Putusan Hakim Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika

B. Putusan Hakim Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika

dan Tujuan Pemidanaan Lima putusan Pengadilan Negeri Medan dimana hakim cenderung menjatuhkan pidana penjara terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika. Kecenderungan demikian bertentangan atau tidak sesuai dengan asas ultimum remidium karena pemberian pidana walaupun dalam jangka waktu pendek memberikan stigma yang buruk kepada pelaku dalam hal ini anak yang harus dilindungi kepentingannya masa depan anak. Seharusnya, pemberian pidana penjara merupakan upaya terakhir dan berorientasi pada kesejahteraan anak. Putusan pengadilan anak yang cenderung menjatuhkan pidana penjara daripada tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika, sebenarnya tidak sesuai dengan filosofi dari pemidanaan dalam hukum pidana anak. Penjatuhan pidana secara tidak tepat dapat mengabaikan pengaturan perlindungan, karena pemidanaan anak seharusnya adalah jalan keluar terakhir ultimum remediumthe last resort principle dan dijatuhkannya hanya untuk waktu yang singkat. Penjatuhan pidana sebagai ultimum remedium atau the last resort principle adalah salah satu bentuk perlindungan terhadap kepentingan terbaik anak. 191 Seorang penulis lain, Fox berpendapat bahwa tujuan dari pemidanaan anak adalah “…to provide for welfare and healthy development of all children who come before it, including those who are charged with violating the criminal law.” 191 journal.lib.unair.ac.idindex.phpYRDKarticledownload510509. diakses, Rabu 24 Oktober 2012. Jadipemidanaan terhadap anak bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi perkembangan anak termasuk dalam anak yang dituntut karena pelanggaran hukum pidana. Dengan demikian pemidanaan terhadap anak nakal haruslah tetap memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi perkembangan fisik dan psikis anak. 192 Jadi Penjatuhan pidana atau tindakan pada dasarnya haruslah memperhatikan tujuan pemidanaan. Barda Nawawi Arief, menyatakan: 193 “Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka sudah barang tentu harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan umum tersebut. Barulah kemudian dengan bertolak atau berorientasi pada tujuan itu dapat ditetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan digunakan”. Penjatuhan sanksi dalam suatu putusan, merupakan hasil dari pertimbangan- pertimbangan hakim, dengan keyakinan dan intuisinya untuk mencapai putusan yang dapat diterima oleh masyarakat. Oemar Seno Adji mengatakan: 194 Dalam kerangka kebebasan hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman di mana ia dapat bergerak dalam batas-batas maxima hukuman ataupun untuk memilih jenis hukuman, maka dapat ditegaskan di sini bahwa alasan-alasan tersebut, baik ia dijadikan landasan untuk memberatkan hukuman ataupun meringankannya, tidak merupakan arti yang essentieel lagi. 192 Ibid. 193 http:abhymaulana-initulisanku.blogspot.com201203hubungan-tujuan-pemidanaan dengan.html. diakses, Rabu 24 Oktober 2012. 194 Ibid. Berkenaan dengan hubungan tujuan pemidanaan dengan pidana atau tindakan yang dijatuhkan oleh hakim, Barda Nawawi Arief menegaskan pula mengenai individualisasi pidana mengandung beberapa karakteristik, antara lain: 1. Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadiperorangan asas personal. 2. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah asas culpabilitas, tiada pidana tanpa kesalahan. 3. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku, ini berarti harus ada kelonggaranfleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana jenis atau berat ringannya sanksi dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana perubahanpenyesuaian dalam pelaksanaannya. Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika berupa pidana penjara, ini dianggap sebagai reaksi terhadap teori tujuan pemidanaan yaitu teori relatif. Teori relatif ini melihat punishment sebagai sarana untuk mencegah atau mengurangi kejahatan. Menurut pandangan tersebut bahwa pemidanaan sebagai tindakan yang menyebabkan derita bagi si terpidana hanya dianggap sah apabila terbukti bahwa dijatuhkannya pidana penderitaan itu menimbulkan akibat lebih baik dari pada tidak dijatuhkannya pidana, khususnya dalam rangka menimbulkan efek pencegahan terhadap pihak-pihak terkait. 195 Teori relatif ini menyebutkan, dasar suatu pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh karena itu, maka yang menjadi tujuan pemidanaan adalah menghindarkan atau mencegah prevensi agar kejahatan itu tidak terulang lagi. Jadi, pidana dijatuhkan bukan semata-mata karena telah dilakukannya kejahatan, 195 Marlina, Hukum Penitensier, Op.Cit. melainkan harus dipersoalkan pula manfaat suatu pidana dimasa depan, baik bagi si penjahat maupun masyarakat. 196 Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalanan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan- tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan utilitarian theory. 197 Bagi utilitaris, faktor terpenting ialah bahwa suatu pemidanaan dapat menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat secara preventif, apapun artinya: penjeraan dan penangkalan, reformasi dan rehabilitasi, atau pendidikan moral. Namun demikian, kepedulian teoretis menuntut usaha untuk lebih mendalami utilitarian theory , yaitu: 198 1. Tujuan pemidanaan memberi efek penjeraan dan penangkalan deterence. Penjeraan sebagai efek pemidanaan,menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama; sedangkan tujuan untuk penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. 2. Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap pula pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. 3. Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Bentuk ketiga teori tujuan ini merupakan bagian dari doktrin bahwa pemidanaan merupakan proses reformasi. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan terpidana adalah salah, tidak dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa terpidana telah bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat. Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan atasnya. 196 Abul Khair dan Mohammad Eka Putra, Op.Cit. 197 Dwidja Priyatno, Op.Cit. 198 M. Sholehuddin, Op.Cit. Efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku. Yang dimaksud aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi, atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian,kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat; sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan sipelaku meliputi berbagai tujuan, anatara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perilaku sewenang- wenang di luar hukum. 199 Terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika, teori tujuan pemidaan yang tepat untuk diterapkan kepada anak adalah teori treatment. Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini untuk memberikan tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti penghukuman. 200 199 Dwija Priyatno, Op.Cit., hlm. 82. Aliran ini melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah, untuk mengkonfirmasi fakta- fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan 200 Mahmud Mulyadi, Karya Ilmiah Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, Medan: USU Repository, 2006, hlm. 8. berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologisnya, maupun faktor lingkungannya. Oleh karena itu, pelaku kajahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan treatmen untuk re-sosialisasi dan perbaikan si pelaku. 201 Penjatuhan pidana pada aliran ini, menganut sistem indefinite sentence, yaitu pidana yang dijatuhkan tidak ditentukan secara pasti karena setiap pelaku kejahatan mempunyai kebutuhan yang berbeda. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Lombroso, bahwa penerapan pidana yang sama pada semua pelaku kejahatan, merupakan suatu kebodohan karena setiap pelaku mempunyai kebutuhan yang berbeda. 202 Kemudian perbuatan seseorang tidak hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkret bahwa dalam kenyataannya perbuatan sesorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan treatment untuk melindungi kepentingan masyarakat. 203 Hukuman bukan bertujuan membalas dendam dan mencari penjeraan dari pelaku, tetapi menemukan kesadaran diri anak, bahwa yang dilakukan adalah sebuah 201 Ibid., hlm.9. 202 Marlina, Op.Cit., Hukum Penitensier , hlm. 59. 203 Ibid. kesalahan. Karena itu, harus memperbaiki diri. 204 Penjara telah memberikan stigma dan lebelisasi kepada seorang anak sehingga harapan pengembalian mental moral anak sulit tercapai karena labelisasi tersebut akan menempatkan status anak ditengah masyarakat. 205 Berdasarkan kepustakaan dan doktrin ditekankan bahwa, tujuan pemidanaan yang mempunyai fungsi perlindungan dan kesejahteraan menjadi pandangan yang banyak diikuti oleh para ahli hukum pidana saat ini. Para ahli hukum pidana berpendapat bahwa pemidanaan diusahakan untuk lebih manusiawi dan menjaga harkat dan martabat dari terpidana sehingga ketika dia kembali ke masyarakat, terpidana menjadi orang yang berguna di masyarakat. Tujuan pemidanaan yang memberikan perlindungan dan kesejahteraan pada pelaku tindak pidana sesuai juga dengan tujuan pemidanaan kelompok utilitarian, yang terfokus pada segi manfaat atau kegunaannya. Dalam konteks ini, penekanannya pada situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan melalui penjatuhan pidana tersebut. Pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang dilarang itu. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan forward looking dan sekaligus mempunyai sifat penjeraan detterence. 206 204 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 168. 205 Ibid, hlm. 186. 206 http:jurnal.pdii.lipi.go.idadminjurnal6409615666.pdf. diakses, Rabu 24 Oktober 2012 Pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim selalu menimbulkan penderitaan bagi mereka yang dikenai pidana tersebut. Oleh karena itu harus ada pembenaran justification terhadap pemidanaan, sehingga pemidanaan itu dapat dibenarkan ataukah tidak. Berbicara mengenai pembenaran pemidanaan itu erat kaitannya dengan tujuan pemidanaan itu, sebab tujuan pemidanaan merupakan pula tujuan sistem peradilan pidana. 207 Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dikatakan bahwa: 208 “Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana atau anak pidana agar menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat pada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, masyarakat yang aman, tertib dan damai.” Sistem hukum pidana Indonesia boleh dikatakan dekat dengan teori tujuan relatifyang diimplementasikandalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum. Menurut Pasal 60 ayat 1 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah tempat pembinaan dan pendidikan bagi anak pidana, anak Negara dan anak sipil. Penempatan ini dilakukan terpisah dari narapidana 207 http:www.library.upnvj.ac.idpdfs1hukum09204711045BAB4.pdf. diakses Rabu, 24 Oktober 2012 208 Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. dewasa.Bagi anak yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak LPA berhak untuk memperoleh pendidikan dan latihan, baik formal maupun informal sesuai bakat, dan kemampuannya serta memperoleh hak-hak lainnya. Selanjutnya Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana Anak dan Anak Didik Pemasyarakatan. Selain Lembaga Pemasyarakatan Anak dikenal juga Balai Pemasyarakatan BAPAS yaitu pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan. Perlu diperhatikan hasil simposium pembaharuan hukum pidana nasional tahun 1980, dalam salah satu laporannya menyatakan: 209 1. Sesuai dengan politik hukum pidana maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan- kepentingan masyarakatnegara, korban dan pelaku. 2. Atas dasar tujuan tersebut maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat: a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang; b. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penaggulangan kejahatan; c. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil oleh terhukum maupun korban ataupun masyarakat. Penerapan tujuan pemidanaan yang terintegrasi tersebut menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan permasalahan yang berhubungan dengan anak, sebagaimana yang dituangkan dalam konsideran Undang-Undang Pengadilan Anak. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya 209 Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Anak, Op.Cit., hlm. 93. manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat yang khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. 210 Penjatuhan pidana penjara kepada anak akan membawa dampak negatif yang berkepanjangan yang justru bersifat kontra-produktif apabila dilihat dari tujuan pokok pemidanaan itu sendiri. Tujuan pemidanaan khususnya bagi anak, dalam kenyataannya tidak dapat dipenuhi dengan penjatuhan pidana penjara kepada anak. Pemidanaan bagi anak seringkali menempatkan anak dalam situasi yang bersifat merugikan anak karena berbagai dampak negatif penerapan pidana penjara. Gambaran tentang dampak negatif penerapan pidana penjara bagi anak juga digambarkan oleh Agustina Pohan, yang mendiskripsikan dampak negatif tentang penggunaan sistem peradilan pidana anak, pohan menuturkan bahwa perlakuan buruk juga kadang terjadi ketika anak berada dalam tahanan ataupun lembaga pemasyarakatan lapas. 211 Penerapan hukum pidana yang demikian, dapat di simpulkan, bahwa kepada tahap aplikatif penerapan hukum pidana aparat penegak hukum, khususnya hakim bersifat sangat represif. Alternatif pidana yang ditawarkan undang-undang tidak dipergunakan oleh hakim. Padahal, mestinya penjatuhan pidana penjara kepada anak 210 Ibid, hlm. 93. 211 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Op.Cit., hlm. 88. justru dilakukan ketika tidak ada alternatif lain. 212 Secara teoritis kecendrungan hakim yang selalu menjatuhkan pidana penjara kepada anak dapat dipersoalkan karena beberapa hal, berikut ini: 213 1. Pidana, termasuk didalamnya pidana penjara, pada dasarnya hanyalah sebuah alat, yaitu alat untuk mencapai tujuan pemidanaan. Apakah sebuah alat dapat terus digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, akan sangat tergantung pada bagaimana alat itu dapat memenuhi tujuan yang telah ditentukan. Apabila penggunaan alat itu tidak dapat memenuhi tujuan yang telah ditentukan, maka tidak alasan untuk tetap menggunakan alat tersebut. Penggunaan alat yang tidak sesuai dengan tujuan yang ditentukan justru akan mengakibatkan inefisiensi pemubaziranketidakefisienan. Dalam berbagai teori terdapat pemahaman, bahwa pidana penjara sebagai alat untuk mencapai tujuan pemidanaan masih diperdebatkan efektifitasnya. Artinya, tidak ada jaminan apabila pelaku tindak pidana pada akhirnya dijatuhi pidana penjara maka dengan sendirinya ia akan kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat hukum. Justru yang seringkali diketahui adalah, bahwa pidana penjara membawa dampak negatif yang sangat merugikan terpidana, khususnya terpidana anak. 2. Penggunaan hukum pidana sebagai penaggulangan kejahatan, termasuk sebagai sarana penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika, hanya dapat dibenarkan manakala dampak negatif digunakannya hukum pidana tidak lebih besar dari pada tidak digunakannya. Bertolak dari kenyataan bahwa penggunaan pidana penjara sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika dilakukan oleh anak mengandung kelemahan mendasar. Hal ini disebabkan oleh karena efektifitas penggunaan pidana penjara sebagai sarana penanggulan terhadap anak yang melakukan tindak pidana pengguna narkotika belum diketahui efektifitasnya, sementara dampak negatifnya relatif dapat dipastikan. Tujuan Pemidanaan anak tercapai atau tidak, dapat tercermin dari jumlah anak nakal yang relatif tereliminasi, karena penanganan yang tepat dalam proses peradilan. Di satu pihak, jika dilihat dari jumlah anak nakal dan residivis anak yang semakin meningkat, sedangkan di lain pihak telah tersedia perangkat hukum dari tingkat internasional sampai tingkat nasional yang memadai, maka cukup beralasan 212 Ibid., hlm. 89. 213 Ibid., hlm. 90. adanya keraguan tentang peranan aparat penegak hukum khususnya dalam konteks ini Hakim Anak. Terkait dengan pertimbangannya tentang asas ultimum remedium dalam menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap anak nakal. 214 Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan pemidanaan melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sistem pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh waga binaan pemasyarakatan, serta penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Maka tujuan hakim menjatuhkan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika telah tercapai. Namun anak yang pada akhirnya menjalankan pidana di lembaga pemasyarakatan batapapun baiknya lembaga pemasyarakatan, itu tetaplah penjara, tempat anak dipidanakan, divonis salah, diberi label sebagai narapidana dengan segala konsekuensinya. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1995 Tentang Pengadilan Anak, dalam ketentuan sanksi yang terdapat pada Pasal 22 menyebutkan bahwa anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan. Dengan demikian, anak sebagai pelaku tindak pidana tidak hanya diberikan suatu sanksi berupa pemidanaan semata, namun diberikan 214 journal.lib.unair.ac.idindex.phpYRDKarticledownload510509. diakses, Rabu 24 Oktober 2012. suatu tindakan. Jadi, h akim mempunyai pilihan untuk menjatuhkan tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana, untuk ditetapkan oleh hakim anak dan berlaku secara universal di Negara-negara yang telah meratifikasi Declaration Of The Rights Of The Child dan Convention On The Rights Of The Child. Apabila filosofi pemidanaan anak dipahami secara benar oleh hakim anak, diantisipasi penjatuhan pidana penjara terhadap anak pelaku tindak pidana terutama pengguna narkotika dapat dieliminasi. Sehingga terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika mendapat tindakan berupa rehabilitasi. Ini sesuai dengan ketentuan pada Pasal 75 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan keharusan mengikuti terapi akibat penyalahgunaan narkotika berupa pembinaan diluar lembaga. Pemenjaraan memang berdampak buruk bagi psikologis anak, dampak tersebut antara lain anak bisa jadi kehilangan percaya diri, ketakutan,dan sebagainya. Dampat itu bukan hanya secara psikologis, ada 2 dua dampak besar lainnya pemenjaraan bagi anak yang pertama; Dimensi sosial yaitu anak yang di penjara beranggapan bahwa dirinya telah dibuang oleh masyarakat, resikonya pasti berpengaruh pada psikologisnya kembali, jika dia adalah orang yang bermartabat maka martabatnya akan jatuh, kedua ; Dimensi pendidikan yaitu orang yang di penjara kemungkinan besar tidak berkesempatan melanjutkan pendidikannya. Pemenjaraan juga menyebabkan turunnya tingkat pendidikan secara umum di masyarakat disamping pula menyebabkan kebodohan dan ketiadaan nilai-nilai moral di dalam masyarakat. Sehingga mereka kehilangan harapan hidup dan cita-cita. 215 Efek negatif pidana penjara dan keunggulan sanksi-sanksi lain selain itu bukan hanya perlu dipahami tetapi yang lebih penting adalah ditindak lanjuti dengan pemberian keputusan yang bersifat melindungi anak pelaku tindak pidana. Kondisi sarana dan prasarana lembaga pemasyarakatan yang kurang baik, terlebih lagi lembaga pemasyarakatan yang telah menjadi pusat pengendalian peredaran narkoba di masyarakat, harus dipertimbangkan oleh hakim anak. Pemecahan masalah seperti ini dapat dicapai dengan cara mengurangi jumlah penggunaannya. Hakim yang dalam pertimbangan putusannya, menjatuhkan pidana penjara terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika, cenderung akan lebih baik menjatuhkan tindakan maatregel berupa rehabilitasi, sesungguhnya ini merupakan putusan yang lebih baik menurut aspek perlindungan hukum anak.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN