Calon induk yang baik biasanya minimal telah berumur 4-6 bulan dengan perbandingan jantan dan betina 1: 2. Induk betina dipilih yang berukuran besar
dan berwarna cemerlang. Sedangkan induk jantan yang digunakan memiliki ciri- ciri berwarna cerah dan ekornya mengembang lebar Zairin, 2002.
Ikan guppy memiliki beberapa tahap dalam siklus hidupnya yaitu tahap larva, tahap juvenil, tahap dewasa, dan masa pertumbuhan maksimum. Setelah
larva dilahirkan 3-4 minggu maka gonopodium modifikasi sirip anal pada ikan jantan telah berkembang. Kemampuan berkembangbiak ikan guppy sudah sejak 3
minggu setelah ikan dilahirkan maka ikan guppy termasuk ke dalam ikan yang cepat berkembangbiak. Sekali melakukan perkawinan dapat beranak sampai 3 kali
dengan jarak kelahiran 1 bulan kemudian dapat dikawinkan lagi selama masih dalam kondisi produktif. Masa juvenil ikan berlangsung sampai ikan berumur 2
bulan ditandai dengan sirip ekor mulai melebar dan warna tubuh terlihat jelas. Saat ikan berumur 3-4 bulan merupakan masa paling aktif dan penampakan warna
paling indah. Masa pertumbuhan maksimum dicapai pada saat ikan berumur lebih dari 6 bulan. Setelah melewati masa pertumbuhan maksium maka terjadi
penurunan penampilan, sirip mulai robek, dan gerakan melambat Iwasaki, 1989.
2.2 Perubahan Jenis Kelamin
Jenis kelamin ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Secara genetik jenis kelamin terbentuk saat zigot yaitu sesuai dengan tipe pasangan
kromosom kelaminnya homogametik atau heterogametik. Namun secara fungsional perkembangan gonad dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang akan
mengarahkan diferensiasi kelamin sesuai produksi hormon testosteronnya Yamamoto, 1969 .
Apabila pada awal perkembangan gonad ditemukan hormon testosteron maka gonad akan berdeferensiasi menjadi testis. Sebaliknya jika tidak ada hormon
testosteron maka gonad akan menjadi ovari Hunter dan Donaldson, 1983. Diferensiasi kelamin merupakan proses perkembangan gonad ikan menjadi
jaringan yang definitif melalui serangkaian kejadian yang memungkinkan kelamin genotip terekspresi menjadi seks fenotip. Pada kondisi normal, genotip betina
akan terekspresi menjadi fenotip betina begitu pula dengan genotip jantan yang
akan terekspresi menjadi fenotip jantan dengan perbandingan 1:1. Tetapi apabila proses diferensiasi kelamin mengalami intervensi dengan bahan-bahan seperti
hormon maka akan mengalami perkembangan gonad yang berlawanan. Proses diferensisasi kelamin pada betina ditandai dengan meiosis oogonia dan
memperbanyak sel-sel somatik membentuk rongga ovari. Sedangkan difereniasi kelamin pada jantan ditandai dengan munculnya spermatogonia serta
pembentukan sistem vaskuler pada testis Zairin, 2002 Perubahan lingkungan yang terjadi di dalam atau di luar tubuh akan
diterima oleh indra disampaikan ke sistem syaraf pusat, setelah itu dikirim ke hypotalamus, kemudian memerintahkan kelenjar hipofisa untuk mengeluarkan
hormon gonadotropin yang masuk ke dalam darah dan dibawa kembali ke gonad sebagai petunjuk untuk memulai pembentukan gonad. Perubahan jenis kelamin
secara buatan dimungkinkan karena pada saat fase pertumbuhan gonad belum terjadi diferensiasi kelamin dan belum ada pembentukan steroid sehingga dapat
diarahkan dengan menggunakan hormon steroid Fujaya, 2002. Keberhasilan penggunaan hormon steroid dalam pengarahan kelamin
dipengaruhi oleh jenis, dosis, waktu pemberian, lama pemberian, cara pemberian, dan suhu Nagy et al., 1981. Perlakuan hormon steroid untuk mengarahkan
kelamin pada ikan secara eksogenus harus dimulai pada waktu yang tepat. Yamazaki 1983 menyatakan bahwa waktu yang tepat untuk perlakuan tersebut
adalah sebelum diferensiasi kelamin dimulai yaitu pada saat stadia larva atau pada saat ikan baru mulai makan. Menurut Kwon et al 2000 menyatakan bahwa masa
diferensiasi kelamin pada ikan bersifat spesifik tergantung spesies. Pada ikan guppy deferensiasi kelamin terjadi sebelum ikan dilahirkan sampai beberapa saat
setelah menjadi larva. Maka untuk proses manipulasi dapat dilakukan pada fase embrio ketika masih di dalam ovari induknya Yamazaki dalam Anjastuti, 1995
maupun pada fase larva. Sedangkan menurut Arfah 1997, bahwa fase diferensiasi kelamin ikan poecilidae terjadi pada fase embrio sampai larva
berumur 12 hari. Beberapa metode pemberian hormon pada rekayasa pengarahan kelamin
beserta kelemahan dan kelebihannya disajikan pada Tabel 1 Zairin, 2002.
Tabel 1. Metode pengarahan kelamin pada ikan
Perlakuan Kelebihan Kelemahan 1. Oral
pakan buatan - mudah menyiapkan bahan dilarutkan dan disemprotkan
ke pakan - efisien karena keperluan
relatif sedikit sehingga biayanya murah
- intake ikan terbatas dalam dosis perlu ditingkatkan
- kemungkinan bahan tercuci leaching di dalam air akan mencemari lngkungan
- dalam saluran pencernaan kemungkinan terjadi degradasi bahan oleh enzim
pencernaan sehingga rusak sebelum bekerja.
pakan alami
-dapat diberikan pada ikan berukuran kecil larva
- pencucian hormon oleh air lebih kecil
- dosis bahan dapat dihitung proksimat
- bahan berdifusi dalam wadah budidaya lebih lama
- kemungkinan terjadi degradasi hormon oleh enzim pencernaan
- pakan alami seperti artemia memiliki senyawa yang menyerupai aromatase
yang akan mengkonversi hormon androgen menjadi estrogen sehingga yang
bekerja pada ikan adalah estrogen - biaya relatif mahal karena harga pakan
alami Artemia mahal
2 Perendaman embrio
- fase embrio bintik mata relatif lebih kuat menerima
perlakuan - hemat dalam penggunaan
hormon - bahan terlalu jauh untuk mencapai organ
target
larva -mudah
menyiapkan perlakuan
- dosis tidak terlalu kuat dan disesuaikan dengan ketahanan ikan
- kepadatan terlalu tinggi menimbulkan persaingan oksigen
- dapat menimbulkan pencemaran lingkungan seperti 17
α-metiltestosteron yang cepat terurai dalam air tetapi dalam
lumpur dapat bertahan hingga beberapa bulan.
induk - tingkat keberhasilan tinggi
- bahan lebih banyak pada perlakuan ikan berukuran besar
3. Penyuntikan - bahan yang masuk ke dalam
tubuh ikan sesuai dengan dosis
-terbatas penggunaannya karena memerlukan waktu dan alat tertentu
contoh : penyuntikan di bawah mikroskop dengan bantuan
mikromanipulator
Pengarahan kelamin dengan cara perendaman, hormon akan masuk dalam tubuh ikan melalui beberapa tempat pertukaran seperti insang, kulit, dan gurat sisi.
Dengan cara ini tidak semua hormon masuk ke dalam tubuh ikan. Jika hormon diberikan melalui pakan oral baik pakan hidup maupun pakan buatan maka
hormon tersebut terlebih dahulu akan memasuki saluran pencernaan dan baru kemudian diserap oleh tubuh. Dengan kata lain jika hormon diberikan melalui
pakan buatan atau pakan alami maka akan terdapat resiko hormon menjadi kurang efektif karena adanya enzim pencernaan Zairin, 2002.
Dosis hormon yang diberikan sangat berkaitan dengan efisiensi dan mempengruhi nilai ekonomisnya. Dari segi efisiensi dosis yang diinginkan adalah
dosis yang rendah dengan hasil yang maksimal. Terdapat kecenderungan pemberian dosis yang terlalu rendah menyebabkan proses pengarahan kelamin
berlangsung kurang sempurna. Pemberian dosis tinggi akan menyebabkan kecenderungan ikan menjadi steril, mematikan ikan, polusi dari limbah sisa
perlakuan yang dikhawatirkan mencemari lingkungan sehingga mempengaruhi perbandingan kelamin ikan. Penggunaan dosis biasanya dikaitkan dengan lama
perlakuan. Dosis tinggi biasanya diberikan dalam waktu yang singkat sedangkan dosis rendah diberikan dalam jangka panjang Zairin, 2002.
Apabila ikan yang diberi perlakuan masih dapat bereproduksi maka penggunaan dosis harus tepat dan tidak terlalu tinggi. Dosis yang terlalu tinggi
akan menimbulkan sterilitas dan abnormalitas dalam perkembangan gonad ikan. Jenis hormon yang digunakan untuk pengarahan kelamin secara umum dapat
dikelompokkan menjadi androgen dan estrogen. Androgen digunakan dalam proses maskulinisasi yaitu menghasilkan keturunan monoseks jantan. Sedangkan
estrogen digunakan dalam proses feminisasi yaitu menghasilkan keturunan monoseks betina Zairin, 2002.
Tabel 2. Contoh jenis-jenis hormon
Jenis hormon Androgen maskulinisasi Estrogen
feminisasi Alamiah -
testosteron - 11-ketotestosteron.
- estradiol-17ß - esteron
- estriol Sinteti -
17 α-metiltestosteron
- testosteron propianat - 17
α-metildihidrotestosteron - Dietilbestrol
- dietilbestrol difosfat - estradiol benzoat
- estradiol butiril asetat - 17
α-etinilestradiol - estradiol propianat
Pemberian hormon memiliki efek paradok atau penyimpangan yaitu pemberian androgen tetapi menghasilkan populasi yang banyak betinanya
sebaiknya dicoba dengan androgen yang tidak mengalami aromatasi menjadi estrogen seperti 17
α-metildihidrotestosteron Zairin, 2002. Hormon sintetis seperti 17
α-metiltestosteron memiliki efektifitas yang lebih tinggi daripada bahan alami karena dapat bereaksi lebih lama pada target sel
dan lambat dieliminasi tetapi tidak ramah lingkungan. Pada individu jantan hormon metiltestosteron dapat meningkatkan spermatogenesis. Sedangkan pada
individu betina menyebabkan munculnya karakter kelamin sekunder jantan yaitu berupa perpanjangan sirip anal dan menyebabkan degenerasi ovari serta
reabsorbsi telur. Dosis dan lama pemberian hormon yang melewati batas dapat menyebabkan gangguan perkembangan gonad dan pembentukan gamet. Bahkan
pada pengarahan kelamin jantan, maka testis akan mengecil dan terjadi kemandulan akibat kerusakan sel-sel germinal Zairin, 2002.
Terdapat senyawa selain steroid yang digunakan untuk pengarahan kelamin yaitu senyawa non-steroid. Sebagai contoh penggunaan akrivlafin pada ikan
tilapia dan pemberian N-dimetilformamid selama 2 minggu pada ikan rainbow trout untuk feminisasi. Stadia yang paling sensitif terhadap stimulasi hormon
untuk perubahan kelamin adalah pada saat gonad masih labil sesaat sebelum terjadi deferensiasi secara alami berlangsung Zairin, 2002.
Lama perlakuan berkorelasi dengan dosis yang digunakan. Untuk dosis yang rendah biasanya memerlukan waktu yang lama dan sebaliknya untuk dosis tinggi
digunakan waktu pendek. Selain itu, lama perlakuan juga berkorelasi dengan stadia perkembangan larva pada saat ikan diberi perlakuan serta cara pemberian
hormon. Pemberian melalui perendaman memerlukan waktu yang lebih pendek. Pemberian hormon melalui pakan memerlukan waktu yang panjang dan dosis
rendah Zairin, 2002. Menurut Zairin 2002, kondisi lingkungan khususnya suhu air akan
mempengaruhi metabolisme tubuh yang selanjutnya akan mengendalikan kerja hormon dan berpengaruh juga terhadap stadia perkembangan larva masa
sensitivitas gonad terhadap stimulasi hormon.
2.3 Propolis