Pendugaan Nilai Suhu Udara

4.4 Pendugaan Nilai Suhu Udara

Suhu udara Ta yang diekstrak dari citra Landsat merupakan gambaran rata-rata suhu udara Kota Depok yang terekam pada saat pukul 10.00 WIB. Suhu udara dugaan pada 15 Juli 2001, 3 Agustus 2002, 21 Juni 2004, 2 Juli 2005, dan 1 Oktober 2006 adalah sebesar 24.5 o C, 25.5 o C, 26 o C, 26 o C, dan 30 . o C. Data suhu udara hasil pengamatan dipilih dari Stasiun Iklim Pondok Betung, Kota Tangerang Selatan, hal ini berdasarkan jarak, ketinggian, dan kerapatan wilayah yang tidak jauh berbeda dengan wilayah kajian. Stasiun Iklim Pondok Betung terletak di Kota Tangerang Selatan yang berjarak sekitar 25 km dari pusat Kota Depok, dengan ketinggian sekitar 22.6 mdpl. Terdapat beberapa stasiun iklim disekitar wilayah kajian, seperti Stasiun Iklim Halim Perdana Kusuma yang berada di timur Kota Depok wilayah Jakarta Timur, Stasiun Iklim Cibinong, dan Stasiun Iklim Darmaga, Bogor yang berada di selatan Kota Depok. Data dari stasiun Halim Perdana Kusuma tidak dipilih karena selain datanya tidak lengkap. Stasiun Iklim Cibinong tidak dipilih karena data yang tersedia hanya sampai tahun 1995 karena stasiun iklim cibinong hanya beroperasi sampai dengan tahun 1995, sedangkan data dari Stasiun Iklim Darmaga Bogor tidak dipilih karena ketinggian yang jauh berbeda dengan Kota Depok ketinggian Kota Depok antara 0-100 mdpl sedangkan stasiun Darmaga Bogor 250 mdpl. Suhu udara hasil pengamatan merupakan gambaran suhu udara rata-rata Kota Tangerang Selatan pada satu hari. Suhu udara hasil pengamatan tahun 2001, 2002, 2004, dan 2005 lebih tinggi daripada suhu udara hasil dugaan pada periode yang sama sedangkan hasil pengamatan langsung suhu udara pada tahun 2006 lebih rendah daripada suhu dugaannya. Ketidaksesuaian tersebut dimungkinkan karena adanya pengaruh pada saat pengambilan citra. Sebagai contoh, adanya awan menyebabkan pendugaan suhu udara menjadi lebih rendah, sedangkan adanya bahan bangunan seperti asbes dan seng berdampak pada pendugaan suhu udara yang lebih tinggi. Nilai suhu udara tahun 2006 baik dugaan dan hasil pengamatan langsung lebih tinggi daripada tahun lainnya Tabel 4. Hal ini indikasi adanya perubahan lahan dari RTH menjadi lahan terbangun yang cukup besar, selain itu pada tahun tersebut merupakan tahun kemarau kering sehingga suhu yang tercatat lebih tinggi dari tahun lainnya. Tabel 4 Perbandingan Ta dugaan dengan Ta observasi o C Tahun Ta Dugaan Ta Observasi 2001 24.5 27.8 2002 2004 2005 2006 25.5 26.0 26.0 30.0 27.6 28.1 28.1 29.2 Karena ada perbedaan antara suhu udara hasil olahan dan pengamatan langsung, maka nilai suhu udara yang digunakan untuk perhitungan selanjutnya adalah nilai tengah dari suhu udara dugaan dengan suhu udara pengamatan langsung. Tabel 5 Ta setelah disesuaikan dengan hasil observasi o C Tahun Ta 2001 26.2 2002 2004 2005 2006 26.6 27.1 27.1 29.6 Terjadi peningkatan suhu udara selama periode 2001-2006 di Kota Depok Tabel 5. Hal ini sesuai dengan beberapa kajian mengenai hubungan peningkatan suhu udara dengan perubahan penggunaan lahan di wilayah lainnya. Wilayah JABOTABEK mengalami peningkatan suhu udara selama periode 1991-2004, dari 30.7 o C menjadi 32.4 o C Effendy 2007. Di Kota Cibinong, peningkatan suhu udara sebesar 1.5 o C selama periode 1975-2004 Adhayani 2005. Peningkatan suhu udara akibat perubahan penggunaan lahan juga terjadi pada Kota Bandung, Semarang dan Surabaya selama periode 1994-2002 Tursilowati 2008. 4.5 Pendugaan Nilai RTH dari Landsat Hasil klasifikasi dibagi ke dalam tiga kelas: badan air, RTH, dan bukan RTH. Badan air meliputi: danau, kolam, situ, dan sungai. RTH meliputi: hutan, jalur hijau, ladang, lapangan golf, sawah, sempadan sungai, pekarangan, dan perkebunan. Kelompok bukan RTH meliputi: pemukiman, pertokoan, perusahaan, industri, dan lahan terbangun lainnya. Sebelum diklasifikasikan menjadi tiga kelas, penutupan lahan Kota Depok di bagi menjadi 16 kelas terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar perbedaan setiap tutupan lahan dapat dikenali dengan baik oleh metode isoclass unsupervised. Setelah itu, dilakukan pengecekan dan pengelompokkan kelas tutupan lahan. Kelas yang memiliki kemiripan warna dijadikan dalam satu kelas yang sama hingga akhirnya didapatkan tiga klasifikasi penutupan lahan Kota Depok. Proses klasifikasi menggunakan metode isoclass unsupervised tidak begitu baik digunakan jika tidak mengetahui daerah yang dikaji. Untuk itu, digunakan alat bantu peta pemanfaatan ruang dan juga foto udara wilayah kajian dalam melakukan klasifikasi. Gambar 4 Klasfikasi dengan kanal 245. Gambar 5 Klasfikasi dengan kanal 345. Klasifikasi penutupan lahan menggunakan gabungan kanal 245, hal ini berdasarkan panjang gelombang yang dimiliki kanal-kanal tersebut yang dapat menduga dan membedakan obyek dengan baik. Selain itu, gabungan kanal 245 lebih baik daripada gabungan kanal 345 dalam membedakan objek pada citra. Gabungan kanal 345 tidak dapat membedakan vegetasi rendah sawah, lapangan golf, dengan ruang terbangun, sehingga lapangan golf dan sawah yang ada di Kota Depok terbaca sebagai lahan terbangun. Warna kuning pada Gambar 4 menunjukkan lapangan golf terbaca sebagai lahan terbangun pada gabungan kanal 345 Gambar 5. Tabel 6 Hasil klasifikasi lahan Kota Depok Ha Tahun Badan Air RTH Bukan RTH 2001 697.32 12 629.16 6 732.27 2002 1340.82 11 523.33 7 194.60 2004 1130.04 11 123.73 7 804.98 2005 689.04 11 014.47 8 355.24 2006 584.73 8 420.49 11 052.27 Gambar 6 Dinamika tutupan lahan Kota Depok. Luas Kota Depok berdasarkan peta administrasi yang digunakan adalah sebesar 20 058 Ha. Berdasarkan penolahan citra Landsat, luasan RTH Kota Depok pada periode 2001- 2006 cenderung mengalami penurunan Gambar 6. Begitu pula pada tahun 1992- 2000 luasan RTH Kota Depok mengalami pengurangan dari 88 menjadi 65 Agrissantika 2007. Sementara itu, Bappeda Kota Depok menyatakan bahwa pada tahun 2007 luasan RTH Kota Depok sebesar 50 dari luas wilayah Kota Depok yang besarnya 20 029 Ha. Perbedaan luas RTH tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan sumber data dan metode klasifikasi yang digunakan. Pengurangan luas RTH pada periode 2001-2006 di Kota Depok diiringi dengan penambahan luas ruang terbangun. Hasil pengolahan citra Landsat menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ruang terbangun dari 33.5 pada tahun 2001 menjadi 55 pada tahun 2006. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada periode 1996-2000, luas ruang terbangun Kota Depok meningkat dari 33 menjadi 47 Kumar 2002. Kecenderungan pengurangan RTH dan penambahan ruang terbangun ini disebabkan oleh kebutuhan penduduk akan tempat untuk ditinggali dan juga berbagai fasilitas umum lainnya. Secara umum, laju pertumbuhan penduduk Kota Depok sebesar 6.75 setiap tahun. Pertumbuhan penduduk akhirnya berdampak pada beralih fungsinya kawasan RTH. Distribusi penggunaan lahan untuk 10 20 30 40 50 60 70 2001 2002 2004 2005 2006 RT H Tahun Badan Air RTH Non RTH pemukiman menggeser kebun, tegalan, ladang, sawah, dan situ yang ada. a b Gambar 7 Penutupan lahan Kota Depok hasil pengolahan citra Landsat. Perubahan penggunaan lahan dari RTH menjadi lahan terbangun tidak hanya terjadi di pusat Kota Depok, tetapi terjadi juga di bagian barat dan utara. Bagian barat merupakan Kecamatan sawangan, sedangkan bagian utara merupakan kecamatan Limo. Berdasarkan peta rencana pemanfaatan ruang Kota Depok tahun 2000-2010 Kecamatan Sukmajaya, Beji, Pancoran mas, dan Cimanggis merupakan pemukiman dengan kepadatan penduduk sedang hingga tinggi. 4.6 Penentuan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Hasil analisis bentuk hubungan antara RTH dengan suhu udara pada tahun 2001, 2002, 2004, 2005, dan 2006 didapatkan persamaan berbentuk non-linier kuadratik. Bentuk tersebut dipilih berdasarkan pola sebaran data dan pada nilai koefisien determinasi terkoreksi R 2 adj tertinggi serta nilai standar deviasi model S terendah. Nilai R 2 menunjukkan kebaikan model, semakin tinggi nilai R 2 semakin baik model menggambarkan hubungan antara X dan Y. RTH merupakan peubah yang menentukan X, sedangkan suhu udara adalah peubah yang ditentukan Y. Nilai R 2 pada model kuadratik menunjukkan perubahan 99.7 suhu udara dapat dijelaskan oleh perubahan RTH. Tabel 7 Nilai R 2 , R 2 adj, dan S persamaan RTH dan suhu udara tahun 2001, 2002, 2004, 2005, dan 2006 Linier Kuadratik R 2 R 2 adj S 95.2 93.6 0.39 99.7 99.4 0.12 Gambar 8 Persamaan antara RTH dan suhu udara. Nilai RTH yang digunakan dalam persamaan pada Gambar 8 adalah nilai dari seluruh wilayah hasil pengolahan citra Landsat. Persamaan regresi yang didapat adalah Y = 54.144 - 0.829X + 0.00661X 2 . Persamaan hanya berlaku untuk nilai RTH antara 0-80. Pada saat nilai RTH 80-100 nilai suhu udara justru meningkat. Selain karena keterbatasan data masukkan, hal ini disebabkan juga oleh nilai RTH hasil pengolahan yang hanya berkisar antara 40- 70. Nilai suhu udara pada saat RTH 80 adalah 26.8 o C, nilai ini besarnya sama dengan nilai suhu udara rata-rata wilayah Indonesia dengan ketinggian 0 m di atas permukaan laut. Tabel 8 Hubungan RTH dengan suhu udara Kota Depok RTH Suhu Udara o C 10 20 30 40 50 60 70 80 54.1 46.5 40.0 34.8 30.7 27.9 26.9 26.4 26.0 25 26 27 28 29 30 31 40 50 60 70 S u h u U d a r a o C RTH Pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara terjadi Tabel 8. peningkatan suhu udara yang terjadi akibat pengurangan RTH bahkan lebih tajam dibandingkan dengan penurunan suhu udara yang terjadi karena penambahan RTH. Sebagai contoh, jika RTH yang ada sebesar 40 ditambah 30 hingga mencapai 70, suhu udara hanya turun 0.5 o C sedangkan pengurangan RTH sebesar 10 menyebabkan peningkatan suhu udara sebesar 3.9 o C. Hal tersebut menjadi masukkan yang penting bagi pemerintah Kota Depok agar mempertahankan RTH yang ada. Secara ilmiah hubungan antara RTH dan suhu udara dapat dijelaskan oleh Persamaan 15. Pada saat nilai laju transfer panas q diasumsikan tetap dan luasan A RTH berkurang maka nilai ΔT menjadi besar hal ini berarti suhu akhir lebih besar daripada suhu awal. Sebaliknya, saat terjadi penambahan RTH, nilai ΔT menjadi lebih kecil, suhu akhir lebih kecil dari nilai awal. Proses penutupan lahan urban dengan vegetasi baru tidak setara dengan penutupan RTH yang sudah ada. Proses pertumbuhan vegetasi memerlukan waktu beberapa tahun untuk mencapai fase dewasa hingga cukup menaungi permukaan lahan. Hal inilah yang menjadi penyebab laju penurunan suhu udara yang lebih lambat dibandingkan dengan laju peningkatan suhu udara akibat pengurangan RTH. Sementara itu, pada saat terjadi pengurangan RTH, permukaan lahan menjadi terbuka dari naungan dalam waktu yang relatif singkat, akibatnya laju transfer panas ke udara di atasnya juga menjadi lebih cepat. 4.7 Penentuan Hubungan RTH dengan THI Kota Depok Nilai THI didapatkan melalui Persamaan 16. Nilai Ta yang didapatkan dari hasil dugaan yang telah disesuaikan dengan hasil pengamatan langsung menjadi nilai masukan pada persamaan tersebut. Nilai RH didapat dari hasil pengamatan langsung Stasiun Iklim Pondok Betung, Kota Tangerang Selatan. Tabel 9 Nilai Ta, RH, dan THI Kota Depok Tahun Ta o C RH THI o C 2001 26.2 77 25 2002 2004 2005 2006 26.6 27.1 27.1 29.6 78 73 75 58 25 26 26 27 Batas nyaman THI di Indonesia adalah 20-26 o C Mom 1947 dalam Effendy 2007. Berdasarkan hal tersebut, Kota Depok sebelum tahun 2006 tergolong dalam kategori kota yang nyaman, tetapi karena terjadi peningkatan suhu udara akibat pengurangan RTH dan penambahan ruang terbangun, nilai THI Kota Depok tahun 2006 meningkat sehingga Kota Depok berada di titik kritis kenyamanan. Sebelum tahun 2006 dengan luas RTH yang ada, Kota Depok dapat mempertahankan nilai THI pada batas nyaman. Hal ini diharapkan juga tetap dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Walaupun pertumbuhan penduduk tidak dapat dihindari, pembangunan ruang terbangun untuk memenuhi kebutuhan pemukiman tetap dapat disiasati. Salah satunya adalah dengan pembangunan ruang terbangun secara vertikal. Sehingga RTH yang sudah ada tidak berkurang dan akhirnya nilai THI Kota Depok dapat dipertahankan dalam batas nyaman. Gambar 9 Perbandingan antara RTH dan luas daerah yang memiliki suhu udara  27 o C. Daerah di Kota Depok yang memiliki suhu udara  27 o C juga bertambah akibat pengurangan RTH Gambar 9. Nilai digunakan karena pada nilai THI diatas 27 o C umumnya orang di wilayah tropis sudah merasa tidak nyaman. Daerah yang memiliki suhu  27 o C menyebar dari pusat kota ke seluruh wilayah. Hal ini disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan RTH yang menjadi lahan terbangun. Selain itu, hal ini disebabkan oleh topografi Kota Depok yang relatif datar. Secara spasial, sebaran luas daerah yang memiliki suhu udara 27 o C dan  27 o C disajikan pada Gambar 10. 63 57 55 55 42 3,4 18,2 4 27 98,9 2001 2002 2004 2005 2006 RTH Luasan Ta = 27 oC a b Gambar 10 Sebaran suhu udara Kota Depok. Perubahan mencolok terjadi antara tahun 2001 dan 2006. Luas Kota Depok yang memiliki suhu udara  27 o C pada tahun 2006 mencapai 98.9 akibat pengurangan RTH sebesar 21. Perubahan yang mencolok ini juga terjadi pada Kota Surabaya dan Semarang. Pada periode 1994-2002 luas daerah di Kota Surabaya yang memiliki suhu udara  27 o C mencapai 100 akibat pengurangan RTH sebesar 9.2 Tursilowati 2007, sedangkan pada Kota Semarang luas daerah yang memiliki suhu  27 o C mencapai 92.9 akibat pengurangan RTH sebesar 7.7 pada periode yang sama Tursilowati 2008. Berdasarkan pengolahan citra Landsat tahun 2006, luas RTH di Kota Depok masih sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007, yaitu sebesar 42. Meski begitu, sangat dimungkinkan luasan RTH di Kota Depok pada tahun-tahun berikutnya akan mengalami penurunan akibat alih fungsi lahan dari RTH menjadi lahan terbangun. Hal ini dikuatkan dengan beberapa kajian tentang tata guna lahan Kota Depok dari tahun 1992-2000 Agrissantika 2007 dan Kumar 2002 yang menunjukkan adanya penurunan luas RTH akibat penambahan ruang terbangun pada periode tersebut. Pemerintah Kota Depok diharapkan lebih berhati-hati dalam setiap pengambilan keputusan tentang pengalih fungsian lahan RTH menjadi lahan terbangun. Berdasarkan penelitian ini dan penelitian Effendy 2007 pada wilayah JABOTABEK, setiap pengurangan RTH lebih beresiko meningkatkan suhu udara dibandingkan dengan penambahan RTH dalam menurunkan suhu udara. Dengan kata lain, upaya mempertahankan dan meningkatkan pengelolaan RTH yang sudah ada memberikan hasil yang lebih baik dalam mempertahankan nilai suhu udara pada kisaran rata-rata yang nyaman bagi sebuah kota.

V. SIMPULAN DAN SARAN