ANALISIS DESKRIPTIF DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif di SMP Al-Kautsar Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

(1)

Dwi Laila Sulistiowati

ABSTRAK

ANALISIS DESKRIPTIF DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL

(Penelitian Kualitatif di SMP Al-Kautsar Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

Oleh

DWI LAILA SULISTIOWATI

Penelitian kualitatif naturalistik ini bertujuan untuk mendeskripsikan disposisi berpikir kritis matematis siswa dalam pembelajaran Socrates Kontekstual. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII B SMP Al-Kautsar Bandarlampung tahun pelajaran 2014/2015 yang menunjukkan disposisi berpikir kritis matematis. Data penelitian ini merupakan data kualitatif tentang disposisi berpikir kritis matematis siswa yang diperoleh melalui teknik observasi, dokumentasi, angket, dan wawancara. Sebelum menganalisis data, peneliti melakukan triangulasi sumber data. Teknik analisis data penelitian ini melalui 3 tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa indikator disposisi berpikir kritis matematis yang dominan muncul pada pembelajaran Socrates kontekstual adalah indikator percaya diri sedangkan indikator yang jarang sekali muncul pada pembelajaran Socrates kontekstual adalah indikator rasa ingin tahu.


(2)

ANALISIS DESKRIPTIF DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL

(Penelitian Kualitatif di SMP Al-Kautsar Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

Oleh

DWI LAILA SULISTIOWATI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Matematika

Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(3)

ANALISIS DESKRIPTIF DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL

(Penelitian Kualitatif di SMP Al-Kautsar Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

(Skripsi)

Oleh

DWI LAILA SULISTIOWATI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

4.1 Jawaban dari B14 ... 155 4.2 Jawaban yang diperoleh B15 ... 165 4.2 Jawaban yang diperoleh B6 ... 165


(5)

v DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 10

C. Pertanyaan Penelitian ... 11

D. Tujuan Penelitian ... 11

E. Manfaat Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori ... 14

1. Disposisi Berpikir Kritis ... 14

2. Metode Socrates ... 24

3. Pendekatan Kontekstual ... 32

B. Penelitian yang Relevan ... 42

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 46

B. Subjek Penelitian ... 47

C. Latar Penelitian ... 48

D. Teknik Pengumpulan Data ... 50

E. Instrumen Penelitian ... 53

F. Teknik Analisis Data ... 58

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Proses Pembelajaran ... 62

B. Skala Disposisi Berpikir Kritis ... 196 Halaman


(6)

vi V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 250 B. Saran ... 251 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ix DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A.INSTRUMEN PENELITIAN

A.1 Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 261

A.2 Lembar Kerja Siswa ... 324

A.3 Kisi-kisi Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa ... 331

A.4 Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa ... 334

A.5 Pedoman Wawancara ... 337

B.SKALA UJI COBA DISPOSISI BERPIKIR KRITIS B.1 Kisi-kisi Skala Uji Coba Disposisi Berpikir Kritis ... 339

B.2 Skala Uji Coba Disposisi Berpikir Kritis ... 343

B.3 Form Validasi Judgement Expert ... 347

B.4 Uji Validitas Skala Uji Coba Disposisi Berpikir Kritis Uji Coba 352

B.5 Hasil Validitas Skala ... 362

B.6 Uji Reliabilitas Skala Uji Coba Disposisi Berpikir Kritis ... 364

C.ANALISIS DATA HASIL PENELITIAN C.1 Kode Siswa ... 375

C.2 Catatan Lapangan Hasil Observasi ... 376

C.3 Matriks Disposisi Berpikir Kritis Indikator Kepercayaan Diri .... 415

C.4 Matriks Disposisi Berpikir Kritis Indikator Analitis ... 435

C.5 Matriks Disposisi Berpikir Kritis Indikator Pencarian Kebenaran 450

C.6 Matriks Disposisi Berpikir Kritis Indikator Berpikiran Terbuka . 461 C.7 Matriks Disposisi Berpikir Kritis Indikator Rasa Ingin Tahu ... 473

C.8 Matriks Disposisi Berpikir Kritis Indikator Sistematis ... 482

C.9 Data Hasil Skala Disposisi Berpikir Kritis Matematis ... 494


(8)

x C.12 Transkrip Wawancara ... 499


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Jenis-jenis Pertanyaan Socrates dan Contohnya ... 27 3.1 Jadwal Matematika Kelas VII B SMA Al Kautsar Bandarlampung... 49 3.2 Kategori Koefisien Reliabilitas ... 58


(10)

(11)

(12)

MOTO

“Menjadi kuat bukan berarti tahu segalanya. Bukan berarti tidak bisa

salah. Kekuatan sesungguhnya ada pada kemampuan untuk bangkit kembali setelah jatuh berkali-kali. Jangan pikirkan kamu akan sampai


(13)

(14)

PERSEMBAHAN

Bismillahirrohmannirrohim ……

Puji syukur kehadirat

ALLAH subhanahuwata’ala, yang telah

memberikanku

waktu-waktu indah dalam proses hidupku, sehingga aku dapat

mempersembahkan skripsi ini teruntuk:

Ibu dan Ayahku tercinta, terima kasih atas doa dan dukungan yang luar

biasa terhadap ananda. Semoga ALLAH memperkenankan ananda

untuk selalu memberikan lebih banyak kebahagiaan

di masa depan.

Mbakku dan Adikku tersayang (Diah Kartika Sari dan Prastio Ibnu

Romadoni) terima kasih karena selalu memberikan senyum, canda tawa yang

selalu menjadi warna yang aku rindukan dalam kesendirianku saat jauh dari

kalian.

Keluarga besarku tercinta,terima kasih atas semangat yang kalian tuangkan

dalam setiap keletihanku.

Sahabat-sahabatku tersayang atas segala pengalaman suka, duka, canda,

tawa, tangis haru yang telah kita lewati bersama. Semua hal itu akan sangat

kurindukan di masa mendatang.

Para pendidik dengan ketulusan dan kesabarannya dalam medidikku


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kelurahan Kuripan, Kecamatan Kotaagung, Kabupaten Tanggamus pada tanggal 13 Januari 1994, sebagai putri kedua dari tiga bersaudara buah hati Bapak Yudiono dan Ibu Hayati Diniyati. Tahun 1998 mengawali pendidikan di TK Aisyiyah Kuripan Kotaagung dan lulus tahun 1999. Kemudian melanjutkan pendidikan formal di SD Negeri 2 Kuripan tahun 1999 hingga 2005, SMP Negeri 1 Kotaagung tahun 2005 hingga 2008, dan SMA Negeri 1 Kotaagung tahun 2008 hingga 2011.

Tahun 2011 Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa pernah terdaftar dalam organisasi internal kampus yaitu menjadi anggota dalam Divisi Kerohanian Himpunan Mahasiswa Pendidikan Eksakta (Himasakta) FKIP Unila tahun 2011, anggota Divisi Pendidikan Himasakta tahun 2012, dan sebagai wakil bendahara umum Himasakta tahun 2013. Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Statistika dasar tahun 2012. Semasa kuliah, penulis juga mendapat Beasiswa PPA sejak tahun 2012 hingga 2014. Tahun 2014, Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kelurahan Kuripan, Kecamatan Kotaagung, Kabupaten Tanggamus dan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMA Negeri 1 Kotaagung.


(16)

ii SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana pendidikan.

Penulis menyadari terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung, yang telah memberikan bantuan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung yang telah memberikan fasilitas dan segala kemudahan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Matematika sekaligus pembahas atas kesediaannya untuk memberikan saran dan motivasi selama proses penyusunan skripsi.

4. Ibu Dr. Tina Yunarti, M.Si., selaku Pembimbing I atas keikhlasan, motivasi, dan kesediaannya serta kesabarannya dalam memberikan bimbingan, penga-rahan, dan masukan selama proses penyusunan skripsi.


(17)

iii nya dalam memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi.

6. Ibu Dra. Rini Asnawati, M.Pd., selaku Pembimbing Akademik atas sumbangan pemikiran dan saran baik selama perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

7. Seluruh dosen yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menyelesaikan studi.

8. Bapak kepala sekolah, bapak/Ibu guru matematika, dan siswa SMP Al Kautsar Bandarlampung.

9. Ibu dan Ayahku tercinta, Hayati Diniyati dan Yudiono, terima kasih atas restu, dukungan dan doa yang selalu dipanjatkan untukku demi kelancaran proses penelitian dan menyelesaikan studi di Pendidikan Matematika.

10. Kakak dan Adikku tersayang, Diah Kartika Sari dan Prastio Ibnu Romadoni yang telah memberikan semangat untuk menyelesaikan studi di Pendidikan Matematika.

11. Ibu dan Bapak Kos serta teman-teman kosanku yang telah memberikan dukungan dan doanya. yang telah memberikan dukungan dan doanya.

12. Sahabat-sahabatku, Tiyas Abror Huda, Sevi Karviyani, Khairul Anwar, Neng Risqi Sri Utami, Fadilla Amelia, Oktari Pradina Anggi, Rosita Wati, Siti Laelatul Chasanah, Yola Citra Luftianingtyas, Florensia Evindonta Bangun, Ade Irmayanti, Ayu Sekar Rini, Muhammad Panji Wibowo, Ikhwanudin, Gilang Ramadhan Putra, dan Dwi Putra Kurniawan yang telah memberikan dukungan dan doanya.


(18)

iv Florensia Evindonta Bangun, Eni Kartika, Indah Damayanti, Yulisa, Titi Murniati, Muhammad Yusuf, Agung Cahyono, Agus Sugiarto, dan Rosalia Deviana atas kerja sama, dukungan, dan kekompakannya.

14. Teman-temanku Pendidikan Matematika angkatan 2011 Kelas A dan B atas kebersamaan dan semangatnya selama ini.

15. Kakak-kakakku angkatan 2010 dan 2009, dan adik-adikku angkatan 2012, 2013, dan 2014 terima kasih atas kebersamaannya.

16.Teman-teman KKNku, Fitri Nuryanah, Andika Prasetya, Efha Rifky Ash Shidqi, Moli, Desi Susilowati, Julia Antini, Noviansyah, Ningsih, dan Agam Saputra.

17.Almamater yang telah mendewasakanku.

18.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga dengan bantuan dan dukungan yang diberikan mendapat balasan pahala disisi Allah SWT dan semoga skripsi ini bermanfaat. Aamiin.

Bandar Lampung, Juli 2015 Penulis,


(19)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pendidikan memiliki peranan penting guna meningkatkan kualitas dan potensi sumber daya manusia. Melalui pendidikan akan terjadi proses pendewasaan diri sehingga di dalam proses pengambilan keputusan terhadap suatu masalah yang dihadapi selalu disertai dengan rasa tanggung jawab yang besar. Pendidikan juga dapat membantu menciptakan manusia yang bertakwa, cerdas, kreatif, terampil, dan produktif. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Guna mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, tujuan pendidikan dirumuskan lagi menjadi hierarki yang lebih sederhana, yaitu tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan pembelajaran. Keseluruhan tujuan pendidikan tersebut diarahkan pada pengembangan pengetahuan, sikap, dan keterampilan


(20)

sebagai perwujudan dari kompetensi peserta didik. Kompetensi tersebut direfleksikan dalam kebiasaan bersikap, berpikir, dan bertindak yang dilakukan secara konsisten sehingga menjadikan siswa berkompeten. Guna menjadikan siswa berkompeten diperlukan penguasaan kompetensi-kompetensi belajar yang mendukung.

Morocco et al (Abidin, 2014: 8) mengemukakan bahwa pada abad ke-21 minimal ada empat kompetensi belajar yang harus dikuasai siswa agar menjadi siswa yang berkompeten yaitu kemampuan pemahaman yang tinggi, kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir kreatif, serta kemampuan berkolaborasi dan berkomunikasi. Senada dengan yang diuraikan oleh Marocco, et al., menurut Hudoyo (2001: 56), beberapa keterampilan berpikir yang harus dimiliki siswa agar dapat meningkatkan kecerdasan adalah keterampilan berpikir kritis, keterampilan berpikir kreatif, keterampilan mengorganisir otak, dan keterampilan pemahaman yang tinggi. Kedua pendapat tersebut mengandung hal yang sama bahwa salah satu kompetensi esensial yang penting dimiliki siswa saat ini adalah keterampilan berpikir kritis.

Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu modal dasar yang sangat penting bagi setiap siswa dan merupakan bagian yang fundamental dari kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Abidin (2014: 15) bahwa keterampilan yang diharapkan dimiliki siswa saat ini lebih dititikberatkan pada keterampilan berpikir, salah satunya keterampilan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis juga penting dimiliki oleh siswa karena ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat sehingga


(21)

memungkinkan siapa saja bisa memperoleh informasi secara cepat, mudah, dan melimpah dari berbagai sumber dan tempat di dunia. Hal ini mengakibatkan perubahan tatanan hidup dan semakin berkembangnya tantangan-tantangan yang harus dihadapi dalam kehidupan. Jika siswa tidak dibekali dengan kemampuan berpikir kritis maka mereka tidak akan mampu menghadapi tantangan akibat perubahan tersebut.

Kemampuan berpikir kritis dipandang sebagai kompetensi yang sangat penting untuk dikembangkan di sekolah agar siswa mampu dan terbiasa menghadapi berbagai permasalahan di sekitarnya. Menurut Cabera (Fachrurazi, 2011: 2), penguasaan kemampuan berpikir kritis tidak cukup dijadikan sebagai tujuan pendidikan semata, tetapi juga sebagai proses fundamental yang memungkinkan siswa untuk mengatasi berbagai permasalahan masa mendatang di lingkungannya. Untuk itu dalam proses pembelajaran, guru tidak boleh mengabaikan penguasaan kompetensi berpikir kritis siswa.

Dalam usaha menguasai kompetensi berpikir kritis tersebut, tidak hanya dibutuhkan kemampuan berpikir kritis saja. Terdapat aspek lain yang juga perlu mendapatkan perhatian, yaitu disposisi berpikir kritis. Hal ini sesuai dengan penjelasan Ennis dan Morris (Lambertus, 2009: 2) yang menyatakan bahwa dalam berpikir kritis terdapat dua komponen, yaitu kemampuan penguasaan pengetahuan (kemampuan berpikir kritis) dan disposisi berpikir kritis (kecenderungan sikap untuk berpikir kritis).

Kwon, et.al. (2009: 269) mendefinisikan disposisi berpikir kritis sebagai suatu motivasi internal untuk berpikir kritis sehingga dapat memutuskan apa yang


(22)

diyakininya benar dan apa yang harus dilakukan jika terdapat suatu masalah, ide, atau isu. Berdasarkan pendapat tersebut, seseorang yang memiliki disposisi berpikir kritis adalah orang yang sensitif terhadap momen berpikir kritis, merasa terdorong untuk berpikir kritis, dan memiliki kemampuan dasar untuk berpikir kritis. Dengan demikian, disposisi berpikir kritis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan berpikir kritisnya.

Disposisi berpikir kritis merupakan salah satu kompetensi pada domain afektif (sikap) yang turut menjadi fokus capaian dalam pembelajaran matematika. Hal tersebut sejalan dengan visi pembelajaran matematika. Menurut Sumarmo (2006: 23), visi pembelajaran matematika ditujukan untuk mengembangkan kemampuan bernalar, berpikir sistematik, kritis, dan cermat, serta menumbuhkan rasa percaya diri, dan rasa keindahan terhadap keteraturan sifat matematika, dan mengembangkan sikap obyektif dan terbuka yang diperlukan dalam menghadapi masa depan yang selalu berubah. Sikap dan kebiasaan berpikir seperti di atas secara akumulatif menumbuhkan disposisi berpkir kritis siswa yaitu keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk berpikir kritis dalam berbagai kegiatan matematika.

Pengembangan disposisi berpikir kritis matematis sebagai salah satu bagian dari domain afektif (sikap) menjadi suatu hal yang esensial, selain pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Hal ini sesuai dengan pendapat Popham (1999: 204) yang menyatakan bahwa sikap peserta didik itu penting untuk dikembangkan. Sikap yang dimaksud salah satunya adalah disposisi berpikir kritis. Anku (Mahmudi, 1996: 6) menambahkan bahwa salah satu faktor yang


(23)

memengaruhi proses dan hasil belajar matematika siswa adalah disposisi mereka terhadap matematika. Dengan demikian, salah satu domain sikap yang perlu dimiliki oleh peserta didik dalam pembelajaran matematika tersebut yaitu disposisi berpikir krtitis matematis.

Disposisi berpikir kritis seseorang penting dalam menyertai kemampuan berpikir kritisnya. Maulana (2013: 1) mengemukakan bahwa baik kemampuan berpikir maupun disposisinya, ibarat dua sisi mata uang yang tak pernah bisa dipisahkan, keduanya menyatu dan saling menguatkan. Hal ini dijelaskan juga oleh Halpern (Yunarti, 2011: 9) bahwa seorang pemikir kritis yang ideal harus memiliki kemampuan dan disposisi berpikir kritis. Berdasarkan pendapat tersebut, seseorang pemikir kritis yang baik selalu berusaha untuk melengkapi diri dengan disposisi berpikir kritis, tidak hanya kemampuan berpikir kritisnya saja.

Disposisi berpikir kritis melekat pada diri seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik. Hal seperti ini dibutuhkan oleh siswa terutama dalam menghadapi situasi problematis dan menyelesaikan masalah dalam kehidupan mereka yang menuntut mereka untuk berpikir kritis. Selain itu, pentingnya disposisi berpikir kritis matematis ini berkaitan dengan pentingnya penguasaan kompetensi matematika untuk kehidupan peserta didik. Dengan demikian, disposisi berpikir kritis menjadi salah satu faktor penunjang keberhasilan belajar siswa dan pengembangan disposisi berpikir kritis menjadi suatu keharusan. Hal ini diperkuat oleh pendapat Herlina (2013: 2) bahwa prestasi pembelajaran di sekolah tidak hanya ditentukan oleh kemampuan kognitif peserta didik, namun juga ditentukan oleh kemampuan afektifnya.


(24)

Dalam kenyataan di lapangan, disposisi berpikir kritis matematis yang dimiliki siswa masih kurang mendapat perhatian. Seperti studi pendahuluan yang telah dilakukan di kelas VII B SMP Al-Kautsar Bandarlampung pada tanggal 28 November 2014 diperoleh data mengenai disposisi berpikir kritis siswa. Berdasarkan observasi yang dilakukan, dapat diamati pada sikap beberapa peserta didik yang mudah menyerah ketika menyelesaikan masalah matematika yang diberikan, rendahnya rasa ingin tahu peserta didik terhadap materi yang dipelajari, tidak mau bertanya apabila ada yang tidak dipahami, memiliki rasa percaya diri yang rendah yang ditandai dengan tidak mau menjawab soal ke depan dan menutup jawabannya ketika guru mendatangi siswa tersebut dan melihat jawaban siswa, tidak sistematis ketika menyelesaikan masalah yang diberikan, serta beberapa siswa nampak tidak fokus ketika diberikan suatu persoalan matematika.

Selain hasil observasi, hal ini juga dapat diketahui dari hasil wawancara terhadap guru mitra. Menurut guru mitra, selama ini guru lebih mementingkan kemampuan kognitif siswa daripada kemampuan afektif seperti disposisi beerpikir kritis. Guru juga mengatakan bahwa beberapa siswa di kelas VII B seringkali kurang percaya diri terhadap hasil pekerjaannya di kelas. Beberapa siswa malu ketika guru meminta mereka menyelesaikan soal di depan. Selain itu, ketika diberikan kesempatan untuk bertanya, jarang sekali ada siswa yang mau bertanya padahal ketika mengerjakan soal banyak siswa yang masih bingung untuk menyelesaikannya. Siswa juga sering tidak fokus pada persoalan yang guru berikan dan sulit untuk mengemukakan alasannya mengenai jawaban yang diperolehnya. Tindakan-tindakan yang muncul selama proses pembelajaran di kelas belum memenuhi indikator-indikator disposisi berpikir kritis matematis


(25)

siswa yang mencakup indikator percaya diri, rasa ingin tahu, pencarian kebenaran, analitis, sistematis, dan berpikiran terbuka. Dengan kata lain siswa memiliki disposisi berpikir kritis yang rendah. Padahal disposisi berpikir kritis ini dapat dilatih dan ditingkatkan dengan merubah paradigma peserta didik dan membiasakan mereka berpikir (habbits of mind).

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memunculkan disposisi berpikir kritis siswa adalah menggunakan pembelajaran Socrates Kontekstual. Pembelajaran Socrates Kontekstual merupakan pembelajaran yang menggunakan metode Socrates dengan pendekatan Kontekstual. Proses pembelajaran Socrates Kontekstual dititikberatkan pada pemberian pertanyaan-pertanyaan Socrates untuk membangun konsep sendiri dan menghubungkannya dengan situasi nyata. Melalui pembelajaran ini, siswa dibiasakan membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan konteks nyata yang bermakna bagi dirinya.

Pembelajaran Socrates dilakukan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa sehingga siswa menemukan sendiri konsep yang sedang dipelajari. Karakter pertanyaan-pertanyaan Socrates tersebut bersifat menggali untuk mendapatkan validitas jawaban siswa. Pentingnya memberikan pertanyaan dalam pembelajaran didasari bahwa seseorang akan berpikir dan menentukan sikap jika dihadapkan oleh suatu pertanyaan seperti yang dikatakan oleh Paul dan Eldes

(2006: 62), bahwa ”Thinking is not driven by answers but by questions”. Agar dapat berpikir, seseorang harus berhadapan dengan pertanyaan yang merangsang pemikirannya. Hal tersebut juga diperkuat dengan pendapat Ritchhart dan Lipman (Yunarti, 2011: 14) bahwa salah satu proses pembelajaran yang dapat


(26)

mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa serta memuat berbagai pertanyaan adalah dengan memberikan dialog. Dialog diperlukan untuk dapat membuka wawasan berpikir siswa terhadap suatu masalah yang sedang dihadapinya. Melalui pertanyaan-pertanyaan dalam dialog siswa diarahkan untuk menemukan penyelesaian suatu masalah dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan serta jawabannya.

Pembelajaran dengan pemberian pertanyaan-pertanyaan seperti ini dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat kritisnya. Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang diberikan selama proses pembelajaran, siswa menjadi lebih percaya diri untuk berbicara dalam kelas, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan memfokuskan siswa pada suatu topik yang dipelajari. Hal ini sejalan dengan tujuan diberikannya pertanyaan menurut Djamarah (2010: 56) yaitu untuk meningkatkan perhatian dan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu satu topik, memfokuskan perhatian pada suatu konsep masalah tertentu, mengembangkan belajar aktif, menstimulasi siswa untuk bertanya pada diri sendiri ataupun orang lain, mengembangkan kemampuan berpikir siswa, memberi kesempatan siswa untuk belajar sendiri melalui diskusi, mengungkapkan keinginan yang sebenarnya dari siswa melalui ide dan meningkatkan percaya diri siswa. Tindakan-tindakan yang muncul tersebut merupakan bagian dari disposisi berpikir kritis matematis siswa. Dengan demikian, pembelajaran dengan menggunakan metode Socrates dapat mendorong munculnya disposisi berpikir kritis siswa.


(27)

Selain dengan pemberian pertanyaan-pertanyaan melalui metode Socrates, penggabungannya dengan pendekatan kontekstual juga dapat membantu siswa melatih disposisi berpikir kritisnya. Dengan pendekatan kontekstual, konsep matematika disajikan secara konkret dengan mengaitkannya pada permasalahan nyata. Hal ini akan memicu siswa untuk memiliki rasa ingin tahu yang lebih, mencari kebenaran atas permasalahan tersebut, bersikap sistematis dan analitis dalam menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan dunia nyata dan lebih percaya diri untuk berpikir kritis karena sebelumnya dia telah memiliki pengetahuan tentang permasalahan nyata tersebut. Menurut Johnson (2010: 54) dalam pembelajaran kontekstual para siswa dilatih untuk bersosialisasi dengan kelompok-kelompok kerja mereka. Hal tersebut melatih siswa untuk berpikiran terbuka yang merupakan salah satu indikator disposisi berpikir kritis.

Penerapan metode Socrates dan kombinasinya dengan pendekatan Kontekstual dalam pembelajaran di kelas membuat disposisi berpikir kritis matematis siswa muncul selama proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yunarti (2011: 83), yaitu kolaborasi metode Socrates dan pendekatan pembelajaran Kontekstual sangat efektif diterapkan di kelas terutama dalam mengembangkan disposisi berpikir siswa. Dengan demikian, diterapkannya metode Socrates dapat mendorong siswa untuk memunculkan indikator-indikator disposisi berpikir kritis.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan analisis terhadap disposisi berpikir kritis siswa dalam pembelajaran Socrates Kontekstual. Oleh karena itu,


(28)

dilakukan penelitian yang berjudul “Analisis Deskriptif Disposisi Berpikir Kritis

Matematis Siswa dalam pembelajaran Socrates Kontekstual”.

B.Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini diarahkan pada masalah disposisi berpikir kritis matematis siswa. Disposisi berpikir kritis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kecenderungan sikap seseorang dalam kegiatan berpikir kritis yang ditandai oleh indikator-indikator: pencarian kebenaran (sikap untuk selalu mendapatkan kebenaran), berpikiran terbuka (sikap untuk bersedia mendengar atau menerima pendapat orang lain), sistematis (sikap rajin dan tekun dalam berpikir), analitis (sikap untuk tetap fokus pada masalah yang dihadapi serta berupaya mencari alasan-alasan yang bersesuaian), kepercayaan diri dalam berpikir kritis (sikap percaya diri terhadap proses inkuiri dan pendapat yang diyakini benar), dan rasa ingin tahu (sikap yang menunjukkan rasa ingin tahu terhadap sesuatu atau isu yang berkembang).

Indikator rasa ingin tahu meliputi sikap untuk mencoba menggunakan hasil berpikir orang lain dan menunjukkan rasa ingin tahu terhadap sesuatu atau isu yang berkembang. Indikator berpikiran Terbuka meliputi sikap memahami pendapat orang lain, fleksibel dalam mempertimbangkan pendapat orang lain, bersedia mengambil atau merubah posisi jika alasan atau bukti sudah cukup kuat untuk itu, dan peka terhadap perasaan, tingkat pengetahuan, tingkat kesulitan yang dihadapi orang lain. Indikator sistematis meliputi sikap rajin dalam mencari informasi atau alasan yang relevan, jelas dalam bertanya, tertib dalam bekerja, selalu berhati-hati dalam menggunakan pemikiran kritis, dan tidak mudah


(29)

terpengaruh. Indikator analitis dalam penelitian ini meliputi ketekunan dalam berpikir meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, mencari pernyataan yang jelas dari suatu kesimpulan atau pertanyaan, mencari alasan-alasan yang bersesuaian, dan memilih dan menggunakan kriteria dengan alasan yang tepat. Indikator pencarian kebenaran dalam penelitian ini meliputi mencoba mencari alternatif-alternatif lain, mampu bersikap jujur terhadap pernyataan atau sikap atau pikiran orang lain yang keliru, bersedia memperbaiki dan merevisi pendapat pribadi yang keliru dan yang telah direfleksikan secara jujur oleh orang lain, bersikap adil dalam menanggapi semua penalaran, dan selalu berusaha mendapatkan dan memberikan informasi yang benar. Sedangkan indikator kepercayaan diri dalam berpikir kritis meliputi menggunakan sumber-sumber yang dapat dipercaya, percaya diri pada proses inkuiri yang diyakini benar, dana percaya diri pada penalaran orang lain yang diyakini benar.

C.Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian di atas, yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

“Bagaimana disposisi berpikir kritis siswa kelas VII B SMP Al Kautsar Bandar

Lampung tahun pelajaran 2014/2015 dalam pembelajaran Socrates Kontekstual?”.

D.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana disposisi berpikir kritis siswa VII B SMP Al Kautsar Bandar Lampung tahun pelajaran 2014/2015 dalam pembelajaran Socrates Kontekstual.


(30)

E.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap lembaga pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan sehingga menghasilkan output yang berkualitas. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai disposisi berpikir kritis siswa dalam pembelajaran Socrates Kontekstual.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini dibedakan menjadi manfaat praktis bagi siswa, manfaat praktis bagi guru, manfaat praktis bagi kepala sekolah dan manfaat praktis bagi peneliti. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan memberikan pengalaman belajar yang baru menggunakan metode Socrates Kontekstual serta dapat meningkatkan disposisi berpikir kritis siswa. Bagi guru, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai metode yang baru yang dapat mengidentifikasi permasalahan belajar yang terdapat di kelas dan dapat mencari solusi untuk pemecahan masalah tersebut terutama yag berhubungan dengan disposisi berpikir kritis siswa. Hasil penelitian juga diharapkan menjadi referensi atau masukan bagi guru untuk memperbaiki proses pembelajaran matematika dengan memperhatikan aspek afektifnya terutama disposisi berpikir kritis. Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam


(31)

meningkatkan kualitas sekolah dan mengadakan pembinaan dan peningkatan kemampuan guru sekaligus sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah. Bagi peneliti, penelitian ini menjadi suatu pengalaman secara langsung untuk mengetahui disposisi berpikir kritis siswa dalam suatu proses pembelajaran Socrates kontekstual. Dan bagi pihak lain penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam penyajian informasi untuk mengadakan penelitian serupa.


(32)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A.Kajian Teori

1. Disposisi Berpikir Kritis

Berpikir kritis bukan merupakan hal yang baru dalam studi perkembangan kognisi. Menurut Maxwell (2008b), sekitar 2400 tahun yang lalu Socrates sudah memulainya dengan mengajar siswa-siswanya melalui pertanyaan-pertanyaan, dialog, dan debat untuk menemukan berbagai definisi filosofi seperti kebahagiaan, keadilan, kebajikan, dan lain-lain. Percakapan-percakapan yang dilakukan Socrates dengan siswa-siswanya tersebut dicatat oleh Plato, salah seorang siswa kesayangan Socrates, dan diterbitkan dalam buku Gorgias, Euthyphro, Apology, dan Republic. Dalam dialog-dialognya tersebut, Socrates memberi pertanyaan-pertanyaan yang menguji keyakinan pemikiran siswanya dan kemudian dikonfrontir dengan pemikiran siswa lain. Socrates memimpin debat bukan untuk menemukan jawaban sesungguhnya melainkan untuk membuat siswa bingung dengan pemikirannya sendiri. Socrates, dengan sikap yang rendah hati dan ragu-ragu, memposisikan dirinya sebagai siswa yang ingin mengetahui kebenaran jawaban dari gurunya.

Definisi berpikir kritis terus berevolusi seiring pengetahuan yang bertambah mengenai unsur–unsur penyusun keterampilan berpikir kritis. Banyak ahli yang


(33)

telah merumuskan definisi tentang berpikir kritis. Chaffee (Johnson, 2009: 35) mendefinisikan berpikir kritis adalah berpikir untuk menyelidiki secara sistematis proses berpikir itu sendiri. Maksudnya, tidak hanya memikirkan dengan sengaja, tetapi juga meneliti bagaimana kita dan orang lain menggunakan bukti dan logika. Sementara, Ennis (Lambertus, 2009:2) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berpikir yang rasional dan reflektif yang difokuskan pada apa yang diyakini dan dikerjakan. Rasional berarti memiliki keyakinan dan pandangan yang didukung oleh bukti standar, aktual, cukup, dan relevan. Sedangkan reflektif berarti mempertimbangkan secara aktif, tekun dan hati-hati segala alternatif sebelum mengambil keputusan.

Definisi berpikir kritis yang dikemukakan oleh Scriven dan Paul (Yunarti, 2011: 27-28) yaitu proses kognitif yang aktif dan disiplin serta digunakan dalam aktivitas mental seperti melakukan konseptualisasi, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi. Sementara Beyer (Hassoubah, 2004: 92) menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah kumpulan operasi-operasi spesifik yang mungkin dapat digunakan satu persatu atau dalam banyak kombinasi atau urutan dan setiap operasi berpikir kritis tesebut memuat analisis dan evaluasi. Sedangkan menurut Gunawan (2003: 177-178), berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir pada level yang kompleks dan menggunakan proses analisis dan evaluasi.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, berpikir kritis paling sedikit memuat tiga hal. Pertama, berpikir kritis merupakan proses pemecahan masalah dalam suatu konteks interaksi dengan diri sendiri, dunia orang lain, dan lingkungannya. Kedua,


(34)

berpikir kritis merupakan proses penalaran reflektif berdasarkan informasi dan kesimpulan yang telah diterima sebelumnya yang hasilnya terwujud dalam penarikan kesimpulan. Ketiga, berpikir kritis berakhir pada keputusan apa yang diyakini dan dikerjakan. Jadi, inti dari berpikir kritis adalah proses berpikir rasional dan reflektif terhadap semua bentuk informasi menggunakan metode dan standar intelektual yang bertujuan untuk menganalisis argumen dan memunculkan gagasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, serta membuat keputusan yang dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan.

Dalam suatu proses berpikir kritis dilakukan proses evaluasi. Hal inilah yang membuat berpikir kritis termasuk dalam salah satu jenis berpikir tingkat tinggi. Evaluasi dilakukan untuk merefleksi semua proses yang telah dilakukan sebelumnya untuk kemudian membuat keputusan yang tepat berdasarkan evaluasi tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Halpern (Yunarti, 2011: 28) yang mengatakan bahwa pada saat kita berpikir kritis sebenarnya kita melakukan evaluasi terhadap proses berpikir kita sendiri maupun orang lain untuk kemudian mengambil keputusan terhadap masalah yang kita hadapi.

Glazer (Husnidar, dkk., 2014: 72) menyatakan bahwa berpikir kritis dalam matematika adalah kemampuan dan disposisi untuk melibatkan pengetahuan sebelumnya, penalaran matematis, dan strategi kognitif untuk menggeneralisasi, membuktikan, dan mengevaluasi situasi matematis. Sedangkan Ennis dan Morris (Lambertus, 2009: 2) menyatakan bahwa dalam berpikir kritis terdapat dua komponen, yaitu kemampuan penguasaan pengetahuan dan disposisi. Komponen kemampuan penguasaan pengetahuan dalam berpikir kritis sering disebut sebagai


(35)

keterampilan berpikir kritis sedangkan komponen disposisi disebut sebagai disposisi berpikir kritis. Selanjutnya The APA Delphi Report (Yunarti, 2011: 31) menetapkan dua komponen biimplikasi yang menyusun kompetensi berpikir kritis yaitu cognitive skills (keterampilan kognitif) dan dispositions (kecenderungan). Berdasarkan uraian di atas, berpikir kritis tidak hanya mencakup kemampuan berpikir kritis saja, melainkan terdapat faktor lain yang turut berpengaruh yaitu disposisi berpikir kritis.

Kata disposisi (disposition) secara terminologi sepadan dengan kata sikap. Katz (Mahmudi, 2010: 3) mendefinisikan disposisi sebagai kecenderungan untuk berperilaku secara sadar (consciously), teratur (frequently), dan sukarela (voluntary) yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu. Perilaku-perilaku tersebut antara lain adalah percaya diri, gigih, ingin tahu, dan berpikir fleksibel. Menurut Ritchhart (Yunarti, 2011: 63), pengertian disposisi itu sendiri merupakan “perkawinan” antara kesadaran, motivasi, inklinasi, dan kemampuan atau pengetahuan yang diamati. Sementara Salomon (Herlina, 2013: 6) mendefinisikan disposisi sebagai kumpulan sikap-sikap pilihan dengan kemampuan yang memungkinkan sikap-sikap pilihan tadi muncul dengan cara tertentu.

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa disposisi merupakan suatu kecenderungan atau kebiasaan untuk bersikap terhadap suatu perlakuan tertentu atau dalam kondisi tertentu. Kecenderungan-kecenderungan tersebut secara alami membentuk pola-pola sikap atau tingkah laku tertentu pada diri seseorang yang dapat menjadi „atribut‟ untuk orang tersebut. Dengan kata lain, disposisi itu menunjukkan karakteristik seseorang yang ditunjukkan ketika berinteraksi dengan


(36)

orang lain secara sadar. Misalnya, seseorang yang cenderung marah atau tersinggung apabila diberi suatu kritik maka akan memberi gambaran pada orang lain mengenai disposisinya yang cepat marah atau tersinggung meskipun ia tidak dalam kondisi tersebut atau ia tidak sedang dikritik.

Ennis (Yunarti, 2011: 37) mendefinisikan sebuah disposisi berpikir sebagai sebuah kecenderungan untuk melakukan sesuatu dalam kondisi tertentu. Berdasarkan pengertian dan definisi yang diberikan Ennis di atas, dapat disimpulkan bahwa disposisi berpikir kritis adalah sebuah kecenderungan untuk bersikap menuju pola-pola khusus dari tingkah laku berpikir kritis jika diberikan suatu kondisi atau perlakuan tertentu. Disposisi berpikir kritis menggambarkan semangat kekritisan atau kecenderungan untuk berpikir kritis dengan karakteristik keingintahuan mendalam, ketajaman pemikiran, ketekunan mengembangkan akal, kebutuhan atas informasi yang dapat dipercaya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kwon, et.al. (2009: 269) yang mendefinisikan disposisi berpikir kritis sebagai motivasi intenal yang terus-menerus untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis sehingga dapat memutuskan apa yang dipercaya dan apa yang harus dilakukan jika terdapat suatu masalah, ide, atau isu.

Seseorang yang memiliki disposisi berpikir kritis akan cenderung berpikir kritis ketika ada situasi atau kondisi yang menghadirkan stimulus untuk berpikir kritis. Disposisi berpikir kritis merupakan sifat yang melekat pada diri seseorang yang berpikir kritis. Contohnya, seseorang yang memiliki disposisi berpikir kritis menunjukkan sikap positif jika dihadapkan dengan persoalan yang berhubungan


(37)

dengan matematika. kecenderungan berpikir kritis turut menentukan performa aktual kompetensi berpikir kritis.

Perkins, Jay, dan Tishman (1993: 4) mengajukan konsep disposisi berpikir kritis yang disebut konsep berpikir kritis tigaan (triadic disposition). Ketiga unsur disposisi tigaan berpikir kritis tersebut adalah kepekaan (sensitivitas),

kecenderungan (inklinasi), dan kemampuan. Kepekaan adalah ketajaman

perhatian seseorang pada kesempatan untuk berpikir kritis. Kecenderungan adalah dorongan yang dirasakan oleh seseorang untuk melakukan suatu tingkah laku tertentu untuk menggunakan berpikir kritis. Sedangkan, kemampuan adalah keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk melakukan berpikir kritis. Orang yang memiliki disposisi berpikir kritis adalah orang yang sensitif terhadap momen berpikir kritis, merasa terdorong untuk berpikir kritis, dan memiliki kemampuan dasar untuk berpikir kritis. Walaupun dimasukkan unsur kemampuan dalam konsep disposisinya, Perkins (Lambertus, 2009: 3) menyebutkan bahwa pada kenyataannya yang digunakan dalam disposisi berpikir kritis hanya unsur kecenderungan dan kepekaan saja. Sedang unsur kemampuan hanya menjadi petunjuk bahwa orang yang memiliki disposisi berpikir kritis harus pula memiliki kemampuan (keterampilan kognitif). Oleh sebab itu, pemikir kritis yang baik selalu berusaha untuk melengkapi diri dengan disposisi berpikir kritis, tidak hanya keterampilan kognitif saja.

Seseorang dengan kompetensi berpikir kritis diharapkan dapat berpikir kritis dalam setiap keadaan serta konsisten untuk terus mempertahankan serta mempertajam kemampuan ini. Kemampuan kognitif dalam berpikir kritis


(38)

merepresentasi kemampuan inti dalam berpikir kritis, bahkan mewakili definisi dari kompetensi berpikir kritis pada umumnya, namun tanpa disposisi berpikir kritis, seseorang dapat memilih berhenti pada keadaan telah mampu berpikir kritis namun secara kontraproduktif tidak menggunakannya atau hanya menggunakan kemampuan berpikir kritis dalam situasi dan kondisi tertentu. Kecenderungan untuk berpikir kritis menjadi pembeda antara seorang yang hanya memiliki keterampilan kognitif untuk berpikir kritis dengan seseorang yang memiliki kompetensi dalam berpikir kritis. Kecenderungan membuat seorang pemikir kritis memiliki dorongan untuk mengaplikasikan kompetensi berpikir kritis dalam setiap aspek kehidupan.

Seorang pemikir kritis memiliki ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan yang lain. Beberapa ahli sudah mencoba merinci karakter-karakter yang harus dimiliki oleh seorang yang merupakan pemikir kritis. Salah satu hasil yang disajikan di sini adalah hasil kerja Paul et all. (Yunarti, 2011: 30) yang telah membuat daftar dari 35 dimensi berpikir kritis. Ke-35 dimensi tersebut terbagi atas tiga kelompok strategi yaitu strategi afektif, strategi kognitif dengan kemampuan makro, dan strategi kognitif dengan kemampuan mikro. Strategi afektif terdiri dari 9 sikap yang menunjang seseorang untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Sikap-sikap tersebut antara lain adalah berpikir secara mandiri, melatih kebebasan berpikir, mengembangkan

kerendahan hati intelektual, membangun keberanian intelektual, dan

mengembangkan ketekunan intelektual. Kesembilan sikap tersebut mengarah pada disposisi berpikir kritis.


(39)

Sementara itu, The Delphi Report (Yunarti, 2011: 31) merumuskan beberapa karakteristik berpikir kritis melalui disposisi afektif. The Delphi Report menjelaskan disposisi afektif dalam dua buah pendekatan, yaitu 1) pendekatan untuk hidup dan tinggal dengan masyarakat umumnya, dan 2) pendekatan untuk menghadapi isu-isu, pertanyaan-pertanyaan, atau masalah khusus. Pendekatan pertama menekankan kepada sikap-sikap positif sebagai makhluk sosial, seperti: rasa ingin tahu dengan masalah di sekitarnya, percaya diri pada proses berpikir yang benar, bersikap fleksibel, terbuka, dan adil terhadap pendapat orang lain, mencoba memahami pemikiran orang lain, dan rendah hati secara intelektual. Sementara pendekatan kedua lebih fokus pada sikap-sikap positif yang diperlukan saat seseorang menghadapi suatu masalah, seperti berusaha mencari kejelasan masalah yang dihadapi, rajin, tekun, sistematis, dan fokus pada penyelesaian masalah.

Ennis (Kuswana, 2011: 21) berpendapat bahwa berpikir kritis pada dasarnya tergantung pada dua disposisi. Pertama, perhatian untuk bisa melakukannya dengan benar sejauh mungkin dan kepedulian untuk menyajikan posisi jujur dan kejelasan. Kedua, tergantung pada proses evaluasi (menerapkan kriteria untuk menilai kemungkinan jawaban), baik secara implisit maupun eksplisit.

Para ahli telah merumuskan indikator-indikator berpikir kritis, namun indikator yang digunakan pada penelitian ini adalah indikator yang dirumuskan oleh Yunarti. Yunarti (2011: 31) merumuskan indikator-indikator berpikir kritis antara lain: pencarian kebenaran (sikap untuk selalu mendapatkan kebenaran), berpikiran terbuka (sikap untuk bersedia mendengar


(40)

atau menerima pendapat orang lain), sistematis (sikap rajin dan tekun dalam berpikir), analitis (sikap untuk tetap fokus pada masalah yang dihadapi serta berupaya mencari alasan-alasan yang bersesuaian), kepercayaan diri dalam berpikir kritis (sikap percaya diri terhadap proses inkuiri dan pendapat yang diyakini benar), rasa ingin tahu (sikap yang menunjukkan rasa ingin tahu terhadap sesuatu atau isu yang berkembang).

Sulistyowati (2012 : 32) berpendapat bahwa rasa ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Dari pengertian ini, berarti untuk memiliki rasa ingin tahu yang besar, syaratnya seseorang harus tertarik pada suatu hal. Keterkaitan itu ditandai dengan adanya proses berpikir aktif seperti berusaha membaca atau bertanya. Satiadarma (2003:110) mengemukakan bahwa bahwa seseorang yang memiliki rasa ingin tahu yang mendalam akan selalu bertanya dan memperhatikan penjelasan guru. Berdasarkan pendapat tersebut, seseorang yang memiliki rasa ingin tahu ditandai dengan sikapnya yang selalu bertanya. Adapun, rasa ingin tahu yang termasuk dalam penelitian ini meliputi sikap untuk mencoba menggunakan hasil berpikir orang lain dan menunjukkan rasa ingin tahu terhadap sesuatu atau isu yang berkembang.

Perkins dan Tishman (Santrock, 2008: 78) mengemukakan bahwa seseorang yang berpikiran terbuka Menghindari pemikiran sempit, membiasakan mengeksplorasi opsi-opsi yang ada. Dalam penelitian ini, yang dimaksud berpikiran terbuka meliputi sikap untuk memahami pendapat orang lain, fleksibel dalam mempertimbangkan pendapat orang lain, bersedia mengambil atau merubah posisi


(41)

jika alasan atau bukti sudah cukup kuat untuk itu, dan peka terhadap perasaan, tingkat pengetahuan, tingkat kesulitan yang dihadapi orang lain.

Siswono (2007: 23) mengemukakan bahwa sistematis adalah kemampuan berpikir seseorang untuk mengerjakan atau menyelesaikan suatu tugas sesuai dengan urutan, tahapan, langkah-langkah, atau perencanaan yang tepat, efektif, dan

efisien. Dalam penelitian ini, yang dimaksud sistematis yaitu rajin dalam mencari

informasi atau alasan yang relevan, jelas dalam bertanya, tertib dalam bekerja, selalu berhati-hati dalam menggunakan pemikiran kritis, dan tidak mudah terpengaruh.

Menurut Siswono (2007: 23), analitis adalah sikap siswa untuk menguraikan, merinci, dan menganalisis informasi-informasi yang digunakan untuk memahami suatu pengetahuan dengan menggunakan akal dan pikiran yang logis, bukan berdasar perasaan atau tebakan. Analitis yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu ketekunan dalam berpikir meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, mencari pernyataan yang jelas dari suatu kesimpulan atau pertanyaan, mencari alasan-alasan yang bersesuaian, dan memilih serta menggunakan kriteria dengan alasan-alasan yang tepat.

Filsaime (Novitasari, 2014: 2) mengemukakan bahwa pencarian kebenaran adalah sikap untuk mencari pernyataan yang jelas atas pertanyaan, mencari alasan, dan mencoba untuk selalu mencari jawaban-jawaban yang tepat dari suatu permasalahan. Dalam penelitian ini, yang dimaksud sikap pencarian kebenaran adalah sikap untuk mencoba mencari alternatif-alternatif lain, mampu bersikap jujur terhadap pernyataan atau sikap atau pikiran orang lain yang keliru, bersedia


(42)

memperbaiki dan merevisi pendapat pribadi yang keliru dan yang telah direfleksikan secara jujur oleh orang lain, bersikap adil dalam menanggapi semua penalaran, dan selalu berusaha mendapatkan dan memberikan informasi yang benar.

Hakim (2002: 6) yang menyatakan percaya diri berarti yakin akan kemampuannya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan masalah. Selain itu, Lie (2004: 4) juga menyebutkan bahwa ciri-ciri seseorang memiliki kepercayaan diri yang tinggi adalah yakin terhadap kemampuannya, tidak ragu-ragu, dan memiliki keberanian untuk bertindak. Keberanian mereka dalam mengemukakan pendapat mengindikasikan bahwa mereka percaya diri. Hal ini berdasarkan teori Lauster (2002) yang menyatakan bahwa seseorang yang percaya diri berani mengungkapkan pendapat. Sikap yang mengindikasikan siswa tersebut percaya diri dalam penelitian ini yaitu menggunakan sumber-sumber yang dapat dipercaya, percaya diri pada proses inkuiri yang diyakini benar, dan percaya diri pada penalaran orang lain yang diyakini benar.

2. Metode Socrates

Metode Socrates adalah metode yang dibuat/dirancang oleh seorang tokoh filsafat Yunani yang bernama Socrates (469-399 SM). Menurut Maxwell (2008a), metode Socrates dinamakan demikian untuk mengabadikan nama penciptanya. Socrates merupakan seorang filsuf Yunani klasik, yang tinggal di Athena selama masa kejayaan Yunani. Socrates dikenal di Athena pada saat dia berusia empat puluhan tahun karena kebiasaannya terlibat dalam percakapan filosofi di lingkungan publik


(43)

penolakan/penyangkalan pengetahuan. Dalam percakapan-percakapan tersebut, Socrates bersikap sebagai siswa dan lawan bicaranya dianggap sebagai guru. All I know is that I know nothing. Itulah salah satu filosofi Socrates.

Metode Socrates adalah prosedur pengajaran lama yang mempunyai sejarah dan prestise panjang pada zaman Yunani awal. Dalam proses pembelajaran, Jones, Bagford, dan Walen (Yunarti, 2011: 47) mendefinisikan Metode Socrates sebagai

“…a process of discussion led by the instructor to induce the learner to question the

validity of his reasoning or to reach a sound conclusion”, yaitu sebuah proses

diskusi yang dipimpin guru untuk membuat siswa mempertanyakan validitas penalarannya atau untuk mencapai sebuah kesimpulan.

Sementara Maxwell (2008a) mendefinisikan Metode Socrates sebagai “…a

process of inductive questioning used to successfully lead a person to knowledge through small steps.” Artinya metode socrates merupakan sebuah proses pemberian pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya induktif yang dipimpin oleh guru untuk mengontruksi pengetahuan siswa melalui langkah-langkah kecil. Hal ini sejalan dengan pendapat Johnson, D. W. & Johnson, R. T. (2002: 194) yang menyatakan bahwa metode Socrates diajarkan dengan cara bertanya jawab untuk membimbing dan memperdalam tingkat pemahaman yang berkaitan dengan materi yang diajarkan sehingga anak didik mendapatkan pemikirannya sendiri dari hasil konflik kognitif yang terpecahkan.

Dari definisi-definisi di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai definisi Metode Socrates, yaitu sebuah metode pembelajaran yang di dalamnya memuat dialog atau diskusi yang dipimpin oleh guru berupa pertanyaan-pertanyaan


(44)

induktif untuk menkontruksi pengetahuan siswa. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dimulai dari pertanyaan-pertanyaan yang sederhana sampai pertanyaan yang kompleks untuk mencapai sebuah kesimpulan. Metode ini dapat digunakan untuk menguji validitas keyakinan siswa terhadap suatu objek dan memperdalam pemahaman siswa terhadap suatu materi dari hasil konflik kognitifnya sendiri.

Seluruh percakapan dalam Metode Socrates merupakan percakapan yang bersifat konstruktif dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan Socrates. Menurut Permalink (2006), Richard Paul telah menyusun enam jenis pertanyaan Socrates dan memberi contoh-contohnya. Keenam jenis pertanyaan tersebut adalah pertanyaan klarifikasi, asumsi-asumsi penyelidikan, alasan-alasan dan bukti penyelidikan, titik pandang dan persepsi, implikasi dan konsekuensi penyelidikan, dan pertanyaan tentang pertanyaan.

Keenam jenis pertanyaan Socratik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. a. Pertanyaan klarifikasi, merupakan pertanyaan untuk memperoleh verifikasi,

informasi tambahan, atau klarifikasi tentang pendapat atau ide utama di mana siswa, menjelaskan opininya, memfrase konten, atau menjelaskan pernyataan khusus.

b. Pertanyaan yang menyelidiki asumsi, merupakan pertanyaan tentang klarifikasi, verifikasi, eksplanasi, atau reliabilitas suatu masalah.

c. Pertanyaan yang menyelidiki alasan dan bukti, merupakan pertanyaan yang meminta contoh tambahan, bukti atau alasan, kecukupan alasan, proses yang menghasilkan keyakinan dan/atau sesuatu yang mungkin mengubah pikiran siswa.


(45)

d. Pertanyaan tentang pendapat atau perspektif, merupakan pertanyaan untuk menemukan alternatif tertentu, atau membandingkan kemiripan dan perbedaan di antara pendapat.

e. Pertanyaan yang menyelidiki implikasi atau akibat, merupakan pertanyaan yang mendorong siswa menguraikan dan mendiskusikan implikasi dari apa yang dikatakan, alternatif, pengaruh, dan/atau penyebab dari tindakan.

f. Pertanyaan tentang pertanyaan, menguraikan pertanyaan menjadi pertanyaan yang lebih kecil atau menentukan apakah suatu evaluasi diperlukan atau tidak.

Jenis-jenis pertanyaan Socrates, contoh-contoh pertanyaan, serta kaitannya dengan disposisi berpikir kritis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Pertanyan Socrates dan Contohnya

No Tipe

Pertanyaan Contoh Pertanyaan

Kaitan dengan Indikator Disposisi Berpikir Kritis yang

Muncul

1. Klarifikasi Apa yang anda ketahui tentang

….?

Dapatkah anda mengambil cara lain?

Dapatkah anda memberikan saya sebuah contoh?

Pencarian kebenaran (sikap untuk selalu mendapatkan kebenaran) Kesediaan untuk memikirkan kembali dan memperbaiki pendapat pribadi apabila telah dilakukan refleksi secara jujur Memilih dan

menggunakan kriteria dengan alasan yang tepat

2.

Asumsi-asumsi Penyelidikan

Apa yang anda asumsikan? Bagaimana anda bisa memilih asumsi-asumsi itu?

Jelas dalam menyatakan suatu pertanyaan atau suatu objek perhatian Tekun dalam mencari penjelasan dari suatu kesimpulan atau pertanyaan


(46)

Lanjutan Tabel 2.1 3.

Alasan-alasan dan bukti

Penyelidikan

Bagaimana anda bisa tahu?

Mengapa anda menjawab demikian?

Apa yang dapat mengubah pemikiran anda?

Fokus dalam masalah utama Rajin dalam mencari informasi atau alasan yang relevan Jujur dalam menilai pemikiran sendiri yang bias, penuh prasangka buruk dengan kecenderungan yang egosentris

4. Titik pandang dan persepsi

Apa yang anda

bayangkan dengan hal tersebut?

Efek apa yang dapat diperoleh?

Apakah pekerjaan ini sudah benar?

Fokus pada masalah utama Rajin dalam mencari informasi atau alasan yang relevan Sistematis (sikap rajin dan tekun dalam berpikir) Berusaha mencari alternatif lain

5. Implikasi dan Konsekuensi Penyelidikan

Bagaimana cara mengatasinya? Apa isu pentingnya? Generalisasi apa yang dapat kita buat?

Sistematis (sikap rajin dan tekun dalam berpikir) Analitis (sikap untuk tetap fokus pada masalah yang dihadapi serta berupaya mencari alasan-alasan yang bersesuaian)

6. Pertanyaan tentang pertanyaan

Apa maksudnya? Apa yang menjadi poin dari pertanyaan ini? Mengapa anda berpikir saya bisa menjawab pertanyaan ini?

Kepercayaan diri dalam berpikir kritis (sikap percaya diri terhadap proses inkuiri dan pendapat yang diyakini benar) Sistematis (sikap rajin dan tekun dalam berpikir) Rasa ingin tahu (sikap yang menunjukkan rasa ingin tahu terhadap sesuatu atau isu yang berkembang).

Sumber: Yunarti (2011: 46)

Ada dua hal pokok yang membedakan metode Socrates dengan metode tanya-jawab lainnya. Pertama, Metode Socrates dibangun di atas asumsi bahwa pengetahuan sudah berada dalam diri siswa dan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang tepat dapat menyebabkan pengetahuan tersebut muncul


(47)

ke permukaan. Hal ini menunjukkan, bahwa sebenarnya siswa sudah memiliki pengetahuan yang dimaksud hanya saja belum menyadarinya. Adalah tugas guru atau tutor untuk menarik keluar pengetahuan tersebut agar dapat dirasakan keberadaannya oleh siswa. Sebagai contoh, ketika guru hendak menjelaskan pengertian variabel, sebaiknya guru memberikan banyak eksperimen dan pertanyaan yang dapat membantu siswa mengonstruksi pemahamannya terhadap pengertian variabel secara mandiri.

Kedua, pertanyaan-pertanyaan dalam Metode Socrates digunakan untuk menguji validitas keyakinan siswa mengenai suatu objek secara mendalam. Hal ini menunjukkan jawaban yang diberikan siswa harus dipertanyakan lagi sehingga siswa yakin bahwa jawabannya benar atau salah. Guru tidak boleh berhenti bertanya sebelum yakin bahwa jawaban siswa sudah tervalidasi dengan baik. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan tersebut dapat berupa:

Mengapa anda yakin dengan jawaban itu? Bagaimana jika ……?

Apa yang menjadi landasan atau dasar jawaban anda? Menurut anda, apa yang membuat ini tidak berlaku?

Dengan demikian, apakah anda masih yakin dengan jawaban pertama anda tadi?

Melalui pertanyaan-pertanyaan Socrates di atas, siswa dituntut untuk menggali dan menganalisis sendiri pemahamannya sehingga ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa jawabannya benar atau salah. Hal ini menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan Socrates yang kritis serta diajukan secara sistematis dan


(48)

logis secara nyata mampu mengeksplor seluruh kemampuan berpikir kritis siswa untuk mendapatkan hakikat kebenaran suatu objek.

Saat metode Socrates diterapkan dalam pembelajaran, guru harus melaksanakan beberapa strategi agar pembelajaran Socrates dapat berjalan dengan baik. Strategi-strategi yang dimaksud dalam Yunarti (2011: 60), adalah:

1. Menyusun pertanyaan sebelum pembelajaran dimulai

2. Menyatakan pertanyaan dengan jelas dan tepat

3. Memberi waktu tunggu

4. Menjaga diskusi agar tetap fokus pada permasalahan utama

5. Menindaklanjuti respon-respon siswa

6. Melakukan scafolding

7. Menulis kesimpulan-kesimpulan siswa di papan tulis

8. Melibatkan semua siswa dalam diskusi

9. Tidak memberi jawaban "Ya" atau "Tidak" melainkan menggantinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggali pemahaman siswa.

10. Memberi pertanyaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.

Langkah-langkah metode Socrates yang digunakan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut.

1. Menanyakan suatu fenomena, informasi, atau objek tertentu dengan:

Apakah..?" atau "Mengapa...?" atau "Apa yang terjadi?"

2. Mengajak siswa memikirkan dugaan jawaban yang benar dengan pertanyaan "Bagaimana...?

3. Melakukan pengujian atas jawaban-jawaban siswa dengan counter examples melalui pertanyaan-pertanyaan seperti, "Mengapa bisa begitu?", "Bagaimana jika...?"

4. a. Melakukan penilaian atas jawaban siswa melalui pertanyaan-pertanyaan seperti,"Apakah anda yakin ...?" atau "Apa alasan ..?" (proses bisa kembali ke langkah


(49)

b. Menyusun hasil analisis siswa di papan tulis dan meminta siswa lain melakukan penilaian. Guru menguji jawaban siswa penilai dengan langkah (3) dan (4.a).

5. a. Guru menyusun rangkaian analisis siswa dan meminta siswa mengoreksi kembali urutan rangkaian tersebut. Dalam tahap ini rangkaian analisis yang ditulis merupakan jawaban yang benar. Guru memberi bingkai untuk jawaban yang benar dan atau menghapus jawaban lain yang salah.

b. Pengambilan kesimpulan atau keputusan dengan pertanyaan, "Apa kesimpulan anda mengenai ...?" atau "Apa keputusan anda?"

Penggunaan metode Socrates dalam pembelajaran dapat membimbing siswa untuk berpikir kritis, mendorong siswa untuk aktif belajar dan menguasai ilustrasi pengetahuan, menumbuhkan motivasi dan keberanian dalam mengemukakan pendapat dan pikiran sendiri, memupuk rasa percaya pada diri sendiri, meningkatkan partisipasi siswa dan berlomba-lomba dalam belajar yang menimbulkan persaingan yang dinamiss, serta menumbuhkan disiplin.

Metode Socrates dalam pelaksanaannya masih sulit dilaksanakan, pada sekolah tingkat rendah dikarenakan siswa belum mampu berpikir secara mandiri. Metode Socrates juga terlalu bersifat mekanis, dimana anak didik dapat dipandang sebagai mesin, yang selalu siap untuk digerakkan, lebih menekankan dari segi efektif (aspek berfikir) daripada kognitif (penghayatan/perasaan), dan kadang-kadang tidak semua guru selalu siap memakai metode Socrates, karena metode Socrates menuntut dari semua pihak baik guru maupun siswa sama-sama aktif untuk belajar dan menguasai bahan/ilmu pengetahuan.


(50)

3. Pendekatan Kontekstual

Salah satu pendekatan pembelajaran yang dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan dengan produktif dan bermakna bagi siswa adalah pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang selanjutnya disebut CTL.Komalasari (2010: 7) mendefinisikan pendekatan kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun warga negara, dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupannya. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual tidak hanya sekedar kegiatan mentransfer pengetahuan dari guru kepada siswa, tetapi bagaimana siswa mampu memaknai apa yang dipelajari. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam pembelajaran kontekstual, siswa menemukan hubungan antara ide-ide abstrak dengan penerapan di dalam konteks dunia nyata.

Sementara itu, Nurhadi (2003: 153) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Selanjutnya Daryanto dan Rahardjo (2012: 156) menjelaskan bahwa pendekatan kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan untuk memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang


(51)

secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks lain.

Seperti halnya Johnson (2010: 14) yang mendefinisikan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) sebagai sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa itu mampu menyerap sebuah pelajaran jika mereka menangkap makna dari apa yang mereka pelajari. Siswa mampu mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan serta pengalaman yang sebelumnya dimiliki.. CTL merupakan sebuah pendekatan pendidikan yang berbeda, karena CTL menuntut siswa lebih daripada sekedar mengaitkan subjek akademik namun juga melibatkan siswa untuk mencari makna dari pengetahuan yang mereka pelajari.

Berdasarkan beberapa definisi pendekatan kontekstual tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memfasilitasi siswa dalam menemukan sesuatu yang baru melalui pembelajaran mandiri. Siswa benar-benar mengalami dan menemukan sendiri apa yang dipelajari sebagai hasil rekonstruksi sendiri sehingga siswa menjadi lebih kreatif, inovatif, dan produktif. Penerapan pendekatan pembelajaran konstektual ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman makna materi pelajaran dengan mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari sebagai individual, anggota keluarga, anggota masyarakat dan anggota bangsa.


(52)

Pendekatan Kontekstual memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang lain dalam pendidikan matematika. Menurut Hermawan (2007: 156), terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran dengan pendekatan kotekstual, diantaranya:

a. Pembelajaran CTL merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah

ada.

b. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru.

c. Pemahaman pengetahuan artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk

dihafal tetapi untuk diyakini dan dipahami.

d. Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut, artinya

pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh harus diaplikasikan dalam kehidupan peserta didik.

e. Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Dengan

pendekatan kontekstual peserta didik dapat menyadari sepenuhnya makna belajar, manfaatnya, dan bagaimana upaya untuk mencapainya.

Dalam penelitian ini diharapkan kelima karakteristik tersebut dapat terjadi selama proses pembelajaran. Dari kelima karakteristik Pembelajaran Berbasis Kontekstual tersebut terdapat karakter yang dapat terus dikembangkan menjadi sebuah pembelajaran yang dibutuhkan peserta didik. Karakter tersebut meliputi kerjasama, pembelajaran yang menyenangkan, pembelajaran tidak membosankan, pembelajaran terintegrasi, pembelajaran yang bermakna, menggunakan berbagai sumber, menuntut siswa berpikir kritis, dan menuntut guru kreatif. Hal tersebut menjadi sebuah ciri-ciri bagi sebuah pembelajaran dengan pendekatan Kontekstual.

Ciri-ciri pendekatan kontekstual yang dikemukakan oleh Kunandar (2007: 17), yaitu sebagai berikut:

1. Adanya kerja sama antar semua pihak

2. Menekankan pentingmya pemecahan masalah


(53)

4. Saling menunjang

5. Menyenangkan, tidak membosankan

6. Belajar dengan bergairah 7. Pembelajaran terintegrasi

8. Menggunakan berbagai sumber

9. Siswa aktif

10. Sharing dengan teman

11. Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan sebagainya

12. Siswa kritis, guru kreatif

13. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan sebagainya.

Sebagaimana ciri-ciri pendekatan Kontekstual yang dikemukakan oleh Kunandar tersebut, pembelajaran dengan pendekatan Kontekstual yang diterapkan di kelas dalam penelitian ini juga memuat beberapa ciri antara lain adanya kerja sama baik antar siswa maupun siswa dengan guru, menyenangkan, pembelajaran terintegrasi, belajar dengan bergairah, menggunakan berbagai sumber, meuntut siswa aktif, sharing dengan teman, menuntut siswa kritis dan guru kreatif.

Muslich (2007: 44) menjelaskan bahwa terdapat tujuh komponen utama pembelajaran efektif yang mendasari penerapan pendekatan kontekstual di kelas, yaitu konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modelling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment).

1. Konstruktivisme (Constructivism)

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual mendasarkan pada filosofi kontruktivisme. Menurut Glaserferd (Nurhadi, 2003: 15), kontruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah kontruksi kita sendiri. Titik tekan komponen ini adalah pembentukan pemahaman


(54)

sendiri secara aktif, kreatif serta produktif. Dalam proses pembelajaran, siswa diharapkan dapat membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini didukung oleh teori belajar Vygotsky. Vigostky (Nurhadi, 2003: 22) menekankan pentingnya peran aktif seseorang dalam mengonstruksi pengetahuan untuk mengembangkan kognitifnya.

Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan kontruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan, untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan menjadikan pengetahuan yang relevan dan bermakna bagi siswa, memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar. Siswa berusaha membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasarkan pada pengetahuan awal dan pengalaman belajar yang bermakna. Hal tersebut sejalan dengan teori Ausubel. Ausubel (Nurhadi, 2003: 21) mengemukakan bahwa belajar merupakan asimilasi yang bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.

2. Menemukan (Inquiry)

Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa akan lebih bermakna jika diperoleh dari hasil penemuannya sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurhadi (2003: 12) bahwa pengetahuan dan keterampilan yang


(55)

diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri melalui siklus observasi, bertanya,

mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. Dalam proses

menemukan, terjadi proses perpindahan dari pengamatan menjadi suatu pemahaman sehingga dibutuhkan keterampilan dan disposisi berpikir kritis dalam proses menemukan tersebut. Hal ini juga dikemukakan oleh Daryanto dan Rahardjo (2012: 157) bahwa dalam proses inquiry, siswa belajar menggunakan kemampuan berpikir kritisnya.

3. Bertanya (Questioning)

Kunandar (2007: 12) menjelaskan questioning (bertanya) merupakan strategi utama pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Menurut Muslich (2007: 42) kegunaan bertanya adalah untuk menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, membangkitkan peran serta siswa, mengetahui rasa keingintahuan siswa, mengetahui hal-hal yang sudah dan belum diketahui siswa, memfokuskan perhatian siswa, dan menyegarkan pengetahuan siswa. Pendapat lain dikemukakan oleh Nurhadi (2003: 12) bahwa bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa, salah satunya kemampuan dan disposisi berpikir kritisnya. Dengan kata lain bertanya merupakan salah satu cara untuk melatih kemampuan dan disposisi berpikir kritis seseorang.


(56)

Prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran yang berkaitan dengan komponen ini adalah menggunakan cara yang lebih efektif dalam mengali informasi, pertanyaan digunakan untuk mengukur pengetahuan siswa, dan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman siswa melalui diskusi. Sebaiknya, seorang guru memiliki metode yang tepat untuk mengajukan pertanyaan kepada siswa. Salah satu metode yang tepat untuk menerapkan sistem bertanya dalam proses pembelajaran adalah menggunakan metode Socrates. Pembelajaran menggunakan metode Socrates yang merupakan metode tanya jawab secara mendalam untuk menemukan jawaban sesuai dengan komponen bertanya dalam pendekatan kontekstual. Dengan demikian, metode Socrates cocok dipadukan dengan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran.

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Sardiman (2007: 225) berpendapat bahwa dalam kegiatan kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran secara kelompok. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajar yang lemah, yang sudah tahu temannya yang belum tahu, yang belum tahu, yang cepat menangkap akan mendorong temannya yang lambat.

Masyarakat belajar terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Model pembelajaran dengan teknik Learning Community ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas.


(57)

5. Pemodelan (Modeling)

Kunandar (2007: 313) menjelaskan bahwa pemodelan (modeling) adalah sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu yang di dalamnya ada model yang bisa ditiru. Dengan kata lain, dalam pemodelan terdapat proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya: Guru memberikan contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat asing, guru olah raga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, guru kesenian memberikan contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru biologi memberikan contoh bagaimana cara menggunakan termometer, dan lain sebagainya.

Proses modeling tidak sebatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah menjadi juara dalam membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan teman – temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Modeling merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang dapat memungkinkan terjadinya verbalisme.

6. Refleksi (Reflection)

Menurut Nurhadi (2003: 12), refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Berdasarkan definisi tersebut, dalam refleksi terjadi pengendapan


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Yunus. 2014. Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: PT Refika Aditama.

Aizikovitsh, E. dan Amit, M. 2010 . Evaluating an Infusion Approach to the Teaching of Critical Thinking Skills Through Mathematics. Procedia Social and Behavioral Sciences Vol. 23 [818–3822]. Tersedia:

http://www.sciencedirect.com/science. Diunduh tanggal 21 November 2014. Anderson, Gary dan Nancy Arsenault. 2005. Fundamentals of Educational

Research. USA: Taylor & Francis e-Library.

Anhar. 2015. Keterampilan Bertanya. [Online]. Tersedia:http://www. academia.edu.Maret 2015.

Aunurrahman. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Ayu, Lusi Dyah dan Murdibjono. 2012. The Use Of Games In Teaching

Matemathics. Jurnal Universitas Malang. Tersedia: http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel.pdf

Azwar, Saifuddin. 1988. Seri Psikologi Sifat Manusia Dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty.

Callahan, Joseph F. dan Clark, Leonard H. 1982. Teaching in the Middle and Secondary Schools. New York: Macmilland Publishing Co Inc.

Daryanto dan Mulyo Rahardjo. 2012. Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: Gava Media.

Djamarah, Bahri Syaiful dan Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta

Fachrurazi. 2011. Penerapan Pem-belajaran Berbasis Masalah untuk

Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, Edisi Khusus, Nomor 1, Agustus 2011, ISSN 1412-565X. Bandung: Univeritas Pendidikan Indonesia. [online]. Tersedia: http://jurnal.upi.edu/. [19 November 2014].


(2)

Fisher, Craig. 2010. Discussion,Participation and Feedback in Online Course 2010 ISECON Proceedings v27 n1382. USA:Nashville Tennessee. [Online].Tersedia: http://proc.isecon.org. Maret 2015.

Guilford, J.P. 1956. Fundamental Statistic in Psychology And Education. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc

Gunawan, A. W. 2003. Born To Be a Genius. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hakim. 2002. Mengatasi Rasa Percaya Diri. Jakarta: Puspa Swara.

Hassoubah, Z. I. 2004. Developing Creative and Critical Thinking Skill. Bandung: Nuansa.

Herlina, Elda. 2013. Meningkatkan Disposisi Berpikir Kreatif Matematis Melalui Pendekatan APOS. Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP

Siliwangi Bandung. Vol. 2. No.2 [30-45].

Hermawan. 2007. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.

Hudoyo, Herman. 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.

Husnidar, dkk. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi Matematis Siswa. Jurnal Didaktik Matematika Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Vol. 1 No. 1 [71-81]

Huyen, N.T.T. & Nga, K.T.T. 2003. Learning Vocabulary Through Games. Asian EFL Journal. Tersedia:

http:///www.262-games-in-the-esl-and-efl-classroom.html.

Ichsan, Ratita Ruwahidha Nur. 2010. Peningkatan Motivasi Karir Melalui Teknik Diskusi Kelompok Kecil (Buzz Group Discussion) Pada Siswa SMK

Muhammadiyah 1 Tempel. Jurnal Universitas Yogyakarta. Vol. 2 No. 4 [2]. Tersedia: http://eprints.uny.ac.id/8618/2007104244037.pdf

Johnson, B. 2009. Contextual Teacing & Learning. Bandung: MLC.

Johnson, D. W. dan Johnson, R. T.2002.Meaningful assessment: A manageable and cooperative process. Boston, MA: Allyn & Bacon.

Johnson, E. B. 2010. Contextual Teacing & Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar Dan Mengajar Mengasyikkan Dan Bermakna. Bandung: Mizan LEARNING Center (MLC).


(3)

Komalasari, Kokom. 2010. Pembelajaran Kontekstual, Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT Refika Aditama.

Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Jakarta Pers.

Kuswana, Wowo Sunaryo. 2011. Taksonomi Berpikir. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kwon, Nahyun, et. al. 2007. Critical Thinking Disposition and Library Anxiety: Affective Domains on the Space of Information Seeking and Use in

Academic Libraries. USA: University of South Florida.

Lambertus. 2009. Pentingnya Melatih Keterampilan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika SD. JurnalForum Kependidikan, Volume 28, Nomor 2, Maret 2009. Kendari: UNHALU. [online]. Tersedia:

http://eprints.uny.ac.id/. [8 Januari 2015].

Lauster, Peter. 2002. Tes Kepribadian (Alih Bahasa: D.H Gulo). Edisi Bahasa Indonesia. Cetakan Ketiga belas. Jakarta: Bumi Aksara

Leader, L.F. dan Middleton, J.A. 2004. Promoting Critical Thinking Dispositions by Using Problem Solving in Middle School Mathematics. RMLE Online (Research in Middle Level Education—Online) Vol. 28, No. 1 [1 – 13]. Tersedia: http://www.nmsa.org/portals/0/pdf

/publications/RMLE/rmle_vol28_no1_article3.pdf.

Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning: Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta : PT. Grasindo.

Lie, Anita. 2004. Menumbuhkan Percaya Diri Pada Anak. Jakarta: Gramedia Mahmudi, Ali. 2010. Tinjauan Asosiasi antara Kemampuan Pemecahan Masalah

Matematis dan Disposisi Matematis. Yogyakarta: FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta.

Maulana. 2013. Mengukur dan Mengembangkan Disposisi Kritis dan Kreatif Guru dan Calon Guru Sekolah Dasar. Jurnal Mimbar Pendidikan Dasar, Volume 4, No. 2.

Maxwell, M. 2008a. The Socrates Method and its Effect on Critical Thinking. [Online]. Tersedia: http://www.Socratesmethod.net/. Diakses pada tanggal 20 November 2014.

Maxwell, M. 2008b. How to Use the Socratic Method . [Online]. Tersedia: http://www.socraticmethod.net/how_to_use_the_socratic_method.htm. Diakses pada tanggal 22 November 2014.


(4)

Miles, Matthew B dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-Press.

Morgan, Clifford T. 2006. Introduction to Psikology. New York: Mc. Grow Hill Book Company.

Mulyana, Tatang. 2008. Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif. [Online] Tersedia:

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/19510 1061976031TATANG_MULYANA/File_24_Kemampuan_Berpikir_Kritis _dan_Kreatif_Matematik.pdf. Diakses tanggal 10 Desember 2014.

Muslich, M. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

Nasution. 2003. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: PT Bumi Aksara. Ningsih, P.R. 2011. Nil Voluntibus Arduum Concept ( Membangun Sikap

Resiliansi Melalui Model Pembelajaran Sokrates Dan Multiple Intelligences) Untuk Meningkatkan Perkembangan Komunikasi Dan Interaksi Sosial Anak Autis. Makalah. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

Novitasari, Anindita Trinura. 2014. Pengembangan Pemikiran Kritis dan Kreatif

dalam Pembelajaran Ekonomi dengan Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning. Prosiding Seminar Nasional 9 Mei 2014. [online]. Tersedia: http://seminar.uny.ac.id/semnasfe2015/sites/seminar.uny.ac.id. Diakses tanggal 19 April 2015.

Nurhadi. 2003. Pembelajaran Kontekstual. Jakarta: Gramedia Widiasarana. Paul , R dan Eldes L. 2006. Critical Thingking: The Art of Socratic Questioning.

Journal of Development Education, 31(1), [62-67].

Perkins, D. N., Tishman, S., and Jay, E. 1993. Thinking dispositions: From transmission to enculturation. Journal of Developmental Psychology, 39(1) [1-21].

Permalink. (2006). Begging the Question: Socratic Dialogue Part I. [Online]. Tersedia:

http://gandalwaven.typepad.com/intheroom/2006/11/ask_any_cogniti.html. Diakses tanggal 19 November 2014.

Popham, W.J. 1999. Classroom Assessment :What Teachers Need to Know. Mass: Allyn-Bacon


(5)

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Santrock J.W. 2008. Pikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta:Prenada Media Group.

Sardiman. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Satiadarma, Monly. 2003. Mendidik Kecerdasan. Jakarta : Pustaka Populer Obor. Schiller, Nicholas. 2009. Finding a Socratic Method for Information Literacy

Instruction. [online]. Tersedia: https://research.wsulibs.wsu.edu. Diakses pada tanggal 04 April 2015.

Siswono, Tatag Yuli Eko. 2007. Pembelajaran Matematika Humanistik yang Mengembangkan Kreativitas Siswa. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Sthumpss. 2014. The Socratic Method: Centers on Dialogue in the Learning Process. [online]. Tersedia: www.megaessays.com. Diakses pada tanggal 04 April 2015.

Sudjana. 2005. Strategi Pembelajaran. Bandung : Falah production.

Suharta, I Gusti Putu. 2002. Matematika Realistik : Apa dan Bagaimana. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional. Suherman, Erman dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.

Bandung: JICA Jurusan Pendidikan Matematika F MIPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Sulistyowati, E. 2012. Implementasi Kurikulum Pendidikan Karakter. Yogyakarta: PT. Citra Aji Parama.

Sumarmo, U. 2006. Berpikir Matematika Tingkat Tinggi: Apa, mengapa, dan bagaimana. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Supinah. 2008. Pembelajaran Matematika SD dengan Pendekatan Kontekstual dalam Melaksanakan KTSP. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Indonesia. Susanti, Rika. 2007. Penerapan Pembelajaran Group Investigation Untuk

Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas VII SMPN 1 Keritang. Riau: Universitas Riau.


(6)

Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta : PT. Kencana.

Widodo, A, Sumiati, Y, & Setiawati, C. 2006. Peningkatan Kemampuan Siswa SD Untuk Mengajukan Pertanyaan Produktif. Jurnal Penelitian Pendidikan. Volume 4 No.1, [1-11].

Yesildere, S. dan Turnuklu, E.B. 2006. The Effect of Project-Based Learning on Pre-service Primary Mathematics Teachers’ Critical Thinking Dispositions. International Journal of Science and Mathematics Education Vol. 6 [1 – 11]. Tersedia: http://www.upd.edu.ph/~ismed/online/articles/project/Vol6/ pdf.

Yunarti, Tina. 2011. Pengaruh Metode Socrates terhadap Kemampuan dan Disposisi Berpikir Kritis Matematis Siswa SMA. Disertasi-UPI; tidak diterbitkan.


Dokumen yang terkait

PENERAPAN PEMBELAJARAN SOCRATES DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Deskriptif Kualitatif Pada Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 10 Bandar Lampung Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 7 57

PENERAPAN METODE SOCRATES PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DITINJAU DARI PROSES BELAJAR DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS (Penelitian Deskriptif Kualitatif pada Siswa Kelas X SMA Negeri 15 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran

8 52 122

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DALAM MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandar Lampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 24 67

ANALISIS DESKRIPTIF DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif di SMP Al-Kautsar Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

2 13 89

ANALISIS SELF-EFFICACY BERPIKIR KRITIS SISWA DENGAN PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

2 27 96

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Penelitian Kuantitatif pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Negeri 22 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 10 75

DESKRIPSI DISPOSISI BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 19 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 19 81

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA(Studi pada Siswa Kelas VII Semester Genap SMP Al-Kautsar Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 6 67

EFEKTIVITAS PENERAPAN MODEL PROBING-PROMPTING DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 9 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2014/2015)

0 12 50

ANALISIS DESKRIPTIF SELF-EFFICACY BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL (Penelitian Kualitatif pada Siswa Kelas VII-J SMP Negeri 8 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015)

3 34 86