Ini hanya perlu diprihatinkan bila ia terjerumus dalam kesulitan di sekolah atau dengan teman-temannya.
b. Rasa ingin tahu seksual dan coba-coba, hal ini normal dan sehat. Rasa ingin tahu
seksual dan bangkitnya birahi ialah normal dan sehat. Ingat, bahwa perilaku tertarik pada seks sendiri juga merupakan ciri yang normal pada perkembangan masa remaja.
Rasa ingin tahu dan birahi jelas menimbulkan bentuk-bentuk perilaku seksual. c.
Membolos, tidak ada gairah atau malas ke sekolah sehingga ia lebih suka membolos masuk sekolah.
d. Perilaku antisosial, seperti suka menganggu, berbohong, kejam, dan agresif. Sebabnya
mungkin bermacam-macam dan banyak tergantung pada budayanya. Akan tetapi, penyebab yang mendasar ialah pengaruh buruk teman, dan kedisiplinan yang salah
dari orang tua terutama bila terlalu keras atau terlalu lunak dan sering tidak ada sama sekali.
e. Penyalahgunaan obat bius.
f. Psikosis, bentuk psikosis yang paling dikenal orang ialah skizofernia.
2.3.2 Perkembangan Sosial Anak.
Perkembangan sosial
dapat diartikan
sebagai sequence
dari perubahan
berkesinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi makhluk sosial. Proses perkembangannya berlangsung secara bertahap sebagai berikut:
a. Masa kanak-kanak awal 0-3 tahun.
b. Masa krisis 3-4 tahun.
c. Masa kanak-kanak akhir 4-6 tahun.
d. Masa anak sekolah 6-12 tahun.
e. Masa krisis II 12-13 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Erik Erickson, perkembangan psikososial terbagi menjadi beberapa tahap masing-masing tahap psikososial memiliki dua komponen yaitu komponen yang baik yang
diharapkan dan yang tidak baik yang tidak diharapkan. Perkembangan pada fase selanjutnya tergantung pada pemecahan masalah pada tahap masa sebelumnya. Adapun
tahap-tahap perkembangan psikososial anak sebagai berikut: a.
Percaya VS Tidak Percaya 0-1 tahun. Komponen awal yang sangat penting untuk berkembang ialah rasa percaya.
Membangun rasa percaya ini mendasari tahun pertama kehidupan. Begitu bayi lahir dan kontak dengan dunia luar, maka ia mutlak tergantung dengan orang lain. Rasa
aman dan percaya pada lingkungan merupakan kebutuhan. Alat yang digunakan bayi dalam berhubungan dengan dunia luar ialah mulut dan pancaindra. Adapun perantara
yang tepat antara bayi dan lingkungan ialah ibu. Hubungan ibu dan anak yang harmonis yaitu melalui pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial, merupakan
pengalaman dasar rasa percaya bagi anak. Apabila pada umur ini tidak tercapai rasa percaya dengan lingkungan, maka dapat timbul berbagai masalah. Rasa tidak bercaya
ini timbul bila pengalaman untuk meningkatkan rasa percaya kurang atau kebutuhan dasar tidak terpenuhi secara adekuat yaitu kurangnya pemenuhan kebutuhan fisik,
psikologis dan sosial yang kurang misalnya: anak tidak mendapatkan minuman atau air susu secara adekuat ketika lapar, tidak mendapatkan respons ketika ia menggigit
dot botol. b.
Otonomi VS Rasa Malu dan Ragu 1-3 Tahun. Perkembangan otonomi selama periode balita berfokus pada peningkatan
kemampuan anak untuk mengontrol tubuh, diri dan lingkungannnya. Anak menyadari ia dapat menggunakan kekuatannya untuk bergerak dan berbuat sesuai kemauannya,
misalnya: kepuasan untuk berjalan atau memanjat. Selain itu, anak menggunakan
Universitas Sumatera Utara
kemampuan mentalnya untuk menolak dan mengambil keputusan. Rasa otonomi diri ini perlu dikembangkan karena penting untuk terbentuknya rasa percaya dan harga
diri dikemudian hari. Hubungan dengan orang lain bersifat egosentris atau mementingkan diri sendiri. Peran lingkungan pada usia ini ialah memberikan
dorongan dan memberi keyakinan yang jelas. Perasaan negatif yaitu rasa malu dan ragu timbul apabila anak merasa tidak mampu mengatasi tindakan yang dipilihnya
serta kurang dorongan dari orang tua dan lingkungannya, misalnya: orang tua terlalu mengontrol anak.
c. Inisiatif VS Rasa Bersalah 3-6 tahun.
Pada tahap ini, anak belajar mengendalikan diri dan memanipulasi lingkungan. Rasa inisiatif mulai menguasai anak. Anak mulai menuntut untuk melakukan tugas
tertentu. Anak mulai diikutsertakan sebagai individu misalnya turut serta merapikan tempat tidur atau membantu orang tua di dapur. Anak mulai memperluas ruang
lingkup pergaulannya, misalnya menjadi aktif diluar rumah, kemampuan berbahasa semakin meningkat. Hubungan teman sebaya dan saudara sekandung untuk menang
sendiri. Pada tahap ini, kadang-kadang anak tidak dapat mencapai tujuan atau kegiatannya karena keterbatasannya, tetapi bila tuntutan lingkungan misalnya orang
tua atau orang lain terlalu tinggi atau berlebihan, maka dapat mengakibatkan anak merasa aktifitas atau imajinasinya buruk, akhirnya timbul rasa kecewa dan bersalah.
d. Industri VS Inferioritas 6-12 tahun.
Pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang akhirnya dapat menghasilkan sesuatu. Anak siap untuk meninggalkan
rumah atau orang tua dalam waktu terbatas yaitu untuk sekolah. Melalui proses pendidikan ini, anak belajar untuk bersaing sifat kompetitif, juga sifat kooperatif
dengan orang lain, saling memberi dan menerima, setia kawan, dan belajar peraturan-
Universitas Sumatera Utara
peraturan yang berlaku. Kunci proses sosialisasi pada tahap ini ialah guru dan teman sebaya. Dalam hal ini, peranan guru sangat sentral. Identifikasi bukan terjadi pada
orang tua atau pada orang lain, misalnya sangat menyukai gurunya dan patuh pada gurunya dibandingkan pada orang tuanya. Apabila anak tidak dapat memenuhi
keinginan sesuai standard dan terlalu banyak yang diharapkan dari mereka, maka dapat muncul masalah atau gangguan.
e. Identitas VS Difusi Peran 12-18 tahun.
Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang dewasa. Sehingga tampak adanya kontradiksi bahwa di lain pihak ia dianggap
dewasa tetapi di sisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa standarisasi diri yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan
kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya tinggi. Teman sebaya
dipandang sebagai teman senasib, partner dan saingan. Melalui kehidupan berkelompok ini, remaja bereksperimen dengan peranan dan dapat menyalurkan diri.
Remaja memilih orang-orang dewasa yang penting baginya yang dapat mereka percayai dan tempat mereka berpaling saat kritis.
Pencapaian tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru, dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam
perilaku sosial, pengelompokan sosial baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai- nilai baru dalam dukungan dan penolakan, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.
a. Perubahan dalam perilaku sosial.
Dalam waktu yang singkat remaja mengadakan perubahan radikal yaitu dari tidak menyukai lawan jenis sebagai teman menjadi lebih menyukai teman dari lawan
Universitas Sumatera Utara
jenisnya daripada teman sejenis. Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkan diri dalam kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik.
b. Pengelompokan sosial baru.
Saat berlangsungnya masa remaja, terdapat perubahan minat terhadap kelompok yang terorganisasi dan masih diawasi orang dewasa, kemudian kelompok
ini secara cepat menurun karena remaja meningkat ke arah dewasa yang tidak mau diperintah atau diorganisasi oleh kelompoknya. Pada masa akhir remaja minat
berkelompok cenderung berkurang dan digantikan dengan kelompok kecil yang hubungannnya tidak terlalu akrab.
c. Nilai baru dalam penilaian sosial.
Tidak ada sifatpola perilaku khas yang akan menjamin penerimaan sosial selama masa remaja. Tergantung pada sekumpulan sifat dan pola perilaku yang
sindrom penerimaan yang disenangi remaja dan menambah gengsi dari kelompok besar yang diidentifikasikannya.
d. Minat sosial.
Bersifat sosial tergantung pada kesempatan yang diperoleh remaja untuk mengembangkan minat tersebut dan pada kepopulerannya dalam kelompok. Seorang
remaja yang status sosial-ekonomi keluargannya rendah, misalnya mempunyai sedikit kesempatan untuk mengembangkan minat pada pesta-pesta dan dansa dibandingkan
dengan remaja latar belakang yang lebih baik. Demikian ada beberapa minat sosial tertentu yang hampir bersifat universal.
e. Perilaku sosial.
Diskriminasi terhadap mereka yang berlatar belakang ras, agama, sosial- ekonomi yang berbeda. Usaha memperbaiki mereka yang mempunyai standar
penampilan dan perilaku yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Keluarga merupakan bagian terpenting dalam mengembangkan kecerdasan sosial anak, maka keluarga harus dibangun secara kondusif, Azzet, 2010: 102-120 sebagai berikut:
1. Memberikan rasa aman.
2. Memberikan kasih sayang dan penerimaan.
3. Menjadi andalan dan jujukan.
4. Model dan bimbingan hidup bermasyarakat.
5. Motivator utama dalam meraih keberhasilan.
6. Sumber persahabatan.
7. Mengembangkan kecerdasan secara menyenangkan.
8. Tidak monoton.
9. Cara berkomunikasi.
10. Memberikan penghargaan.
11. Ada waktu untuk berbagi.
2.3.3 Perkembangan Kepribadian Anak