Konsep Perencanaan Bangunan Terhadap Pengaruh Gaya Gempa

21 6. Penampang lentur tanpa beban aksial pada komponen struktur pratarik di mana panjang penanaman strand-nya kurang dari panjang penyaluran yang ditetapkan, φ = 0,75 7. Perhitungan panjang penyaluran sesuai dengan pasal 14 tidak memerlukan faktor reduksi φ 8. Faktor reduksi kekuatan φ untuk lentur, tekan, geser, dan tumpu pada beton polos structural Pasal 24 harus diambil sebesar 0,55

II.4 Konsep Perencanaan Bangunan Terhadap Pengaruh Gaya Gempa

II.4.1 Pemakaian gaya horizontal akibat gaya gempa Ketika gempa bumi terjadi tanah akan bergetar dan bangunan akan bergoyang. Setelah mengalami sejarah yang panjang, goyangan massa bangunan kemudian dianalogikan sebagai akibat dari adanya beban horizontal dinamik yang bekerja pada massa bangunan yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.2 dan gambar 2.3 di mana m = massa bangunan, W = berat bangunan, k = kekakuan, H = gaya horizontal, dan V = gaya geser. Prinsip ini sudah diketahui sejak awal abad ke-20 tepatnya setelah gempa San Fransisco USA 1906 dan gempa Messina-Regio Italia 1908. Gambar 2.2 Struktur SDOF dengan beban gempa m k W g t Universitas Sumatera Utara 22 Gambar 2.3 Beban horizontal Ekuivalen Pada saat itu efek beban dinamik pada struktur bangunan belum sepenuhnya dikuasai terutama secara analitik. Suatu komisi yang terdiri para ahli yang bertugas mempelajari perilaku bangunan gedung tahan gempa yang pada akhirnya menghasilkan dua rekomendasi yang berbeda yaitu bangunan diisolasi terhadap tanah dengan dukungan roll sementara rekomendasi yang lain bangunan disatukan secara rigid dengan fondasi,yang pada akhirnya rekomendasi kedua inilah yang diambil sebagai keputusan akhir. Efek beban dinamik terhadap bangunan kemudian disederhanakan yaitu menjadi beban ekivalen statik yang bekerja pada massa bangunan yang bersangkutan. Kemudian pada tahun 1909 disetujui bahwa suatu bangunan harus didisain dengan beban horisontal paling tidak 112 dari berat total bangunan. [ UII Press, Respons Dinamik Struktut Elastis, 2001 ] II.4.2 Analisis beban ekivalen Perkembangan beban yang berkaitan dengan gempa bumi terus mengalami banyak perubahan, kemudian banyak gempa besar terjadi misalnya gempa El Centro 1994, gempa Taft 1952, gempa Perlu 1940, gempa Chile 1943, yang mendorong untuk memperbaiki konsep beban horisontal akibat gempa. m k W H V Universitas Sumatera Utara 23 Beban ekivalen statik adalah suatu representasi dari beban gempa setelah disederhanakan dan dimodifikasi, yang mana gaya inersia yang bekerja pada suatu massa akibat gempa disederhanakan menjadi ekivalen beban statik. Jadi beban statik ekuivalen adalah beban yang ekuivalen dengan beban gempa yang membebani bangunan dalam batas-batas tertentu sehingga tidak terjadi overstress pada bangunan yang bersangkutan. Sedangkan untuk tujuan pembebanan yang lebih teliti guna memperoleh jaminan yang lebih besar, maka harus dipakai konsep beban yang lain, misalnya dengan cara dinamik analisis. [ UII Press, Respons Dinamik Struktut Elastis, 2001 ] Bergetarnya bangunan akibat gempa kemudian disederhanakan seolah-olah terdapat gaya horisontal yang bekerja pada massa bangunan. Apabila bangunan mempunyai banyak massa maka terdapat banyak gaya horisontal yang masing- masing bekerja pada massa-massa tersebut. Sesuai dengan prinsip keseimbangan maka dapat dianalogikan seperti adanya gaya horisontal yang bekerja pada dasar bangunan yang kemudian disebut Gaya Geser Dasar V. Gaya geser dasar ini secara keseluruhan membentuk keseimbangan dengan gaya horisontal yang bekerja pada tiap-tiap massa bangunan tersebut. Beban geser nominal, V yang bekerja pada bangunan menurut SNI - 03 – 1726 - 2002 dapat dihitung dengan : V = C 1 I R W t Dimana : V = Beban geser nominal static ekivalen C 1 = Nilai faktor respon spectrum I = Faktor keutamaan bangunan W t = Berat total bangunan. Universitas Sumatera Utara 24 R = Faktor reduksi gempa Dinamik karakteristik bangunan adalah massa, kekakuan, dan redaman. Dalam konsep ekivalen statik hanya massa yang diperhitungkan, dan inilah yang menjadi perbedaan utama antara konsep statik dan konsep dinamik. Apabila terdapat simpangan horisontal akibat gempa maka simpangan horisontal y tersebut seolah- olah adalah akibat dari adanya gaya horisontal H. Konsep adanya gaya horizontal H akibat gempa kemudian menjadi lebih jelas pada stick model pada gambar 2.4 sehingga terdapat keseimbangan antara gaya geser dasar V dengan gaya horisontal H yang bekerja pada massa. Gambar 2.4 Gaya geser dasar Di setiap tempat lokal maupun global biasanya mempunyai kondisi geologi, topografi dan kondisi tanah yang berbeda. Pada tempat-tempat tersebut juga mempunyai frekuensi kejadian, mekanisme kejadian, ukuran gempa, dan kemungkinan daya rusak gempa yang berbeda-beda. Faktor pertama yang mempengaruhi koefisien gempa dasar C yaitu apabila terjadi gempa, maka daerah tersebut akan mempunyai respon dan juga resiko gempa yang berbeda pula. Faktor yang kedua adalah berhubungan dengan kondisi tanah setempat tanah lokal. m EI k EI k h y EI M 1 M 2 h M 1 h M 2 h M 1 h M 2 y V Universitas Sumatera Utara 25 Pengalaman dari beberapa kejadian gempa bumi menunjukkan bahwa kondisi tanah local yang ditunjukkan oleh jenis, properti dan tebal lapisan tanah berpengaruh terhadap respon tanah dan kerusakan bangunan. Jenis tanah menurut SNI 03-1726- 2002 adalah tanah keras, tanah sedang, dan tanah lunak. Untuk semua daerah gempa, ketiga jenis tanah tersebut akan berpengaruh terhadap nilai koefisien gempa dasar C. Faktor ketiga yang mempengaruhi koefisien gempa dasar C adalah periode getar T struktur. Dengan demikian untuk memperoleh koefisien gempa dasar C umumnya terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab yaitu dimana bangunan akan dibangun, jenis tanah dimana bangunan akan didirikan, dan periode getar struktur. Agar perencanaan struktur beton dapat dilakukan dengan cara yang sederhana analisis statis ekivalen tanpa melakukan analisis yang rumit analisis dinamik dan prilaku struktur diharapkan sangat baik bila dilanda gempa, maka tata letak struktur sangat penting untuk diatur. Tentunya tidak ada suatu bentuk struktur yang sangat ideal memenuhi semua syarat-syarat yang diijinkan tetapi beberapa pedoman dasar dibawah ini dapat dipakai sebagai acuan dalam merencanakan tata letak struktur antar lain : 1. bangunan harus mempunyai bentuk yang sederhana; 2. bentuk yang simetris; 3. tidak terlalu langsing baik pada denahnya maupun potongannya; 4. distribusi kekuatan sepanjang tinggi bangunan seragam dan menerus; 5. kekakuan yang cukup; 6. terbentuknya sendi plastis harus terjadi pada elemen-elemen horisontal lebih dahulu dibandingkan dengan elemen vertikal. Universitas Sumatera Utara 26 Indonesia merupakan zona patahan lempeng bumi, dimana lempeng tersebut sering terjadi patahan, lipatan, yang mengakibatkan terjadinya getaran sehingga menjadikan Indonesia daerah yang rawan gempa. Namun tidak semua daerah Indonesia memiliki kekuatan getaran gempa yang sama. Oleh karena itu, SNI – 02 – 1726 – 2002 membagi Indonesia menjadi enam wilayah gempa yaitu mulai dari wilayah yang gempa paling rendah hingga wilayah gempa yang paling tinggi. Peta gempa setiap saat dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu, dalam perkembangannya terdapat peta wilayah gempa yang dikembangkan oleh Tim Revisi Peta Hazard Gempa dan Tim Pengembangan Peta Gerak Tanah Gempa Resiko Tertarget untuk Indonesia. Kemudian dalam menentukan grafik respon spectra, peta tersebut kemudian dikembangkan oleh Wayan Sengara, Andri Mulia, Masyhur Irsyam, M. Asrurifak, dan Kelompok Keahlian Geoteknik - Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan dan Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung ke dalam software yang diberi nama Spektra Indo v1.0 beta. Universitas Sumatera Utara 27 Gambar 2.5 Peta wilayah gempa berdasarkan program Spektra Indo v1.0 beta [ TRPHG, Peta Gempa Indonesia, 2010 ] Universitas Sumatera Utara 28 II.4.3 Kondisi tanah Indonesia terletak pada daerah patahan aktif, akibat terjadnya patahan pada lempeng bumi Indonesia menjadi kawasan yang rawan gempa. Tiap-tiap wilayah gempa mempunyai spektrum respons sendiri-sendiri. Dengan menggunakan software Spektra Indo v1.0 beta, grafik respon spektrum untuk setiap wilayah Indonesia dapat ditentukan berdasarkan koordinat wilayah masing – masing pada peta wilayah gempa 2011 yang telah dikembangkan oleh Tim Revisi Peta Hazard Gempa dan Tim Pengembangan Peta Gerak Tanah Gempa Resiko Tertarget untuk Indonesia. Berdasarkan SNI - 03 - 1726 - 2002 jenis tanah ditetapkan sebagai tanah keras, tanah sedang dan tanah lunak, apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m paling atas dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam tabel 2.2 antara lain kecepatan rambat gelombang geser rata- rata, nilai penetrasi standar rata- rata, dan kuat geser niralir rata - rata. Tabel 2.2 Jenis-jenis tanah [ BSN, SNI-03-1726, 2002 ] Jenis tanah Kecepatan rambat gelombang geser rata- rata, s V mdet Nilai hasil Test Penetrasi Standar rata-rata N Kuat geser niralir rata-rata u S kPa Tanah keras 350 ≥ s V 50 ≥ N 100 ≥ u S Tanah sedang 350 175 ≤ s V 50 15 ≤ N 100 50 ≤ u S Tanah lunak 175 s V 15 N 50 u S Atau, setiap profil dengan tanah lunak yang tebal total lebih dari 3 m dengan PI 20, Wn ≥ 40 dan Su 25 kPa Tanah khusus Diperlukan evaluasi khusus di setiap lokasi Universitas Sumatera Utara 29 Dimana untuk menentukan N � = ∑ t i m i=1 ∑ t i N i � m i=1 Dengan : t i = tebal lapisan tanah ke-i N i = nilai hasil test penetrasi standart ke-i Nilai N didapat dari tes penetrasi standar. Berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan SPT Standart Penetration Test untuk mendapatkan nilai perlawanan tanah, di Indonesia percobaan SPT jarang digunakan, umumnya yang digunakan adalah alat Sondir Dutch Penetrometer Test, karena lebih sesui dengan kondisi tanah di Indonesia dan juga hasilnya lebih dapat dipercaya. Untuk itu, diperlukan adanya suatu konversi dari nilai hasil sondir ke N-SPT. Menurut prof. weasley dalam bukunya yang berjudul mekanika tanah seperti pada grafik 2.1, dinyatakan bahwa nilai N-SPT = q c 4, dimana q c = perlawanan penetrasi konus nilai sondir, di mana absis pada grafik 2.1 adalah lebar pondasi meter dan ordinatnya menyatakan tekanan yang diperbolehkan kgcm 2 . Untuk nilai p = qc = 40, maka nilai N – SPT = qc4 = 404 = 10 kgcm 2 Grafik 2.1 Konversi nilai sondir ke N-SPT [ Weasley, Mekanika Tanah, 1977 ] Universitas Sumatera Utara 30 Berdasarkan SKBI-1.3.53.1987 menyebutkan bahwa untuk pemakaian pedoman ini suatu struktur gedung harus dianggap berdiri di atas tanah bawah yang lunak, apabila struktur gedung tersebut terletak di atas endapan-endapan tanah dengan kedalaman-kedalaman yang melampaui nilai-nilai yang disebut dibawah ini : a. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata tidak lebih dari 0,5 kgcm 2 : 6 m b. Untuk setiap tempat dimana lapisan yang menutupinya terdiri dari tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap ratarata tidak lebih dari 1 kgcm2 atau terdiri dari tanah butiran yang sangat padat : 9 m c. Untuk tanah kohesif dengan kekuatan geser pada kadar air tetap rata-rata tidak lebih dari 2 kgcm 2 : 12 m d. Untuk tanah butiran terikat yang sangat padat : 20 m Kedalaman harus diukur dari tingkat dimana tanah mulai memberikan penjepitan lateral yang efektif kepada struktur gedung. Tanah bawah yang lebih dangkal dari pembatasan-pembatasan di atas harus dianggap sebagai tanah keras. Analisis beban statik ekivalen juga dipengaruhi atas beberapa faktor, yaitu sebagai berikut : 1. Faktor Keutamaan Bangunan I Setiap bangunan umumnya didirikan dengan maksud pemakaian tertentu. Pada tiap-tiap jenis pemakaian, suatu bangunan harus mempunyai kemampuan minimum untuk melindungi pemakainya. Mengingat hal tersebut, maka pengamanan bangunan dengan cara mengurangi resiko terhadap kerusakan bangunan merupakan sesuatu yang penting. Pengamanan bangunan tersebut diakomodasikan dengan menggunakan faktor keutamaan bangunan I. faktor Universitas Sumatera Utara 31 keutamaan bangunan I untuk berbagai jenis bangunan dapat dilihat pada tabel 2.3 Tabel 2.3 Faktor keutamaan I untuk berbagai kategori gedung dan bangunan [ BSN, SNI-03-1726, 2002 ] Kategori gedung Faktor Keutamaan 1 I 2 I I Gedung umum seperti untuk penghunian, perniagaan dan perkantoran 1,0 1,0 1,0 Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6 Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi 1,4 1,0 1,4 Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan beracun 1,6 1,0 1,6 Cerobong, tangki di atas menara 1,5 1,0 1,5 Dalam tugas akhir ini faktor I digunakan sebesar 1,0 2. Faktor Reduksi Gempa R Faktor reduksi gempa adalah untuk menjadikan beban gempa tersebut menjadi beban gempa nominal sesuai dengan faktor daktalitas yang dipilih untuk struktur bangunan tersebut. Adapun persamaan faktor reduksi gempa sebagai berikut: 2,2 ≤ R = µ . � 1 ≤ � � Dalam persamaan diatas, R = 2,2 adalah faktor reduksi gempa untuk bangunan gedung yang berprilaku elastik, sedangkan � � adalah faktor reduksi gempa maksimum yang terdapat dalam tabel 2.3. Nilai � 1 ≈ 1,6 Dimana � 1 adalah faktor tahanan lebih beban dan bahan yang terkandung dalam struktur bangunan gedung. Dan µ merupakan nilai faktor daktalitas struktur Universitas Sumatera Utara 32 bangunan gedung. Dalam perencanaan struktur bangunan gedung dapat dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil melebihi nilai factor daktalitas maksimum � � yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur bangunan gedung seperti yang dijelaskan dalam tabel 2.4 Tabel 2.4 Faktor daktalitas maksimum, faktor reduksi gempa maksimum, faktor tahanan lebih struktur dan faktor tahanan lebih total beberapa jenis sistem dan subsistem bangunan gedung. [ BSN, SNI-03-1726, 2002 ] Sistem dan subsistem struktur gedung Uraian sistem pemikul beban gempa µm Rm F 1.Sistem dinding penumpu Sistem struktur yang tidak memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Dinding penumpu atau sistem bresing memikul hampir semua beban gravitasi. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing 1.Dinding geser beton bertulang 2,7 4,5 2,8 2.Dinding penumpu dengan rangka baja ringan dan bresing tarik 1,8 2,8 2,2 3.Rangka bresing di mana bresingnya memikul beban gravitasi a. Baja 2,8 4,4 2,2 b. Beton bertulang tidak untuk wilayah 5 6 1,8 2,8 2,2 2.Sistem rangka gedung Sistem struktur yang pada dasarnya memiki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing 1. Rangka bresing eksentris baja RBE 4,3 7,0 2,8 2.Dinding geser beton bertulang 3,3 5,5 2,8 3.Rangka bresing biasa a. Baja 3,6 5,6 2,2 b. Beton bertulang tidak untuk wilayah 5 6 3,6 5,6 2,2 4.Rangka bresing konsentrik khusus a. Baja 4,1 6,4 2,2 5.Dinding geser beton bertulang berangkai daktail 4,0 6,5 2,8 6.Dinding geser beton bertulang kantilever daktail penuh 3,6 6,0 2,8 7.Dinding geser beton bertulang kantilever daktail parsia 3,3 5,5 2,8 3.Sistem rangka pemikul momen Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul rangka 1. Rangka pemikul momen khusus SRPMK a. Baja 5,2 8,5 2,8 b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8 2.Rangka pemikul momen menengah beton SPRMM 3,3 5,5 2,8 3.Rangka pemikul momen biasa Universitas Sumatera Utara 33 pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur SPRMB a. Baja 2,7 4,5 2,8 b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8 4.Rangka batang baja pemikul momen khusus SRBPMK 4,0 6,5 2,8 4.Sistem ganda Terdiri dari : 1 rangka ruang yang memikul seluruh beban gravitasi; 2 pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara terpisah mampu memikul sekurang-kurangnya 25 dari seluruh beban lateral; 3 kedua sistem harus direncanakan untuk memikul secara bersama – sama seluruh beban lateral dengan memperhatikan interaksisistem ganda 1.Diding geser a. Beton bertulang dengan SRPMK beton bertulang 5,2 8,5 2,8 b. Beton bertulang dengan SPRMB baja 2,6 4,2 2,8 c. Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang 4,0 6,5 2,8 2.RBE baja a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8 b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8 3.Rangka bresing biasa a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8 b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8 c. Beton bertulang dengan SRPMK beton bertulang tidak untuk wilayah 5 6 4,0 6,5 2,8 d. Beton bertulang dengan SRPMM beton bertulang tidak untuk wilayah 5 6 2,6 4,2 2,8 4.Rangka bresing konsentrik khusus a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8 b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8 5.Sistem struktur gedung kolom kantilever Sistem struktur yang memanfaatkan kolom kantilever untuk memikul beban lateral Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2 6.Sistem interaksi dinding geser dengan rangka Beton bertulang biasa tidak untuk wilayah 3,4,5 6 3,4 5,5 2,8 7.Subsistem tunggal Subsistem struktur bidang yang membentuk struktur gedung secara keseluruhan 1.Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8 2.Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8 3.Rangka terbuka beton bertulang dengan balok beton pratekan bergantung pada indeks baja total 3,3 5,5 2,8 4.Dinding geser beton bertulang berangka daktail penuh 4,0 6,5 2,8 5.Dinding geser beton bertulang kantilever daktail parsial 3,3 5,5 2,8 Dalam tugas akhir ini struktur bangunan termasuk dalam sistem rangka pemikul momen menengah yaitu pada bagian 3.2 pada tabel 2.4 sehingga Rm yang dipakai adalah 5,5. Universitas Sumatera Utara 34 II.4.4 Analisis gempa secara dinamik Untuk gedung yang bentuk konfigurasi bangunannya tidak simetris dan yang tidak memenuhi syarat struktur gedung beraturan menurut SNI 03 – 1726 - 2002 , maka perencanaan gaya gempanya harus dilakukan secara analisis dinamik. Analis dinamik ada dua jenis yaitu : 1. Analisis Ragam Spektrum respons Metode analisis ini merupakan penyederhanaan dari analisis respon dinamik waktu, di mana kita menggunakan spectrum respons gempa rencana sebagai dasar untuk menentukan responsnya. Dalam hal ini, analisis respons spektrum hanya dipakai unutk menentukan gaya geser tingkat nominal dinamik akibat pengaruh gempa rencana. Gaya-gaya internal dalam unsur struktur gedung didapat dari analisis 3 dimensi biasa berdasarkan beban- beban gempa statik ekuivalen. 2. Analisis Respons Dinamik Riwayat Waktu Dalam analisis ini, faktor I adalah untuk memperhitungkan kategori gedung yang ada, sedangkan faktor R adalah untuk menjadikan pembebanan gempa tersebut menjadi pembebanan gempa nominal. Yang lebih ditekankan pada percepatan tanah yang disimulasikan sebagai gerakan gempa. II.4.5 Eksentrisitas rencana Pusat massa lantai tingkat suatu struktur merupakan titik tangkap resultan beban-beban yang bekerja pada lantai tingkat struktur tesebut. Pusat rotasi lantai tingkat suatu struktur adalah suatu titik pada lantai tingkat tersebut yang bila terjadi gaya horizontal, gaya tersebut tidak berotasi tetapi hanya bertranslasi. Universitas Sumatera Utara 35 Antara pusat massa dan pusat rotasi lantai tingkat harus ditinjau suatu eksentrisitas rencana e d. apabila ukuran horizontal terbesar denah struktur gedung pada lantai tingkat itu diukur tegak lurus arah pembebanan gempa, dinyatakan dengan b, maka eksentrisitas rencana e d harus ditentukan sebagai berikut : 1. Untuk 0 e ≤ 0,3 b e d = 1,5 e + 0,005 b atau e d = e – 0,05 b dan pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsure subsistem struktur gedung yang ditinjau. 2. Untuk e 0,3 b e d = 1,33 e + 0,1 b atau e d = 1,17 e – 0,1 b serta pilih diantara keduanya yang pengaruhnya paling menentukan untuk unsur subsistem struktur gedung yang ditinjau. II.4.6 Pembatasan penyimpangan lateral Menurut SNI 03 1726 – 2002 pasal 8, simpangan antar tingkat pengaruh gempa nominal dibedakan menjadi dua macam yaitu : - Kinerja Batas Layan KBL struktur gedung yang besarnya dibatasi hi R 03 , ≤ atau ≤ 30 mm. Pembatasan ini bertujuan unutk mencegah terjadinya pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan di samping menjaga kenyamanan penghuni. Universitas Sumatera Utara 36 - Kinerja Batas Ultimit KBU struktur gedung akibat gempa rencana untuk struktur gedung beraturan dibatasi sebesar ≤ 0,7 R x KBL atau ≤ 0,02 hi. , sedangkan untuk struktur gedung tidak beraturan dibatasi sebesar ≤ 0,7 R x KBL dibagi faktor skala atau ≤ 0,02 hi, di mana faktor skala = 0.8 VekVs .Pembatasan ini bertujuan untuk membatasi kemungkinan terjadi keruntuhan struktur yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk mencegah benturan berbahaya antar gedung.

II.5 Konsep Strong Column Weak Beam