III Mutu
5.1.5 Amoniak (N–NH 3 )
N-NH 3 hasil pengamatan menunjukkan bahwa amoniak air pada ketiga stasiun penelitian berkisar 1,0300 mg/l–1,6087 mg/l. Tingginya amoniak pada Stasiun II disebabkan oleh adanya akumulasi limbah organik berupa nutrisi lemak terutama protein yang berasal dari sisa-sisa jasad renik dari organisma air baik yang berasal dari aliran tambak maupun aliran sungai yang bersatu pada stasiun tersebut, selain itu tingginya kandungan organik ini juga dipengaruhi oleh limbah rumah tangga warga sekitar yang bermukim menetap di daerah sekitar stasiun tersebut, dan pengaruh pH perairan. Rendahnya amoniak pada Stasiun III disebabkan oleh dekat pantai, pasang surut dan naik, guguran daun yang mengendap ke dasar air dan ditahan oleh perakaran hutan mangrove. Menurut Borneff (1987) dalam Barus (2004) kandungan limbah domestik pada umumnya terdiri dari tiga jenis zat nutrisi yaitu karbohidrat, lemak, protein. Produk penguraian karbohidrat dianggap tidak mempunyai masalah yang serius bagi ekosistem perairan, karena berbagai jenis bakteri dan jamur dapat mengkonsumsinya. Hal yang menimbulkan masalah adalah N-NH 3 hasil pengamatan menunjukkan bahwa amoniak air pada ketiga stasiun penelitian berkisar 1,0300 mg/l–1,6087 mg/l. Tingginya amoniak pada Stasiun II disebabkan oleh adanya akumulasi limbah organik berupa nutrisi lemak terutama protein yang berasal dari sisa-sisa jasad renik dari organisma air baik yang berasal dari aliran tambak maupun aliran sungai yang bersatu pada stasiun tersebut, selain itu tingginya kandungan organik ini juga dipengaruhi oleh limbah rumah tangga warga sekitar yang bermukim menetap di daerah sekitar stasiun tersebut, dan pengaruh pH perairan. Rendahnya amoniak pada Stasiun III disebabkan oleh dekat pantai, pasang surut dan naik, guguran daun yang mengendap ke dasar air dan ditahan oleh perakaran hutan mangrove. Menurut Borneff (1987) dalam Barus (2004) kandungan limbah domestik pada umumnya terdiri dari tiga jenis zat nutrisi yaitu karbohidrat, lemak, protein. Produk penguraian karbohidrat dianggap tidak mempunyai masalah yang serius bagi ekosistem perairan, karena berbagai jenis bakteri dan jamur dapat mengkonsumsinya. Hal yang menimbulkan masalah adalah
5.1.6 Nitrit (N–NO 2 )
N-NO 2 berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa kadar Nitrit pada ketiga stasiun penelitian berkisar 0,0423 mg/l–1,656 mg/l. Rendahnya kadar nitrit pada Stasiun III disebabkan karena pada stasiun tersebut ditumbuhi mangrove dan tumbuhan air yang mensuplai oksigen yang cukup bagi mikroorganisme untuk mengoksidasi nitrit menjadi nitrat sehingga pada stasiun ini tidak terjadi akumulasi nitrit. Tingginya kadar Nitrit pada Stasiun I disebabkan oleh adanya akumulasi limbah organik berupa nutrisi lemak terutama protein yang berasal dari sisa-sisa jasad renik dari organisme air baik yang berasal dari aliran tambak, aliran pelabuhan kapal nelayan, aliran sungai, limbah rumah tangga warga yang bermukim menetap di sekitar stasiun tersebut dan pengaruh pH perairan.
5.1.7 Nitrat (N–NO 3 )
Berdasarkan hasil pengamatan kadar nitrat berkisar antara 4,3920 mg/l– 12,0388 mg/l, tingginya kadar nitrat pada Stasiun I disebabkan tidak adanya mangrove dan tanaman air pada stasiun tersebut yang dapat menyerap nitrat sebagai zat nutrisi untuk perkembangan tumbuhan, sehingga terjadi akumulasi nitrat. Pada Berdasarkan hasil pengamatan kadar nitrat berkisar antara 4,3920 mg/l– 12,0388 mg/l, tingginya kadar nitrat pada Stasiun I disebabkan tidak adanya mangrove dan tanaman air pada stasiun tersebut yang dapat menyerap nitrat sebagai zat nutrisi untuk perkembangan tumbuhan, sehingga terjadi akumulasi nitrat. Pada
5.1.8 Orthofosfat
Berdasarkan hasil pengamatan nilai kandungan fosfat yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,1875 mg/l–0,2599 mg/l. Tingginya kadar fosfat pada Stasiun III tersebut mungkin disebabkan tipe sedimen pada stasiun tersebut mengandung fosfat sehingga dapat menyediakan fosfat yang cukup, dan fosfat ini juga berasal dari atmosfer. Rendahnya orthofosfat pada Stasiun II karena dalam ekosistem air fosfor kurang mengandung fosfat sehingga tidak dapat menyediakan fosfat yang cukup. Menurut Barus (2004) dalam ekosistem air fosfor terdapat dalam tiga bentuk yaitu senyawa fosfor anorganik seperti orthofosfat, senyawa organik dalam protoplasma dan sebagai senyawa organik terlarut yang terbentuk dari proses penguraian tubuh organisma. Fosfor berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terinfiltrasi ke dalam air tanah dan akhirnya masuk ke dalam sistem perairan terbuka. Selain itu dapat berasal dari atmosfer dan bersama dengan curah hujan masuk ke dalam perairan. Baku mutu mentolerir sebesar 0,015 mg/l.
5.1.9 Klorida
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kadar klorida pada ketiga stasiun penelitian berkisar 17,963 mg/l–19,241 mg/l. Tingginya kadar klorida pada Stasiun II tersebut diduga berasal dari atmosfer dan limbah organik yang berasal dari berbagai aktivitas masyarakat di sekitar stasiun pengamatan. Rendahnya kadar klorida pada Stasiun I disebabkan daerah substrat berlumpur. Kadar klorida pada setiap stasiun pengamatan masih dapat ditolerir oleh organisme air bersifat allochton, dan perairan di lokasi penelitian dapat dikatakan belum tercemar. Menurut Barus (2004) konsentrasi klorida dari air yang lebih dari 30 mg/l merupakan indikasi adanya pencemaran.
5.1.10 Minyak dan Lemak
Nilai kandungan minyak dan lemak yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,25 mg/l-2,5 mg/l. Tingginya kadar minyak dan lemak pada Stasiun I dipengaruhi oleh adanya aktivitas masyarakat seperti pertambakan, penggunaan kapal mesin sebagai alat transportasi, pembuangan sampah rumah tangga dan perikanan yang menghasilkan limbah organik. Rendahnya kadar minyak dan lemak pada Stasiun III disebabkan lebih dekat ke laut dan angin yang berasal dari laut serta pasang surut dan naik yang mengakibatkan percampuran air dengan udara semakin besar. Menurut Wardhana (2001), peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam lingkungan adalah proses yang mudah terjadi apabila air mengandung oksigen yang cukup.
5.1.11 Kandungan Organik Substrat
Nilai kandungan organik substrat yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,8%-12,50%. Tingginya kadar organik pada Stasiun III disebabkan adanya sumber bahan organik dari guguran daun vegetasi mangrove pada stasiun tersebut. Rendahnya kandungan organik substrat pada Stasiun II karena tidak adanya sumber bahan organik, seperti guguran daun vegetasi mangrove di sekitar stasiun tersebut. Di samping itu tidak ada akar mangrove yang menahan bahan organik agar tidak terbawa arus. Menurut Nontji (2005), guguran daun bakau merupakan sumber bahan organik yang penting dalam lingkungan perairan yang bisa mencapai 7 – 8 ton/tahun. Selanjutnya Djaenuddin et al. (1994) menyatakan kriteria tinggi rendahnya kandungan organik substart/tanah berdasarkan persentase adalah sebagai berikut:
= sangat rendah
1%-2% = rendah 2,01%-3% = sedang 3,01%-5% = tinggi >5% = sangat tinggi
5.1.12 TDS
Pengukuran TDS pada ketiga stasiun penelitian berada pada kisaran 65,3 mg/l-87,3 mg/l. Tingginya TDS disebabkan stasiun ini hutan mangrove dapat menyimpan air laut cukup lama karena kurang mendapat pengaruh aktivitas manusia.
Rendahnya TDS pada Stasiun II karena adanya pencampuran air tawar dan air laut yang cukup bebas.
Menurut PP No.82 Tahun 2001 kadar tertentu dari TDS akan dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan yang berakibat terhadap menurunnya aktivitas fotosintesis disebabkan faktor jauh atau dekatnya kawasan dengan jenis pantai atau daratan yang mengalami pergolakan arus dasar gelombang laut yang pecah dan mengikis daratan sehingga mempengaruhi kawasan perairan itu berada.
5.1.13 Salinitas
00 -31 / 00 . Tingginya salinitas pada Stasiun II disebabkan lokasinya lebih dekat ke arah air laut, dan rendahnya salinitas air pada Stasiun III karena pada kawasan hutan mangrove ada keseimbangan percampuran air tawar dengan air laut. Menurut Nybakken (1992) adanya penambahan air tawar yang mengalir masuk ke perairan laut muara menurunkan nilai salinitas. Supriharyono (2000) menyatakan muara merupakan perairan yang berhubungan bebas dengan air laut, dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Dengan penetrasi, air laut menjadikan salinitas berkisar
0 Nilai salinitas pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 28 0 /
0 0 0 antara 32 0 /
00 -35 / 00 dan suhu 20 c-30 c.
5.1.14 pH air
Kisaran pH yang diukur pada stasiun pengamatan antara 7,2–8,1. Dari hasil nilai pH yang didapatkan dari ketiga stasiun penelitian dapat dikatakan bahwa pH perairan masih sesuai kehidupan organisme laut. pH air tertinggi pada Stasiun III (kawasan hutan mangrove) 8,1 disebabkan daerah ini merupakan daerah hutan bakau yang tidak mendapat pengaruh aktivitas manusia sehingga pH air tidak mengalami penurunan dari kondisi awal. Rendahnya pada Stasiun I (kawasan tambak) 7,2 disebabkan adanya penambahan bahan organik yang berasal dari pembuangan limbah organik akibat aktivitas masyarakat di kawasan tersebut. Menurut Barus (2004), nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme laut berkisar antara 6,7–8,2.
5.1.15 Oksigen Terlarut (DO)
Kisaran kandungan oksigen terlarut pada ketiga stasiun penelitian adalah antara 7,38–8,16. Tingginya DO pada Stasiun III ada hubungannya dengan letaknya yang lebih dekat ke laut dan angin yang berasal dari laut, serta pengaruh pasang surut yang mengakibatkan percampuran air dengan udara semakin besar. Rendahnya DO pada Stasiun II berhubungan dengan tingginya suhu perairan pada stasiun tersebut. Menurut Sastrawijaya (1991), bahwa suhu mempunyai pengaruh besar terhadap kelarutan oksigen, jika suhu naik maka oksigen di dalam air akan menurun. Secara keseluruhan nilai kandungan oksigen terlarut di lokasi penelitian masih sesuai bagi kehidupan biota.
5.4 Jenis-Jenis Kepiting Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian diperoleh jenis kepiting bakau (Scylla spp) yang digolongkan berdasarkan urutan taksonominya seperti digambarkan pada Tabel 5.2. berikut ini.