Relasi Makna Teori Yang Digunakan

Makna kognitif adalah makna yang ditunjukkan oleh acuannya, makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia di luar bahasa, objek atau gagasan, dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis komponennya. Makna kognitif lebih banyak berhubungan dengan pemikiran kita tentang sesuatu. 6. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif Makna konseptual merupakan hal yang esensial di dalam suatu bahasa. Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah kata terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Sebenarnya makna konseptual sama dengan makna denotatif. Sedangkan asosiasi adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata tersebut dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Makna asosiasi termasuk juga dengan makna konotatif, karena kata-kata tersebut berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata tersebut, Leech, 1976.

2.2.3 Relasi Makna

Relasi makna adalah bermacam-macam hubungan makna yang terdapat pada sebuah kata atau leksem. 1. Sinonim Secara semantik Verhar dalam Chaer, 2009:83 mendefinisikan sebagai ungkapan bisa berupa kata, frase, atau kalimat yang maknanya kurang lebih Universitas Sumatera Utara sama dengan makna ungkapan lain.hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Hubungan makna antar dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah, misalnya buruk bersinonim dengan kata jelek. Kalau dibagankan adalah sebagai berikut. Faktor yang menyebabkan ketidakmungkinan untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah : a. Faktor waktu, misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais, sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini modren. b. Faktor tempat atau daerah, misalnya kata saya dan kata beta adalah bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunkan pada pemakaian bahasa Indonesia timur Maluku, sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum dimana saja. c. Faktor sosial, misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata bersinonim tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak dapat digunakan kepada orang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi. buruk jelek Universitas Sumatera Utara d. Faktor bidang kegiatan, misalnya kata satawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Kata tasawuf hanya lazim dalam agama Islam. Kebatinan yang bukan Islam, dan mistik untuk semua agama. e. Faktor nuansa makna, misalnya kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat bisa digunakan secara umum, melirik hanya digunakan untuk melihat dengan sudut mata, melotot digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar, meninjau hanya digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi, kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit. 2. Antonim Kata antonim berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harafiah antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik dalam Chaer, 2009:89 mendefenisikan sebagai: ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah. Misalnya dengan kata bagus berantonim dengan kata buruk, maka kata buruk juga berantonim dengan kata bagus. Kalau dibagankan adalah sebagai berikut : buruk bagus Universitas Sumatera Utara Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua tataran bahasa : tataran morfem, tataran kata, tataran frase dan tataran kalimat. Hanya barangkali mencari contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah. Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem terikat barangkali tidak ada; dalam bahasa inggris kita jumpai contoh thankful dengan thankless, di mana ful dan less berantonim; antara progresif dengan regresif dimana pro dan re berantonim. Dilihat dari hubungannya, antonim dapat dibedakan antara antonim yang gradulagradasi atau relatif dan yang bersifat mutlak Chaer, 1994:299. Antonim yang bersifat mutlak adalah kata-kata yang berlawanan dengan bentuk nagasinya, yaitu disisipi dengan kata negasi Hubungan antonim dikatakan bersifat mutlak karena tidak bersinonim dengan yang lainnya. negasi 3. Homonim pasangan antonim yang di sebelah kiri bersinonim dengan pasangan antonim yang di sebelah kanan atau negasi pasangan antonim yang disebelah kanan bersinonim dengan pasangan antonim yang disebelah kiri. Kata homonim berasal dari bahasa yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harafiah homonim dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain’. Universitas Sumatera Utara Secara semantik verhaar dalam Chaer, 2009:94 memberi defenisi homonim sebagai ungkapan yang bentuknya sama dengan ungkapan lain tetapi maknanya tidak sama. Relasi antara dua buah ujaran yang berhomonim biasanya berlaku dua arah. Contoh dalam bahasa Indonesia antara bulan yang bermakna benda yang ada di langit, dan bulan yang datang tiap 30 hari pada wanita yaitu menstruasi, kata pacar yang bermakna ’inai’ dan kata pacar yang bermakna ’kekasih’, antara kata bisa yang bermakna ’racun’ dan bisa yang bermakna ’sanggup’.Hubungan antara dua kata yang homonim bersifat dua arah, misalnya dalam kata bisa, artinya kalau kata bisa yang berarti ‘racun ular’ homonim dengan kata bisa yang berarti ‘sanggup’, maka kata bisa yang berarti ‘sanggup’ juga berhomonim dengan kata bisa yang berarti ‘racun ular’, maka diagramnya menjadi sebagai berikut : Berkaitan dengan homonim, ada yang disebut homofon dan homograf. Homofon merupakan homonim yang sama bunyinya tetapi beda tulisan dan maknanya, sedangkan homograf merupakan homofon yang sama tulisannya tetapi beda bunyi dan maknanya Sudaryat, 2009 : 42. a. Homonim yang homograf Bisa I Bisa II Universitas Sumatera Utara Homonim yang homograf adalah homonim yang sama tulisannya, tetapi berbeda ucapan dan maknya. Misalnya : kata teras ‘bagian kayu yang keras’ dan kata teras ‘lantai rumah di depannya’. b. Homonim yang Homofon Homonim yang homofon adalah homonim yang sama bunyinya tetapi berbeda tulisan dan makna. Misalnya : kata bang yang berarti ‘saudara laki-laki lebih tua’, dengan kata bank yang berarti ‘tempat simpan pinjam uang’. c. Homonim yang homograf dan homofon Homonim yang homograf dan homofon yakni homonim murni yang sama bunyi dan tulisannya tetapi berbeda maknanya. Misalnya : kata buram yang berarti ‘rancangan, konsep’ ; dengan kata buram yang berarti ‘suram, tidak bening’. Dengan kata beruang yang berarti ‘nama binatang ; dengan kata beruang yang berarti ‘memiliki ruang’ ; dan dengan kata beruang yang berarti ‘memiliki ruang’. 4. Hiponimi Kata hiponimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti ‘di bawah’. Secara harafiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik Verhaar dalam Chaer, 2009:98 menyatakan hiponim ialah ungkapan yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Universitas Sumatera Utara Misalnya kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan. Sebab makna tongkol berada atau termasuk dalam makna kata ikan. Tongkol memang ikan tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk banding, tengiri, teri, mujair, cakalang dan sebagainya. Kalau diskemakan menjadi : Ikan Tongkol Bandeng Tenggiri teri Mujair Lele 5. Polisemi Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa terutama kata, bias juga frase yang memiliki makna lebih dari satu Chaer, 2009 : 101. Dalam bahasa Melayu juga ditemukan sejumlah yang memiliki ciri polisemi. Kata-kata yang berpolisemi kemungkinan akan menyebabkan ketaksaan di dalam kalimat tertentu. Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki makna lebih dari satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu aluran arti. Misalnya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna yang lebih dari satu. Dapat dilihat dari bagan berikut : Makna 1 Makna 2 Makna 3 Makna 4 Makna 5 Kepala Universitas Sumatera Utara Makna 6 6. Ambiguitas Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti Chaer, 2009 : 104. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang paling besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Ambiguitas berasal dari bahasa inggris ambiguity yang berarti suatu kontruksi yang dapat ditafsirkan lebih dari satu arti. Hal ini mengakibatkan terjadinya lebih dari satu makna ini dapat terjadi saat pembicaraan lisan ataupun dalam keadaan tertulis. Ketaksaan adalah kegandaan makna sebuah kalimat yang lebih dari satu makna sehingga dapat menyebabkan kesalahpahaman, khususnya apabila konteks kalimatnya tidak begitu jelas. Ciri ketaksaan umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena pada bahasa tulis unsur supra segmental tak dapat dideskripsikan secara akurat Chaer, 1994:307. Ketaksaan pada bahasa Melayu, terdiri dari ketaksaan leksikal dan ketaksaan struktural. Ketaksaan leksikal adalah ketaksaan yang disebabkan oleh kata polisemi yang terdapat di dalam kalimat. Kata polisemi itu memiliki beberapa makna, maka makna kalimat itupun bersifat taksa. Tetapi tidak semua kata polisemi dapat menyebabkan ketaksaan makna kalimat, sebab ketaksaan makna juga bergantung pada struktur kalimat yang dimasuki kata tersebut. Universitas Sumatera Utara Konsep ini tidak salah melainkan kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi yang bermakna ganda. Perbedaannya kalau polisemi ialah kegandaan makna dalam kata sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Misalnya, frase buku sejarah baru, dapat ditafsirkan sebagai 1 buku sejarah itu baru terbit, atau 2 buku itu berisi sejarah zaman baru. Contoh lain, Orang malas lewat di sana dapat ditafsirkan sebagai 1 jarang ada orang yang mau lewat di sana, atau 2 yang mau lewat di sana hanya orang-orang malas. Universitas Sumatera Utara 7. Redundansi Redundansi adalah penggunaan unsur segmental yang berlebih-lebihan dalam suatu bentuk ujaran Chaer, 1994:310. Redundansi secara umum dapat diartikan sebagai keterbuangan ruang, waktu, materi, energi, yang terjadi dalam sistem teknologi. Bila redundansi dalam istilah semantik sering sebagai berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu ujaran. Secara semantik, masalah redundansi sebenarnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuj berbeda maka makna pun akan berbeda. Oleh karena itu, redundansi kata-kata dikaji dengan netral dan tidak dianalisis dengan parameter preskriptif berupa vonis salah-benar, berlebihan- ekonomis. Misalnya kalimat Kami dijemput oleh ibu dari bandara, tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan kami dijemput ibu dari bandara. Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN