Kepemilikan Ternak Pola Pertama, pengembangan sapi potong yang tidak dapat dilepaskan

adalah petani sawah, hal ini disebabkan 90 penduduk di kedua kampung ini adalah transmigran asal Jawa. Pedagang atau wiraswasta lebih banyak 7.14 di kampung Sakabu diikuti dengan kampung Kalobo 4.23 dan Waijan 2.23. Demikian juga PNS dengan pola yang sama masing-masing 14.29; 7.63 dan 2.33 untuk kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan. Penduduk di tiga kampung peternaknya memelihara sapi Bali adalah sebagai usaha sambilan dan hanya 4.24 peternak di kampung Kalobo yang menjadikannya sebagai usaha pokok. Sapi potong dipelihara sebagai tabungan atau tambahan penghasilan. dan peternak menjualnya saat membutuhkan uang.

d. Pengalaman Beternak

Sebagian besar peternak rata-rata 65.6 pengalaman beternaknya masih kurang dari lima tahun, karena penduduk asli dan keluarga baru ada yang baru mencoba untuk beternak sapi potong. Di kampung Sakabu semuanya 100 adalah peternak pemula, sementara di kampung Kalobo dan Waijan rata-rata peternak sudah memelihara sapi 5-10 tahun bahkan banyak juga yang diatas 10 tahun, mereka umumnya adalah transmigran asal Jawa yang sudah memulai memelihara sapi sejak tahun 1983 dengan adanya bantuan Presiden sebanyak 160 ekor untuk dua lokasi Unit Pemukiman Transmigrasi UPT di Kalobo dan Waijan Disnak Kab.Sorong 2007.

e. Kepemilikan Ternak

Jumlah ternak sapi potong yang dipelihara oleh tiap peternak berkisar antara 3 - 8 ekor dengan komposisi pedet, jantan dan betina muda masing-masing berkisar antara 4 – 65 ekor dan 12 – 311 ekor, jantan dan betina dewasa masing- masing berkisar 3 – 92 ekor dan 23 – 396 ekor, rasio jantan dan betina sebesar 1 : 5. Jumlah sapi potong jantan dan betina dewasa cukup tinggi masing-masing 161 dan 753 ekor, karena pejantan digunakan untuk perkawinan secara alami di padang pengembalaan. Jumlah sapi betina yang tinggi dalam populasi diharapkan dapat menghasilkan anak untuk menggantikan induk yang tua dan dijual. Persentase sapi pedet dan sapi muda relatif seimbang serta sapi betina relatif lebih banyak dan ini merupakan komposisi yang baik sebagai ternak pengganti replacement stock pejantan dan induk. Komposisi tersebut merupakan rasio yang cukup ideal untuk proses pengembangan. Guna memperoleh kualitas bibit sapi yang baik dengan sistem perkawinan secara alami, rasio jantan dengan betina maksimum diusahakan adalah 1 : 10, untuk pengadaan ternak pengganti replacement stock, calon bibit jantan dan betina diambil dari umur sapih yakni 6 – 7 bulan sebanyak 10 dan 25 yang diseleksi berdasarkan performan masing- masing Deptan 2006. Pengetahuan, Motivasi dan Partisipasi Peternak dalam Kegiatan Pengembangan Peternakan Sapi Potong. Hasil analisis mengenai pengetahuan, motivasi dan partisipasi peternak sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Tabel 11. Petani peternak di Kabupaten Raja Ampat memiliki pengetahuan relatif rendah dengan skor 25.0 terutama tentang manajemen sapi potong. Nilai skor paling rendah 14.71 adalah peternak di kampung Sakabu dan tertinggi 20.49 adalah peternak di Waijan. Pengetahuan yang rendah tentang budidaya sapi potong erat kaitannya dengan sistem pemeliharaan yang masih bersifat ekstensif. Hampir seluruh kehidupan ternak tergantung dari alam, dan peternak hanya mengawasi tanpa campur tangan yang serius. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa pengetahuan peternak tentang kegiatan pengembangan peternakan di kampung Sakabu berbeda dengan kampung Kalobo dan Waijan, hal ini disebabkan peternak di kampung Kalobo dan Waijan adalah peternak lama yang sudah sering menerima penyuluhan dan 90 peternak terbanyak berada di kedua kampung tersebut. Tabel 11. Hasil uji Mann-Whitney tentang pengetahuan. motivasi dan partisipasi peternak dalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat Lokasi Penelitian kampung No Uraian Peubah Diamati Sakabu Kalobo Waijan 1 Peternak orang 14 118 86 2 Pengetahuan skor 14.71±2.67 a 18.20±5.31 b 20.49±6.39 c 3 Motivasi skor 16.43±4.31 a 21.66±6.16 b 23.12±6.28 b 4 Partisipasi skor 11.14±2.03 a 14.71±3.95 b 15.33±4.09 b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata P 0.05. Motivasi peternak dalam program pengembangan dan penerapan teknologi budidaya sapi potong sapi Bali termasuk rendah skor 25.0. Hasil uji Mann- Whitney menunjukkan bahwa peternak di kampung Sakabu memiliki motivasi yang paling rendah 16.43 dibanding peternak di dua kampung lainnya, karena mereka masih merupakan peternak baru dan belum berhasil dalam kegiatan beternak sapi potong bila dibandingkan dengan peternak di Kalobo 21.66 dan Waijan 23.12 yang memiliki motivasi cukup baik. Partisipasi peternak dalam budidaya sapi potong juga termasuk rendah skor 25.0 dan tidak terdapat perbedaan antara kampung Kalobo 14.71 dan Waijan 15.33 namun keduanya berbeda dengan Sakabu 11.14. Sejalan dengan tingkat motivasi, peternak di kampung Sakabu memiliki tingkat partisipasi yang juga rendah, karena sebagai peternak baru masih banyak membutuhkan dukungan dari pemerintah terutama pembinaan dalam cara beternak. Persepsi dan Aspirasi Masyarakat tentang Peternakan Sapi Potong Persepsi dan aspirasi peternak mempengaruhi pengembangan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 12. Usaha pertanian sawah dan perkebunan yang kurang memberikan hasil, mengakibatkan rendahnya pendapatan dari sawah dan perkebunan sagu dan durian dan hanya mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu harapan beternak sapi potong sapi Bali merupakan komoditas alternatif guna menunjang peningkatan pendapatan petani. Tabel 12. Potensi peternakan sapi potong menurut persepsi dan aspirasi masyarakat di Kabupaten Raja Ampat Status Perkembangan Usaha Kampung Peternak orang Baik Cukup Baik Kurang Baik Kalobo 55 100 Sakabu 125 100 Waijan 95 100 Manajemen Produksi Sapi Potong Penerapan Teknologi Budidaya Sapi Potong Teknis pemeliharaan sapi Bali di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan dapat dilihat pada Tabel 13, yang menunjukkan bahwa sistem pemeliharaan masih bersifat ekstensif dengan cara digembalakan pada areal padang pengembalaan, hutan, persawahan atau perkebunan. Peternak sapi potong di Sakabu, Kalobo dan Waijan belum melaksanakan seleksi ternak secara terarah, bahkan cenderung menjual ternak dengan ukuran tubuh dan bobot badan yang besar untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak. Sistem perkawianan umumnya masih secara alami, ada beberapa peternak yang sudah mengawinkan sapi dengan pejantan yang dianggap unggul namun itupun masih secara alami. Tabel 13. Teknis pemeliharaan sapi potong di lokasi penelitian Kampung No Peubah yang diamati Sakabu Kalobo Waijan 1 Jumlah Peternak 14 118 86 .…..………..................... 2 Bibit a. Seleksi Seleksi alam 100 100 100 Seleksi buatan Tradisional Seleksi buatan modern b. Sistem perkawinan Kawin alam tdk diatur 85.71 72.03 84.88 Kawin alam pejantan unggul 14.29 27.97 15.12 Kawin suntik 3 Sistem Pemeliharaan Perkandangan a. Digembalakan sepanjang hari Ekstensif 100 100 100 b. Digembalakan siang hari dan dikandangkan malam hari Semi-Intensif c. Dikandangkan Intensif 4 Pakan a. Hijauan Diberikan 100 100 100 Tidak b. Konsentrat Diberikan 14.29 4.24 3.49 Tidak 82.71 95.76 96.51 c. Vitamin. Mineral. Antibiotik 5 Kesehatan dan Penyakit a. Ternak dimandikan 14.29 6.78 8.14 b. Upaya pencegahan penyakit 14.29 4.24 3.49 c. Pemberian obat 14.29 5.93 4.65 Kebutuhan pakan seluruhnya tergantung pada hijauan yang tersedia dan dikonsumsi ternak selama merumput. Beberapa peternak memberikan pakan tambahan atau konsentrat berupa dedak, bungkil kelapa, limbah perikanan atau limbah rumah tangga yaitu masing-masing 14.29, 4.24 dan 3.49 masing-masing di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan. Penanganan kesehatan dan penyakit pada ternak dilakukan dengan cara membersihkan ternak atau mengobati sapi yang sakit dengan memberikan obat yang sering digunakan manusia seperti obat cacing combatrin untuk sapi yang cacingan atau antibiotik tetraciclin untuk mengobati diare dengan dosis yang dimodifikasi. Secara umum, sebagian besar 85 peternak di kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan menerapkan tatalaksana pemeliharaan ternak sapi secara semi tradisional dengan campur tangan manusia yang terbatas. Menurut Riady 2004, keterbatasan peternak dalam ilmu pengetahuan dan masalah modal merupakan permasalahan dalam pengembangan sapi potong di Indonesia. Infrastruktur Sarana dan Prasarana Pendukung Perintisan peternakan sapi potong di Kabupaten Raja Ampat dimulai pada tahun 2006 melalui pembangunan UPTD-Peternakan. Informasi mengenai identitas dan karakteristik peternak, kontrol kesehatan, upaya penurunan angka kematian, dan pencegahan penyakit ternak sapi potong sapi Bali diperoleh melalui pemanfaatan fasilitas kegiatan rutin layanan kesehatan hewan dan pemberian obat-obatan pada hewanternak secara berkala menggunakan fasilitas layanan yang tersedia Tabel 14. Tabel 14. Fasilitas sarana dan prasarana infrastruktur layanan peternakan Fasilitas Jumlah Poskeswan 1 TPHRPH 0 Gedung Obat-Obatan 1 Dokter Hewan orang 1 Petugas Peternakan orang 3 Kebun HMT ha 20 Pabrik Penggilingan Padi unit 6 Jalan Tersedia aspal Pelabuhan Tersedia 3 buah Keterangan : Tempat Pemotongan HewanRumah Potong Hewan Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fasilitas layanan peternakan sapi potong relatif cukup memadai dan perlu dioptimalkan pemanfaatannya. Fasilitas lain seperti cattle yard, holding ground, dan kandang permanen sedang dalam proses pembangunan. Kondisi ini sangat mendukung upaya pengembangan dan pembibitan peternakan sapi potong sebagai suatu kebijakan dan peran aktif pemerintah dalam hal ketersediaan, movilitas, dan jangkauan pelayanan. Menurut Samariyanto 2004, ketersediaan fasilitas mempengaruhi keberhasilan upaya pengembangan dan pembibitan sapi Bali disuatu wilayah pemeliharaan. Kelayakan Usaha Sapi Potong Analisis kelayakan usaha sapi potong secara sederhana dilakukan pada skala usaha kecil untuk menggambarkan prospek perkembangan khususnya di tingkat masyarakat peternak Lampiran 6a dan 6b. Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha sapi potong pada tingkat peternak rakyat dengan pola ekstensif adalah pada skala kepemilikan 3.25 satuan ternak ST atau setara dengan RP 23 159 250 untuk satu periode pemeliharaan. Hal ini berarti jika pola pemeliharaan ditingkatkan dari pola ekstensif menjadi semi intensif atau intensif akan lebih meningkatkan pendapatan peternak, disamping itu dapat menjadi salah satu acuan dalam penentuan skala usaha minimal bagi peternak. Kawasan Sapi Potong Rakyat Berdasarkan hasil analisis kawasan sapi potong dengan menggunakan metode skoring memberikan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 14. Dari nilai total skor yang diperoleh, pada kawasan pembibitan dan penggemukan sapi potong di tiga kampung penelitian adalah dibawah 500, yang berarti bahwa ketiga lokasi penelitian diklasifikasikan sebagai Kawasan Baru yang terbagi dalam dua klaster yaitu kelompok Sakabu dan kelompok Kalobo Waijan. Berdasarkan hasil analisis klaster Gambar 10, menunjukkan bahwa kampung Sakabu mempunyai karakteristik yang berbeda di banding Kalobo dan Waijan. Hal ini disebabkan beberapa komponen kawasan yang meliputi ternak, teknologi budidaya, dan peternak mempunyai nilai skoring terrendah dibanding kampung Kalobo dan Waijan. Kondisi ini lebih dipengaruhi oleh pengalamam beternak, karena peternak di kampung Sakabu umumnya adalah peternak yang baru mulai mencoba memelihara ternak sapi potong. Kondisi lahan dan topografi serta komponen penyusun kawasan lainya relatif sama, kecuali sarana dan prasarana penunjang peternakan hanya tersedia di kampung Kalobo, namun hal ini tidak terlalu bermasalah karena aksesibilitas dari Sakabu dan Waijan ke kampung Kalobo relatif mudah. Tabel 15. Skoring penilaian kawasan penggemukan dan pembibitan sapi potong Skor Penggemukan Skor Pembibitan No Kriteria Sakabu Kalobo Waijan Sakabu Kalobo Waijan 1 Lahan 50 47.5 47.5 50 47.5 47.5 2 Ketersediaan HMT 150 150 150 150 150 150 3 Ternak 35 65.5 58.5 42 86.5 79.5 4 Teknologi budidaya 67 67 67 80 80 80 5 Peternak 20 30 20 20 30 20 6 Tenaga pendamping 4 4 2 3 3 2 7 Fasilitas 20 55 20 20 55 20 8 Kelembagaan 5 5 5 5 5 5 Total skor 351 424 370 370 457 404 Menurut Ditjennak 2002, Priyanto 2002, dan Bappenas 2004, kawasan peternakan sapi potong secara khusus diperuntukkan bagi kegiatan usaha sapi potong, terintegrasi dengan komponen usaha tani atau ekosistem tertentu,. dan dalam pengembangannya banyak melibatkan partisipasi rakyat dengan mengoptimalkan potensi sumberdaya lokal yang ada. Data pada Tabel 15 menunjukkan, bahwa sebagai kawasan baru, optimalisasi pemanfaatan semua sumber daya yang tersedia dan didukung penerapan teknologi aplikatif akan mampu meningkatkan peran ternak sebagai usaha alternatif bagi masyarakat. Gambar 10. Dendogram hasil analisis klaster lokasi penelitian Komponen Kawasan Agribisnis Sapi Potong Berdasarkan hasil analisis kawasan yang menunjukkan sebagai kawasan baru, kampung Sakabu, Kalobo dan Waijan mempunyai karakteristik komponen kawasan baru yang meliputi lahan dan pakan, peternak, ternak, teknologi serta sarana dan prasarana .

a. Lahan dan Pakan