Kadar Hormon Kortisol HASIL DAN PEMBAHASAN

25 Peningkatan IGF-I setelah direndam rHP yang ditemukan pada penelitian ini serupa dengan pola IGF-I pada ikan ekor kuning Pedroso et al. 2009, ikan salmon Pierce et al. 2004 dan ikan seabream Leung et al. 2008 yang menunjukkan adanya pengaruh hormon pertumbuhan yang besar dalam hati ketika diberikan hormon pertumbuhan eksogen dengan dosis tinggi. Pemberian hormon pertumbuhan secara eksogen baik yang homolog dan heterolog juga dapat menyebabkan peningkatan mRNA IGF-I di hati ikan salmon Oncorhynchus kisutch Duguay et al. 1994, ikan sidat Jepang Anguilla japonica Duan et al. 1993 dan ikan mas Cyprinus carpio Vong et al. 2003. IGF-I berperan penting dalam mengatur beberapa proses fisiologi ikan seperti pertumbuhan, metabolisme, perkembangan, reproduksi dan osmoregulasi. Pemberian hormon pertumbuhan pada ikan juga dapat meningkatkan toleransi terhadap salinitas Bolton et al. 1987 sehingga dapat mengurangi tingkat stres ikan gurami yang diberi kejutan salinitas dan perendaman HPr. Efek hormon pertumbuhan pada jaringan target dimediasi oleh reseptor hormon pertumbuhan. Hal ini telah dilaporkan oleh Gahr et al. 2008 bahwa pemberian hormon pertumbuhan rekombinan akan meningkatkan ekspresi reseptor hormon pertumbuhan pada hati. Ekspresi IGF-I dipengaruhi oleh hormon pertumbuhan, dan pada percobaan kedua digunakan hormon pertumbuhan rekombinan ikan gurami. Penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan yang homolog diduga memegang peranan penting dalam mengenali dan merespons sinyal reseptor serta memiliki tingkat afinitas tinggi. Hormon pertumbuhan berikatan dengan reseptor di hati, dan merangsang pelepasan hormon IGF-I Moriyama et al. 2000.

4.5 Kadar Hormon Kortisol

Hasil pengukuran hormon kortisol pada benih ikan gurami yang diberi kejutan salinitas dan direndam dengan hormon pertumbuhan rekombinan dapat dilihat pada Gambar 7. Sebelum diberi kejutan salinitas, kadar kortisol yang terukur adalah 3,12 ngmL kemudian mengalami peningkatan sebanyak 190,23 ke level 9,04 ngmL setelah kejutan salinitas selama 2 menit. Level kortisol terus meningkat pada perendaman hormon pertumbuhan rekombinan 1 kali hingga 26 mencapai 20,72 ngmL sesaat setelah perendaman. Perendaman HPr 2 kali juga mencapai puncak sesaat setelah perendaman HPr pada 13,70 ngmL, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan perendaman HPr 1 kali. Hasil yang berbeda terjadi pada perendaman HPr 4 kali, dan albumin serum sapi yang mengalami mengalami penurunan masing-masing ke tingkat 7,90 ngmL, dan 6,85 ngmL 0 jam setelah perlakuan. Gambar 7 Perubahan kadar hormon kortisol benih ikan gurami setelah direndam HPr dari ikan gurami. ■ Perendaman HPr 1 kali, x Perendaman HPr 2 kali, ▲ Perendaman HPr 4 kali kontrol-2, • Perendaman albumin serum sapi kontrol-1 Pada jam ke-3 setelah perendaman HPr, tingkat hormon kortisol yang terukur pada perlakuan perendaman HPr 1 kali mengalami penurunan ke tingkat 0,89 ngmL dan cendenrung normal sampai pada jam ke-36. Pola yang sama juga ditunjukkan pada perendaman HPr 2 kali yaitu pada jam ke-3 setelah perendaman juga mengalami penurunan ke level 1,97 ngmL. Pada perendaman HPr 4 kali dan albumin serum sapi, hormon kortisol kembali meningkat masing-masing hingga 7,90 ngmL dan 6,85 ngmL, 0 jam setelah perendaman dan mengalami fluktuasi sampai akhir pengamatan. Puncak hormon kortisol pada perendaman HPr 4 kali terjadi pada jam ke-3 11,35 ngmL dan pada perendaman albumin serum sapi juga terjadi pada jam ke-3 di level 10,96 ngmL. 5 10 15 20 25 sebelum setelah 3 6 9 12 24 36 K ad ar K or ti sol n g m L Waktu pengamatan Jam Shok Salinitas 27 Hormon kortisol merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat stres pada ikan Haukenes et al. 2008. Meningkatnya kadar hormon kortisol setelah setelah diberi kejutan salinitas merupakan reaksi adaptif ikan dalam menanggapi perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim. Beberapa penelitian telah menujukkan bahwa perubahan salinitas dapat meningkatkan konsentrasi hormon kortisol dalam dalam darah ikan seperti yang dilaporkan oleh Young et al. 1989 pada ikan salmon coho Oncorhynchus kisutch dan Morgan et al.1997 pada ikan mujair Oreochromis mossambicus. Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 1 kali meningkatkan kadar hormon kortisol ikan gurami yang diamati sesaat setelah perendaman hingga mencapai 20,72 ngmL. Hal yang sama juga terlihat pada perendaman HPr 2 kali, namun hanya meningkat hingga 13,70 ngmL. Tingginya kadar hormon kortisol sesaat setelah direndam diduga karena terjadinya peningkatan ACTH Adrenocorticortropic Hormone sebagai respon terhadap terganggunya fungsi biokimia tubuh Porchas et al. 2009, sehingga merangsang produksi hormon kortisol. Hal yang sama terjadi pada Rainbow trout Oncorhynchus mykiss Benguira et al. 2002 yang mengalami peningkatan kadar hormon kortisol setelah diekspos dalam larutan kimia. Ada kecenderungan bahwa perendaman HPr 1 kali dan 2 kali mengakibatkan ikan lebih cepat kembali pulih setelah mengalami stres. Pada percobaan ini ditemukan bahwa level kortisol menurun ke tingkat yang paling rendah 3 jam setelah mengalami stres. Sementara pada beberapa ikan, butuh waktu selama 6 jam untuk kembali ke tingkat normal setelah stres Iwama et al. 1995. Tingkat kortisol ikan red drum mengalami peningkatan saat penangkapan dan menurun ke tingkat bawah dalam waktu 48 jam Robertson et al. 1987. Ikan mas mengalami peningkatan hormon kortisol ketika ditangkap dengan jaring dan kembali normal setelah 4 jam Pottinger 1998. Namun Biga 2004 menyatakan bahwa pemberian hormon pertumbuhan meningkatkan sirkulasi kortisol dalam darah ikan rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Pada percobaan ini ditemukan bahwa tingkat hormon kortisol terendah pada perlakuan perendaman HPr 1 kali yaitu 2,45 ngmL. Rendahnya tingkat 28 hormon kortisol diduga berhubungan dengan kinerja hormone pertumbuhan yang memberikan kontrol negatif terhadap jaringan interrenal yang merupakan tempat sekresi utama hormon kortisol Nishioka et al. 1985. Kondisi hormon kortisol yang cenderung stabil setelah mengalami stres mempengaruhi kinerja pertumbuhan yang optimal bagi ikan gurami dibandingkan dengan perlakuan lain. Pada perendaman HPr 1 kali, kisaran kortisol dari jam ke-3 sampai jam ke-36 berkisar antara 0,89 ngmL hingga 2,84 ngmL, lebih rendah sebelum diberi kejutan salinitas 3,12 ngmL. Data bobot biomassa dan tingkat kelangsungan hidup benih ikan yang terbaik pada perendaman HPr 1 kali juga ditunjang oleh keadaan hormon kortisol yang cepat pulih dan tetap rendah dan lebih stabil selama percobaan. Penelitian Flick et al. 1993 membuktikan bahwa pemberian hormon pertumbuhan rekombinan mampu memberikan pertumbuhan biomassa terbaik setelah 44 hari dan hormon kortisol yang lebih rendah 94,8 dibandingkan dengan kontrol. Data bobot biomassa Gambar 3 dan kelangsungan hidup Gambar 4 terbaik didapatkan dari perendaman HPr 1 kali berhubungan dengan keadaan plasma kortisol darah tubuh ikan selama percobaan. Rendahnya kadar kortisol pada percobaan pertama diduga merupakan kondisi yang efisien untuk memacu pertumbuhan, dan aman dari serangan bakteri atau virus yang dapat mengakibatkan kematian. Yada et al. 2005 menyatakan bahwa pemberian HPr dapat mengatifkan sistem kekebalan pada tubuh ikan. Hal yang sama diduga juga terjadi pada penelitian ini. Kadar hormon kortisol yang berfluktuasi terlihat pada perlakuan kontrol-1 dan kontrol-2 dari awal sampai akhir percobaan. Peningkatan hormon kortisol diduga kerena adanya gangguan pada saat penangkapan dan pemindahan ikan ke wadah yang baru sehingga merangsang hipotalamus untuk melepaskan corticotropin-releasing factor CRF ke dalam sirkulasi darah. Polipeptida ini kemudian mengaktifkan pelepasan adrenocorticotrophic hormon ACTH dari kelenjar anterior hipofisis untuk merangsang pelepasan hormon kortisol yang diproduksi di jaringan interrenal Mommsen et al. 1999. Rendahnya tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada perlakuan kontrol-1 dan kontrol-2 diduga karena perubahan kadar hormon kortisol dalam tubuh ikan secara 29 berulang-ulang. Hal ini merupakan proses yang maladaptif sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi lambat, peningkatan konsumsi oksigen, pengunaan energi yang lebih banyak, dan dapat meningkatn kerentanan terhadap penyakit Jentoft et al. 2005.

4.6 Hubungan antara Pemberian Hormon Pertumbuhan Rekombinan,