangtuanya.

f) Ingin anaknya terjamin materil selanjutnya.

g) Masih mempunyai anak-anak beberapa lagi.

h) Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anak sendiri.

i) Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat dari

hubungan yang tidak sah.

j) Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak

sempurna fisiknya.

Tujuan pengangkatan anak di Indonesia jika ditinjau dari segi hukum adat berdasarkan penjelasan dan sumber literatur yang ada, terbagi atas beberapa macam alasan dilakukan pengangkatan anak, yaitu:

a) Karena tidak mempunyai anak.

b) Karena belas kasihan terhadap anak tersebut disebabkan orangtua si anak tidak mampu memberi nafkah kepadanya.

c) Karena belas kasihan, disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orangtua (yatim piatu).

d) Sebagai pemancing bagi anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuan atau sebaliknya.

e) Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk bisa mempunyai anak kandung.

f) Dengan maksud agar si anak yang diangkat mendapat pendidikan yang baik, motivasi ini juga erat hubungannya dengan misi kemanusiaan.


(42)

g) Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan pewaris (regenerasi) bagi yang tidak mempunyai anak.

h) Diharapkan anak angkat dapat menolong dihari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak.

i) Ada juga rasa belas kasihan terhadap nasib si anak seperti tidak terurus.

j) Karena si anak sering penyakitan atau selalu meningggal, maka untuk menyelamatkan si anak diberikanlah anak tersebut kepada keluarga atau orang lain yang belum atau tidak mempunyai anak dengan harapan agar si anak yang bersangkutan akan selalu sehat dan panjang umur.

Dengan demikian pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan yang bernilai positif dalam masyarakat hukum adat kita dengan berbagai motivasi yang ada, sesuai dengan keanekaragaman masyarakat dan bentuk kekeluargaan di

Indonesia.35

C. Pengangkatan Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan

Di Indonesia pemerintah menghendaki adanya kesejahteraan terhadap anak, untuk itu pemerintah mengeluarkan produk yang memberikan perlindungan terhadap anak yaitu dengan disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang mengatur tentang berbagai upaya dalam rangka untuk memberikan perlindungan, pemenuhan hak-hak dan meningkatkan kesejahteraan anak.

Kemudian dapat di lihat pengertian pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.54 tahun 2007 tentang pelaksanaan

35


(43)

pengangkatan anak yaitu suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seseorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertangguang jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orangtua angkat.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979 jo. No 6 Tahun 1983 tentang pengangkatan anak menerangkan bahwa pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian juga bagi mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan.

SEMA No.6 tahun 1983, tidak melarang pengangkatan anak terhadap perempuan, karena pengangkatan anak (perempuan) telah menjadi kebutuhan bagi semua masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Tionghoa. Hal tersebut tercermin dalam SEMA No.2 tahun 1979, Romawi I (satu) butir ke tiga dengan Romawi II butir ke tiga SEMA No. 6 tahun 1983, yang berbunyi “Semula

digolongkan penduduk Tionghoa (Staatblad 1971 No.129) hanya dikenal adopsi terhadap anak laki-laki, tetapi setelah yurisprudensi tetap menyatakan sah pula pengangkatan anak perempuan”.

Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Bugerlijk Weetboek (BW) yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah adopsi atau pengangkatan anak diluar kawin yaitu yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 KUH Perdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan


(44)

tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak

mengenal adopsi.36

Menurut Ali Affandi dalam bukunya Hukum Keluarga, menurut KUHPerdata, adopsi tidak mungkin diatur karena KUHPerdata memandang suatu perkawinan sebagai bentuk hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan.

Tidak diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum (masyarakat) Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi.

37

Namun sehubungan dengan berkembangnya kebutuhan adopsi dikalangan masyarakat Tionghoa dewasa ini, berlakunya Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya mengatur pengangkatan anak laki-laki telah mulai ditinggalkan karena

Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum keluarga sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sebelum berlakunya KUHPerdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak atau keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marga keluarga dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan Staatblaad No.129 yang didalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 memberi pengaturan tentang adopsi bagi masyarakat golongan Tionghoa di Indonesia.

36

Soeroso, OpCit, h. 178.

37

Affandi Ali, Hukum Keluara menurut KUH Perdata, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, (tanpa tahun), h. 57.


(45)

kebutuhan adopsi tidak hanya terbatas pada anak laki-laki saja tetapi juga terhadap anak perempuan.

Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963/Pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 588/1963 tertanggal 17 Oktober 1963. Bahkan pada tahun yang sama pada kasus lain mengenai perkara pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu putusannya antara lain menetapkan bahwa Pasal 5, 6 dan 15 ordonansi Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya memperbolehkan pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi,

karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.38

D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak

Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orangtua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal daripada bapa atau ibu angkatnya atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam

38

J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h.202.


(46)

perkawinan. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak

sepenuhnya atas warisan.39

Wirjono Prodjodikoro berpendapat pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu memandang dalam

lahir dan batin anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.40

d. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orangtua kandung, melainkan dari orangtua angkat.

Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum didalam pengangkatan antara anak dengan orangtua sebagai berikut:

a. Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.

b. Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.

c. Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orangtua kandung dan beralih kepada orangtua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orangtua kandung beralih kepada orangtua angkat.

41

Staatblad 1917 No. 219 menentukan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah sebagai berikut :

39

B. Ter Haar, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjmahan oleh K. ng. Soebakti Poesponot, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, h. 247.

40

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1976, h. 29.

41

M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari segi Hukum, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, h. 21.


(47)

a) Pasal 11 : “anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi”.

b) Pasal 12 ayat 1 : “anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari

orang yang mengadopsi. Konsekwensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi”.

Konsekwensinya anak angkat menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi. Konsekwensi lebih lanjut adalah karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi, maka dalam keluarga orangtua yang mengangkat, anak yang diangkat berkedudukan sebagai anak sah dengan segala

konsekwensi lebih lanjut.42

1. Apabila adopsi dilakukan sebelum keluarnya UU No. 1 tahun 1974, maka

akibat hukumnya tunduk kepada KUHPerdata yang meliputi:

Bila anak adopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan orangtua angkat dan anak yang diangkat berkedudukan sebagai anak sah maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut :

a. Kekuasaan orangtua terhadap pribadi anak, yaitu orangtua wajib

memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa (Pasal 298 ayat 2 KUHPerdata). Sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewasa, tetap dibawah kekuasaan orangtua sepanjang kekuasaan orangtua itu belum dicabut (Pasal 299 KUHPerdata)

42

J. Satrio, Hukum keluarga Tentang kedudukan Anak Dalam Undang-undang, Citra Aditya, Bandung, 2000, h. 236.


(48)

b. Kekuasaan orangtua terhadap harta kekayaan anak, yaitu terhadap anak yang belum dewasa, maka orangtua harus mengurus harta kekayaan anak itu (Pasal 307 KUHPerdata)

c. Hak dan kewajiban anak terhadap orangtua, yaitu tiap-tiap anak, dalam

umur berapapun wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya serta berhak atas pemeliharaan dan pendidikan.

2. Apabila adopsi dilakukan setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, maka

akibat hukumnya tunduk kepada UU No. 1 Tahun 1974 yang meliputi:

a. Hak dan kewajiban orangtua terhadap anak, yaitu :

Didalam Pasal 45 dinyatakan bahwa :

a) Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak

mereka sebaik-baiknya.

b) kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini

berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdidri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.

Didalam Pasal 47 dinyatakan bahwa :

“Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas atau saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :


(49)

2. Ia berkelakuan buruk sekali.

b. Kewajiban orangtua terhadap harta benda anak, yaitu:

Pasal 48 UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa : “orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya”.

c. Hak dan kewajiban anak terhadap orangtua, yaitu selain berhak atas

pemeliharaan dan pendidikan juga mempunyai kewajiban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu:

1. Anak wajib menghormati orangtua dan mentaati kehendak mereka

yang baik.

2. Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya

orangtua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya.

Akibat hukum Pengangkatan anak yaitu timbul hubungan keperdataan meliputi nafkah, pemelihraan anak dan waris antara anak yang iangkat dengan orangtua angkat.


(50)

BAB III

PELAKSANAAN PENGANGKATAN DAN KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT TIONGHOA

A. Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

a. Sejarah Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

Di Sumatera Utara khusunya di kota Medan, orang-orang China lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan penyebutan orang China, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda.

Umumnya orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara sebagai pedagang. Mereka dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik sesamanya, sehingga ada kalanya pribumi “iri hati” terhadap keberhasilan mereka di bidang ekonomi ini. Adapun pola tempat tinggal orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara, khususnya sebagai pedagang adalah menempati rumah-rumah dan sekaligus menjadi toko atau tempat berniaga. Bagi masyarakat pribumi orang-orang Tionghoa ini dianggap memiliki sifat tertutup (eksklusif) dan kurang mau bersosialisasi. Namun sebenarnya masyarakat Tionghoa ini ingin pula dipandang


(51)

sebagai bagian yang integral dari warga negara Indonesia pada umumnya, dan jangan dibatasi akses sosial mereka.

Sebuah artikel dengan judul “Cina Medan: Tinjauan Sosio Historis” yang ditulis oleh Z. Pangaduan Lubis di harian Mimbar Umum, Medan, berisikan pernyataan bahwa dalam cerita lama, pada abad ketujuh disebutkan bahwa Raja Sanjaya pernah menaklukkan Negeri Poloan yang terletak di Berawan. Ia menyebutkan pula bahwa dalam catatan sejarah yang ditulis oleh Cu Pan Ci, terdapat nama negeri Poloan yang terletak di Berawan itu. Lebih jauh lagi Dada Meuraxa mengemukakan bahwa kemungkinan negeri Poloan itulah yang kemudian hari dikenal sebagai Kota China yang terletak di Paya Pasir dekat Hamparan Perak itu. Diperkirakan Kota China itu masih berdiri sampai abad ketujuh. Kemudian pada abad itu pula ditaklukan oleh Raja Sanjaja. Perkiraan yang demikian ini didukung oleh kenyataan bahwa pada mata uang kuno yang ditemukan di bekas Kota China itu tertera tarikh 800 Masehi.

Pergantian dinasti yang terjadi di China menyebabkan adanya pula perubahan sikap para pemegang kekuasaan negeri itu terhadap daerah lain seperti pada masa kekuasaan Dinasi Ming (1368-1644) yang berkuasa di Negeri China, yang tidak bermaksud memperluas teritorialnya dengan menaklukkan daerah lain seperti Kubilai Khan sebelumnya. Akan tetapi ia mengembangkan usaha perdagangan negerinya dengan daerah lain. Sehingga pada masa kekuasaannya arus perdagangan antara Negeri China dengan daerah lain sangat lancar. Sejak itu hampir semua pelabuhan yang terdapat di kepulauan Indonesia dan kawasan-kawasan Asia Tenggara tidak luput disinggahi oleh kapal-kapal dagang China.


(52)

Lancarnya arus perdagangan ini adalah karena perlindungan keamanan dari raja-raja China terhadap pedagang-pedagangnya dari ancaman-ancaman bajak laut maupun di pelabuhan-pelabuhan yang mereka singgahi dengan mengikutsertakan beberapa regu tentara di kapal-kapal dagang tersebut. Di samping itu, akibat terjadinya pergantian dinasti yang memegang kekuasaan di Negeri China dan buruh China dari Singapura, dan antara tahun 1888-1931 terhitung lebih kurang 305.000 orang tenaga buruh China yang didatangkan dari Singapura dan Pulau Jawa. Orang-orang Tionghoa ini akhirnya melepaskan diri dari kerja di perkebunan dan sebagian besar di antaranya menjadi pedagang di pedesaan-pedesaan sekitar perkebunan tersebut, atau mencari pekerjaan lain ke Sumatera Utara, dan banyak pula di antara mereka bekerja sebagai tukang maupun nelayan (Tengku Luckman Sinar 1991:200).

Sumatera Utara sendiri pada waktu itu telah banyak ditempati orang-orang China, dengan memiliki pemuka-pemuka golongan yang diakui pemerintah Hindia Belanda sendiri. Seperti pada tahun 1880, sewaktu Tjong A Fie menyusul kakaknya ke Medan, didapati kakaknya telah menjadi pemuka golongan China, dengan pangkat luitenant, yakni pangkat yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tjong A Fie sendiri pun akhirnya juga menjadi pemuka masyarakat China di Medan dengan pangkat majoor, dan meninggal pada tahun 1921. Tjong A Fie adalah seorang China perantaun yang memiliki harta yang banyak di Medan, Jakarta, serta Singapura (Tengku Luckman Sinar 1991:2003). Tjong A Fie juga senang terhadap kesenian seperti seni Melayu Deli. Dia juga membangun mesjid di daerah Petisah.


(53)

b. Sistem Kekerabatan Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam masyarakat adat di Indonesia dikenal 3 (tiga) macam sistem kekerabatan, yaitu:

a. Sistem Kekerabatan Patrilineal

Sistem kekerabatan patrilineal berarti pertalian kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak. Sebagai konsekuensinya anak laki-laki lebih utama daripada anak wanita, sehingga apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak laki akan melakukan pengangkatan anak laki-laki. Pada sistem kekerabatan patrilineal ini, pada umumnya berlaku adat perkawinan dengan pembayaran jujur. Seorang perempuan setelah perkawinannya, di lepaskan dari hubungan kekeluargaan kerabat aslinya dan masuk menjadi anggota kerabat suaminya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan itu juga masuk dalam lingkungan kekeluargaan ayahnya. Sistem ini digunakan di daerah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Bengkulu, Seram, Nusa Tenggara, Bali dan Irian.

Bali yang sistem kekeluargaannya bersifat patrilineal hanya anak laki-laki mewarisi harta warisan. Demikian pula isteri tidak termasuk ahli waris hanya saja ia harus terjamin belanja hidupnya. Adapun di Batak, di Lampung dan di Gayo (Aceh Tengah) anak perempuan yang sudah kawin secara jujur, karena ia tidak terlepas dari keluarga asalnya tidak lagi mendapat warisan dari orang tuanya. Namun di daerah Gayo dikenal


(54)

adanya kawin angkap, anak perempuan itu tetap dalam lingkungan keluarga orang tuanya dan suaminya harus ikut isteri. Dalam hal ini anak perempuan itu tetap menjadi ahli waris tuanya bersama-sama ahli waris lain.

b. Sistem Kekerabatan Matrilineal

Sistem kekerabatan matrilineal adalah merupakan kebalikan dari sistem kekerabatan patrilineal. Sistem kekerabatan matrilineal adalah sistem kekerabatan yang didasari oleh garis keturunan ibu. Sebagai konsekuensinya dari sistem kekerabatan ini adalah mengutamakan anak-anak perempuan daripada anak-anak-anak-anak laki-laki. Dalam sistem kekerabatan

matrilineal ini pada umumnya berlaku adat perkawinan semenda, yang

setelah perkawinan si suami mengikuti isteri. Namun suami tetap menjadi anggota kerabat ibunya. Sistem ini dipakai pada daerah Minangkabau, Enggano dan Timor Timur.

Minangkabau yang sifat kekeluargaannya keibuan, bila seorang ayah meninggal dunia maka anak-anaknya tidak mendapat warisan karena antara ayah dan anak-anaknya tidak ada hubungan kekeluargaan, yang menjadi ahli warisnya adalah anak-anak dari saudara perempuan ayah

yang meninggal.43

c. Sistem Kekerabatan Parental.

Oleh karena itu sering terjadi apabila seorang ayah ingin melimpahkan harta kepada anak-anaknya, dilakukan dengan melalui lembaga hibah atau dengan cara wasiat.

43

Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang


(55)

Sistem kekerabatan parental adalah sistem kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak dan ibu. Dalam sistem kekerabatan ini, antara anak

laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan dalam pewarisan.44

Perkawinan yang terjadi dalam sistem parental ini, pada umumnya berlaku

adat perkawinan mentas, yang setelah perkawinan suami isteri hidup bersama

secara mandiri. Suami istri bebas memilih akan menetap di tempat suami atau di tempat isteri atau membangun kehidupan baru lepas dari pengaruh kerabat isteri maupun suami, bahwa mengenai kedudukan isteri atau suami dalam masyarakat yang bersifat kekeluargaan parental, pada hakekatnya tidak ada perbedaan dalam keluarga masing-masing. Malahan dengan terjadinya perkawinan baik isteri maupun suami keluarganya bertambah, sebab selain tetap dalam keluarga semula juga dianggap masuk menjadi keluarga pihak suami atau pihak isteri.

Sistem ini dipergunakan di daerah Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain.

45

Berkaitan dengan sistem kekerabatan tersebut di atas, maka peranan anak sebagai penerus keturunan mempunyai arti yang sangat penting. Misalnya pada masyarakat Minangkabau, peranan anak wanita lebih penting dari pada anak laki-laki yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Demikian pula sebaliknya pada masyarakat Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, maka anak laki-laki memegang peranan yang penting dibandingkan anak wanita. Atas dasar inilah apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak kandung, maka upaya

44

Hilman Hadikusuma,Op.Cit, hal. 24

45


(56)

yang dilakukan untuk mempertahankan dan melanjutkan garis keturunan dari masing-masing sistem kekerabatan itu adalah dengan pengangkatan anak.

Sistem kekerabatan ini juga mempengaruhi sistem hukum perkawinannya, seperti masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal perkawinannya bersistem perkawinan semenda dimana pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman isteri. Sebaliknya jika sistem kekerabatan patrilineal, hukum perkawinannya bersistem perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami. Demikian pula suatu masyarakat yang menganut kekerabatan parental, maka sistem hukum perkawinannya bebas dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami isteri

bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka.46

B. Jenis-Jenis Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Tionghoa

Dulu masyarakat Tionghoa menganut sistem kekerabatan patrilineal. Tetapi sekarang ini, masyarakat Tionghoa terutama Tionghoa peranakan khususnya di Kota Medan, menganut sistem kekerabatan parental.

Dalam tradisi Tionghoa ada 3 jenis pengangkatan anak :

1. Anak tersebut anak yatim piatu tidak diketahui nama marganya, nama

orangtuanya. Biasanya jenis seperti ini kita berhak memberi nama anak tersebut dan memberi nama marganya dia sebagai anggota keluarga kita.

46


(57)

2. Anak tersebut anak yatim piatu ada nama marganya, jenis ini tidak perlu diberi nama marganya tinggal kasih namanya, dia masih bisa tinggal dalam lingkungan keluarga kita.

3. Anak yang di kwepang atau anak asuh. Kategori anak asuh adalah anak yang

punya orangtua dan punya nama marganya dan nama sendiri, biasanya anak yang di kwepang masih tinggal bersama orangtua aslinya, dan memanggil keluarga kita sebagai anggota keluarga dalam. Contoh si A di kwepang sama keluarga B. Si A tetap memanggil papa dan mama kandungnya sendiri biasanya AI atau Ithio (bibi atau paman). Sementara di dalam keluarga si B ia

memanggil Papa dan Mama dalam artian memiliki dua orangtua. 47

Tradisi Tionghoa, anak yang kurang sehat (kwepang) adalah “anak yang kondisi badannya kurang sehat atau tidak cocok dengan orangtuanya menurut perhitungannya, biasanya menitip anak asuh tujuannya adalah agar si anak bisa tumbuh dengan sehat dan masih menghormati kedua orangtuanya sendiri dan

orangtua asuhnya”.48

Biasanya dalam tradisi Tionghoa ada jenis kwepang kepada para dewata terutama Dewi laut atau Ma Cho Po, tujuannya adalah agar si anak dilindungi

47

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011

48

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011


(58)

oleh Ma Cho Po dalam perjalanan hidupnya tidak mengalami gangguan dari segi

kesehatan, makhluk halus dan sebagainya sampai ia dewasa.49

1. Demi pendidikan dan nama depan anak, juga demi kesehatan si anak

Ada 2 (dua) alasan utama urusan angkat anak di budaya Tionghoa yaitu sebagai berikut :

2. Karena alasan adanya unsur si anak dengan orangtuanya yang menurut

perhitungan tidak terdapat kecocokan atau saling terjadi perselisihan.50

Kondisi pertama itu biasanya anak dari keluarga yang miskin, mencari ayah angkat dari keluarga yang berkecukupan. Atau juga berpengharapan biar anaknya pintar, dicari ayah angkatnya yang berpendidikan tinggi. Orangtua yang takut kehilangan anaknya karena menurut perhitungannya pendek umur maka dicari orang lain yang dianggap berbadan sehat dan panjang umur.

Menurut Halim Loe, upacara pengangkatan itu taroh 1 meja, disebutnya

ganpanzi, di atasnya ada teko arak, cagkir, hiolo, lilin. Anak yang mau diangkat

anak dibimbing kepada orangtua angkatnya dan kasih anak, makanan terus bilang “ayah angkat silahkan minum dan makan”. Orang yang mengangkat anak terus kasih nama kepada anak angkat itu. Orangtua anak angkat itu memberi celana, ikat pinggang kepada orangtua angkat anaknya. Orangtua angkat itu kasih baju untuk anak angkatnya, dibajunya ditaruh 1 (satu) jarum yang artinya secara tulus hati mengangkat itu anak, dan terkadang dikasih bawang yang bunyinya chong

49

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011

50

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011


(59)

yang senada dengan chongming yang artinya pintar. Berharap anak angkatnya

menjadi pintar.51

Menurut Ong Boon Kok, pengangkatan anak dilakukan setelah kedua pihak menyetujui adanya pengangkatan anak, kemudian terpenuhi syarat-syarat pengangkatan anak, lalu anak yang akan diangkat serta orangtua angkat akan pergi ke klenteng untuk disumpah. Namanya sumpah “angkat anak”. Bila anak yang diangkat ternyata agamanya berbeda dengan orangtua angkat, maka anak tersebut harus masuk agama orangtua angkatnya terlebih dahulu. Kemudian kepada anak yang akan diangkat dikasih gelang warna-warni yang tebuat dari kain oleh seorang Bhik-Hu yang menyaksikan dan sekaligus sebagai saksi pengangkatan anak tersebut sebagai tanda anak telah sah diangkat oleh orangtua

angkat.52

Ritual pengangkatan anak dalam budaya Tionghoa tergantung dari agamanya masing-masing. Mayoritas keturunan Tionghoa tergantung Tionghoa menganut agama Budha & Kong Fu Cu tapi ada juga yang beragama Islam,

Khatolik, Hindu, dan Protestan.53

Setelah proses pengangkatan anak melalui upacara adat, biasanya masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan anak akan membuat akta

51

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011

52

Wawancara dengan Ong Boon Kok, Tokoh Masyarakat Adat Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 17 Februari 2012

53

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011


(60)

pengangkatan anak dihadapan notaris untuk digunakan sebagai alat bukti bahwa

telah terjadi pengangkatan anak.54

Menurut Ong Boon Kok, Setelah melalui proses pengangkatan anak dengan upacara adat di klenteng, biasanya kalau anak itu berasal dari bukan keluarga orangtua angkat atau lingkungan luar, maka langkah selanjutnya dibuatlah acara syukuran dikalangan keluarga yang menandakan bahwa anak tersebut telah diangkat oleh orangtua yang bersangkutan. Tapi kalau anak berasal dari keluarga dekat orangtua angkat, maka tidak diadakan acara syukuran, malahan dilakukan secara diam-diam. Kemudian ada juga sebagian masyarakat yang melakukan pengangkatan anak dihadapan notaris. Sebagai alat bukti yang

sah bahwa pengangkatan anak telah dilakukan.55

C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Tionghoa

Dalam masyarakat Tionghoa, untuk melaksanakan pengangkatan anak

maka syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:56

a. Adanya suami istri

Syarat ini merupakan syarat utama dalam hal pengangkatan anak, sebab yang benar-benar menghendaki seorang anak suatu keluarga (suami isteri) yang

54

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011

55

Wawancara dengan Ong Boon Kok, Tokoh Masyarakat Adat Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 17 Februari 2012

56

Wawancara dengan Ong Boon Kok, Tokoh Masyarakat Adat Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 17 Februari 2012


(1)

Inilah yang merupakan kendala yang dialami oleh sebagian masyarakat Tionghoa yang ingin mengangkat anak. Apabila sudah terkendala dengan masalah Thong-Su dimana tidak terjadi kesesuain antara calon anak angkat dengan calon orang tua angkat maka mereka harus bersusah payah mencari anak yang sesuai dengan Thong-Su Tionghoa.

Menurut Ong Boon Kok, hambatan yang dihadapi oleh orang tua angkat dalam proses pengangkatan anak yaitu bila anak yang akan diangkat bebeda suku dan agamanya dengan orangtua angkat. Maka anak tersebut harus disumpah dan mengikuti agama orangtua angkat, hal ini memerlukan waktu yang lama dan dapat mengahambat proses pengangkatan anak. Kemudian mengenai tanggal-tanggal perhitungan baik buruknya seseorang untuk diangkat sebagai anak juga merupakan hambatan dalam pelaksanaan pengangkatan ini. Butuh kesabaran dari kedua belah pihak untuk melakukan pengangktan anak, agar pengangkatan anak dapat berjalan dengan sakral dan sah tanpa menyalahi aturan-atruan dalam adat Tionghoa.70

70

Wawancara dengan Ong Boon Kok, Tokoh Masyarakat Adat Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 17 Februari 2012


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pelaksanaan pengangkatan anak dalam hukum adat Tionghoa tergantung dari agamanya masing-masing. Mayoritas keturunan Tionghoa menganut agama Budha & Kong Fu Cu tapi ada juga yang beragam Islam, Khatolik, Hindu dan Protestan. Setelah proses pengangkatan anak melalui upacara adat, biasanya masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan anak akan membuat akta pengangkatan anak dihadapan notaris untuk digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi pengangkatan anak.

2. Anak angkat baik laki-laki maupun perempuan dalam keluarga angkatnya mempunyai hak pemeliharaan yang sama dan mewaris bersama-sama dengan ahli waris dari orangtua angkat seperti layaknya anak kandung, namun bagiannya tidak ada ketentuan yang pasti. Hak mewaris dan bagiannya ditentukan oleh orangtua atau keluarga angkatnya secara musyawarah dan mufakat.

3. Hambatan yang dihadapi oleh sebagian orang tua angkat pada masyarakat Tionghoa dalam hal pengangkatan anak adalah sulitnya menyesuaikan antara tanggal lahir si anak yang akan diangkat dengan tanggal lahir orang tua angkatnya berdasarkan ketentuan dalam Thong-Su Tionghoa.


(3)

B. Saran

1. Untuk pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukun adat Tionghoa, alangkah baiknya jika pengangkatan yang dilakukan tidak hanya terhenti pada pengangkatan anak menurut adat/kebiasaan masyarakat Tionghoa, tapi dilanjutkan dengan perbuatan hukum sebagaimana telah diatur dalam SEMA No. 6 Tahun 1983 yaitu dengan proses penetapan/pengesahan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri dan melakukan pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Hal ini penting demi memperoleh keabsahan dan kepastian hukum yang lebih kuat, sehingga hak dan kewajiban seorang anak dapat perlindungan dalam hukum.

2. Perlu adanya sosialisasi tentang pentingnya penetapan/pengesahan terhadap pengangkatan anak dan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil khususnya untuk masyarakat Tionghoa, dengan tanpa meninggalkan adat istiadat yang sudah menjadi kepercayaan/kebiasaan masyarakat etnis Tionghoa sejak dahulu.

3. Hendaknya masyarakat Tionghoa yang masih mempercayai Thong-Su Tionghoa untuk kedepannya dapat lebih bersifat fleksibel dalam mengikuti aturan Thong-Su Tionghoa tersebut sesuai dengan realita yang ada sekarang. Sehingga proses pengangkatan anak dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan yang diharapkan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi Ali, Hukum Keluarga menurut KUH Perdata, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, (tanpa tahun).

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2003.

B. Ter Haar, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjmahan oleh Soebakti Poesponot, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.

Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.

C.Van Vollenhoven, Het Adatrecht Van Nederlandsch Indie, jilid 1 E,J Brill, 1904-1933.

Djaja S.Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito Bandung, 1992.

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, Alumni, 1991.

Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta

ING Sugangga, Hukum Waris Adat, Universitas Diponegoro, Semarang, Februari,1995.

Irma Setyawati Soemitro, SH., Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang


(5)

Jaren Saragih, Pengantarhukum adat, Edisi II, Taristo, Bandung, 1984.

J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Jakarta, Bina Akasara, 1985.

M. Djojodiguno dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek

Hukum Perlindungan Anak, Semarang, Bumi Aksara, 1990.

M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Aka Press, Jakarta, 1991.

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1976.

Setyowati Soemitro, Irma, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi aksara, Jakarta, 1999.

Soekanto, Meninjau Hukum Adat IndonesiaSuatu Pengantar Untuk Mempelajari

Hukum Adat, disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, CV.Rajawali,

Jakarta,1985.

Soerjono Soekantao dan Soleman B Toneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982.

Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1999.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1998,

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni, Bnadung, 1993.


(6)

Surojo Wignjodipoero, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, 1973.

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Alumni Bandung, 1980.

Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, Puionir jaya, Bandung, 1972.

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta, Balai Pustaka,


Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

3 93 133

Refleksi Hukum Harta Perkawinan Dalam Hukum Adat Melayu (Studi di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang)

0 56 8

Refleksi Hukum Harta Perkawinan Dalam Hukum Adat Melayu

0 36 3

AZAZ PERLINDUNGAN DALAM PENGANGKATAN ANAK (Studi Komparatif Antara Hukum Adat, Hukum Perdata dan Hukum Islam

0 3 20

PROSES PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DAN AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGANGKATAN ANAK Proses Pelaksanaan Pengangkatan Anak Dan Akibat Hukum Terhadap Pengangkatan Anak (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta).

0 2 16

PELAKSANAAN ADOPSI ( PENGANGKATAN ANAK ) BAGI WNI KETURUNAN TIONGHOA DAN AKIBAT-AKIBAT HUKUMNYA DI KOTA SEMARANG - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 1

BAB II PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA SUKU HAINAN DI KOTA MEDAN A. Dasar Hukum Pengangkatan Anak - Kedudukan Anak Angkat Perempuan Terhadap Harta Warisan Di Kalangan Etnis Tionghoa Suku Hainan Di Kota Medan

0 0 49

BAB II PENGATURAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK PADA WARGA TIONGHOA DI KOTA MEDAN A. Kedudukan Hukum Anak Dalam Hukum Keluarga - Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

0 0 35

ANALISIS HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM WARIS MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN TESIS

0 1 16

STUDI KOMPARATIF PENGANGKATAN ANAK DI TINJAU DARI HUKUM ADAT BALI DAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK - Repository UNRAM

0 0 20