Berdasarkan data sampai akhir Desember 2004 tercatat 77 atau 297.966 investor di pasar saham merupakan investor asing. Sedangkan sisanya sebanyak 23 atau
89.779 investor lokal begitu juga pada tahun 2005 dan 2006.
B. Deskriptif Analisis
1. Deskriptif Data Sampel Berdasarkan pengambilan sampel secara purposive sampling maka dapat
diperoleh populasi sebagai berikut : • Perusahaan go publik yang terdaftar secara berturut-turut di BEI pada periode
tahun 2004, 2005, dan 2006 berjumlah 349 perusahaan. • Perusahaan keuangan Lembaga Keuangan Perbankan dan Lembaga
Keuangan Non Perbankan yang berjumlah 60 perusahaan. • Perusahaan yang memiliki laporan keuangan per 31 Desember menunjukkan
adanya saldo total ekuitas negatif dan atau mengalami kerugian pada salah satu periode penelitian 2004, 2005, dan 2006 berjumlah 57 perusahaan.
• Perusahaan yang tidak membagikan dividen secara terus menerus selama tahun 2004 – 2006 berjumlah 156 perusahaan.
• Perusahaan yang tidak memiliki struktur kepemilikan baik kepemilikan manajerial, institusi, dan publik berjumlah 46 perusahaan.
Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, maka dapat diperoleh sampel penelitian yaitu 30 perusahaan dengan nama-nama perusahaan sebagai berikut :
Tabel 4.1 Sampel Data Penelitian
Sumber : Bursa Efek Indonesia
2. Deskriptif Analisis Data Data-data yang diperoleh dari variabel observedindikator yang diteliti
diantaranya adalah : a.
Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan X
1
merupakan distribusi saham antara pihak direksi dan komisaris perusahaan X
1
, kepemilikan institusional X
2
, dan kepemilikan publik X
3
. Managerial ownership X
1
menggambarkan kepemilikan saham oleh direksi dan komisaris perusahaan, diukur dengan
persentase jumlah saham yang dimiliki direksi dan komisaris perusahaan.Rasio ini digunakan untuk mengetahui proporsi kepemilikan saham oleh manajemen
perusahaan terhadap jumlah saham beredar. Institusional ownership X
2
menggambarkan kepemilikan saham oleh investor instusi seperti pemerintah, bank, asuransi, dan lain sebagainya, diukur dengan persentase jumlah saham yang
dimiliki oleh investor institusi. Sedangkan Public ownership X
2
menggambarkan kepemilikan saham oleh publik atau masyarakat luas, diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh masyarakat. Adapun rasio
yang diperoleh dari indikator- indikator yang diteliti dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut.
Tabel 4.2 Struktur Kepemilikan Perusahaan
Sumber : Laporan keuangan tahunan tiap perusahaan di BEI
Grafik 4.1 Rata-Rata Struktur Kepemilikan Perusahaan
Berdasarkan tabel dan grafik di atas dapat dilihat bahwa hampir sebagian besar perusahaan dari tahun ke tahun memiliki nilai struktur kepemilikan saham
institusional yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai struktur kepemilikan saham manajerial dan publik. Selain itu, nilai kepemilikan saham manajerial tiap
perusahaan dari tahun ke tahunnya tidak mengalami perubahan yang besar bahkan banyak perusahaan yang memiliki angka persentase yang sama untuk kepemilikan
saham manajerialnya pada periode tiga tahun seperti diperlihatkan oleh PT. Astra Agro Lestari, PT. Berlian Laju Tangker, dan lain sebagainya
Rata-rata struktur kepemilikan saham manajerial pada tabel di atas menunjukkan jumlah yang relatif kecil, yaitu sekitar 0.021 2.1 pada tahun
2004, 0.0224 2.24 pada tahun 2005, dan 0.0199 1.99 pada tahun 2006.
Dapat kita lihat bahwa rata-rata struktur kepemilikan manajerial tertinggi berada pada tahun 2005, dimana PT. Lionmesh Prima Tbk memiliki struktur kepemilikan
saham manajerial yang tertinggi, yaitu sebesar 0.2561 25.61 yang diikuti oleh PT. Pudjiadi Sons, yaitu sebesar 0.1283 12.83. PT. Lionmesh Prima Tbk
juga merupakan perusahaan dengan kepemilikan saham manajerial tertinggi pada tahun 2004 dan 2006, dimana perusahaan tersebut memiliki struktur kepemilikan
saham manajerial yang sama besarnya selama tiga tahun berturut-turut, yaitu 0.2561 25.61.
Struktur kepemilikan saham manajerial terendah pada tahun 2004 dimiliki oleh PT. Astra Graphia, PT. Indosat Tbk, PT. Pool Advista, PT. Semen Gresik,
dan PT. Telkom dimana besarnya kepemilikan saham manajerial pada keenam perusahaan tersebut adalah sama, yaitu 0.0001 0.01. Begitupun pada tahun
2005 dimana kelima perusahaan tersebut masih merupakan perusahaan dengan kepemilikan saham manajerial terendah dengan persentase kepemilikan yang
sama, yaitu 0.0001 0.01. Perusahaan yang memiliki kepemilikan saham manajerial terendah pada tahun 2006 dengan nilai 0.0001 0.01 menjadi tujuh
perusahaan, yaitu PT. Aneka Tambang, PT. Astra Graphia, PT. Hexindo Adiperkasa, PT. Indosat Tbk, PT. Pool Advista, PT. Semen Gresik, dan PT.
Telkom. Struktur kepemilikan institusional memiliki jumlah rata-rata yang sangat
dominan dari seluruh struktur kepemilikan saham perusahaan. Rata-rata struktur kepemilikan institusi yaitu sebesar 0.6967 69.67 pada tahun 2004, 0.6906
69.06 pada tahun 2005, dan 0.6845 68.45 pada tahun 2006. Pada tahun
2004, kepemilikan insitusi memiliki nilai rata-rata terbesar dibandingkan dengan tahun 2005 dan 2006.
Pada tahun 2004, kepemilikan saham institusi terbesar dimiliki oleh PT. Pool Advista, yaitu sebesar 0.9175 91.75, sedangkan PT. Rigs Tender
merupakan perusahaan dengan kepemilikan saham institusi terbesar pada tahun 2005 dan 2006 dengan nilai 0.9685 96.85. Kepemilikan saham institusi
terendah pada tahun 2004 dan 2005 dimiliki oleh PT. Summarecon Agung, yaitu sebesar 0.3993 39.93 dan 0.3310 33.10. Sedangkan pada tahun 2006
kepemilikan saham institusi terkecil dimiliki oleh PT. Lionmesh Prima, yaitu sebesar 0.3222 32.22.
Struktur kepemilikan saham publik atau masyarakat pada tahun 2004 memperlihatkan rata-rata sebesar 0.2823 28.23, 0.2869 28.69 pada tahun
2005, dan 0.2956 29.56 pada tahun 2006. Kepemilikan saham publik tertinggi pada tahun 2004 sampai tahun 2006 dimiliki oleh PT. Summarecon Agung, yaitu
0.5970 59.70 pada tahun 2004, 0.6654 66.54 pada tahun 2005, dan 0.5900 59 pada tahun 2006. Sementara itu, kepemilikan saham publik terkecil pada
tahun 2004 dimiliki oleh PT.Pudjiadi Sons, yaitu sebesar 0.0789 7.89. Sedangkan pada tahun 2005 dan 2006 kepemilikan saham publik terkecil dimiliki
oleh PT. Rigs Tenders, yaitu sebesar 0.0304 3.04. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perusahaan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2004 – 2006 memiliki jumlah kepemilikan saham manajerial yang rendah atau kurang dari 5. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan kepemilikan manajerial yang rendah, maka makin
rendah pula kekuasaan manajemen dalam perusahaan. Selain itu, kepemilikan saham institusi dan publik menunjukkan jumlah persentase yang besar dan relatif
terpaut jauh dengan kepemilikan manajerial. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan usaha pengawasan dan kontrol yang kuat terhadap perilaku
opportunistic manajer sehingga pemanfaatan akan aktiva perusahaan akan
semakin efektif dan efisien.
b. Keputusan Investasi
Keputusan investasi Y
1
dalam penelitian ini diproksikan dengan Investment Opportunity Set
IOS. Sejalan dengan pernyataan Gaver dan Gaver 1993 dalam Jogiyanto Tettet 2002 mengenai belum adanya kesepakatan
dalam literatur akuntansi dan keuangan mengenai proksi yang tepat untuk mewakili IOS, maka peneliti menggunakan proksi IOS yang sering digunakan
oleh para peneliti terdahulu, yaitu rasio PPEBVA, rasio MVEBE, dan rasio MVABVA.
Rasio PPEBVA Y
1
menunjukkan adanya investasi aktiva tetap yang produktif. Rasio ini diukur dari perbandingan besarnya nilai buku aktiva tetap
perusahaan pada periode t dengan nilai buku total aktiva perusahaan pada periode t. Rasio MVEBE Y
2
mencerminkan bahwa pasar menilai return dari investasi perusahaan di masa yang akan datang dari return yang diharapkan dari ekuitasnya.
Rasio ini dihitung dari perkalian antara jumlah saham beredar dengan closing price dibagi dengan total ekuitas perusahaan periode t. Rasio MVABVA Y
3
menunjukkan bahwa prospek pertumbuhan perusahaan terefleksi dalam harga
saham. Rasio ini diukur dari selisih antara total aktiva dengan total ekuitas ditambah dengan perkalian antara jumlah saham beredar dengan closing price
kemudian hasilnya dibagi dengan total aktiva. Adapun rasio- rasio yang diteliti dapat dilihat pada grafik dan tabel berikut.
Tabel 4.3 Rasio PPEBVA, MVEBVE, dan MVABVA
Sumber : data diolah
Grafik 4.2
Rata-Rata Rasio Keputusan Investasi
Tabel 4.3 dan grafik 4.2 menunjukkan bahwa rata-rata rasio PPEBVA pada tahun 2004 adalah sebesar 0.3844 38.44 lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata tahun 2005 dan 2006, yaitu 0.3821 38.21 dan 0.3800 38. Perusahaan dengan nilai rasio terbesar pada tahun 2004 adalah PT.
Telekomunikasi Indonesia sebesar 0.7121 71.21, sedangkan perusahaan yang memiliki rasio PPEBVA terendah adalah PT. Pool Advista sebesar 0.0106
1.06. Pada tahun 2005 dan 2006 PT. Telekomunikasi Indonesia masih merupakan perusahaan yang memiliki rasio PPEBVA terbesar dengan nilai
0.7430 74.30 dan 0.7351 73.51, begitu pula PT. Pool Advista masih merupakan perusahaan dengan rasio PPEBVA terendah pada tahun 2005 dan
2006 yaitu sebesar 0.0236 2.36 dan 0.0334 3.34. Rasio PPEBVA yang besar komposisi aktiva tetap pada struktur aktiva
perusahaan dapat menunjukkan adanya potensi pertumbuhan perusahaan di masa
yang akan datang. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir keseluruhan perusahaan berpotensi untuk tumbuh di masa yang akan datang karena rata-rata
rasio PPEBVA memiliki nilai positif dan di atas 30 yang mengindikasikan adanya investasi aktiva tetap produktif yang telah dilakukan oleh perusahaan
sehingga perusahaan berpotensi untuk tumbuh Gaver dan Gaver, 1993 dalam Hartini P., 2005 :214.
Selanjutnya pada tabel 4.3 dapat dilihat pula rasio MVEBVE yang menggambarkan nilai return pasar di masa yang akan datang lebih besar dari nilai
ekuitasnya. Rata-rata MVEBVE pada tahun 2004 menunjukkan nilai 1.5758, sedangkan pada tahun 2005 dan 2006 rata-rata MVEVE mengalami peningkatan
menjadi sebesar 1.6186 pada tahun 2005 dan 2.1901 pada tahun 2006. PT. Telekomunikasi Indonesia memiliki nilai MVEBVE tertinggi selama periode tiga
tahun berturut-turut dari 2004 sampai 2006, yaitu sebesar 4.8008, 5.1065, dan 7.2542. Sedangkan PT. Pool Advista adalah perusahaan yang memiliki nilai
MVEBVE terendah pada periode tahun 2004 sampai 2006, yaitu sebesar 0.2832, 0.2740, dan 0.2400.
Rasio MVABVA juga digunakan sebagai indikator dalam penelitian ini yang nilainya dapat dilihat pada tabel 4.3 di atas. Rata-rata MVABVA tahun
2004 menunjukkan nilai sebesar 1.2714, sedangkan rata-rata MVABVA mengalami peningkatan menjadi sebesar 1.2917 pada tahun 2005 dan 1.6520 pada
tahun 2006. PT. Telekomunikasi Indonesia memiliki nilai rasio MVABVA tertinggi
pada tahun 2004, yaitu sebesar 2.3686 sedangkan PT. Pool Advista memiliki nilai
rasio MVABVA terendah, yaitu 0.3138. Pada tahun 2005 PT. Ramayana Lesatri Sentosa memiliki nilai MVABVA tertinggi, yaitu sebesar 2.6820 sedangkan PT.
Sumi Indo Kabel memiliki nilai MVABVA terendah, yaitu sebesar 0.2692. Pada tahun 2006 PT. Astra Agro Lestari memiliki nilai MVABVA tertinggi, yaitu
sebesar 5.8880 sedangkan PT. Pool Advista memiliki nilai MVABVA terendah, yaitu 0.2795.
Rasio MVEBVE dan MVABVA yang tinggi menggambarkan nilai return investasi di masa yang akan datang akan lebih besar dari return yang diharapkan
dari ekuitasnya. Selain itu, perusahaan tersebut berpotensi untuk tumbuh dan berinvestasi di masa yang akan datang karena kedua rasio tersebut
menggambarkan bahwa perusahaan telah berjalan baik dengan staf manajemen yang kuat dan sebuah organisasi yang berfungsi secara efisien. Hartono, 1998
dalam Tettet F. dan Jogiyanto, 2002 :37
c. Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen Y
2
adalah keputusan keuangan perusahaan yang berkaitan dengan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada
para pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang Brigham, 2001
dalam Hartini P., 2002:217. Kebijakan dividen dapat diukur dengan menggunakan rasio di antaranya dividend payout ratio Y
4
. Yaitu dengan mengukur besarnya pembayaran dividen dari laba per lembar saham, dan
mengukur besarnya laba yang ditahan untuk menambah modal sendiri dan dividen
yield Y
5
, yaitu untuk mengukur besarnya pembayaran dividen dari harga penutupan saham per lembar. Adapun rasio yang diperoleh dari indikator-
indikator yang diteliti dapat dilihat pada tabel dan grafik berikut. Tabel 4.4
Dividend Payout Ratio dan Dividend Yield
Sumber : data diolah
Grafik 4.3
Rata-Rata DPR dan Dividend Yield
Pada tahun 2004 rata-rata rasio pembayaran dividen adalah sebesar 0.4562 45.62 lebih besar dibandingkan dengan tahun 2005 dan 2006 yang
menunjukkan nilai 0.4174 41.74 dan 0.4032 40.32. PT. Astra Graphia merupakan perusahaan dengan rasio pembayaran dividen tertinggi pada tahun
2004, yaitu sebesar 2.8179 281.79. Untuk tahun 2005 dividend payout ratio tertinggi dimiliki oleh PT. Astra Graphia, yaitu sebesar 0.9349 93.49
sedangkan pada tahun 2006 dividend payout ratio tertinggi dimiliki oleh PT. International Nickel Indonesia, yaitu sebesar 1.0231 102.31. Ini dapat
diartikan bahwa hampir atau bahkan lebih dari 100 keuntungan yang diperoleh perusahaan dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen.
Rasio pembayaran dividen terendah pada tahun 2004 dimiliki oleh PT. Centrin Online, yaitu sebesar 0.1029 10.29. Pada tahun 2005 dan 2006 PT.
Lionmesh Prima memiliki rasio pembayaran dividen terendah, yaitu sebesar 0.0935 9.35 pada tahun 2005 dan 0.1080 10.80 pada tahun 2006.
Lain halnya dengan dividend yield yang mempunyai rata-rata sebesar 0.0552 5.52 pada tahun 2004 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2005
sebesar 0.0459 4.59 dan tahun 2006 sebesar 0.0399 3.99. PT. Astra Graphia memiliki dividend yield tertinggi pada tahun 2004, yaitu sebesar 0.2438
24.38 sedangkan PT. Centrine Online memiliki nilai dividend yield terendah pada tahun 2004, yaitu sebesar 0.005 0.5. Pada tahun 2005 dividend yield
tertinggi dimiliki oleh PT. Selamat Sempurna, yaitu sebesar 0.1311 13.11 sedangkan dividend yield terendah pada tahun 2005 dimiliki oleh PT. Tunas Baru
Lampung, yaitu sebesar 0.0038 0.38. Untuk tahun 2006 dividend yield tertinggi dimiliki oleh PT. Pool Advista, yaitu sebesar 0.2069 20.69 sedangkan
dividend yield terendah pada tahun 2006 dimiliki oleh PT. Astra Agro Lestari,
yaitu sebesar 0.0075 0.75. Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa perusahaan
yang listed di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2004 sampai 2006 memiliki rata-rata dividend payout ratio yang cukup tinggi di atas 40. Ini berarti bahwa
hampir setengah dari keuntungan yang diperoleh perusahaan tiap tahunnya dialokasikan untuk pembagian dividen kepada para pemegang sahamnya dan
sisanya akan diinvestasikan kembali ke dalam perusahaan dalam bentuk laba ditahan untuk membiayai investasi di masa yang akan datang.
Peningkatan dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham akan dilihat sebagai sinyal positif oleh para investor akan prospek perusahaan yang
baik sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan harga saham yang pada akhirnya akan meningkatkan dividend yield. Namun peningkatan harga saham
belum tentu diikuti oleh peningkatan dividen oleh perusahaan karena perusahaan masih memiliki kewajiban untuk membaiayai operasional perusahaan, ekspansi
perusahaan, maupun untuk membayar hutang perusahaan.
d. Kebijakan Hutang
Kebijakan hutang dapat diukur melalui beberapa indikator, diantaranya debt ratio
dan debt to equity ratio DER. Adapun rasio-rasio yang diperoleh dari beberapa indikator tersebut dapat ditunjukkan pada grafik dan tabel berikut.
Grafik 4.4 Rata-Rata Debt Ratio dan DER
Tabel 4.5 Debt Ratio dan Debt to Equity Ratio
Sumber : data diolah
Tabel dan grafik di atas menunjukkan bahwa rata-rata debt ratio pada tahun 2004 sebesar 0.3902 39.02 lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata
debt ratio pada tahun 2005 sebesar 0.3892 38.92 dan tahun 2006 sebesar
0.3948 39.48. Ini berarti bahwa sekitar 38 sampai 40 hutang perusahaan dibiayai oleh aktiva perusahaan. Debt ratio tertinggi pada tahun 2004 sampai
tahun 2006 dimiliki oleh PT. Lautan Luas, yaitu sebesar 0.6291 62.91 pada tahun 2004. Pada tahun 2005 PT. Berlian Laju Tangker Abadi memiliki debt ratio
tertinggi yaitu sebesar 0.7461 74.61, dan pada tahun 2006 PT. Hexindo Adiperkasa memiliki debt ratio tertinggi yaitu sebesar 0.7130 71.3.
Perusahaan yang memiliki debt ratio terendah pada tahun 2004 dan 2005 adalah PT. Rigs Tenders, yaitu sebesar 0.0377 3.77 pada tahun 2004 dan 0.0410
4.1 pada tahun 2005 sedangkan pada tahun 2006 debt ratio terendah dimiliki oleh PT. Pool Advista, yaitu sebesar 0.0523 5.23.
Rata-rata debt to equity ratio
DER tertinggi terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar 0.8868 sedikit lebih besar dibandingkan tahun 2006 sebesar 0.8742
dan tahun 2004 sebesar 0.8451. DER tertinggi pada tahun 2004 dimiliki oleh PT. Pudjiadi Sons yaitu sebesar 2.0309. Pada tahun 2005 DER tertinggi dimiliki
oleh PT. Berlian Laju Tangker Abadi yaitu sebesar 2.9378, dan pada tahun 2006 DER tertinggi dimiliki oleh PT. Hexindo Adiperkasa yaitu sebesar 2.4846.
Sementara itu debt to equity ratio DER terendah pada tahun 2004 dan 2005 dimiliki oleh PT. Rigs Tenders sebesar 0.0391 pada tahun 2004 dan 0.0427 pada
tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2006 DER terendah dimiliki oleh PT. Pool Advista sebesar 0.0551.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2004 sampai tahun 2006
menunjukkan bahwa perusahaan lebih banyak menggunakan equity dalam
membiayai hutangnya daripada assetsaktiva. Semakin besar proporsi hutang relatif terhadap ekuitas maka semakin besar pula resiko perusahaan yaitu tak
tertagihnya hutang.
e. Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan dapat diukur dari beberapa indikator diantaranya Price Earning Ratio PER dan Tobin’s Q. Adapun rasio-rasio yang diperoleh dari
indikator-indikator yang diteliti dapat ditunjukkan pada grafik dan tabel berikut. Grafik 4.5
Rata-Rata PER dan Tobin’s Q
Tabel 4.6 Price Earning Ratio PER dan Tobin’s Q
Sumber : data diolah
Tabel dan grafik di atas menunjukkan bahwa rata-rata PER dari semua industri pada tahun 2004 sebesar 11.0911 lebih kecil dibandingkan dengan rata-
rata PER dari semua industri pada tahun 2005 sebesar 11.6369 dan tahun 2006 sebesar 14.2003. Nilai PER tertinggi pada tahun 2004 dimiliki oleh PT. Citra
Tubindo sebesar 46.4145 sedangkan pada tahun 2005 PER tertinggi dimiliki oleh PT. Tunas Baru Lampung sebesar 51.9481. Untuk tahun 2006 PER tertinggi
dimiliki oleh PT. Rig Tenders sebesar 39.3236. Pada tahun 2004 dan 2006 PER terendah dimiliki oleh PT. Pool Advista sebesar 1.7313 tahun 2004 dan 1.8009
tahun 2006. Sedangkan tahun 2005 PER terendah dimiliki oleh PT. Samudera Indonesia sebesar 3.5118.
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi PER maka semakin tinggi pula prospek pertumbuhan di masa depan, karena menurut Foster
1986 dalam Yetti Iswahyuni dan L.Suryanto 2002 PER dapat mempresentasikan aliran laba masa depan.
Kemudian dari tabel 4.6 dapat pula dilihat nilai Tobin’s Q dari setiap perusahaan. Pada tahun 2004 rata-rata Tobin’s Q sebesar 1.2812, 1.2924 pada
tahun 2005, dan 1.6637 pada tahun 2006. PT. Telekomunikasi Indonesia memiliki nilai Tobin’s Q tertinggi pada tahun 2004 dan 2005, yaitu sebesar
2.5003 pada tahun 2004 dan 2.7122 pada tahun 2005 sedangkan PT. Pool Advista memiliki nilai Tobin’s Q terendah pada tahun 2004, 2005, dan 2006 yaitu sebesar
0.3136 pada tahun 2004, 0.3172 pada tahun 2005, dan 0.2797 pada tahun 2006. Untuk tahun 2006 nilai Tobin’s Q tertinggi dimiliki oleh PT. Astra Agro Lestari
sebesar 6.0180. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa jika rasio Tobin’s Q lebih besar
dari 1 menggambarkan bahwa perusahaan cenderung mempunyai kesempatan investasi yang lebih menarik dan memiliki keuntungan dalam bersaing sehingga
dapat dikatakan bahwa semakin tinggi nilai Tobin’s Q maka hal tersebut mencerminkan makin tinggi pula nilai perusahaan. Perusahaan-perusahaan di
Bursa Efek Indonesia periode 2004 sampai 2006 menunjukkan nilai Tobin’s Q
yang bernilai positif dan hampir seluruh perusahaan memiliki nilai Tobin’s Q lebih dari 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan di Bursa
Efek Indonesia pada periode 2004 sampai 2006 memiliki nilai perusahaan yang cenderung baik dan meningkat.
C. Pengujian dan Pembahasan Hipotesis