Alat Pengumpulan Data Analisis Data

1 Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria UUPA c Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. e Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 2 Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli. 3 Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli. b. Penelitian Lapangan field research untuk mendapatkan data yang terkait dengan pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli.

3. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan 2 dua alat pengumpulan data yaitu: 1. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan. Universitas Sumatera Utara 2. Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada informan yang telah ditetapkan yang terkait dengan pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli di Kabupaten Bireuen Aceh, yaitu: a. Masyarakat pelaku pengalihan tanah non sertifikat dengan akta jual beli di Kabupaten Bireuen Aceh, sebanyak 3 orang. b. Kepala DesaKeuchik di Kabupaten Bireuen Aceh, sebanyak 3 orang. c. PPAT di Kabupaten Bireuen Aceh sebanyak 3 orang d. CamatPPAT Sementara di Kabupaten Bireuen Aceh sebanyak 3 orang. b. PejabatKepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh, sebanyak 1 orang.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan informan hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini. Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta dievaluasi. Kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis, untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan Universitas Sumatera Utara 44 menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini. Universitas Sumatera Utara

BAB II PELAKSANAAN PENGALIHAN TANAH NON SERTIFIKAT DENGAN

MENGGUNAKAN BLANKO AKTA JUAL BELI PPAT PADA MASYARAKAT KABUPATEN BIREUEN ACEH

A. Jual Beli Tanah Milik Adat Menurut UUPA

Berlakunya UUPA pada prinsipnya telah berlaku pula sebuah unifikasi hukum Agraria yang bertujuan mengakhiri suasana dualisme hukum antara hukum Barat di satu sisi dan Hukum Adat di sisi lain di bidang hukum agraria. Berkenaan dengan jual beli tanah milik adat, telah disebutkan bahwa hukum adatlah yang diberlakukan untuk hukum agraria baru dengan ketentuan bahwa hukum adat tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, sosialisme Indonesia, ketentuan UUPA dan peraturan lain di bidang Agraria dan unsur-unsur agama. 48 Hal tersebut di atas secara eksplisit terdapat dalam konsideran UUPA maupun Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Dalam ketentuan UUPA, jual beli tanah milik adat merupakan bagian dari peralihan hak atas tanah. Menurut Boedi Harsono, pada dasarnya peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena 2 dua sebab yaitu: a Pewarisan tanpa wasiat yakni peralihan hak atas tanah karena pemegang suatu hak atas tanah meninggal dunia, dengan kata lain hak tersebut 48 Bachtiar Efendi, Op. Cit. hal. 22. Universitas Sumatera Utara beralih kepada ahli warisnya, sementara siapa ahli warisnya dan berapa bagian masing-masing ditentukan berdasarkan Hukum waris pemegang hak yang bersangkutan. b Pemindahan Hak yakni hak atas tanah tersebut sengaja dialihkan kepada pihak lain. Bentuk pemindahan hak bisa berupa jual beli, sewa menyewa, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau inbreng dan hibah juga termasuk hibah wasiat. 49 Jadi dapat dijelaskan bahwa pengertian beralih dan dapat dialihkan dalam hal ini mempunyai arti sebagai berikut yaitu: a Beralih adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan seseorang yang mempunyai suatu hak meninggal dunia, sehingga dengan sendirinya hak itu beralih menjadi milik ahli warisnya. Ketentuan mengenai peralihan karena warisan terdapat dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi peralihan hak karena warisan terjadi karena hukum pada saat pemegang hak yang bersangkutan meninggal dunia. Sejak saat itu para ahli waris menjadi pemegang haknya yang baru. 50 b Dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemilik semula. Dengan kata lain peralihan ini terjadi karena adanya perbuatan hukum tertentu seperti jual beli, sewa menyewa, hibah, wasiat, hibah wasiat dan sebagainya Peralihan hak atas tanah, seperti yang telah disebutkan sebelumnya adalah salah satu peristiwa danatau perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya 49 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1982, hal. 318. 50 A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia Berdasarkan PP 24 Tahun 1997 dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah PP 37 Tahun 1998, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 140. Universitas Sumatera Utara pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak lain Peralihan tersebut meliputi jual beli, hibah, sewa menyewa, pemberian dengan wasiat dan perbuatan hukum lain yang bertujuan atau bermaksud memindahkan hak kepemilikan tanah. Tetapi Peralihan yang banyak terjadi dalam masyarakat adalah peralihan dalam bentuk jual- beli atas tanah. Peralihan hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA yang terdapat dualisme hukum, yakni status tanah adat tunduk pada Hukum Adat dan status tanah barat tunduk pada Hukum Barat. Di dalam ketentuan hukum tanah barat prinsip nasionalitas tidak dianut, dalam artian bahwa setiap orang boleh saja memiliki hak eigendom asal saja mau tunduk pada ketentuan-ketentuan penundukan diri pada KUH Perdata Barat. 51 Sehingga karena hal tersebut di atas pemerintah mengeluarkan ketentuan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah bagi yang tunduk pada Hukum Barat yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1954, yang memuat tentang ketentuan bahwa setiap Peralihan hak Juridische levering terhadap tanah dan barang-barang tetap lainnya hanya dapat dilakukan bila telah mendapat izin dari Menteri Kehakiman dan bila tetap dilakukan maka peralihan tersebut menjadi batal demi hukum. Bagi pemerintah langkah ini dilakukan bertujuan untuk mengurangi jatuhnya kemungkinan tanah-tanah tersebut berikut rumah dan bangunan-bangunan yang di atasnya ke tangan orang-orang dan badan hukum asing. 52 Karena sebelum ketentuan 51 Ibid., hal. 129. 52 Budi Harsono, Op. Cit., hal. 105-106. Universitas Sumatera Utara tersebut dikeluarkan banyak orang non pribumi selain bisa memiliki tanah hak barat seperti tanah hak eigendom, hak opstal dan lain-lain, juga dapat memiliki tanah hak adat walaupun diperoleh dengan cara-cara tertentu, karena pada kenyataannya tanah hak adat tidak dipasarkan dengan bebas dan tidak diperjualbelikan. Menurut Budi Harsono dalam hal ini mengartikan bahwa hukum tanah adat berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong royong, kekeluargaan dan diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama kelompok teritorial dan genealogik, sehingga hak-hak perorangan terhadap tanah secara langsung atau tidak langsung bersumber pada tanah bersama. Hukum tanah adat yang mengandung unsur kebersamaan tersebut dikenal dengan hak ulayat. Ketentuan ini masih berlaku di sebagian wilayah di Indonesia terutama di pedesaan. 53 Ketentuan yang sangat dominan dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah seperti yang tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang didukung dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pelaksanaan dari UUPA. Peraturan tersebut di atas secara singkat menerangkan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai 53 Ibid., hal. 106. Universitas Sumatera Utara tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT, dimana akta tersebut dapat berfungsi sebagai alat pembuktian untuk melakukan pendaftaran hak atas kepemilikan tanah pada Kantor Pertanahan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual- beli, sewa menyewa, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku. Dari ketentuan pasal ini, maka pada prinsipnya segala bentuk mutasi hak dan sebagainya harus melalui seorang PPAT. Menurut J Kartini Soedjendro, bahwa sistem pertanggung jawaban tugas PPAT lebih terarah pada pejabat utama dan bersifat admininistrasi saja artinya dalam hal ini dia hanya merupakan pejabat Agraria yang membantu Menteri Agraria membuat akta dalam hal pemindahan hak atas tanah, pemberian suatu hak baru atas tanah, penggadaian tanah, dan pemberian Hak Tanggungan atas tanah. 54 PPAT juga sebagai pelaksana tugas diantaranya membantu mengisi formulir permohonan izin pemindahan hak atas tanah dan mengirimkannya kepada instansi Agraria yang berwenang. Kemudian membantu membuat surat permohonan penegasan konversi hak-hak adatlndonesia atas tanah dan pendaftaran hak-hak bekas konversi. 54 J. Kartini Soedjendro, Op. Cit., hal. 16. Universitas Sumatera Utara Dalam pelaksanaan tugas peralihan hak atas tanah selama dalam suatu wilayah kecamatan belum diangkat seorang PPAT maka Kepala Kecamatan atau yang setingkat karena jabatannya ex officio dapat menjadi PPAT sementara di wilayah kecamatan tersebut. Ketentuan ini berlaku pula dalam hal PPAT yang diangkat mempunyai daerah kerja yang meliputi lebih dari satu kecamatan. Namun jika untuk kecamatan tersebut telah diangkat PPAT maka camat tersebut tetap menjadi PPAT sampai camat tersebut berhenti menjadi Kepala Kecamatan, sedangkan Kepala Kecamatan berikutnya dengan sendirinya bukan lagi sebagai PPAT. Jadi dengan demikian yang mereka yang bukan PPAT dalam hal ini Kepala Desa atau Kepala Suku, dilarang untuk membuat akta peralihan hak atas tanah. 55 Namun demikian, apabila PPATPPAT Sementara meragukan wewenang seseorang untuk mengalihkan hak milik adat, PPATPPAT Sementara selalu dapat meminta kesaksian Kepala Desa dan seorang anggota pemerintah desa tempat di mana tanah terletak, sedangkan apabila tanah yang dialihkan belum dibukukan sehingga belum bersertifikat, maka kehadiran Kepala Desa dan seorang anggota pemerintahan desa menjadi keharusan. Hal ini bertujuan selain sebagai saksi akan adanya peralihan tersebut, juga sebagai jaminan bahwa tanah tersebut benar-benar sebagai tanah kepunyaan penjual. 56 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa PPAT menolak untuk membuat akta tanah yang belum terdaftar, jika kepadanya tidak 55 Ibid., hal. 16. 56 Ibid., hal. 70. Universitas Sumatera Utara disampaikan surat keterangan Kepala DesaKelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut.

B. Gambaran Umum Kabupaten Bireuen Aceh

Kabupaten Bireuen yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Simeulue Lembar Negara Tahun2000 Nomor 75, Tambahan Lembar Negara Nomor 3963. Kabupaten ini memiliki Luas wilayah 1.901,21 Km 2 . Pada Tahun 2006 secara administratif Kabupaten Bireuen ini terdiri dari 17 Kecamatan, 70 Mukim serta 559 Desa dan 2 Kelurahan. Jumlah penduduk pada Tahun 2006 sebanyak 354.763 jiwa yang terdiri dari 174.258 laki-laki dan 180.505 perempuan dengan rasio jenis kelamin sebesar 0,97 atau dengan kata lain pada setiap seratus penduduk perempuan terdapat 97 orang. Rata-rata kepadatan penduduk untuk setiap kilometer persegi adalah 187 jiwa. Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk yang terendah adalah Pandrah 83 jiwa perkilometer persegi sedangkan kepadatan yang tertinggi terdapat di Kecamatan Peusangan yang mencapai 43.625 jiwa perkilometer persegi dan hampir seluruh penduduk Kabupaten Bireuen beragama Islam yakni mencapai 99,58 persen. 57 57 Pemerintah Kabupaten Bireuen, “Sejarah Kabupaten Bireuen”, http:www.bireuen.go.id., hal. 1. Universitas Sumatera Utara Letak Kabupaten Bireuen sangat strategis dan potensial untuk dikembangkan sebagai kota perdagangan dan pusat pemerintahan karena diapit langsung oleh 4 empat Kabupaten. Masing-masing sebagai berikut: 1. Sebelah selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah yang merupakan ”Pintu Gerbang” kawasan sentra produksi komoditas holtikultura. 2. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pidie yang terkenal dengan hasil kerupuk Melinjo Emping. 3. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara sebagai Sentra Industri besar yang diharapkan dapat mengalirkan limpahan Forward Shiffing bagi industri kecil, dan 4. Sebelah Utara Berbatasan langsung dengan Selat Malaka Kondisi keamanan di Kabupaten Bireuen saat ini sudah sudah kondusif, aman dan damai. Hal ini telah terwujud setelah penandatanganan MoU perdamaian antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada Tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki. Kondisi sekarang ini pelaksanaan pembangunan dapat dilaksanakan sampai ke daerah pedalaman yang sebelumnya hampir tidak tersentuh sama sekali. Dengan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan dan kemakmuran masyarakat, ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi pada Tahun 2005 sebesar 2,71 persen dan pertumbuhan ekonomi pada Tahun 2006 semakin baik lagi hingga mencapai 3,40 persen. 58 58 Ibid., hal. 1. Universitas Sumatera Utara Seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi, pendapatan regional perkapita juga mengalami peningkatan. Berdasarkan harga berlaku, pada Tahun 2006 pendapatan regional perkapita Bireuen mencapai 7.670.272,74 rupiah yang mengalami peningkatan sebesar 9,72 persen di banding tahun lalu. Rata-rata pendapatan regional perkapita Kabupaten Bireuen relatif membaik. Luas wilayah Kabupaten Bireuen 190.121 Km2 Ha yang dipergunakan untuk berbagai sektor-sektor sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 1. Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bireuen Tahun 2009 No. Penggunaan Lahan Luas Ha Persentase 1. Persawahan 22.948 12 2. Perkarangan 16.062 8,44 3. TegalanKebun 30.631 16,10 4. LahanHuma 38.453 20,20 5. Padang Rumput 2.045 1,38 6. Hutan Rakyat 15.156 7,97 7. Hutan Negara 19.539 10,27 8. Perkebunan 29.135 15,30 9. Rawa-rawa 1.998 1,00 10 Tambak 5.070 2,60 11. KolamTebatEmpang 52 0,02 12. Lain-lain 9.032 4,70 Sumber Data: Pemerintah Kabupaten Bireuen Tahun 2009. Dari tabel di atas terlihat penggunaan lahan yang paling luas adalah untuk LahanHuma seluas 38.453 Ha 20,20, TegalanKebun seluas 30,631 Ha 16,10, dan Perkebunan seluas 29,135 Ha 15,30, dari luas seluruh wilayah Kabupaten Bireuen yaitu 190,121 Km 2 Ha. Selanjutnya di Kabupaten Bireuen terdapat 6 enam buah sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Adapun sungai-sungai tersebut adalah Krueng Samalanga, Universitas Sumatera Utara Krueng Pandrah, Krueng Jeunieb, Krueng Nalan, Krueng Peudada dan Krueng Peusangan, dan satu sungai yang bermuara ke Krueng Peusangan. 59

C. Perjanjian Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat Aceh

Pada dasarnya di setiap daerah dalam mendapatkan hak milik atas tanah adat tidak berbeda satu daerah dengan daerah lain. Hal ini dapat dilihat dari proses terjadinya hak milik adat itu sendiri. Menurut Erman Rajagukguk: Terjadinya tanah adat menjadi hak milik di daerah Jawa Barat, dikarenakan dahulu penduduk desa diijinkan menggarap tanah bersama, dengan syarat harus dipenuhi hal-hal tertentu, seperti melaksanakan tugas ronda, perbaiki jalan, memelihara makam desa ikut serta dalam pembangunan desa dan sebagainya. Orang orang yang mendapatkan tanah tersebut disebut gogol, sikep atau kuli. Bila akan menggarap harus mendapat ijin dari masyarakat desa. 60 Pada masyarakat Aceh, berdasarkan hak ulayat yang melekat, masyarakat dapat membuka atau menggarap hutan yang akhirnya menjadi hak milik. 61 Namun sebelum tanah hutan atau belukar digarap, warga desa harus memberitahu kepada Kepala Adat atau Kepala Desa tentang rencana membuka tanah tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tanah yang akan digarap tersebut sudah terdapat hak orang lain atau belum Biasanya pembukaan tanah hutan oleh warga desa dipimpin oleh Peutua Sineubok yakni suatu lembaga yang memimpin dan mengatur tentang pembukaan lahan hutan untuk pertanian dan perkebunan. Lembaga ini yang 59 Ibid., hal. 2. 60 Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Hukum Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Chandra Pratama, Jakarta, 1995, hal. 79. 61 T.I. Elhakimy, Beberapa Segi..., Op. Cit., hal. 90. Universitas Sumatera Utara mengatur proses pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat adat sehingga masyarakat memperoleh hak yang sama dalam pembukaan lahan. 62 Pada tanah yang dibuka itu diberi tanda yang mudah dilihat, sehingga orang lain tahu bahwa tanah tersebut sudah ada yang punya. Orang yang telah menandai tanah hutan kemudian membersihkannya disebut ureung chah rimba orang garap hutan. 63 Setelah tanah menjadi bersih, maka tanah tersebut ditanami dengan tanaman seperti padi, jagung, kedelai dan sebagainya. Disamping itu juga ditanami tanaman keras seperti durian, pala, kelapa yang disebut hak useuha. 64 Namun tanah tersebut belum diberikan hak milik karena bisa saja tanah tersebut ditelantarkan. Jadi bila ditanami dan digarap secara terus-menerus maka tanah tersebut dapat menjadi hak milik penggarap. Tanah milik adat yang biasa disebut “Tanoh hak Kullah atau Tanoh Tuhan” merupakan sebidang tanah yang belum digarap atau diusahakan orang, yang kemudian diberikan kepada masyarakat adat sehingga menjadi “tanoh umum atau tanah masyarakat” yaitu tanah yang boleh digarapdipakai secara bebas oleh umum, siapa saja dengan syarat pemakaipenggarap tersebut harus warga masyarakat setempat, tidak boleh orang luar asing. 65 62 Sulaiman Tripa, Manajemen Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Rakyat Aceh, Karya tulis, Unsyiah, Banda Aceh, 1999, hal.19. 63 Ibid., hal. 19. 64 Ibid., hal. 21. 65 Asas hukum adat Jawa yang menyatakan bahwa ”siapa yang menggarap tanah dia itulah yang harus dipandang sebagai orang yang menghaki tanah tersebut”. Tanah yang tak digarap woeste gronden oleh siapapun menurut konsep ini adalah milik Tuhan, dan karena itu raja harus dipandang sebagai khalifatullah, maka rajalah yang berhak atas tanah tak digarap itu, dengan catatan bahwa setiap saat penduduk bebas saja untuk memadai menggarapnya dan begitu juga untuk mulai menyatakan hak menggarap, memaksa dan menempati tanah itu. Lihat Abu Rohmad, editor M. Mukhsin Jamil, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo Press, Semarang, 2008, hal. 48. Universitas Sumatera Utara Pembukaan gampong kampung yang ditandai dengan dibagi-bagikannya tanah tersebut mengakibatkan tanoh hak Kullah beralih status dari tanoh hak kullah umum menjadi hak kullah khusus yang lebih dikenal dengan tanah ulayat. Dengan kata lain tindakan pembukaan tanah umum tersebut dapat menciptakan hak pribadi person berupa hak milik hak milek atau hak useuha yang kemudian tanah tersebut menjadi berharga dan bermanfaat yang disebut bainah. Seandainya tanah tersebut tidak digarap dan tidak menghasilkan dalam jangka waktu 2 dua tahun, maka tanah tersebut akan diambil lagi oleh Ketua Adat dan dialihkan ke penduduk lain yang lebih membutuhkan dan dapat menggarap tanah tersebut sehingga lebih bermanfaat. Hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat Wiryono Prodjodikoro, yang menyatakan menurut Hukum Adat berbagai cara untuk mendapatkan hak milik alas tanah yaitu: membuka hutan atau belukar, mawaris, penerimaan tanah secara pembelian, penukaran, penerimaan hadiah atau mendapatkan hak milik karena lampau waktu verjaring. 66 Dari ketentuan di atas, secara umum diperolehnya suatu hak milik adat terjadi karena pembukaan hutan, pewarisan, hibah dan sebagainya. Namun pada dasarnya setiap kepemilikan hak milik tanah adat dimulai dari membuka hutan atau semak belukar, kemudian setelah hak membuka hutan didapat, dan tanah tersebut benar- 66 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak-Hak atas Bendz, Soerangan Kwitang 8, Jakarta, 1960, hal. 141. Universitas Sumatera Utara benar telah menjadi miliknya maka baru dapat dialihkan baik kepada ahli warisnya atau dihibahkan kepada orang lain, ataupun berdasarkan hak yang dimilikinya tanah tersebut dapat diperjual-belikan. Dengan adanya hak-hak perorangan atas tanah adat, maka timbullah berbagai cara peralihan hak diantaranya peusaka pewarisan, hibah, peublo jual, gantoe peunuiyah ganti rugi, peugala gadai dan peuwakeuh wakaf. Salah satu bentuk peralihan hak atas tersebut adalah jual beli. Pada hakekatnya prinsip dalam masyarakat adat, walaupun masyarakat mempunyai hak dong tanoh dan hak chah rimba yang sudah merupakan hak perorangan namun hak perorangan tersebut masih sangat kuat dengan hak masyarakat. Oleh karenanya setiap penduduk yang bersangkutan tidak berwenang mengalihkan kepada orang luar, tanpa persetujuan dari kepala persekutuan atau kepala adat. 67 Sehubungan pendapat tersebut di atas, Muhammad Yamin menyatakan sebagai berikut: 68 Bahwa terbaginya tanah menjadi hutan tanah ulayat bagi masing-masing hukum kesatuan masyarakat adat merupakan kedermawaan sang Raja sehingga pemanfaatan dan penggunaan haruslah sedemikian rupa dan harus memenuhi ketentuan adat seperti antara lain: 1 Hutan tanah ulayat tidak boleh diperjual belikan dengan cara apapun sehingga pemilikan haknya menjadi berpindah tangan; 2 Hutan tanah ulayat tidak boleh dibagi-bagi menjadi milik perorangan; 3 Warga suku yang bersangkutan secara perorangan boleh memanfaatkan tanah hutan tersebut dengan beberapa ketentuan dan kewajiban- kewajibannya yang perlu ditaati seperti membagi sebagian hasilnya kepada Kepala suku atau kepala desa dan menjadi penghasilan desa. 67 T.I., Elhakimy, Tatanan Tanah …, Op. Cit., hal. 92. 68 Muhammad Yamin, Op. Cit., hal. 112. Universitas Sumatera Utara Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pada hakekat hutan tanah ulayat dapat digunakan untuk digarap oleh persoon pribadi dan hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pengembangan desa, namun tanah tersebut tidak dapat diperjualbelikan secara bebas. Hal ini dimaksudkan supaya tidak merusak sendi hak ulayat dan selain itu tanah ulayat tersebut dapat menjadi asset masyarakat adat. Menurut pandangan masyarakat Aceh pada umumnya mereka membeda- bedakan tanah antara Tanoh Tuhan tanah Tuhan atau Tanoh Hak Kullah dengan tanoh droe tanah sendiri dan tanoh gob Tanah orang lain. Mengenai pengertian dari istilah-istilah tanah tersebut di atas, TI Elhakimy secara rinci menguraikan sebagai berikut: 69 Yang dimaksud dengan tanoh Hak Kullah adalah tanah yang belum digarap atau diusahakan oleh orang lain, diantaranya adalah: a Rimba Tuhan, hutan belantara di pedalaman kemukiman yang dipakai sebagai tempat berburu. b Padang, yakni tanah yang biasanya ditumbuhi rumput dan alang-alang dengan pepohonan yang jarang-jarang. c Panton, yakni tanah datar yang terdapat diantara bukit-bukit dan gunung di sebagian hulu sungai pada umumnya diliputi hutan. d Paya, tanah rendah yang umumnya digenangi air secara tetap dengan diliputi oleh hutan rawa, biasanya terletak ditepi pantai. Masyarakat Aceh sebagian besar menganut ajaran Islam, hal ini jelas terlihat dalam istilah-istilah tanah tersebut di atas. Pada umumnya masyarakat Aceh mempunyai pandangan bahwa seluruh alam dan sekalian isinya ada karena ditakdirkan Tuhan, oleh karena itu semua milik Allah SWT, milik Allah tidak terbatas, dan kepada manusia hanya diberikan hak pakai serta menikmati segala 69 T.I. Elhakimy, Tatanan Tanah di Wilayah Pedesaan Aceh…, Op. Cit., hal. 18. Universitas Sumatera Utara sesuatu yang telah diciptakannya. Jadi Masyarakat Aceh tidak mengenal milik mutlak seperti yang terdapat dalam hukum barat, tetapi hak milik relatif karena hak milik mutlak hanya ada pada Allah. Pelaksanaan jual beli menurut KUH Perdata perdata sangat berbeda dengan ketentuan yang dilakukan dalam masyarakat adat, pada masyarakat adat pada umumnya perjanjian jual beli disebut jual lepas. Istilah jual lepas tersebut beberapa sarjana memberikan pengertian seperti yang dikutip oleh Hilman Hadikusuma yaitu: 70 Jual lepas dari sebidang tanah atau perairan adalah penyerahan dari benda itu di hadapan petugas-petugas hukum adat dengan pembayaran sejumlah uang pada saat itu dan kemudian penyerahan sebidang tanah termasuk air untuk selama-lamanya dengan penerimaan uang tunai atau dibayar dulu sebagian, uang mana disebut uang pembelian. Menjual lepas menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai, tanpa hak menebus lagi jadi penyerahan itu berlangsung untuk selamanya. Sistem yang dipakai dalam hal pengalihan hak menurut hukum adat umumnya dikenal dengan sistem kontan, disebut kontan, perpindahan hak atas tanah bersamaan dengan saat pembayaran harga tanah tersebut yang diserahkan oleh pembeli. Mengenai Jual beli tanah adat, Bachtiar Efendi menyatakan sebagai berikut: 71 Di dalam Hukum adat yang dipakai berkenaan dengan jual beli hak atas tanah umumnya dikenal dengan sistem yang kongkrit atau nyata atau riel, di mana perpindahan hak atas tanah serentak terjadi begitu pembayaran harga tanah diserahkan oleh pembeli. Demikian pertemuan kehendak haruslah dibuktikan dengan penyerahan uang panjar supaya mengikat secara hukum adat. 70 Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung, 1982, hal. 120-121. 71 Bachtiar Efendi, Op. Cit., hal. 2. Universitas Sumatera Utara Persetujuan jual beli dibuat di atas kertas segel atau dibuat tidak di atas kertas segel namun dibubuhi dengan materai secukupnya yang dibuat oleh para pihak di hadapan Kepala Desa yang bersangkutan. Sekaligus berlaku sebagai penyerahannya dan oleh karena itu hak milik atas tanah tersebut telah beralih ke pembeli. Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa perjanjian jual beli tanah milik adat dilaksanakan oleh para pihak dengan sistem kongkrit dan terjadi bersamaan antara perpindahan barang dengan pembayaran. Perjanjian tersebut juga dilakukan di atas kertas segel atau materai yang dilakukan di hadapan Kepala Desa. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, selanjutnya Bachtiar Efendi menyebutkan, bahwa jual beli tetap sah sepanjang syarat materilnya telah dipenuhi para pihak yaitu harga barang telah dibayar dengan lunas oleh pembeli. Dan jika tidak dilakukan di depan PPAT, tetap sah karena UUPA juga berlandaskan hukum adat yang bersistem kongkritkontan, nyata atau riil. 72 Di masyarakat Aceh, peralihan hak atas tanah karena jual beli bloe peubloe hanya dilakukan terhadap tanah hak mile’ milik sedangkan tanah hak useuha peralihan haknya dengan gantoe peunayang ganti rugi, di mana masing-masing dari istilah tersebut mempunyai akibat hukum yang berbeda pula. Sebagai ganti ada bukti jual beli diperbuat surat akta jual beli dan surat keterangan ganti rugi dengan perantaraan Camat. Sedangkan Keuchik hanya sebagai saksi-saksi. Selain itu surat- surat ini diperbuat oleh para pihak dengan pengetahuan Keuchik dan Kepala Mukim. 73 72 Ibid., hal. 2. 73 T.I. Elhakimy, Tatanan Tanah di Wilayah Pedesaan Aceh…, Op. Cit., hal. 92. Universitas Sumatera Utara Bila dibandingkan dengan ketentuan dalam KUH Perdata, inti dari suatu perjanjian jual beli adalah adanya kata sepakat dari kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian dianggap telah terjadi dan sudah terlaksana, walaupun para pihak belum melakukan kewajibannya yakni pihak pembeli menyerahkan uang dan pihak penjual menyerahkan bendanya. Sedangkan dalam Hukum Adat setiap transaksi belum dianggap selesai bila tanpa disertai pembayaran dan penyerahan benda dari para pihak pada saat bersamaan.

D. Pelaksanaan Pengalihan Tanah Non Sertifikat Dengan Menggunakan

Blanko Akta Jual Beli PPAT Pada Masyarakat Kabupaten Bireuen Aceh Sebagaimana telah disebutkan jual beli tanah menurut adat Aceh dinamakan “bloe peublo”, bloe dimaksudkan seseorang yang akan melepaskan sebidang tanah miliknya untuk selamanya kepada orang lain dengan menerima sejumlah uang tunai pada saat itu juga, sedangkan yang membeli tanah tersebut disebut “ureung bloe“. Jadi walaupun dalam hukum adat pada umumnya lebih dikenal dengan jual lepas, namun di Aceh tidak mengenal istilah jual lepas. Biasanya tanah yang dijual adalah tanah non sertifikat yang merupakan tanah hak milik adat. Dalam hal ini jual beli tanah tersebut menyebabkan beralihnya hak milik tanah dan penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya. Jual beli tanah hak milik adat pada mulanya dilakukan dengan menggunakan kebiasaan yang berlaku di daerah tersebut yaitu dengan membuat suatu upacara tertentu seperti akad jual beli. Oleh karena di dalam masyarakat Aceh masih menganggap hukum dan adat harus berjalan beriringan, seperti dalam pepatah Aceh Hukum ngon Adat lage zat Universitas Sumatera Utara ngon sifeut atau lagee mata itam ngon mata puteh keduanya saling membutuhkan walaupun berlainan cara pelaksanaan. Sehingga dapat dimaklumi walaupun sudah ada ketentuan hukum yang mengatur mengenai jual beli tanah namun adakalanya di dalam suatu kelompok masyarakat masih melaksanakan jual beli secara hukum adat, dengan cara sebagai berikut: 1. Hadirnya pemerintah Gampong Kepala Kampung dan pihak penjual. Kemudian hadirnya paling sedikit dua orang saksi, akan tetapi lebih disukai jika jumlahnya lebih banyak, bahkan diusahakan dihadiri oleh beberapa orang yang akan mengingat peristiwa tersebut di kemudian hari. 2. Keuchik Kepala Desa tempat tanah tersebut berada memberitahukan kepada hadirin tentang transaksi yang akan terjadi yaitu terjadinya jual beli tanah. Biasanya penjual mengucapkan akad dengan kata “Ion peubloe keu droe neuh umong lon nyang di blang pulan deungon yum siploh juta rupiah”. Artinya saya jual kepada anda tanah saya yang di sawah pulan dengan harga sepuluh juta rupiah. Kemudian pembeli menyahut Ion bloc bak droe neuh umong nyang di blang pulan seharga siploeh juta rupiah, artinya saya beli tanah saudara yang terletak di sawah pulan dengan harga sepuluh juta rupiah. 3. Kemudian Keuchik menanyakan apa mereka telah jelas mendengarkan semua, setelah itu berakhirlah transaksi tersebut. 4. Setelah dilakukan doa bersama untuk memohon keridhaan Allah SWT, setelah itu dilaksanakan jedda makan bersama. Universitas Sumatera Utara Namun tidak semua jual beli dilaksanakan seperti yang tersebut di atas, adakalanya masyarakat hanya membuat kenduri syukuran dengan memberi makan anak yatim saja untuk memohon berkah dari Allah SWT. Menurut keterangan Geuchik Gampong kepala desa yang dijadikan informan pelaksanaan jual beli tanah adat atau tanah non sertifikat di Kabupaten Bireuen, dilakukan oleh masyarakat di desa-desa, pada umumnya dilakukan dihadapan Camat selaku PPAT Sementara. Baik yang dilakukan di depan Camat selaku PPAT Sementara maupun yang dilakukan di hadapan PPAT tetapi tidak dilanjutkan permohonan pendaftarannya pada Kantor Pertanahan. Akan tetapi ada juga yang melanjutkan pendaftarannya apabila tanah non sertifikat atau tanah adat sangat luas. Berdasarkan penjelasan Keuchik yang dijadikan informan luas tanah yang diperjualbelikan hanya berkisar antara 40 m 2 sampai 150 m 2 sehingga tidak dilanjutkan pendaftarannya ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bireuen. Di samping itu ada yang melakukan jual beli tanah adat hanya membuat surat keterangan jual beli tanah yang diketahui dan ditandatangani oleh Kepala Desa. 74 Masyarakat yang akan menjual tanah datang kepada Kepala Desa dan menyampaikan maksudnya untuk menjual tanahnya kepada si calon pembeli, dan untuk maksud jual beli tersebut maka penjual wajib membawa: 1. Alas Hak atas Kepemilikan Tanah berupa Akta Jual Beli, Akta Hibah, Akta Pembagian Hak Bersama atau Surat Keterangan Faraidh Damai yang dikeluarkan 74 Hasil wawancara dengan Bapak Nasruddin Adam, KeuchikKepala Desa Cot Trieng di Kecamatan Peusangan, tanggal 4 Januari 2010 di Kecamatan Peusangan. Universitas Sumatera Utara oleh Desa. Jika dokumen alas hak tidak ada maka Pemerintahan Desa mengeluarkan Surat Keterangan Tanah atas tanah tersebut. 2. Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah yang ditandatangani pemilik tanah. 3. Penjual harus mengikutsertakan persetujuan suamiisteri jika tanah tersebut merupakan harta gono-gini. Bagi yang belum menikah cukup si penjual sendiri yang menandatangani segala surat yang menyangkut jual beli tersebut. 4. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk para pihak. 5. Pajak Bumi dan Bangunan, dan 6. Saksi-saksi. 75 Adapun biaya-biaya yang harus dikeluarkan, adalah biaya untuk pengukuran, biaya akta jual beli, honor perangkat desa dan pemasukan untuk kas desa, dan juga untuk masjid dan lain-lain, yang meliputi, antara lain: a. 3 untuk Camat sebagai PPAT-Sementara, atau Notaris sebagai PPAT b. 1 untuk KeuchikKepala Desa c. 1 untuk Mesjid d. 1 untuk Sekretaris Desa dan Kepala Dusun, masing-masing ½. Biaya-biaya ini dihitung dari nilai jual atas tanah tersebut. 76 75 Hasil wawancara dengan Bapak Nasruddin Adam, KeuchikKepala Desa Cot Trieng di Kecamatan Peusangan, tanggal 4 Januari 2010 di Kecamatan Peusangan. 76 Hasil wawancara dengan Bapak Nasruddin Adam, KeuchikKepala Desa Cot Trieng di Kecamatan Peusangan, tanggal 4 Januari 2010 di Kecamatan Peusangan. Keterangan yang sama juga diperoleh dari Delli Masri, KeuchikKepala Desa Krueng Deue, tanggal 22 Desember 2010, di Desa Krueng Deue. Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan jual beli tanah adat di hadapan Camat sebagai PPAT Sementara lebih banyak dilakukan daripada di hadapan PPATNotaris, karena masih ada anggapan di masyarakat bahwa Camat merupakan Pegawai pemerintahan, sedangkan PPAT merupakan pegawai swasta. Selain itu kepercayaan masyarakat ini kepada Camat sebagai PPAT-Sementara sangat besar karena mereka mengenal siapa Camat di desa mereka. Keadaan ini kadang menjadi kendala bagi PPAT yang bertugas di daerah-daerah yang masyarakatnya masih banyak melakukan jual beli di depan Camat sebagai PPAT sementara tersebut. 77 Kemudian juga masih adanya sebagian masyarakat pedesaan di Kabupaten Bireuen Aceh yang melakukan jual beli hanya ditandatangani oleh Keuchik dan disaksikan oleh kepala dusun saja. Hal ini dilakukan masyarakat karena merasa tidak perlu bersusah payah melaksanakan jual beli tanah tersebut ke hadapan PPAT, karena jumlah maupun nilai tanahnya tidak begitu besar. Kalau dilakukan pengurusan terhadap tanah tersebut, uang yang didapat dari penjualan tanah bisa habis untuk biaya pengurusan saja. Kemudian menurut adat kebiasaan yang berlaku di Aceh sebagai rasa syukur dan mohon berkah kepada Allah SWT, maka bila seseorang telah terjual tanahnya yang bersangkutan akan membuat kenduri syukuran dengan mengundang masyarakat di sekitamya untuk menikmati hidangan secukupnya di rumahnya, bila 77 Hasil wawancara dengan Bapak NotarisPPAT Abdullah Ismail, S.H., NotarisPPAT di Kabupaten Bireuen Aceh, tanggal 20 Nopember 2009, di Kabupaten Bireuen Aceh. Universitas Sumatera Utara 66 tanah yang dijual tidak begitu banyak nilainya maka penjual hanya kenduri dengan memberi makan anak yatim saja. Pelaksanaan pengalihan atau jual beli atas tanah non sertifikat di Kabupaten Bireuen dilakukan dihadapan Keuchik saja dan kadang-kadang di hadapan CamatPPAT-Sementara dengan menggunakan blanko Akta Jual Beli PPAT. Hal ini disebabkan karena: 1. Ketidaktahuan CamatPPAT-Sementara bahwa tanah non sertifikat hanya menggunakan blanko Pelepasan Hak dan Ganti Rugi bukan blanko PPAT karena blanko PPAT hanya untuk tanah-tanah yang sudah ada sertifikat. 2. Masyarakat masih awam, tidak mengerti tanah non sertifikat atau sertifikat soalnya ada akta yang ditandatangani antara kedua belah pihak penjual dan pembeli maka sudah itu sudah menjadi bukti hak mereka. 3. Pemerintah tidak pernah melarangmengawasi perbuatan hukum seperti itu. Jadi kebiasaan itu berjalan terus tanpa hambatan. 4. Pendaftaran tidak perlu karena tanah belum bersertifikat. Universitas Sumatera Utara

BAB III FAKTOR PENYEBAB JUAL BELI TANAH NON SERTIFIKAT DI

HADAPAN PPAT DAN TIDAK DIDAFTARKAN DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN BIREUEN ACEH

A. Pendaftaran Tanah

Pembangunan di bidang hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang meliputi pembangunan materi hukum, aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, serta budaya hukum sebagai perwujudan negara hukum yang lebih menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia untuk menciptakan masyarakat yang tertib, aman dan tentram. Salah satu perwujudan pembangunan di bidang materi hukum, adalah produk legislatif yang diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria UUPA yang bertujuan untuk mengendalikan penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan pengalihan hak atas tanah, dalam rangka menunjang berbagai kegiatan pembangunan, terutama pembangunan di sektor pertanahan nasional. Tanah sebagai karunia Tuhan merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Suardi: Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan baik yang langsung untuk kehidupannya seperti misalnya untuk bercocok tanam guna mencukupi kebutuhannya tempat tinggalperumahan, maupun untuk melaksanakan usahanya seperti untuk tempat perdagangan, industri, pendidikan, pembangunan sarana dan prasarana lainnya. 78 78 Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2005, hal. 1. Universitas Sumatera Utara Tanah merupakan permukaan, sehingga hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, sebagaimana dikemukakan oleh Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad: Pasal 4 ayat 1 UUPA mengartikan tanah sebagai permukaan bumi the surface of the earth. Dengan demikian, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi. Selanjutnya ayat 2 dari Pasal 4 tersebut menyatakan bahwa hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lainnya. Tegasnya, meskipun secara pemilikan hak atas tanah hanya atas permukaan bumi, penggunaannya selain atas tanah itu sendiri, juga atas tubuh bumi, air dan ruang yang ada di atasnya. Itu sangat logis, karena suatu hak atas tanah tidak akan bermakna apapun juga jika kepada pemegang haknya tidak diberikan kewenangan untuk menggunakan sebagian dari tubuh bumi, air dan ruang di atasnya tersebut. 79 Sebagai contoh, seorang pemilik sebidang tanah yang akan menggunakan tanahnya untuk membangun bangunan construction rumah tinggal, selain menggunakan tanah itu sendiri, otomatis juga akan menggunakan ruang di atas tanah tersebut untuk tinggi bangunan rumah dan ruang tubuh bumi untuk pondasi bangunan rumah. Dengan perkataan lain, kewenangan penggunaan hak tersebut diperluas. Oleh karena itulah maka Boedi Harsono menyatakan, “yuridis tanah merupakan permukaan bumi, yang berdimensi dua; dalam penggunaannya tanah berarti ruang, yang berdimensi tiga”. 80 79 Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2006, hal. 71. 80 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Cetakan Kesembilan Edisi Revisi, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 296. Universitas Sumatera Utara Kalau dikaitkan dengan pengertian tanah menurut berbagai sistem hukum di berbagai negara, terdapat persamaan dalam pengertian tanah, yakni: tanah merupakan permukaan bumi, pemilikannya terhadap yang ada di permukaan bumi; penggunaannya juga terhadap sebagian yang ada di atas bumi dan tubuh bumi. Mengenai penggunaan di atas bumi misalnya, harus disesuaikan dengan batas- batasnya, yakni: keperluannya, kemampuan dari tanahnya, dan kewajaran serta ketentuan-ketentuan hukum lainnya. 81 Pengaturan kegiatan pendaftaran tanah terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria UUPA, tepatnya dalam Pasal 19 yang berbunyi: 1 Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. 2 Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi: a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah. b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak atas tanah c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 3 Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. 4 Dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat 1 di atas dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Ketentuan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 di atas ialah meletakkan kewajiban untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah pada pemerintah, cara ini disebut juga pendaftaran tanah secara sistematik atau atas prakarsa 81 Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, op. cit., hal. 72. Universitas Sumatera Utara pemerintah. Lawannya adalah pendaftaran tanah dengan cara sporadik yakni atas permintaan pemilik tanah sendiri. 82 Kewajiban subjek hak atas tanah untuk melakukan pendaftaran tanah secara sporadik tersebut diatur dalam UUPA, yaitu pasal-pasal. Pasal 23: 1 Hak milik demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud Pasal 19. 2 Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. Pasal 32: 1 Hak Guna Usaha termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19 2 Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 38: 1 Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. 2 Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Selanjutnya sebagai landasan operasional guna merealisir instruksi Pasal 19 UUPA di atas, maka dikeluarkan peraturan pelaksanaan UUPA yakni PP No. 10 82 M. Yamani Qomar, dkk., Hukum Agraria Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa, LEMLIT UNIB Press, Bengkulu, 2000, hal. 76. Universitas Sumatera Utara Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang dimuat dalam LN 1961 No. 28 tanggal 23 Januari 1961, yang sejak tanggal 8 Juli 1997 telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah LN 1997-57. Dalam ketentuan peralihan Pasal 64 dinyatakan, bahwa semua peraturan perundang-undangan pelaksanaan PP No. 10 Tahun 1961 yang telah ada, tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau diubah ataupun diganti berdasarkan peraturan pemerintah yang baru. Juga dinyatakan, bahwa hak-hak yang didaftar serta hal-hal lain yang dihasilkan dalam kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan ketentuan PP No. 10 Tahun 1961 tetap sah sebagai hasil pendaftaran tanah menurut peraturan pemerintah yang baru. Ketentuan peralihan tersebut memungkinkan pendaftaran tanah tetap dilaksanakan tanpa ditunda menunggu tersedianya secara lengkap peraturan-peraturan pelaksanaannya yang baru. 83 Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 UUPA, pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Unsur-unsur pengertian pendaftaran tanah di atas meliputi a rangkaian kegiatan b dilakukan oleh pemerintah c terus menerus, berkesinambungan dan teratur. Rangkaian kegiatan, maksudnya bahwa pendaftaran tanah itu dilakukan secara sistematis baik kegiatan yang bersifat administrasi maupun kegiatan 83 Ibid., hal. 77-78. Universitas Sumatera Utara operasional yang meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, serta pemberian sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat. Dilakukan oleh pemerintah, maksudnya bahwa urusan pendaftaran tanah dimonopoli oleh satu lembaga pemerintah secara sentralistik. Hal ini sesuai dengan instruksi UUPA pada ketentuan Pasal 19 ayat 1 yang memerintahkan agar pemerintah mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Unsur terus menerus, berkesinambungan dan teratur maksudnya, bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah itu mengarah pada terpeliharanya tertib administrasi pendaftaran tanah, sehingga data fisik dan yuridis selalu tetap terpelihara secara akurat. Pada akhirnya dengan tertib administrasi itu fungsi pendaftaran tanah sebagai alat kontrol penguasaan tanah present land tenure dan penggunaan tanah present land use dalam konteks land information system and geographic information system dapat dijalankan secara optimal. Artinya setiap persil tanah yang terdapat dalam suatu wilayah dapat dimonitor kondisi penguasaannyapemilikannya apakah sudah beralih kepada subjek hak lain, jika beralih dengan cara bagaimana peralihan hak itu berlangsung dan lain sebagainya. Demikian juga mengenai aspek penggunaan tanahnya itu sendiri, akan selalu dapat dimonitor, sehingga dapat diketahui apakah tanah itu digunakan atau justru diterlantarkan. 84 Menurut A.P. Parlindungan: Pendaftaran tanah berasal dari kata cadastre bahasa Belanda kadaster yaitu suatu istilah teknis untuk suatu rekaman, yang menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan atau lain-lain alas hak terhadap suatu bidang tanah. Pengertian lebih tegas, cadastre berarti alat yang tepat untuk memberikan uraian dan identifikasi dari lahan dan juga sebagai continues recording dari 84 Ibid., hal. 78-79. Universitas Sumatera Utara hak atas tanah. 85 Pendapat ini menjelaskan bahwa pendaftaran tanah itu adalah merupakan rekaman data fisik dan data yuridis yang dibuat dalam bentuk peta dan daftar bidang-bidang tanah tertentu, yang dilaksanakan secara objektif dan itikad baik, oleh pelaksana administrasi negara. 86 Pendaftaran tanah di Indonesia hanya terfokus untuk pendaftaran tanah pada bidang tanah yang merupakan bagian dari permukaan bumi dalam satuan bidang yang terbatas, artinya tidak mencakup bumi, air, dan ruang angkasa. 87 Penyelenggaraan pendaftaran tanah dilaksanakan melalui 2 dua cara: pertama, pendaftaran tanah secara sistematik, yaitu pendaftaran untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desakelurahan dan terutama kegiatan ini dilakukan atas prakarsa pemerintah. Kedua, pendaftaran tanah secara sporadik, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama sekali mengenai suatu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desakelurahan secara individual atau massal. 88 85 A.P. Parlindungan, Op. Cit., hal. 18. 86 Safruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-hak Atas Tanah di Indonesia Suatu Pemikiran,Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada Fakultas Hukum, Diucapkan Di Hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatra Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, Medan, hal. 8. 87 Sedangkan pendaftaran untuk hak-hak dari kehutanan atau pertambangan dilakukan sendiri oleh departemen yang bersangkutan dengan surat-surat keputusan tentang HPH atau HPHH atau KP. Dengan diaturnya secara sektoral mengenai hak pengelolaan hutan oleh pengaturan yang akan berdampak kepada pengelolaan pertanahan yang diatur dalam UUPA. Misalnya akan terjadi konflik antara pemberian hak guna usaha HGU dan Hak Pengelolaan Hutan HPH pada lokasi yang sama masing-masing menyatakan berhak untuk melakukan pengelolaan. Konflik akan merugikan pemegang hak yang bersangkutan. Ibid., hal. 9. 88 Lihat Pasal 1 angka 10 dan angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan pendaftaran tanah harus memperhatikan bukan hanya pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya, tetapi juga harus memperhatikan pemeliharaan data fisik maupun data yuridis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Safruddin Kalo, Pelaksanaan pendaftaran tanah harus memperhatikan bukan hanya pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya, tetapi juga harus memperhatikan pemeliharaan data fisik maupun data yuridis dari obyek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar. Setiap perubahan terjadi baik data fisik maupun data yuridis pada objek pendaftaran tanah yang sudah terdaftar diwajibkan bagi pemegang hak untuk mendaftarkan perubahan tersebut. Pendaftaran terhadap perubahan dan peralihan serta hapusnya dan pembebanan hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan juga harus didaftarkan sebagai alat bukti yang kuat. Dengan demikian maksud dari pemeliharaan data pendaftaran tanah, agar tetap terpelihara dan selalu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Pemegang hak yang berkepentingan dapat membuktikan haknya kepada pihak ketiga, sehingga tercipta kepastian hukum dan perlindungan hukum atas pemegang hak-hak atas tanah yang merupakan salah satu unsur penting dari keadilan dan kesejahteraan rakyat. 89

1. Asas Pendaftaran Tanah

Dokumen yang terkait

Akibat Hukum Dari Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertifikat Yang Tidak Sesuai Dengan Tata Cara Pembuatan Akta PPAT (Studi Pada PPAT di Kabupaten Langkat)

4 111 131

Pembatalan Perjanjian Jual Beli Tanah Akibat Adanya Penipuan Data Di Hadapan Notaris Berdasarkan Putusan Perdata No. 161/Pdt.G/2007 PN Mdn

26 199 94

Analisis Pelaksanaan Jual Beli Tanah Milik Adat Pada Masyarakat Aceh (Studi Di Kabupaten Aceh Barat)

0 38 186

PEMBATALAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH MESKIPUN TELAH MEMILIKI AKTA JUAL BELI TANAH DARI PPAT OLEH PENGADILAN NEGERI

0 5 10

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SEMENTARA (PPAT SEMENTARA) DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA

11 68 87

SENGKETA JUAL BELI TANAH YANG DILAKUKAN TANPA AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) Sengketa Jual Beli Tanah Yang Dilakukan Tanpa Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Studi Kasus Putusan PN Surakarta No. 102/Pdt.G/2012/PN.Ska).

0 3 11

PELAKSANAAN PEMENUHAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH Pelaksanaan Pemenuhan Tanggung Jawab PPAT Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya (Studi di Kantor PPAT Wilayah Kabupaten Sukoharjo).

0 2 14

PELAKSANAAN PEMENUHAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH Pelaksanaan Pemenuhan Tanggung Jawab PPAT Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya (Studi di Kantor PPAT Wilayah Kabupaten Sukoharjo).

0 2 28

PROBLEMATIKA YURIDIS PENGGUNAAN BLANKO AKTA PPAT OLEH PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH.

0 0 12

KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DALAM JUAL BELI TANAH DENGAN AKTA PPAT DI KECAMATAN TINANGGEA KABUPATEN KONAWE SELATAN SULAWESI TENGGARA - Unissula Repository

0 0 27