BAB III PELAKSANAAN PENGANGKATAN DAN KEDUDUKAN ANAK
ANGKAT DALAM HUKUM ADAT TIONGHOA
A. Masyarakat Tionghoa di Kota Medan a. Sejarah Masyarakat Tionghoa di Kota Medan
Di Sumatera Utara khusunya di kota Medan, orang-orang China lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural
dibandingkan dengan penyebutan orang China, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama
dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan
diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda. Umumnya orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara sebagai pedagang.
Mereka dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik sesamanya, sehingga ada kalanya pribumi “iri hati” terhadap keberhasilan mereka di bidang
ekonomi ini. Adapun pola tempat tinggal orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara, khususnya sebagai pedagang adalah menempati rumah-rumah dan
sekaligus menjadi toko atau tempat berniaga. Bagi masyarakat pribumi orang- orang Tionghoa ini dianggap memiliki sifat tertutup eksklusif dan kurang mau
bersosialisasi. Namun sebenarnya masyarakat Tionghoa ini ingin pula dipandang
Universitas Sumatera Utara
sebagai bagian yang integral dari warga negara Indonesia pada umumnya, dan jangan dibatasi akses sosial mereka.
Sebuah artikel dengan judul “Cina Medan: Tinjauan Sosio Historis” yang ditulis oleh Z. Pangaduan Lubis di harian Mimbar Umum, Medan, berisikan
pernyataan bahwa dalam cerita lama, pada abad ketujuh disebutkan bahwa Raja Sanjaya pernah menaklukkan Negeri Poloan yang terletak di Berawan. Ia
menyebutkan pula bahwa dalam catatan sejarah yang ditulis oleh Cu Pan Ci, terdapat nama negeri Poloan yang terletak di Berawan itu. Lebih jauh lagi Dada
Meuraxa mengemukakan bahwa kemungkinan negeri Poloan itulah yang kemudian hari dikenal sebagai Kota China yang terletak di Paya Pasir dekat
Hamparan Perak itu. Diperkirakan Kota China itu masih berdiri sampai abad ketujuh. Kemudian pada abad itu pula ditaklukan oleh Raja Sanjaja. Perkiraan
yang demikian ini didukung oleh kenyataan bahwa pada mata uang kuno yang ditemukan di bekas Kota China itu tertera tarikh 800 Masehi.
Pergantian dinasti yang terjadi di China menyebabkan adanya pula perubahan sikap para pemegang kekuasaan negeri itu terhadap daerah lain seperti
pada masa kekuasaan Dinasi Ming 1368-1644 yang berkuasa di Negeri China, yang tidak bermaksud memperluas teritorialnya dengan menaklukkan daerah lain
seperti Kubilai Khan sebelumnya. Akan tetapi ia mengembangkan usaha perdagangan negerinya dengan daerah lain. Sehingga pada masa kekuasaannya
arus perdagangan antara Negeri China dengan daerah lain sangat lancar. Sejak itu hampir semua pelabuhan yang terdapat di kepulauan Indonesia dan kawasan-
kawasan Asia Tenggara tidak luput disinggahi oleh kapal-kapal dagang China.
Universitas Sumatera Utara
Lancarnya arus perdagangan ini adalah karena perlindungan keamanan dari raja- raja China terhadap pedagang-pedagangnya dari ancaman-ancaman bajak laut
maupun di pelabuhan-pelabuhan yang mereka singgahi dengan mengikutsertakan beberapa regu tentara di kapal-kapal dagang tersebut. Di samping itu, akibat
terjadinya pergantian dinasti yang memegang kekuasaan di Negeri China dan buruh China dari Singapura, dan antara tahun 1888-1931 terhitung lebih kurang
305.000 orang tenaga buruh China yang didatangkan dari Singapura dan Pulau Jawa. Orang-orang Tionghoa ini akhirnya melepaskan diri dari kerja di
perkebunan dan sebagian besar di antaranya menjadi pedagang di pedesaan- pedesaan sekitar perkebunan tersebut, atau mencari pekerjaan lain ke Sumatera
Utara, dan banyak pula di antara mereka bekerja sebagai tukang maupun nelayan Tengku Luckman Sinar 1991:200.
Sumatera Utara sendiri pada waktu itu telah banyak ditempati orang-orang China, dengan memiliki pemuka-pemuka golongan yang diakui pemerintah
Hindia Belanda sendiri. Seperti pada tahun 1880, sewaktu Tjong A Fie menyusul kakaknya ke Medan, didapati kakaknya telah menjadi pemuka golongan China,
dengan pangkat luitenant, yakni pangkat yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tjong A Fie sendiri pun akhirnya juga menjadi pemuka masyarakat
China di Medan dengan pangkat majoor, dan meninggal pada tahun 1921. Tjong A Fie adalah seorang China perantaun yang memiliki harta yang banyak di
Medan, Jakarta, serta Singapura Tengku Luckman Sinar 1991:2003. Tjong A Fie juga senang terhadap kesenian seperti seni Melayu Deli. Dia juga membangun
mesjid di daerah Petisah.
Universitas Sumatera Utara
b. Sistem Kekerabatan Masyarakat Tionghoa di Kota Medan
Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam masyarakat adat di Indonesia dikenal 3 tiga macam sistem kekerabatan, yaitu:
a. Sistem Kekerabatan Patrilineal
Sistem kekerabatan patrilineal berarti pertalian kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak. Sebagai konsekuensinya anak laki-
laki lebih utama daripada anak wanita, sehingga apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki akan melakukan pengangkatan anak laki-
laki. Pada sistem kekerabatan patrilineal ini, pada umumnya berlaku adat perkawinan dengan pembayaran jujur. Seorang perempuan setelah
perkawinannya, di lepaskan dari hubungan kekeluargaan kerabat aslinya dan masuk menjadi anggota kerabat suaminya. Anak-anak yang lahir dari
perkawinan itu juga masuk dalam lingkungan kekeluargaan ayahnya. Sistem ini digunakan di daerah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung,
Bengkulu, Seram, Nusa Tenggara, Bali dan Irian. Bali yang sistem kekeluargaannya bersifat patrilineal hanya anak
laki-laki mewarisi harta warisan. Demikian pula isteri tidak termasuk ahli waris hanya saja ia harus terjamin belanja hidupnya. Adapun di Batak, di
Lampung dan di Gayo Aceh Tengah anak perempuan yang sudah kawin secara jujur, karena ia tidak terlepas dari keluarga asalnya tidak lagi
mendapat warisan dari orang tuanya. Namun di daerah Gayo dikenal
Universitas Sumatera Utara
adanya kawin angkap, anak perempuan itu tetap dalam lingkungan keluarga orang tuanya dan suaminya harus ikut isteri. Dalam hal ini anak
perempuan itu tetap menjadi ahli waris tuanya bersama-sama ahli waris lain.
b. Sistem Kekerabatan Matrilineal
Sistem kekerabatan matrilineal adalah merupakan kebalikan dari sistem kekerabatan patrilineal. Sistem kekerabatan matrilineal adalah sistem
kekerabatan yang didasari oleh garis keturunan ibu. Sebagai konsekuensinya dari sistem kekerabatan ini adalah mengutamakan anak-
anak perempuan daripada anak-anak laki-laki. Dalam sistem kekerabatan matrilineal ini pada umumnya berlaku adat perkawinan semenda, yang
setelah perkawinan si suami mengikuti isteri. Namun suami tetap menjadi anggota kerabat ibunya. Sistem ini dipakai pada daerah Minangkabau,
Enggano dan Timor Timur. Minangkabau yang sifat kekeluargaannya keibuan, bila seorang
ayah meninggal dunia maka anak-anaknya tidak mendapat warisan karena antara ayah dan anak-anaknya tidak ada hubungan kekeluargaan, yang
menjadi ahli warisnya adalah anak-anak dari saudara perempuan ayah yang meninggal.
43
c. Sistem Kekerabatan Parental. Oleh karena itu sering terjadi apabila seorang ayah
ingin melimpahkan harta kepada anak-anaknya, dilakukan dengan melalui lembaga hibah atau dengan cara wasiat.
43
Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1978, hal. 36
Universitas Sumatera Utara
Sistem kekerabatan parental adalah sistem kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak dan ibu. Dalam sistem kekerabatan ini, antara anak
laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan dalam pewarisan.
44
Perkawinan yang terjadi dalam sistem parental ini, pada umumnya berlaku adat perkawinan mentas, yang setelah perkawinan suami isteri hidup bersama
secara mandiri. Suami istri bebas memilih akan menetap di tempat suami atau di tempat isteri atau membangun kehidupan baru lepas dari pengaruh kerabat isteri
maupun suami, bahwa mengenai kedudukan isteri atau suami dalam masyarakat yang bersifat kekeluargaan parental, pada hakekatnya tidak ada perbedaan dalam
keluarga masing-masing. Malahan dengan terjadinya perkawinan baik isteri maupun suami keluarganya bertambah, sebab selain tetap dalam keluarga semula
juga dianggap masuk menjadi keluarga pihak suami atau pihak isteri. Sistem ini
dipergunakan di daerah Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain.
45
Berkaitan dengan sistem kekerabatan tersebut di atas, maka peranan anak sebagai penerus keturunan mempunyai arti yang sangat penting. Misalnya pada
masyarakat Minangkabau, peranan anak wanita lebih penting dari pada anak laki- laki yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Demikian pula sebaliknya
pada masyarakat Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, maka anak laki-laki memegang peranan yang penting dibandingkan anak wanita. Atas dasar
inilah apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak kandung, maka upaya
44
Hilman Hadikusuma,Op.Cit, hal. 24
45
Ismuha, Op.Cit, hal. 36
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan untuk mempertahankan dan melanjutkan garis keturunan dari masing-masing sistem kekerabatan itu adalah dengan pengangkatan anak.
Sistem kekerabatan ini juga mempengaruhi sistem hukum perkawinannya, seperti masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal perkawinannya
bersistem perkawinan semenda dimana pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan
kediaman isteri. Sebaliknya jika sistem kekerabatan patrilineal, hukum perkawinannya bersistem perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan oleh
pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami. Demikian pula suatu masyarakat yang menganut
kekerabatan parental, maka sistem hukum perkawinannya bebas dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami isteri
bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka.
46
B. Jenis-Jenis Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Tionghoa