HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Partisipan

Partisipan yang mengikuti eksperimen ini adalah mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya angkatan 2015. Total partisipan yang terdaftar dalam penelitian ini adalah 47 partisipan, dengan adanya satu partisipan dinyatakan gugur karena tidak datang saat pelaksanaan eksperimen, maka jumlah partisipan final adalah 46 orang dengan persebaran data demografis partisipan dijelaskan pada Tabel 5. Partisipan dibagi ke dalam dua kondisi, yaitu pada kondisi 1) partisipan yang menerima pengukuran stigma implisit terlebih dahulu, diikuti pemberian feedback bias implisit ( feedback segera), dan diakhiri dengan pengukuran stigma eksplisit dan kondisi 2) partisipan yang menerima pengukuran stigma implisit terlebih dahulu, diikuti pengukuran stigma eksplisit dan diakhiri dengan pemberian feedback bias implisit ( feedback tertunda). Kondisi 1 terdiri dari 24 partisipan dan kondisi 2 terdiri dari 22 partisipan.

Tabel 5. Data Demografis Partisipan Data

Kondisi 1

Kondisi 2 Total (N=46)

(n=24)

(n=22)

Usia (tahun; M ,SD)

Jenis Kelamin (perempuan;

n,%) Pengalaman Disabilitas

Permanen n,%

Temporer n,%

tidak pernah; n,%

Rerata pengalaman dengan

penyandang disabilitas ( mid - point: 3, rentang 1-5)

Ket. kondisi 1: kelompok yang menerima perlakuan feedback segera (stigma implisit- feedback bias implisit-stigma eksplisit); kondisi 2: kelompok yang menerima perlakuan feedback tertunda (stigma implisit-stigma eksplisit- feedback bias implisit).

Kebanyakan partisipan yang mengikuti eksperimen adalah perempuan (73,90%). Secara keseluruhan, hanya satu partisipan yang pernah memiliki riwayat disabilitas fisik, itupun yang sifatnya sementara. Sebagian besar partisipan melaporkan tidak memiliki pengalaman interaksi yang intensif dengan penyandang disabilitas (86,90% partisipan melaporkan skor rerata kurang dari mid-point 3). Rerata pengalaman partisipan dengan penyandang disabilitas hanya mneunjukan angka 1,70 yang masuk kategori jarang. Hal ini bisa dikarenakan meskipun telah menjadi universitas inklusi, tidak menjamin di Universitas Brawijaya terdapat setidaknya satu mahasiswa penyandang disabilitas pada masing-masing kelas. Kemungkinan besar di kelas partisipan tidak terdapat mahasiswa penyandang disabilitas, dan lingkup sosial mahasiswa angkatan 2015 diperkirakan masih terbatas.

B. Analisis Pendahuluan

Deskripsi data stigma eksplisit dan stigma implisit kepada penyandang disabilitas fisik secara keseluruhan ( N =46) digambarkan dalam Tabel 6. Pada stigma di level eksplisit, peneliti mengukur sejauh mana kesediaan partisipan untuk berinteraksi dengan penyandang disabilitas fisik (nilai rerata Social Distance Scale, SDS lebih dari mid-point 2,50 pada keseluruhan partisipan dengan Alpha Cronbach 0,83) dan seberapa hangat atau dingin perasaan Deskripsi data stigma eksplisit dan stigma implisit kepada penyandang disabilitas fisik secara keseluruhan ( N =46) digambarkan dalam Tabel 6. Pada stigma di level eksplisit, peneliti mengukur sejauh mana kesediaan partisipan untuk berinteraksi dengan penyandang disabilitas fisik (nilai rerata Social Distance Scale, SDS lebih dari mid-point 2,50 pada keseluruhan partisipan dengan Alpha Cronbach 0,83) dan seberapa hangat atau dingin perasaan

50, seluruh partisipan pada kedua kondisi melaporkan skor yang lebih dari mid-point ). Tabel 6 Properti Psikometri Stigma Eksplisit dan Stigma Implisit (N=46)

Skala Stigma Mean ,SD SDS ( mid-point 2.50;

rentang 1-4)

FT ( mid-point 50;

rentang 0-100)

13,74 SC-IAT Kombinasi: a D-Score -0,18

SC-IAT Kognitif a D-Score -0,21

D-Score

SC-IAT Afektif a -0,19

SC-IAT Perilaku

b 0,16 Ket. SDS= Social Distance Scale ;FT= Feeling Thermometer ; SC-IAT=

D-Score

Single Category Implicit Association Test ; d-score= kekuatan asosiasi antar kategori yang diukur berdasarkan standardized mean difference

a score b , setara dengan effect size. = asosiasi lemah dengan atribut negatif; = asosiasi lemah dengan atribut positif; semakin rendah skor SDS, FT, dan

SC-IAT, maka semakin tinggi stigma kepada penyandang disabilitas fisik.

Dari hasil pengukuran stigma eksplisit partisipan melaporkan pandangan yang positif terhadap penyandang disabilitas fisik baik dari keinginan berinteraksi dan kehangatan perasaan partisipan terhadap penyandang disabilitas, dengan nilai rerata SDS 3,22 dan nilai rerata FT 78,59. Hasil pengolahan data deskriptifmenunjukan d-score kombinasi yang negatif (-0,18), yang menandakan bahwa partisipan lebih cepat menampilkan respon ketika disabilitas dipasangkan dengan atribut negatif ( compatible ) dibandingkan ketika disabilitas dipasangkan dengan atribut positif

Ketika partisipan lebih cepat menampilkan respon ketika disabilitas dipasangkan dengan atribut negatifmenandakan bahwa partisipan memiliki stigma implisit terhadap penyandang disabilitas fisik. Hasil ini jelas berbeda dengan pengukuran di level eksplisit yang mana partisipan melaporkan Ketika partisipan lebih cepat menampilkan respon ketika disabilitas dipasangkan dengan atribut negatifmenandakan bahwa partisipan memiliki stigma implisit terhadap penyandang disabilitas fisik. Hasil ini jelas berbeda dengan pengukuran di level eksplisit yang mana partisipan melaporkan

C. Uji Hipotesis 1

Hasil uji pengaruh urutan perlakuan terhadap stigma eksplisit menggunakan independent sample t-test menunjukkan perbedaan rerata antar kondisi tidaklah signifikan ( ps ≥ 0,354; Hipotesis 1). Hasil ini berlawanan dengan prediksi peneliti bahwa partisipan pada kondisi 1 akan melaporkan stigma eksplisit yang lebih rendah dibandingkan partisipan pada kondisi 2.

Tabel 7. Properti psikometri stigma eksplisit dan implisit berdasarkan kondisi

eksperimen Kondisi 1

Kondisi 2

p-value ( n = 24; M , SD ) ( n = 22; M , SD )

SC-IAT D-score

Ket. SDS = Social Distance Scale ; FT = Feeling Thermometer ; SC-IAT = Single-Category Implicit Association Test ; Kondisi 1 = Feedback atas bias implisit segera diberikan, Kondisi 2 = Feedback atas bias implisit ditunda pemberiannya. Semakin rendah skor SDS, FT, dan SC-IAT d-score kombinasi maka semakin tinggi stigma kepada penyandang disabilitas fisik

Skor SDS dan FT yang dilaporkan partisipan di dua kondisi menunjukan adanya perbedaan rerata, namun angka signifikansi p-value dari hasil pengolahan independent sample t-test SDS dan FT tidak menunjukan angka yang signifikan ( ps > 0,05). Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat Skor SDS dan FT yang dilaporkan partisipan di dua kondisi menunjukan adanya perbedaan rerata, namun angka signifikansi p-value dari hasil pengolahan independent sample t-test SDS dan FT tidak menunjukan angka yang signifikan ( ps > 0,05). Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat

D. Uji Hipotesis 2

Berdasarkan data yang dijabarkan pada Tabel 6, tidak ditemukan adanya korelasi antara stigma eksplisit dengan stigma implisit partisipan terhadap penyandang disabilitas fisik ( ps ≥ 0,151; Hipotesis 2). Korelasi yang signifikan muncul antar kuisioner stigma eksplisit (SDS dan FT) dan antar elemen dalam stigma implisit.

Tabel 8. Korelasi antara Stigma Eksplisit dan Stigma Implisit ( N= 46)

FT

SDS

SC-IAT SC-IAT D-score D-Score D-Score kombinasi kognitif

SC-IAT

afektif SDS

SC-IAT # D- 0,009 0,022

SC-IAT D- 0,215

SC-IAT D- 0,083

SC-IAT D- -0,031

Ket. SDS = Social Distance Scale , FT = Feeling Thermometer , SC-IAT = Single Category Implicit Association Test; (…) = p-value; # = korelasi antara

stigma eksplisit dengan stigma implisit * p < .05 ** p < .01

Pada stigma eksplisit, semakin tinggi skor SDS yang didapat partisipan semakin tinggi pula skor yang dilaporkan pada kuisioner FT, dengan koefisien korelasi 0,615 dan signifikansi 0,001. Hal ini menandakan Pada stigma eksplisit, semakin tinggi skor SDS yang didapat partisipan semakin tinggi pula skor yang dilaporkan pada kuisioner FT, dengan koefisien korelasi 0,615 dan signifikansi 0,001. Hal ini menandakan

Pada stigma implisit, semakin rendah D-Score kombinasiSC-IAT, maka evaluasi kognitif (koefisien korelasi 0,476 dan signifikansi 0,001) dan reaksi afektif (koefisien korelasi 0,614 dan signifikansi 0,001) partisipan akan semakin negatif, dan semakin rendah D-score kombinasi SC-IAT maka kecenderungan perilaku partisipan akan semakin positif (koefisien korelasi - 0,678 dan signifikansi 0,001).

E. Analisis Tambahan

Tidak ditemukannya pengaruh dari feedback bias implisit terhadap penurunan stigma eksplisit mendorong peneliti untuk melakukan analisis tambahan terkait faktor apa yang memengaruhi stigma partisipan terhadap penyandang disabilitas. Variabel yang dianalisis adalah variabel sequence of compatibility, dimana terdapat dua kondisi yaitu kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit incompatible diikuti stigma implisit compatible (kelompok 1), dan kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit compatible diikuti stigma implisit compatible (kelompok 2).

Tabel 9. Pengaruh Sequence of Compatibility terhadap Stigma Implisit

Kelompok 1

Kelompok 2 p-value

( n = 20; M , SD ) SC-IAT D-score

0,313 Ket. SC-IAT = Single-Category Implicit Association Test ;

Kelompok 1 = Level incompatible diberikan terlebih dahulu diikuti level compatible , Kelompok 2 = Level compatible diberikan terlebih dahulu diikuti level incompatible .

Semakin rendah skor SDS, FT, dan SC-IAT maka semakin tinggi stigma kepada penyandang disabilitas fisik * p < 0,05

Hasil analisis menggunakan independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan stigma implisit antara kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit di level incompatible terlebih dahulu (kelompok 1, mean 0,249), dengan kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit di level compatible terlebih dahulu (kelompok 2, mean -0,080) dengan taraf signifikansi 0,033.

F. Pembahasan Pengujian Hipotesis

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pola korelasi antara stigma eksplisit dan stigma implisit serta mengetahui efektivitas pemberian feedback bias implisit dalam mereduksi stigma eksplisit terhadap penyandang disabilitas fisik. Dari hasil preliminary analysis berdasarkan pengukuran melalui self-reported questionnaires SDS dan FT menunjukan bahwa pandangan partisipan terhadap penyandang disabilitas fisik tergolong positif (Tabel 5), dengan kata lain stigma yang rendah di level eksplisit. Hasil ini sejalan dengan berbagai penelitian terkait stigma yang dilakukan pada level eksplisit (Boyle, 2010; Wang, 2012; Hsu, 2015). Pandangan yang positif di level eksplisit lebih dikarenakan pengungkapan stigma secara terbuka merupakan suatu hal yang tabu di masyarakat modern (Alterado, 2013), sehingga pada taraf introspektif partisipan cenderung melaporkan respon yang menurutnya sesuai dengan standar sosial.

Adanya pengaruh social desirability dalam pengukuran stigma eksplisit didukung dengan fakta bahwa ketika dilakukan pengukuran di level implisit, partisipan menunjukan pandangan yang negatif terhadap penyandang disabilitas fisik. Partisipan dalam kedua kondisi lebih cepat mengasosiasikan disabilitas dengan atribut negatif dibandingkan dengan atribut positif (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan bahwa pengukuran stigma di level eksplisit tidak bisa menggambarkan stigma secara keseluruhan.

Penelitian ini tidak menemukan pengaruh yang signifikan dari kesegeraan feedback bias implisit, antara feedback segera dengan feedback tertunda, terhadap reduksi stigma eksplisit partisipan kepada penyandang disabilitas fisik (Hipotesis 1). Hal ini sejalan dengan penelitian 2 Menatti dan kolega (2013) dimana tidak ada perbedaan yang signifikan antara rerata stigma eksplisit partisipan yang menerima feedback bias implisit segera dengan partisipan yang menerima feedback bias implisit tertunda. Menatti menjelaskan bahwa ketidakefektifan pemberian feedback bisa dikarenakan stigma implisit yang dimiliki partisipan dalam penelitian ini cenderung rendah, sedangkan feedback bias implisit akan menjadi sangat efektif bagi individu dengan stigma implisit yang tinggi.

Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada korelasi antara stigma eksplisit dan stigma implisit (Hipotesis 2). Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya tentang korelasi eksplisit-implisit (Nosek dkk, 2011; Chen dkk, 2012; Wang dkk, 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan yang terjadi di level eksplisit tidak diikuti perubahan pada level

implisit, begitu juga sebaliknya, perubahan pada level implisit tidak diikuti perubahan di level eksplisit. Salah satu teori yang menjelaskan tidak ada korelasi antara eksplisit dengan implisit adalah dual-process orientation yang menyatakan bahwa perbedaan antara implisit dan ekplisit merefleksikan perbedaan proses yang mendasarinya; otomatis-dikendalikan, spontan- disengaja, tidak sadar-sadar, impulsive-refleksif (Nosek dkk, 2011). Stigma eksplisit diindikasikan terjadi atas respon sadar yang membutuhkan banyak kapasitas kognitif dalam prosesnya dan muncul dengan lambat. Sedangkan stigma eksplisit sifatnya cepat dan hanya membutuhkan sedikit kapasitas kognitif dan tidak disadari oleh individu.

Tabel 7 menggambarkan pola korelasi antar dimensi stigma implisit yang dimiliki oleh partisipan. Korelasi yang signifikan antara d-score kombinasi dengan d-score dimensi afektif, kognitif, dan perilaku mendukung model multidimensional yang menyatakan bahwa stigma melingkupi aspek yang merefleksikan evaluasi kognitif, reaksi afektif, dan kecenderungan diskriminasi (Wang, 2012). Hubungan yang negatif antara d-score kombinasi dengan d-score perilaku mengindikasikan bahwa semakin besar stigma yang dimiliki partisipan pada dimensi afektif dan kognitif, akan mendorong partisipan untuk semakin menekan dirinya agar memunculkan perilaku yang berlawanan. Bagi masyarakat Indonesia yang hidup dalam budaya kolektif, pengungkapan stigma dalam bentuk perilaku terbuka mungkin memunculkan konflik yang amat dihindari (Koentjaraningrat, dalam Yusainy dkk, 2015).

Lebih jauh, Tabel 7 juga menunjukan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara dimensi perilaku dengan dimensi afektif, namun tidak pada hubungan antara dimensi afektif dengan kognitif dan dimensi perilaku dengan kognitif. Wang (2012) berspekulasi bahwa ketiga dimensi dari stigma bersifat hierarkikal, dengan dimensi kognitif sebagai basis dasar implisit, aspek afektif memainkan peran yang signifikan untuk menyesuaikan dengan keadaan, dan diikuti oleh komponen perilaku. Spekulasi ini juga didukung dengan skor stigma implisit partisipan dimana dimensi kognitif memiliki skor tertinggi, diikuti dimensif afektif, dan terakhir dimensi perilaku yang justru cenderung positif (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan stigma implisit yang dimiliki pada dimensi kognitif tidak termanifestasikan di level afektif dan perilaku. Partisipan bisa saja memiliki prasangka negatif terhadap penyandang disabilitas fisik, namun munculnya rasa kasihan (afektif) dan benturan dengan norma yang memunculkan kesungkanan (perilaku) mengakibatkan pola hubungan yang berbeda dengan prasangka yang dimiliki.

Tidak ditemukannya pengaruh yang signifikan dari urutan perlakuan bias implisit terhadap reduksi stigma eksplisit menunjukan bahwa feedback bias implisit tidak bertindak sebagai cues for control untuk mengaktivasi self- control. Menatti dan kolega (2013) memaparkan bahwa ada dua penjelasan terkait hal ini. Pertama, dengan tidak berpengaruhnya urutan perlakuan, menandakan bahwa yang mampu mereduksi stigma eksplisit adalah pengalaman mengerjakan pengukuran stigma implisit, bukan terletak pada pemberian feedback bias implisit. Kedua, pengaruh yang tidak signifikan Tidak ditemukannya pengaruh yang signifikan dari urutan perlakuan bias implisit terhadap reduksi stigma eksplisit menunjukan bahwa feedback bias implisit tidak bertindak sebagai cues for control untuk mengaktivasi self- control. Menatti dan kolega (2013) memaparkan bahwa ada dua penjelasan terkait hal ini. Pertama, dengan tidak berpengaruhnya urutan perlakuan, menandakan bahwa yang mampu mereduksi stigma eksplisit adalah pengalaman mengerjakan pengukuran stigma implisit, bukan terletak pada pemberian feedback bias implisit. Kedua, pengaruh yang tidak signifikan

G. Pembahasan Analisis Tambahan

Pengaruh yang signifikan dari variabel sequence of compatibility ditemukan pada stigma implisit partisipan. Kelompok partisipan yang menerima pengukuran stigma implisit di level incompatible terlebih dahulu (kelompok 1) memiliki stigma implisit yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang menerima pengukuran stigma implisit di level compatible terlebih dahulu (kelompok 2).

Teori klasik disonansi kognitifdari Leon Festinger (dalam Metin dan Camgoz, 2011) mengungkapkan bahwa individu akan merasakan ketidaknyamanan psikologis ketika dihadapkan dengan kondisi yang kontradiktif dengan kepercayaan yang dimilikinya. Dalam hal ini, partisipan yang secara keseluruhan memiliki stigma di level implisit, mengalami disonansi kognitif ketika dihadapkan dengan pengukuran stigma implisit di level incompatible, dimana disabilitas justru dipasangkan dengan atribut baik . Disonansi kognitif ini akan mendorong partisipan untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dialaminya, salah satu caranya adalah dengan confirmatory bias, yaitu dengan cara memilih informasi yang sesuai dengan kepercayaan yang dimiliki. Pengukuran level compatible pada kelompok

1bisa menjadi bentuk confirmation bias bagi partisipan, sedangkan level compatible pada kelompok compatible terjadi sebelum munculnya disonansi kognitif pada partisipan. Jadi, kelompok 1 memiliki stigma implisit yang lebih negatif dikarenakan pengalaman menjalani pengukuran di level compatible tidak sekedar sebagai kegiatan mengukur stigma implisit, namun juga sebagai media untuk memertahankan kepercayaan yang dimilikinya terkait penyandang disabilitas fisik.

Penelitian ini memiliki beberapa keunggulan. Pertama, studi ini membahas stigma pada level yang masih sangat jarang dibahas di Indonesia yaitu di level implisit. Penelitian ini adalah penelitian kedua yang membahas paradigma bias implisit di Indonesia setelah penelitian oleh Yusainy, Thohari, & Gustomy (2015). Kedua, penelitian ini menemukan pengaruh dari sequence of compatibility terhadap stigma implisit. Ditemukannya pengaruh yang signifikan dari sequence of compatibility pada stigma implisit menjadi suatu terobosan dalam usaha mereduksi stigma implisit. Devine & Plant (2002) menyatakan untuk bisa bersikap bebas dari bias terhadap kelompok minoritas, individu harus menghabiskan waktu bertahun-tahun berhadapan dengan kelompok tersebut, ditambah dibutuhkannya strategi regulasi diri yang sangat efektif. Penemuan pada penelitian ini bisa menjadi langkah awal dalam mengonstruksi sebuah strategi intervensi bebas bias terhadap penyandang disabilitas fisik tanpa harus memakan waktu sampai bertahun-tahun.

Melihat banyaknya dampak-dampak negatif dari stigma baik secara implisit maupun eksplisit, paradigma bias implisit bisa menjadi alternatif Melihat banyaknya dampak-dampak negatif dari stigma baik secara implisit maupun eksplisit, paradigma bias implisit bisa menjadi alternatif

H. Keterbatasan Penelitian

Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, diantaranya:

1. Tidak diperhitungkannya tingkat keparahan atau kenampakan disabilitas fisik. Individu dengan disabilitas yang lebih parah dan terlihat jelas cenderung dinilai lebih negatif (Fichten, Robillard, Tagalakis, & Amsel, dalam Chen dkk, 2012).

2. Tidak adanya manipulation check terkait dampak pemberian feedback bias implisit. Ada kemungkinan bahwa tidak tereduksinya stigma eksplisit pada kelompok yang menerima feedback segera dikarenakan partisipan tidak membaca dengan benar feedback yang diberikan sehingga self- control tidak teraktivasi

3. Seluruh partisipan yang mengikuti eksperimen menganggap penelitian ini adalah sebuah kuis yang akan memengaruhi nilai pada mata kuliah khusus. Peneliti memertimbangkan adanya efek self-presentational selama proses penelitian dengan harapan mendapatkan nilai yang memuaskan dalam mata kuliah tersebut. Keberadaan eksperimenter dan respon yang tidak anonimus juga dapat memengaruhi efek self- presentational ini (Rieps, 2002; Mangan & Rieps, 2007 dalam Menatti dkk, 2013), terutama pada pengukuran di level eksplisit.

4. Penelitian ini hanya mengukur stigma publik atau stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap target stigma tertentu, padahal stigma juga bisa 4. Penelitian ini hanya mengukur stigma publik atau stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap target stigma tertentu, padahal stigma juga bisa

5. Penelitian ini menggunakan jumlah sampel sebanyak 46 yang hanya bisa mendeteksi large effect pada G*Power. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa terdapat pengaruh urutan perlakuan terhadap reduksi stigma eksplisit namun tidak muncul dalam penelitian ini karena jumlah sampel yang terbatas sehingga pengaruh tersebut tidak terdeteksi. Penelitian berikutnya diharapkan bisa menggunakan jumlah sampel yang memenuhi medium atau small effect

pada G* Power.