BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biomarker pada Pneumonia
Pneumonia merupakan kumpulan gejala demam, nyeri pleuritik, sesak nafas dan tanda infiltrat paru yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat
mempengaruhi penderitanya secara sistemik.
10
Sebagai penyakit infeksi yang terjadi di parenkim paru, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi
pelepasan sitokin pro inflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi.
Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali pneumonia tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan
diagnosis yang akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi.
11
12
Dalam suatu analisis receiving operating characteristic ROC yang bertujuan untuk menilai
akurasi diagnostik dalam membedakan PK yang dikonfirmasi melalui radiologik dengan kondisi medik lainnya. Didapatkan kelemahan gambaran klinik seperti:
demam, batuk, produksi sputum, temuan auskultasi yang abnormal dalam mendiagnosis PK dengan area under curve AUC sebesar 0,79.
Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu
proses fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang tidak dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non
inflamasi dan akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami penurunan saat proses inflamasi mereda.
8,13
12
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal membantu tegaknya diagnosis pneumonia, beberapa biomarker telah dikenal, seperti: CRP, leukosit total, immunoglobulin, PCT dan Triggering
receptor expressed on myeloid cell-1 TREM-1. Beberapa biomarker lain yang masih dalam tahap studi untuk penggunaannya pada pneumonia antara lain:
copeptin, kortisol, endotoksin dan proadrenomedullin.
12
Selain petanda inflamasi, sistem koagulasi juga dikatakan memiliki potensi dalam menilai risiko kematian
penderita PK. Aktivasi sistem koagulasi dan aktivitas fibrinolisis merupakan gambaran yang dijumpai pada keadaan sepsis berat.
7,8
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai studi telah mencoba meneliti dalam respon host terhadap bakteri terutama terhadap aktivasi koagulasi. Respon
terhadap infeksi yang memberikan dampak terhadap sistem koagulasi yang mungkin berperan adalah patogenesis disfungsi organ. Beberapa studi
epidemiologi memperlihatkan bahwa gangguan yang umum pada sepsis berat akan mengaktivasi atau menyebabkan gangguan pada sistem koagulasi.
Pneumonia yang awalnya infeksi lokal, mengakibatkan aktivasi koagulasi sistemik, ini disebabkan aktivasi lokal dari sistem koagulasi yang terjadi pada
pneumonia dengan deposisi fibrin dalam kompartemen alveolar yang terinfeksi, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, merangsang proinflamasi sitokin
dan meningkatkan akumulasi neutrophil.
11
14
Aktivasi koagulasi lokal yang muncul akan didorong terutama oleh tissue factor.
15
Biasanya, sangat sedikit tissue factor yang keluar dari sirkulasi darah namun alveolar makrofag, neutrofil, dan sel
endotel dapat mengeluarkan tissue factor pada permukaan dimana dapat membentuk thrombogenic tissue factor yang selanjutnya berkembang menjadi
gangguan koagulasi sistemik selama infeksi paru.
16
Ribelles dkk mencoba menghubungkan nilai plasma D-dimer terhadap mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih banyak terjadi
pada pasien dengan D-dimer yang tinggi 3.786 vs 1.609 ngml dengan p 0,00001. Hasil ini membuka peluang untuk penelitian terhadap petanda
koagulasi lainnya seperti prothrombin fragment 1.2 PF1.2, thrombin- antithrombin complex dan fibrinogen dalam hubungannya terhadap PK.
Agapakis dkk melaporkan bahwa AT-III memiliki sensitivitas 80 dan spesifisitas 75 dengan nilai cut-off 85 sedangkan DD sebagai biomarker
17
Universitas Sumatera Utara
koagulasi pada PK memiliki sensitivitas 90 dan spesifitas 78 untuk menentukan perlunya perawatan di rumah sakit.
9
2.2. Fisiologi dan Jalur Pathway Koagulasi