PENGARUH KESEGERAAN FEEDBACK BIAS IMPLIS (1)

STIGMA EKSPLISIT KEPADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK

PENELITIAN PAYUNG EKSPERIMEN YUSAINY & HERANI (2016)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memeroleh Gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Disusun Oleh:

Diah Deir Zahrani NIM. 125120300111015

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016

LEMBAR PERSETUJUAN

PENGARUH KESEGERAAN

F EEDBACK BIAS IMPLISIT TERHADAP

STIGMA EKSPLISIT KEPADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK SKRIPSI

Disusun Oleh: Diah Deir Zahrani NIM. 125120300111015

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Cleoputri Al Yusainy, Ph.D. Ika Herani S. Psi, M. Si.

NIP. 19760823 200812 2 002 NIP. 19770628 200812 2 002

Mengetahui, Ketua Program Studi Psikologi

Ilhamuddin Nukman, S.Psi., M.A.

NIP. 19840730 201012 1 004

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

PENGARUH KESEGERAAN

F EEDBACK BIAS IMPLISIT TERHADAP

STIGMA EKSPLISIT KEPADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK

Disusun Oleh:

Diah Deir Zahrani NIM. 125120300111015

Telah diuji dan dinyatakan lulus dalam ujian Sarjana

pada tanggal 4 Februari 2016

Pembimbing I Pembimbing II

Cleoputri Al Yusainy, Ph.D. Ika Herani S. Psi, M. Si.

NIP. 19760823 200812 2 002 NIP. 19770628 200812 2 002 Anggota Penguji I

Anggota Penguji II

Faizah S.Psi, M.Psi Unita Werdi Rahajeng, M.Psi, Psi

NIP. 19801220 201504 2 001 NIK. 20130481 0326 2 001

Tim Penguji Malang, 4 Maret 2016 Dekan

Prof. Dr. Ir. H. Darsono Wisadirana, M. S

NIP. 19561227 198312 1 001

PERNYATAAN

Nama: Diah Deir Zahrani

NIM: 125120300111015

Menyatakan dengan kesungguhan bahwa skripsi berjudul PENGARUH

KESEGERAAN FEEDBACK BIAS IMPLISIT TERHADAP STIGMA EKSPLISIT

KEPADA PENYANDANG DISABILITAS FISIK adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi tersebut diberi tanda kutipan dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti bahwa penyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang saya peroleh dari skripsi tersebut.

Malang, 4 Maret 2016 Yang membuat pernyataan,

Diah Deir Zahrani

NIM. 125120300111015

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada pihak-pihak yang membantu masa studi saya selama tiga setengah tahun untuk mendapatkan gelar Sarjana. Menuliskan nama mereka pada halaman ini adalah salah satu cara yang terpikirkan untuk mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

1. Ayah, Ibu, dan adik laki-laki saya, yang terus mengingatkan akan kehangatan rumah, membuat saya teringat bahwa tujuan saya pergi 800 km dari rumah adalah untuk mereka yang ada di Bogor

2. Cleoputri Al-Yusainy, Ph.D, yang dari awal pertemuan kelas psikiatri sampai saat ujian kompre selalu menginspirasi saya untuk terus belajar. Beliau juga adalah orang yang bisa dikatakan sebagai mastermind dari skripsi ini

3. Ika Herani S.Psi, M.Si, yang mengajarkan kebaikan hati dan kebijaksanaan pada sekelompok anak yang sering lupa diri. Seorang ibu dengan kesibukan segudang namun tetap selalu tersenyum saat membimbing

4. Wahyu Wicaksono, Ph.D, yang senantiasa ada untuk membantu kami dan terus menyemangati kami untuk belajar dan mengabdi

5. Ignatius Ryan Jeffri Dharmawan S.Psi, yang bisa dikatakan bertindak sebagai pembimbing ketiga, mau meluangkan waktunya menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh adik tingkatnya

6. Bima Pusaka Semedhi S.Psi, politikus dan manager terbaik yang pernah saya temui. Mengajarkan saya politik halus tetap dibutuhkan untuk mendapatkan apa yang diinginkan

7. Gawan Srengenge, butuh halaman lebih untuk menjabarkan semua kontribusinya pada saya selama setahun terakhir

8. Fitryanda Akpewila, teman yang bertemu karena dipaksa namun berakhir istimewa. Tanpa dia mungkin skripsi saya tidak akan rampung secepat ini. Dia adalah norma dan sumber disiplin saya. Salah satu orang yang saya syukuri keberadaannya.

9. Andina Ayu Talitasari, Dian Wahyu Hastari, dan Ilma Hanifah, teman seperjuangan dari semester 1, berawal dari tempat yang sama, sekarang mengambil jalan yang berbeda, namun terus saling menyemangati tanpa henti

10. Rinanda Rizky, Fitra Hermawandhika, Susmita Elva, Melita Gusti, Anantha Mutiara, Veronika Btari, Dian Lestari, Dian Safitri, Diandra Febriswari, teman-teman research group Placebo yang berjuang bersama, dan tanpa lelah saling mendukung dan membantu sampai hari ujian

11. Teman-teman miXth Event Organizer angkatan 2012-2013 yang setia meramaikan Sempro dan Ujian saya, terima kasih untuk keceriannya (cc: Samsul, Ninda, Ata, Rere, Ayin, Agis, Lala, Tyas, Fanny, Wicak, Fani, Am, Oza, Tito, Suri, Rama, Radit, Reza, Candika, dan Cody)

12. Teman-teman asisten praktikum, yang setia mem backup saya ketika saya mulai terlalu pusing mengerjakan skripsi. kuliah, dan asistensi mata 12. Teman-teman asisten praktikum, yang setia mem backup saya ketika saya mulai terlalu pusing mengerjakan skripsi. kuliah, dan asistensi mata

Semoga kalian selalu disertai kesehatan, agar lebih banyak lagi orang yang mendapati pengaruh baik yang kalian bawa, seperti halnya pengaruh yang kalian berikan pada saya. Saya mendoakan kesuksesan menyertai kalian.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Penelitian pada skripsi ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabillitas fisik, yang dibuat untuk memenuhi sebagian syarat memeroleh gelar Sarjana Psikologi. Feedback bias implisit yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemberian informasi hasil pengukuran terkait seperti apa pandangan partisipan terhadap penyandang disabilitas fisik di level implisit. Sikap yang ditunjukkan partisipan di level implisit merupakan bentuk sikap yang sifatnya otomatis dan tidak disadari, jadi hasil pengukuran di level implisit akan menunjukkan angka yang bebas dari social desirability.

Penelitian tentang sikap implisit berkembang seiring dengan munculnya berbagai variasi alat ukur dan kemajuan teknologi. Salah satu alat yang paling sering digunakan dalam dunia penelitia selama 30 tahun terakhir, yang juga digunakan pada penelitian ini adalah Single Category-Implicit Association Test (SC-IAT).

Pada kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih pada beberapa pihak yang telah berkontribusi pada penelitian ini:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Darsono Wisadirana, M.S. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

2. Bapak Ilhamuddin Nukman, S.Psi., M.A. selaku Ketua Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya

3. Ibu Cleoputri Al Yusainy, Ph.D dan Ibu Ika Herani S.Psi, M.Si selaku dosen pembimbig skripsi. Terima kasih atas pengarahan, bimbingan, dan waktu yang telah diberikan selama proses pembuatan skripsi ini

4. Ibu Unita Werdi Rahajeng, M.Psi untuk pengarahan dan solusi yang sangat membantu saat ujian dan revisi, serta yang telah bersedia mengikutsertakan mahasiswaanya sebagai partisipan dalam penelitian paying ini. Ibu Faizah S.Psi, M.Psi yang juga selaku dosen penguji, terima kasih atas waktu dan bimbingannya selama revisi.

5. Mas Ignatius Ryan S.Psi dan Mas Bima Pusaka S, S.Psi, sebagai mentor dalam research group yang senantiasa membantu proses penulisan, pengambilan dan pengolahan data, sampai pelatihan presentasi

6. Teman-teman research group Placebo, Fitryanda Akpewila, Anantha Mutiara, Veronika Btari, Melita Gusti, Fitra Hermawandhika, Rinanda Rizky, Susmita Elva, Dian Lestari, Dian Safitri, dan Diandra Febriswari, yang telah saling bahu membahu selama proses penelitiam

7. Aninda Putri Sitorus yang sudah bersedia meluangkan lima jam waktunya yang berharga untuk jadi eksperimenter

8. Mahasiswa Psikologi angkatan 2015 yang telah bersedia menjadi partisipan peneitian

9. Serta seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian dan penulisan skripsi ini namun tidak bisa disebutkan satu persatu.

Peneliti menyadari adanya berbagai kekurangan dalam skripsi ini. Kritik dan saran dibutuhkan oleh penulis untuk membangun dan memerbaiki di kesempatan yang Peneliti menyadari adanya berbagai kekurangan dalam skripsi ini. Kritik dan saran dibutuhkan oleh penulis untuk membangun dan memerbaiki di kesempatan yang

Malang, 4 Maret 2016

Peneliti

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1. Affect-Behavior-Cognition Theory of Attitude ............................. 14 Gambar 2. Proses Self Control dalam Feedback Loop Theory........................ 18 Gambar 3 Kerangka Berpikir .......................................................................... 20 Gambar 4 Grand Design penelitian Reduksi Stigma kepada Penyandang

Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit ................................... 22 Gambar 5 Desain penelitian Pengaruh Kesegeraan Feedback Bias Implisit terhadap Stigma Eksplisit kepada Penyandang Disabilitas Fisik .... 23 Gambar 6 Social Distance Scale (SDS) & Feeling Thermometer (FT) ........... 30 Gambar 7 Alur Pelaksanaan Penelitian ........................................................... 32

ABSTRAK

Pengaruh Kesegeraan

F eedback Bias Implisit terhadap Stigma Eksplisit kepada Penyandang Disabilitas Fisik

Diah Deir Zahrani NIM. 125120300111015

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui pengaruh dari kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas fisik, dan untuk 2) menggambarkan pola korelasi antara stigma ekplisit dan stigma implisit. Desain penelitian menggunakan between- subject experimental design dalam setting laboratorium, dengan partisipan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya sebanyak

46 orang. Instrumen yang digunakan dalam pengukuran stigma implisit adalah Single Category Implicit Association Test (SC-IAT) dan instrumen yang digunakan dalam pengukuran stigma eksplisit adalah Social Distance Scale (SDS) dan Feelimg Thermometer (FT). Partisipan dibagi ke dalam dua kelompok, dimana satu kelompok menerima feedback segera, dan kelompok lain menerima feedback tertunda. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh dari kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma ekplisit dan tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara stigma eksplisit dan stigma implisit kepada penyandang disabilitas fisik ( ps > 0,05). Meskipun demikian, hasil analisis tambahan menunjukkan adanya pengaruh dari sequence of compatibility terhadap stigma implisit kepada penyandang disabilitas fisik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang berfokus pada sigma implisit dan strategi intervensinya pada sampel masyarakat Indonesia

Kata Kunci: stigma implisit; Single Category Implicit Association Test (SC- IAT); stigma eksplisit; feedback bias implisit

ABSTRACT

The Role of Implicit Bias Feedback’s Timing on Explicit Stigma toward People with Physical Disability

Diah Deir Zahrani NIM. 125120300111015

The aims of this study were to 1) investigate the role of implicit bias feedback’s timing on explicit stigma and to 2) portray the correlation between explicit and implicit stigma toward physically disabled people. Between-subject experimental design was used in laboratory setting with 46 undergraduate students of Faculty of Social and Political Science of Brawijaya University as participants. Implicit stigma was measured by Single Category Implicit Association Test (SC- IAT) and explicit stigma was measured by Social Distance Scale (SDS) and Feeling Thermometer (FT). Participants were divided into two groups, where feedback was immediately given and where feedback was delayed after explicit measurements. This research found no effect of implicit bias feedback’s timing on explicit stigma and no significant correlation between explicit and implicit stigma ( ps > 0,05). However, additional analysis showed that there was a significant effect of sequence of compatibility on implicit stigma toward physically disabled people. Further studies that focus on implicit stigma and its intervention strategy in Indonesia are warranted

Keywords: implicit stigma; Single Category Implicit Association Test (SC-IAT); explicit

stigma;

feedback

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia menjadi negara yang rawan bencana alam. Bukan hanya mengakibatkan kerugian infrastruktur, di Indonesia bencana alam menjadi salah satu penyebab dari disabilitas. Sekitar dua belas persen penyandang disabilitas di Indonesia tidaklah lahir dalam kondisi menyandang disabilitas, namun diakibatkan kecelakaan pasca bencana Selain bencana alam, tiga faktor penyumbang terbesar lainnya adalah karena bawaan lahir akibat kelainan genetika atau kekurangan gizi; akibat penyakit seperti kanker, stroke, dan diabetes; serta akibat kecelakaan. ( Japan International Cooperation Agency Planning and Evaluation Department , 2002 ) . Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa angka kemiskinan, buruknya pelayanan kesehatan, bencana alam, dan tingka kecelakaan (baik kecelakaan kerja maupun kecelakaan lalu lintas) menjadi faktor-faktor resiko bagi masyarakat Indonesia terhadap disabilitas. Rentannya masyarakat Indonesia terhadap disabilitas menjadikan pemenuhan hak-hak bagi penyandang disabilitas sudah seharusnya menjadi agenda utama pihak-pihak yang bertanggungjawab.

Di berbagai belahan dunia, penyandang disabilitas juga menghadapi pelayanan kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak memadai, partisipasi ekonomi yang rendah, dan rerata angka kemiskinan yang lebih tinggi Di berbagai belahan dunia, penyandang disabilitas juga menghadapi pelayanan kesehatan yang buruk, pendidikan yang tidak memadai, partisipasi ekonomi yang rendah, dan rerata angka kemiskinan yang lebih tinggi

Pada tahun 2011, WHO dan World Bank menyatakan bahwa kurang lebih

1 miliar orang atau 15% populasi dunia memiliki disabilitas. Tahun 2012, Survei Kesehatan Nasional mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45% (Kemenkes RI, 2014). Dalam tahun- tahun ke depan, disabilitas akan menjadi perhatian yang lebih karena prevalensinya yang meningkat seiring dengan peningkatan penyakit kronis yang mengarah pada disabilitas (WHO, 2015).

Pencapaian prospek jangka panjang ke arah yang positif terkait usaha peningkatan kualitas hidup penyandang disabilitas membutuhkan upaya yang lebih gencar. Pengadaan sekolah inklusi dan kesempatan kerja yang sama adalah contoh-contoh upaya untuk mencapai persamaan bagi penyandang disabilitas. Namun usaha mencapai persamaan bagi semua manusia diluar perkara keterbatasan yang dimiliki, tidak akan tercapai secara maksimal selama masyarakat umum masih membatasi dirinya dengan peyandang disabilitas (Wilson & Scior, 2014). Sikap membatasi diri ini bisa saja berupa keengganan untuk berinteraksi, kepercayaan bahwa penyandang disabilitas tidak akan bisa berfungsi dengan baik, atau bahkan perilaku menghindar yang terang-terangan. Secara sederhana, contoh-contoh tersebut disebut dengan Pencapaian prospek jangka panjang ke arah yang positif terkait usaha peningkatan kualitas hidup penyandang disabilitas membutuhkan upaya yang lebih gencar. Pengadaan sekolah inklusi dan kesempatan kerja yang sama adalah contoh-contoh upaya untuk mencapai persamaan bagi penyandang disabilitas. Namun usaha mencapai persamaan bagi semua manusia diluar perkara keterbatasan yang dimiliki, tidak akan tercapai secara maksimal selama masyarakat umum masih membatasi dirinya dengan peyandang disabilitas (Wilson & Scior, 2014). Sikap membatasi diri ini bisa saja berupa keengganan untuk berinteraksi, kepercayaan bahwa penyandang disabilitas tidak akan bisa berfungsi dengan baik, atau bahkan perilaku menghindar yang terang-terangan. Secara sederhana, contoh-contoh tersebut disebut dengan

Stigma publik bukan hanya bisa berakibat pada pembatasan partisipasi sosial penyandang disabilitas, namun pada level individual stigma bisa diinternalisasi oleh individu itu sendiri dan disebut self stigma. Ditambah lagi, menurut Birenbaum (dalam Ali, 2012) stigma juga bisa berdampak pada mereka yang memiliki hubungan dekat dengan penyandang disabilitas, seperti anggota keluarga, teman, bahkan para profesional yang bekerja di bidang yang bersentuhan dengan penyandang disabilitas. Stigma dalam bentuk ini dikenal dengan istilah courtesy stigma . Melihat dampak besar dari stigma publik, penelitian terkait konsep ini terutama terhadap penyandang disabilitas menjadi penting untuk dilakukan. Untuk itulah penelitian ini berusaha melihat stigma publik dari partisipan terhadap penyandang disabilitas fisik.

Sejauh ini penelitian lebih banyak fokus dalam mengukur stigma eksplisit, yaitu stigma yang secara sadar dilakukan dan dapat dikendalikan (Wilson & Scior, 2014) seperti perilaku menghindar secara terang-terangan, atau mengatakan ketidaksukaan secara langsung. Pengukuran secara eksplisit terkait hal-hal sensitif seperti stigma terhadap penyandang disabilitas sangat Sejauh ini penelitian lebih banyak fokus dalam mengukur stigma eksplisit, yaitu stigma yang secara sadar dilakukan dan dapat dikendalikan (Wilson & Scior, 2014) seperti perilaku menghindar secara terang-terangan, atau mengatakan ketidaksukaan secara langsung. Pengukuran secara eksplisit terkait hal-hal sensitif seperti stigma terhadap penyandang disabilitas sangat

Selain stigma eksplisit, perilaku individu sebagian diprediksi oleh stigma implisit (Greenwald, Poehlman, Uhlmann, & Banaji, dalam Wilson & Scior, 2014). Stigma implisit memiliki dampak pada perilaku yang tidak dapat dikendalikan secara sadar namun tetap penting bagi pengalaman penyandang disabilitas sehari-harinya, seperti kontak mata dan bahasa tubuh (Dovidio, Kawakami, & Gaertner, dalam Wilson & Scior, 2014). Maka, penting untuk membahas lebih jauh tentang stigma implisit agar dapat mengetahui lebih baik tentang mekanisme yang dapat mengantisipasi stigma implisit (Wilson &Scior, 2014). Ciri dari stigma implisit ialah tidak bisa dilaporkan sendiri ( self-reported ) dan tidak bisa menjadi objek introspeksi individu (Greenwald & Banaji, 1995). Keunikan ini yang membuat pengukuran terhadap stigma implisit akan membuahkan hasil yang bebas dari risiko social desirability, karena individu tidak bisa mengatur bagaimana ia seharusnya bersikap pada level implisit.

Sejauh ini, penelitian terkait stigma masih menunjukan hasil yang variatif terkait pola korelasi antara stigma implisit dan eksplisit. Di satu sisi, stigma implisit dan eksplisit dikatakan memiliki pola korelasi yang positif (Banse dkk, 2001; Thomas dkk, 2007), namun beberapa penelitian menunjukan tidak adanya korelasi antara dua level stigma tersebut (Wilson & Scior, 2014). Penggambaran pola korelasi dirasa penting guna memberikan gambaran apakah perubahan di salah satu level stigma akan diikuti dengan perubahan stigma di level lainnya.

Terdapat berbagai variasi metode pengukuran stigma implisit, salah satunya adalah alat untuk mengukur sikap implisit adalah Implicit Association Test (IAT). Cara kerja alat ini berlandaskan pada asumsi bahwa partisipan akan menglasifikasikan stimulus yang ditampilkan ketika pasangan kategori target dan kategori atribut sesuai dengan asosiasi otomatis partisipan (Wang dkk, 2012).Penelitian ini menggunakan salah satu bentuk adaptasi dari IAT yaitu Single Category – Implicit Association Test (SC-IAT; Karpinski & Steinman, 2006). Jika pada IAT, partisipan dihadapkan dengan dua ketegori dan dilihat pada kategori mana preferensi partisipan cenderung mengarah, pada SC-IAT, partisipan hanya dihadapkan pada satu kategori, yaitu disabilitas.

Pengukuran sikap implisit bisa digunakan sebagai strategi intervensi terhadap praktik stigma, yaitu dengan cara memberikan feedback kepada partisipan terkait bias implisit yang dimilikinya. SC-IAT terintegrasi dengan informasi terkait pandangan partisipan terhadap penyandang disabilitas Pengukuran sikap implisit bisa digunakan sebagai strategi intervensi terhadap praktik stigma, yaitu dengan cara memberikan feedback kepada partisipan terkait bias implisit yang dimilikinya. SC-IAT terintegrasi dengan informasi terkait pandangan partisipan terhadap penyandang disabilitas

Hasil yang diharapkan adalah ketika seseorang mengetahui bagaimana sebenarnya ia memandang penyandang disabilitas dan menyadari mereka telah merespon terhadap situasi dengan cara yang stigmatik, yang kontras dengan keinginan mereka untuk memerlakukan semua orang dengan cara yang sama, isyarat untuk mengendalikan ( cues for control ) akan muncul, untuk kemudian mengarahkan individu agar lebih berhati-hati dalam memberikan respon diskriminatif di masa yang akan datang (Shaffer, 2011). Dalam penelitian ini, partisipan dibagi ke dalam dua kelompok, yang pertama kelompok yang menerima feedback bias implisit segera setelah pengukuran, yang kedua kelompok yang menerima feedback bias implisit tertunda setelah diselingi dengan pengukuran stigma eksplisit. Jika feedback bias implisit berhasil menjadi cues for control bagi partisipan, di prediksi bahwa kelompok pertama akan melaporkan stigma eksplisit yang lebih rendah dibandingkan kelompok kedua.

Partisipan dalam penelitian ini menggunakan mahasiswa baru dari universitas yang sudah menjadi Universitas inklusi, yang membuat keberadaan penyandang disabilitas dapat cukup sering dilihat oleh mahasiswa non-disabilitas pada umumnya. Pertimbangan penggunaan mahasiswa angkatan baru adalah untuk mengurangi kemungkinan bias saat pengerjaan Partisipan dalam penelitian ini menggunakan mahasiswa baru dari universitas yang sudah menjadi Universitas inklusi, yang membuat keberadaan penyandang disabilitas dapat cukup sering dilihat oleh mahasiswa non-disabilitas pada umumnya. Pertimbangan penggunaan mahasiswa angkatan baru adalah untuk mengurangi kemungkinan bias saat pengerjaan

Di Indonesia, penelitian terkait stigma di level ekplisit dan implisit masih belum banyak dilakukan. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui stigma publik dengan menguji kembali pengaruh kesegeraan peberian feedback bias implisit terhadap reduksi stigma eksplisit, menggunakan metode yang mereplikasi penelitian Menatti dkk (2013) dan Yusainy dkk (2015). Pada kedua penelitian sebelumnya, hasil menunjukan hal yang bertolak belakang dengan teori yang diasumsikan menjadi mekanisme pengaruh kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit. Penelitian Menatti dkk (2013) tidak menemukan adanya perbedaan rerata yang signifikan antara dua kelompok, sedangkan penelitian Yusainy dkk (2015) justru menemukan bahwa kelompok kedua justru melaporkan stigma eksplisit yang lebih rendah dibandingkan kelompok pertama. Inkonsistensi pada hasil penelitian sebelumnya, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian yang berfokus pada pengaruh kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit partisipan kepada penyandang disabilitas.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah terdapat pengaruh kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas?

2. Apakah terdapat korelasi antara stigma implisit dan stigma eksplisit terhadap penyandang disabilitas fisik?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh urutan perlakuan bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas fisik.

Secara spesifik, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui sejauh mana pengaruh kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit.

2. Memetakan pola korelasi antara stigma implisit dengan stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas fisik.

D. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis. Manfaat tersebut antara lain:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan serta evaluasi teori yang berkaitan dengan stigma implisit dan stigma eksplisit terhadap penyandang disabilitas fisik

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam pengembangan intervensi yang lebih efektif, inovatif, dan lebih komprehensif dalam upaya mereduksi stigma eksplisit masyarakat kepada penyandang disabilitas.

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian sebelumnya yang memiliki topik serupa adalah sebagai berikut:

1. Menatti, Smyth, Teachman, dan Nosek (2013) dalam penelitian yang berjudul Reducing Stigma toward Individuals with Mental Illness . Eksperimen ini meneliti apakah pengalaman mengerjakan Brief Implicit Association Test (BIAT) dalam mengukur sikap terhadap individu dengan gangguan mental akan memengaruhi stigma eksplisit. Eksperimen ini terdiri dari dua studi. Studi pertama partisipan mengerjakan BIAT dan menerima feedback terkait tingkat bias implisit yang dimiliki. Studi kedua menambahkan kondisi dimana BIAT diadministrasikan tanpa pemberian feedback

setelahnya. Partisipan didapatkan dari pengunjung websiteProject Implicit dengan syarat sebagai warga negara Amerika Serikat dengan usia 18 tahun keatas. Hasil penelitian menunjukan bahwa intervensi berupa pengerjaan BIAT efektif dalam menurunkan stigma terhadap individu dengan gangguan mental, dan pemberian feedback tentang bias implisit yang dimiliki tidak dibutuhkan untuk intervensi menurunkan stigma

2. Yusainy, Thohari, dan Gustomy (2015) dalam penelitian berjudul #Stop Ableism: Reduksi Stigma kepada Penyandang Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam konteks disabilitas fisik (1) stigma implisit memiliki korelasi dengan stigma eksplisit, dan (2) kesadaran tentang bias implisit dapat dimanfaatkan sebagai strategi intervensi terhadap diskriminasi. Desain 2. Yusainy, Thohari, dan Gustomy (2015) dalam penelitian berjudul #Stop Ableism: Reduksi Stigma kepada Penyandang Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah dalam konteks disabilitas fisik (1) stigma implisit memiliki korelasi dengan stigma eksplisit, dan (2) kesadaran tentang bias implisit dapat dimanfaatkan sebagai strategi intervensi terhadap diskriminasi. Desain

3. Wang, Huang, Jackson, dan Chen (2012) dalam penelitian berjudul Components of Implicit Stigma against Mental Illness among Chinese Students . Eksperimen ini adalah usaha untuk memvalidasi hasil dari penelitian stigma implisit terhadap individu dengan gangguan mental dengan sampel mahasiswa di Cina, menggunakan Single Category Implicit Association Test (SC-IAT). Partisipan terdiri dari 56 mahasiswa undergraduate di Southwest University. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa asosiasi otomatis antara gangguan mental dengan atribut negatif relatif lebih kuat dibandingkan dengan atribut positif dan hasil SC-IAT yang signifikan ditemukan pada dimensi kognitif dan afektif. Penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan antara stigma implisit dan stigma eksplisit. Hal ini menandakan bahwa terdapat stigma implisit terhadap individu dengan gangguan mental di kalangan mahasiswa Cina.

4. Aaberg (2012) dalam penelitian berjudul A Path to Greater Inclusivity through Understanding Implicit Attitudes toward Disability . Penelitian ini bertujuan untuk melihat sikap implisit dari tenaga pengajar keperawatan terhadap penyandang disabilitas menggunakan Disability Attitude Implicit Association Test . Partisipan penelitian adalah 781 tenaga pengajar jurusan keperawatan. Hasil penelitain menunjukan tenaga pengajar keperawatan memiliki bias yang kuat terhadap penyandang disabilitas.

5. Deka (2013) dalam penelitian berjudul A Study on Attitude of College Teachers and Students of Guwahati towards the Mentally Ill . Penelitian ini berusaha mengetahui sikap mahasiswa dan dosen terhadap individu dengan gangguan mental. Total 62 partisipan (31 dosen dan 31 mahasiswa) dari Guwahati direkrut untuk penelitian ini. Alat ukur yang digunakan adalah Community Attitude toward Mentally Ill (CAMI) Scale . Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dosen perguruan tinggi memiliki penerimaan yang lebih tinggi terhadap individu dengan gangguan mental dibandingkan dengan mahasiswa dan siswa di dalam komunitas tertentu.

F. Kekhasan Penelitian

Penelitian mengenai stigma di Indonesia masih fokus mengukur level eksplisit (Thohari, 2014; Dulisanti, 2015). Dalam penelitian ini, peneliti berupaya mengukur stigma di dua level, yaitu stigma di level eksplisit menggunakan self reported questionnaire dan stigma di level implisit menggunakan SC-IAT.

Berdasarkan penelitian terdahulu, penelitian terkait stigma implisit sebagian besar menggunakan masyarakat dengan budaya barat sebagai sampel, sehingga belum jelas apakah sikap masyarakat dengan budaya timur juga negatif terhadap penyandang disabilitas (Wang dkk, 2012). Penelitian ini berupaya untuk memvalidasi penelitian yang sejauh ini banyak menggunakan sampel masyarakat barat dengan menggunakan mahasiswa di Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Disabilitas Fisik

Disabilitas adalah sebuah istilah yang berarti pelemahan, pembatasan aktivitas dan pelarangan partisipasi (WHO, 2013). The International Classification

and Health (ICF) mengategorisasikan permasalahan keberfungsian manusia dalam tiga area yang saling berhubungan: 1) Impairment adalah permasalahan dalam fungsi tubuh atau perubahan dalam struktur tubuh, seperti kebutaan, 2) pembatasan aktivitas adalah kesulitan dalam melakukan aktivitas, seperti berjalan atau makan, dan 3) pelarangan partisipasi adalah permasalahan dengan keterlibatan dalam aspek kehidupan, seperti diskriminasi dalam pekerjaan dan transportasi (WHO, 2011). Melihat pengertian diatas, bisa disimpulkan bahwa disabilitas bukan hanya meliputi keterbatasan fungsi tubuh, namun juga respon dari lingkungan yang menghambat fungsi individu secara sosial ataupun okupasional.

Di Indonesia, dalam UU RI nomor 4 tahun 1997, penyandang disabilitas dibedakan dalam tiga kategori, yaitu 1) penyandang disabilitas fisik, 2) penyandang disabilitas mental, dan 3) penyandang disabilitas fisik dan mental. Berdasarkan kategorinya , penyandang disabilitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyandang disabilitas fisik. Disabilitas fisik Di Indonesia, dalam UU RI nomor 4 tahun 1997, penyandang disabilitas dibedakan dalam tiga kategori, yaitu 1) penyandang disabilitas fisik, 2) penyandang disabilitas mental, dan 3) penyandang disabilitas fisik dan mental. Berdasarkan kategorinya , penyandang disabilitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyandang disabilitas fisik. Disabilitas fisik

Focal point dalam penanganan permasalahan penyandang disabilitas di Indonesia ditangani oleh Kementerian Sosial, yang mana tugas-tugasnya lebih diarahkan pada upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial, seperti proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang disabilitas mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat (Irwanto, 2010).

B. Stigma

Salah satu definisi paling awal dari stigma diajukan oleh Goffman (1963) yang mendeskripsikan stigma sebagai sebuah atribut yang meragukan kualitas individu target stigma, membuat target stigma dari individu biasa menjadi seseorang yang tidak bisa berfungsi secara normal. Menurut Ali dkk (2012), stigma adalah sebuah proses dimana kelompok tertentu dimarginalkan dan dikurangi nilainya oleh lingkungan sosial karena nilai, karakterisitik, dan praktiknya berbeda dari kelompok budaya yang dominan. Stigma tidak muncul semata-mata karena adanya atribut pada individu. Atribut negatif pada suatu kelompok harus diberikan oleh kelompok orang yang memiliki kuasa sebagai sesuatu yang tidak diinginkan.

Ada berbagai model pendekatan yang berusaha menjelaskan terbentuknya stigma (Boyle, 2010). Pendekatan klasik Affect-Behavior-Cognition (ABC) theory of attitudes dianggap yang paling relevan dengan penelitian ini. Pendekatan inimemandang bahwa stigma terbentuk atas adanya prasangka (elemen afektif), stereotipe (elemen kognitif), dan diskriminasi (elemen perilaku) (Stier & Hinshaw, 2007)

Stigma (Attitudes)

(Elemen Kognitif )

(Elemen Afektif)

(Elemen Perilaku)

Gambar 1. Affect-Behavior-Cognition Theory of Attitude

Sumber: Stier & Hinshaw (2007)

Stereotipe adalah evaluasi atau respon kognitif terhadap kelompok sosial dan anggota kelompoknya yang didasarkan informasi yang terbatas. Prasangka adalah atribut konseptual yang diasosiasikan dengan suatu kelompok dan anggota kelompoknya. Diskriminasi merupakan perilaku menghindar, hostilitas, dan menolak untuk memberi bantuan. Meskipun prasangka dan stereotiope berakar dari sebuah mekanisme memertahankan diri, namun fungsinya di lingkungan sosial yang modern sangatlah kompleks dan dampaknya lebih sering merugikan (Amodio, 2014).

Individu memroses informasi yang berkaitan dengan stigma kepada kelompok tertentu melalui dua level, yaitu level eksplisit dan level implisit.

1. Stigma Eksplisit Stigma eksplisit adalah stigma yang dilakukan secara sadar dan dapat dikendalikan (Wilson & Scior, 2014) yang mana pengukurannya biasanya menggunakan skala self-report dan survei. Contoh dari stigma eksplisit antara lain perasaan yang dingin kepada penyandang disabilitas, keengganan berinteraksi dengan penyandang disabilitas, menganggap bahwa penyandang disabilitas merupakan individu yang rapuh dan merupakan objek amal, merasa takut atau gugup bahkan jijik kepada penyandang disabilitas, serta menolak memberi pertolongan, menjauh, mengindar, bahkan menghina penyandang disabilitas.

Sejauh ini, hasil penelitian stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas menghasilkan penemuan yang variatif. Beberapa menemukan angka stigma yang rendah (Wahl dkk, 2012; Hsu dkk, 2015) dan beberapa menemukan angka stigma yang tinggi (Durand-Zaleski dkk, 2012; Girma dkk, 2013; Werner dkk, 2015; Werner, 2015). Penelitian juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki frekuensi interaksi yang tinggi dengan individu penyandang disabilitas (Boyle dkk, 2010; Goreczny dkk, 2011; Corrigan dkk, 2012; Waqas dkk, 2014) dan individu yang memiliki latar belakang pendidikan yang memadai (Corrigan dkk, 2012; Deka, 2013) menunjukan stigma eksplisit yang rendah. Kontak dengan Sejauh ini, hasil penelitian stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas menghasilkan penemuan yang variatif. Beberapa menemukan angka stigma yang rendah (Wahl dkk, 2012; Hsu dkk, 2015) dan beberapa menemukan angka stigma yang tinggi (Durand-Zaleski dkk, 2012; Girma dkk, 2013; Werner dkk, 2015; Werner, 2015). Penelitian juga menunjukkan bahwa individu yang memiliki frekuensi interaksi yang tinggi dengan individu penyandang disabilitas (Boyle dkk, 2010; Goreczny dkk, 2011; Corrigan dkk, 2012; Waqas dkk, 2014) dan individu yang memiliki latar belakang pendidikan yang memadai (Corrigan dkk, 2012; Deka, 2013) menunjukan stigma eksplisit yang rendah. Kontak dengan

Sayangnya, penelitian stigma ekpslisit yang menggunakan self-reported quiestionnaire sebagai alat ukurnya dipertanyakan validitasnya. Di era modern yang menjunjung persamaan hak bagi semua manusia seperti sekarang, pengungkapan stigma secara eksplisit kepada penyandang disabilitas menjadi hal yang tabu untuk dilakukan (Alterado, 2013). Faktor social desireability, dimana individu termotivasi untuk memunculkan respon yang dipercaya dapat diterima secara social, membuat para peneliti di bidang sikap memertanyakan apakah pengukuran stigma eksplisit benar- benar sudah menggambarkan sikap individu terhadap penyandang disabilitas (Wilson & Scior, 201). Bukan hanya lemahnya alat ukur di level eksplisit, namun bias juga bisa saja terjadi pada level individu, dimana motivasi untuk bersikap positif terhadap penyandang disabilitas tidak menjamin bahwa individu akan merespon tanpa bias juga terhadap penyandang disabilitas (Devine & Plant, 2002). Jadi, penelitian stigma eksplisit berbasis self-repport tidak bisa mengukur stigma bila individu tidak menyadari atau tidak mengetahui bahwa ia memiliki stigma, atau individu tidak ingin mengungkapkan stigma yang dimiliki.

2. Stigma Implisit

Selain pengukuran terhadap stigma eksplisit, dalam tiga dekade terakhir mulai muncul berbagai alat pengukuran stigma implisit tanpa meliputi proses introspeksi partisipan (Bar-Anan & Nosek, 2014 ) . Stigma implisit adalah stigma yang tidak dapat dikendalikan secara sadar (Wilson & Scior, 2014) seperti kontak mata dan bahasa tubuh. Penelitian terkait stigma implisit didasarkan pada ketidakmampuan pengukuran stigma eksplisit dengan cara self-reported dalam memrediksi perilaku (Nosek dkk, 2011). Greenwald dan Banaji (dalam Nosek & Hansen, 2008) menyatakan bahwa pengukuran implisit lebih menjanjikan sebuah gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran individu dibandingkan apa yang individu laporkan. Nyatanya, partisipan dalam penelitian implisit menunjukan hasil yang lebih negatif dari sikap eksplisitnya (Burkhardt & Haney, 2012). Pengukuran stigma implisit, yang dilakukan diluar kesadaran subyek, menampilkan landasan yang lebih akurat untuk mendeskripsikan nilai dan perilaku dan menjadi prediktor yang lebih baik terhadap perilaku (Aaberg, 2012).

C. F eedback Bias Implisit

Prosedur yang diadaptasi dari penelitian Menatti dan kolega (2013) dalam penelitian ini adalah usaha untuk mengetahui apakah kesadaran akan bias implisit yang dimiliki dan pengalaman mengerjakan pengukuran stigma implisit dapat memodifikasi stigma eksplisit partisipan. Kesadaran akan bias implisit dimunculkan dengan pemberian feedback bias implisit. Feedback bias implisit adalah informasi terkait pelaksanaan pengukuran stigma implisit Prosedur yang diadaptasi dari penelitian Menatti dan kolega (2013) dalam penelitian ini adalah usaha untuk mengetahui apakah kesadaran akan bias implisit yang dimiliki dan pengalaman mengerjakan pengukuran stigma implisit dapat memodifikasi stigma eksplisit partisipan. Kesadaran akan bias implisit dimunculkan dengan pemberian feedback bias implisit. Feedback bias implisit adalah informasi terkait pelaksanaan pengukuran stigma implisit

Dalam penelitian ini, variabel kesegeraan pemberian feedback bias implisit terbagi ke dalam dua variasi yaitu pemberian feedback segera dan pemberian feedback tertunda. Feedback segera berarti informasi terkait pandangan partisipan kepada penyandang disabilitas fisik diberikan langsung setelah pengukuran stigma implisit. Sedangkan feedback tertunda berarti informasi terkait pandangan partisipan kepada penyandang disabiitas fisik ditunda pemberiannya, dengan diberikannya pengukuran stigma eksplisit setelah stigma implisit baru diakhiri pemberian feedback . Salah satu teori yang mendasari mekanisme pengaruh kesegeraan pemberian feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit adalah teori self-control.

Self-control adalah kapasitas mental individu untuk secara sadar mengendalikan elemen kognitif, afektif, dan perilaku agar sesuai dengan standar yang ditetapkan (Inzlicht & Legault, 2014). Menurut Carver & Scheier (dalam Yusainy, 2015) dalam feedback loop theory , self control digambarkan terdiri dari empat proses yang dikenal dengan istilah TOTE ( Test-Operate- Test-Exit ).

TEST OPERATE

Bandingkan diri

Mengubah elemen

dengan standar

kognitif, afektif, dan

tertentu perilaku

TEST

Evaluasi apakah hasil operate sudah

EXIT

Gambar 2. Proses Self Control dalam Feedback Loop Theory

Sumber: Carver & Scheier (1982)

Dalam konteks penelitian ini prosesnya adalah pada tahap test pertama kali, individu akan membandingkan konsep diri idealnya terkait bagaimana seharusnya ia berpandangan terhadap penyandang disabilitas fisik dengan hasil yang ditunjukan pada feedback bias implisit. Bila individu mendapati bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara hasil yang ditunjukan pada feedback bias implisit dengan konsep diri idealnya, kesenjangan ini akan bertindak sebagai cues for control yang mengarahkannya pada tahap operate.Cues for control adalah stimulus eksternal yang mengaktifkan mekanisme regulasi diri yang akan membantu mempertahankan diri dari aksi bias yang tidak diinginkan (Menatti dkk, 2013). Pada tahap operate iniah self- control terkativasi meregulasi diri partisipan. Setelah tahap operate, individu akan kembali membandingkan konsep dirinya dengan bagaimana ia memandang penyandang disabilitas fisik. Individu akan memasuki tahap exit ketika sudah tidak ada lagi kesenjangan yang terjadi antara konsep diri dengan pandangan yang ia laporkan.

Monteith dan kolega (2002) menemukan bahwa partisipan penelitiannya yang berhadapan dengan kesenjangan antara hasil pengukuran implisit dengan kepercayaan yang dimiliki akan mengembangkan mekanisme self control seperti pada proses operate. Penelitian lain juga telah berhasil mereduksi

stigma dengan cara menunjukan ketidaksesuaian antara sikap ideal yang diharapkan individu dengan stigma yang dimilikinya (Devine dkk, 1991; Plant & Devine 1998; 2009, dalam Menatti dkk, 2013). Dalam penelitian Menatti dan kolega (2013), pengalaman menerima pengukuran stigma implisit memengaruhi stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas mental dan penurunan stigma eksplisit tidak terkait dengan kesegeraan pemberian feedback bias implisit. Sejauh mana efektifitas kesegeraan pemberian feedback bias implisit dalam mereduksi stigma eksplisit partisipan kepada penyandang disabilitas fisik di Indonesia akan diujicobakan dalam penelitian ini.

D. Kerangka Berpikir

Kerangka pemikiran berikut ini menjelaskan hubungan antar variabel;

Kesegeraan

Feedback segera

feedback Stigma bias implisit

Stigma Implisit Stigma Eksplisit

Hipotesis 2 Gambar 3. Kerangka Berpikir

X merupakan kesegeraan pemberian feedback bias implisit. Kondisi perlakuan 1 (X1) menerima urutan perlakuan dengan feedback segera dan kondisi perlakuan 2 (X2) menerima urutan perlakuan dengan feedback tertunda. Y merupakan stigma eksplisit yang dilaporkan partisipan melalui X merupakan kesegeraan pemberian feedback bias implisit. Kondisi perlakuan 1 (X1) menerima urutan perlakuan dengan feedback segera dan kondisi perlakuan 2 (X2) menerima urutan perlakuan dengan feedback tertunda. Y merupakan stigma eksplisit yang dilaporkan partisipan melalui

Pada kedua kondisi perlakuan, partisipan pertama kali dihadapkan dengan pengukuran stigma implisit dengan menggunakan Single Category Implicit Association Test (SC-IAT). Ketika partisipan menyadari mereka telah merespon dengan cara stigmatik, yang kontras dengan keinginan mereka, partisipan akan menyadari adanya kesenjangan antara konsep ideal diri dengan fakta diri yang ia hadapi. Kesenjangan ini akan mengaktifkan self-control yang akan mengarahkan partisipan untuk mereduksi stigmanya di level eksplisit.

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang dibuat, maka hipotesis yang diajukan adalah:

1. Terdapat pengaruh kesegeraan feedback bias implisit terhadap stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas fisik.

2. Terdapat korelasi antara stigma implisit terhadap penyandang disabilitas fisik

dengan stigma eksplisit yang dilaporkan partisipan.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan bagian dari grand design penelitian yang berjudul Reduksi Stigma kepada Penyandang Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit, oleh Cleoputri Yusainy Ph.D dan Ika Herani S.Psi, M.Si yang mereplikasi penelitian Menatti dkk (2013) tentang stigma publik kepada individu dengan gangguan mental. Terdapat tiga kondisi dalam penelitian Menatti (2013) yaitu, kondisi 1) kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma eksplisit dilanjutkan dengan pengukuran stigma implisit dan pemberian feedback bias implisit, kondisi 2) kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma implisit dilanjutkan dengan pemberian feedback bias implisit dan pengukuran stigma eksplisit, kondisi 3) kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma implisit dilanjutkan dengan pengukuran stigma eksplisit dan pemberian feedback bias implisit.

Gambar 4. Grand Design penelitian Reduksi Stigma kepada Penyandang

Disabilitas melalui Intervensi Bias Implisit

Sub-bab ini membahas mengenai metode yang digunakan untuk menjawab masalah utama penelitian 1) Apakah terdapat korelasi antara stigma implisit dan stigma eksplisit kepada penyandang disabilitas, 2) Sejauh mana urutan perlakuan (pengukuran stigma implisit dan feedback bias implisit) memengaruhi stigma eksplisit yang dilaporkan.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif eksperimen dalam setting laboratorium dengan between subjects experimental design ,yang mereplikasi penelitian Menatti dkk (2013), terkait stigma publik kepada individu dengan gangguan mental, namun pada penelitian ini target stigma ditujukan kepada individu penyandang disabilitas fisik. Partisipan dibagi dalam 2 kondisi, yaitu 1) kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma implisit, diikuti pemberian feedback atas bias implisit dan pengukuran stigma implisit, dan 2) Kelompok yang terlebih dahulu menerima pengukuran stigma implisit, diikuti pengukuran stigma eksplisit dan pemberian feedback bias implisit.

KONDISI 1

( Feedback segera)

KONDISI 2 ( Feedback tertunda)

Gambar 5. Desain penelitian Pengaruh Kesegeraan Feedback Bias Implisit terhadap Stigma Eksplisit kepada Penyandang Disabilitas Fisik

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kesegeraan feedback bias implisit sebagai variabel independen dengan variasi feedback segera

( immediate ) dan feedback tertunda ( delayed ), dan stigma eksplisit sebagai variabel dependen.

B. Definisi Operasional

1. Stigma implisit Sikap yang berada diluar kendali sadar atau kesadaran dikenal sebagai stigma implisit. Stigma implisit terbentuk atas adanya prasangka (elemen afektif), stereotipe (elemen kognitif), dan diskriminasi (elemen perilaku).. Stereotipe adalah evaluasi atau respon afektif terhadap kelompok sosial dan anggota kelompoknya yang didasarkan pada informasi yang terbatas. Prasangka adalah atribut konseptual yang diasosiasikan dengan suatu kelompok dan anggota kelompoknya. Reaksi diskriminasi merupakan perilaku menghindar, hostilitas, dan menolak untuk memberi bantuan