Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Konsumen Terhadap Produk Yang Diiklankan Di Televisi

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG DIIKLANKAN DI TELEVISI (Studi Kasus Mahasiswa Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Institut Pertanian Bogor Terhadap Iklan Produk Indomie)

ANDITO BAGUS PRAKOSO I34053534

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(2)

ABSTRACT

The purposes of this research were to know about consumer attitude of product which have been advertised on television, and analyze the internal and external factors that influencing the consumer attitude. The advertisement which has been analyzed on

this research was the Indomie’s advertisement. The research method was quantitative research and sampling method was simple random sampling.

Result shows that the respondents have high scores of attitude at cognition, affection, and conation level. Internal factors or the characteristic of consumer didn’t influence the attitude well. The frequency of watching television and experience level had a low relation with consumer attitude, and income level was not related with consumer attitude. External factors or the design of advertisement influenced the attitude well. The advertisement’s design such as attraction, comprehension, acceptability, and self involvement were related with consumer attitude.


(3)

RINGKASAN

ANDITO BAGUS PRAKOSO. FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI SIKAP KONSUMEN TERHADAP PRODUK YANG DIIKLANKAN DI TELEVISI : Studi Kasus Mahasiswa Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor Terhadap Iklan Produk Indomie. (Di bawah bimbingan RICHARD W.E LUMINTANG).

Berbagai strategi komunikasi pemasaran dilakukan oleh para produsen mie instan termasuk PT Indofood Sukses Makmur untuk memenangkan pasar. Salah satu pilihannya adalah melakukan promosi dengan beriklan di berbagai media. Salah satu media yang dianggap paling efektif untuk mengiklankan produk termasuk produk mie instan adalah televisi. Iklan melalui media televisi ini merupakan iklan yang masih dianggap menjadi pilihan utama bagi para pengiklan untuk menjangkau konsumennya. Pada penelitian ini iklan yang akan diteliti adalah iklan produk Indomie yang merupakan salah satu produk mie instan PT Indofood Sukses Makmur.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan di televisi dan menganalisa sejauh mana faktor-faktor internal dan eksternal mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan di televisi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan bagi PT Indofood Sukses Makmur dan Matari Advertising serta masyarakat sebagai konsumen.

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data primer. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa IPB khususnya mahasiswa Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Teknik penentuan sampel menggunakan simple random sampling dimana sampel yang digunakan berjumlah 30 responden. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapangan dari hasil kuesioner dengan responden. Sedangkan data sekunder didapatkan dari dokumen-dokumen instansi terkait yaitu PT Indofood Sukses Makmur dan Matari Advertising. Data yang diperoleh dianalisis


(4)

menggunakan Microsoft Excel dan software SPSS 16.0 for windows, serta menggunakan uji statistik korelasi rank spearman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap konsumen terhadap produk Indomie setelah melihat iklan versi ‘Satu Selera’ menunjukkan nilai yang tinggi pada setiap tahap baik kognitif, afektif dan konatif. Faktor internal berupa karateristik konsumen kurang berpengaruh pada sikap konsumen terhadap produk Indomie baik pada tahap kognitif, afektif, dan konatif. Hal ini dilihat dari frekuensi menonton televisi dan tingkat pengalaman terhadap produk yang memiliki hubungan yang rendah dengan sikap konsumen, dan tingkat pendapatan yang tidak memiliki hubungan terhadap sikap konsumen. Faktor eksternal berupa rancangan iklan berpengaruh terhadap sikap konsumen. Rancangan iklan yang bersifat attraction, comprehension, acceptability, dan self involvement memiliki hubungan yang erat dengan sikap konsumen baik pada tahap kognitif, afektif, dan konatif.


(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

PT. Indofood Sukses Makmur bergerak di bidang usaha industri pengolahan makanan yang hampir seluruh produknya menguasai pasar di Indonesia. Produk yang dihasilkan termasuk mie instan (Indomie, Sarimi, Supermi, Cup Noodles, Pop Mie, Intermie, Sakura). Indofood merupakan produsen mie instan terbesar dengan kapasitas produksi 13 milyar bungkus per tahun. Selain itu Indofood juga mempunyai jaringan distribusi terbesar di Indonesia.

Berdasarkan data PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. (2004-2006), perkembangan produksi mie instan di Indonesia memperlihatkan suatu peningkatan yang positif, walaupun pada tahun 2006 sempat mengalami suatu penurunan produksi. Secara kuantitas, produksi mie instan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan dengan tren yang positif. Hal ini menunjukkan suatu prospek yang cukup baik bagi industri mie instan ini pada masa yang akan datang. PT. Indofood Sukses Makmur menjadikan mutu dan kepuasan pelanggan sebagai basis bagi perencanaan yang dilakukan oleh perusahaan. Oleh karena itu keinginan dan kebutuhan konsumen harus diperhatikan oleh produsen karena kebutuhan ini akan senantiasa berubah. Perkembangan produk mie instan yang sudah dianggap sebagai makanan cepat saji dan bahkan sebagai makanan pokok, menyebabkan tingkat persaingan pada industri mie instan ini semakin tinggi.

Seiring dengan berkembangnya industri mie instan, maka berkembang pula persaingan di antara produsen mie instan. Berbagai strategi komunikasi pemasaran dilakukan oleh para produsen mie instan termasuk PT Indofood Sukses Makmur untuk memenangkan pasar. Salah satu pilihannya adalah melakukan promosi dengan beriklan di berbagai media. Salah satu media yang dianggap paling efektif untuk mengiklankan produk termasuk produk mie instan adalah televisi. Iklan melalui media televisi ini merupakan iklan yang masih dianggap menjadi pilihan utama bagi para pengiklan untuk menjangkau konsumennya.


(6)

Untuk itu, dari data yang diperoleh, belanja iklan untuk media ini sejak tahun 1970-an sampai sekarang terus meningkat. Dari hanya 28 persen dari total belanja iklan pada periode tahun 1972-1977 (Dhakidae dalam Sadariskar, 2006) menjadi 62,5 persen pada periode 1997-2003 (AC Nielsen dalam Sadariskar, 2006). Penggunaan media selain televisi menurun dari semula 72 % menjadi 38 % dari total penggunaan media. Pada penelitian ini iklan yang akan diteliti adalah iklan produk Indomie yang merupakan salah satu produk mie instan PT Indofood Sukses Makmur.

Secara sederhana iklan didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media. Iklan bertujuan untuk mencapai tiga tahap perubahan yang ditujukan bagi konsumen. Salah satu dari tahap tersebut adalah tahap perubahan sikap (interest stage) yang ditentukan oleh tiga unsur yang disebut tricomponent attitude changes. Unsur-unsur ini menunjukkan bahwa tahap perubahan sikap ditentukan oleh tiga komponen yaitu cognition (pengetahuan), affection (perasaan), dan conation (perilaku) (Schiffman dan Kanuk, 2007). Jika ketiga komponen ini menunjukkan adanya kecenderungan perubahan (cognition, affection, dan conation) maka mungkin sekali akan terjadi perubahan sikap. Pada penelitian, ini komponen yang diteliti adalah sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan di televisi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan di atas maka terdapat rumusan masalah untuk penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan di televisi? 2. Apakah faktor-faktor internal dan eksternal mempengaruhi sikap


(7)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah :

1. Mengetahui sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan di televisi. 2. Menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi sikap konsumen terhadap produk yang diiklankan di televisi.

1.4 Kegunaan Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Menjadi bahan informasi dan masukan bagi Matari Advertising sebagai biro pembuat iklan.

2. Menjadi bahan informasi bagi PT.Indofood Sukses Makmur Tbk sebagai produsen produk Indomie.


(8)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Iklan Televisi

Iklan merupakan pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang diarahkan kepada para calon pembeli yang paling potensial atas produk barang atau jasa tertentu dengan biaya yang semurah-murahnya (Jefkins, 1997).

Fungsi iklan dalam pemasaran adalah memperkuat dorongan kebutuhan dan keinginan konsumen terhadap suatu produk untuk mencapai pemenuhan kepuasannya. Agar iklan berhasil merangsang tindakan pembeli, menurut Djayakusumah dalam Pujiyanto (2003) setidaknya harus memenuhi kriteria AIDCDA yaitu: Attention : mengandung daya tarik; Interest : mengandung perhatian dan minat; Desire : memunculkan keinginan untuk mencoba atau memiliki ; Conviction : menimbulkan keyakinan terhadap produk ; Decision : menghasilkan kepuasan terhadap produk; Action : mengarah tindakan untuk membeli. Berdasarkan konsep AIDCDA, promosi periklanan harus diperlukan pengetahuan yang cukup tentang pola perilaku, kebutuhan, dan segmen pasar. Konsep tersebut diharapkan konsumen dapat melakukan pembelian berkesinambungan.

Bovee dalam Pujiyanto (2003) mendeskripsikan iklan sebagai sebuah proses komunikasi, di mana terdapat : pertama, orang yang disebut sebagai sumber munculnya ide iklan; kedua, media sebagai medium; dan ketiga, adalah audiens sebagai penerima. Terjadi proses dialektika dalam proses komunikasi tersebut, dimana individu menciptakan ide yang dikomunikasikan dan audiens member respon serta memberi masukan terhadap ide-ide baru dalam proses komunikasi tersebut. Pada proses menuangkan ide ke dalam pesan, terjadi proses encoding di mana ide itu dituangkan dalam bahasa iklan yang meyakinkan orang. Media kemudian mengambil alih ide itu dan kemudian dikonstruksi menjadi bahasa media. Pada tahap ini terjadi decoding karena audiens menangkap bahasa media itu dan membentuk pengetahuan-pengetahuan atau


(9)

realitas, dan pengetahuan itu bisa mendorongnya merespon balik kepada iklan tersebut. Respon ini ada dua macam, yaitu pemirsa merespon materi iklan atau merespon pesan media. Merespon materi iklan bisa berbentuk reaksi terhadap iklan tesebut, karena merugikan pihak-pihak tertentu. Merespon pesan media, bisa merupakan bersikap untuk membeli atau tidak membeli produk. Proses ini terjadi secara kontinyu seumur iklan tersebut, atau bahkan akan mereproduksi kembali iklan baru dan itu artinya akan lahir kembali sebuah realitas baru dalam dunia kognisi pemirsa sebagai hasil rekonstruksi (Bungin, 2008).

Secara garis besar bentuk-bentuk iklan terdiri dari beberapa jenis yang digolongkan menjadi tujuh kategori utama, yakni : (1) iklan konsumen ; (2) iklan antarbisnis; (3) iklan perdagangan ; (4) iklan eceran ; (5) iklan keuangan ; (6) iklan langsung ; dan yang terakhir, (7) iklan rekrutmen (Jefkins dalam Bungin, 2008).

Periklanan merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan bentuk komunikasi massa melalui media. Media-media tersebut antara lain : televisi, radio, surat kabar, majalah, brosur, banner, poster, dan lain-lain ( Kennedy & Soemanegara, 2006). Iklan televisi adalah salah satu dari iklan lini atas (above the line). Umumnya iklan televisi terdiri atas iklan sponsorship, iklan layanan masyarakat, iklan spot, Promo Ad, dan iklan politik. Iklan televisi berkembang dengan berbagai kategori di samping karena iklan televisi perlu kreativitas dan selalu menghasilkan produk-produk iklan baru, namun juga karena daya beli masyarakat terhadap sebuah iklan televisi yang selalu bervariasi karena tekanan ekonomi. Namun bila dibandingkan dengan media lain iklan televisi memiliki kategorisasi yang jauh berbeda karena sifat media yang juga berbeda. Kategori besar dari sebuah iklan televisi adalah berdasarkan sifat media ini, di mana iklan televisi dibangun dari kekuatan visualisasi lebih menonjol bila dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Umumnya iklan televisi menggunakan cerita-cerita pendek menyerupai karya film pendek. Karena waktu tayangan yang pendek, maka iklan televisi berupaya keras meninggalkan kesan yang mendalam kepada pemirsa dalam waktu beberapa detik (Bungin, 2008).

Beberapa kelebihan iklan televisi yang berlaku secara umum adalah : 1) Kesan realistik, karena sifatnya yang visual dan merupakan kombinasi


(10)

warna-warna, suara dan gerakan, maka iklan-iklan televisi nampak begitu hidup dan nyata, 2) Masyarakat lebih tanggap, karena iklan televisi disiarkan di rumah-rumah dalam suasana yang lebih santai atau rekreatif sehingga masyarakat lebih siap untuk memberikan perhatian, 3) Repetisi atau pengulangan, iklan televisi bisa ditayangkan hingga beberapa kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat yang memungkinkan sejumlah masyarakat untuk menyaksikannya dan dalam frekuensi yang cukup sehingga pengaruh iklan itu bangkit, 4) Adanya pemilahan area siaran (zoning) dan jaringan kerja (networking) yang mengefektifkan penjangkauan masyarakat, 5) Ideal bagi para pedagang eceran karena iklan televisi dapat menjangkau kalangan pedagang eceran sebaik ia menjangkau konsumen, 6) Terkait erat dengan media lain (Bungin, 2008).

Ogilvy dalam Bungin (2008) mengatakan bahwa tugas utama iklan televisi adalah menjual barang atau jasa bukan menghibur. Akan tetapi kata-kata ini tidak lagi dipatuhi oleh para copywriter dan visualizer iklan televisi, karena ternyata menghibur sambil menjual di televisi menjadi lebih menarik. Para copywriter iklan televisi, kendati mengetahui tidak ada hubungan antara iklan dengan ketergantungan pemirsa terhadap iklan tertentu, namun dorongan kapitalisme untuk menjadikan iklan sebagai medium pencitraan terhadap produk-produk lebih mempengaruhi jalan pikiran copywriter di saat mereka memulai pekerjaan mereka. Para copywriter lebih percaya bahwa iklan-iklan yang besar dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan lebih besar kekuatan mempengaruhi pemirsa, apalagi kalau pencitraan itu dilakukan melalui konstruksi realitas sosial, walupun realitas itu sifatnya semu. Hal ini adalah contoh dari upaya teknologi menciptakan theater of mind dalam dunia kognitif masyarakat. Umumnya copywriter dan visualizer berharap bahwa pencitraan dapat ditangkap sebagaimana yang dimaksud oleh mereka. Namun, tidak mustahil pemirsa memaknakan lain karena iklan itu memiliki sifat umum, sementara pemirsa iklan memiliki kelas sosial dan tingkatan pengetahuan berbeda-beda berdasarkan layer pemirsa, jadi sangat mungkin terjadi pemaknaan citra yang berbeda pula (Bungin,2008).

Pada kenyataannya tidak semua iklan televisi diciptakan untuk maksud pencitraan, namun karya iklan televisi dianggap sempurna kalau sampai pada tahap pencitraan ini. Karena itu produsen maupun copywriter berupaya agar iklan


(11)

mereka sampai pada pencitraan produk. Umumnya pencitraan dalam iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis obyek iklan yang diiklankan, walaupun tidak jarang pencitraan dilakukan secara ganda, artinya iklan menggunakan beberapa pencitraan terhadap satu obyek iklan.

Beberapa kategorisasi penggunaan pencitraan dalam iklan televisi, sebagai berikut : Pertama, citra perempuan yang tergambarkan sebagai citra pigura yang menekankan pada pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat, citra pilar yang digambarkan sebagai tulang punggung utama keluarga, citra pinggan yang tidak bisa melepaskan diri dari dapur, dan citra pergaulan yang ditandai dengan pergulatan perempuan untuk masuk ke kelas-kelas tertentu yang lebih tinggi di masyarakatnya. Kedua, citra maskulin dimana iklan juga mempertontonkan kejantanan, otot laki-laki, ketangkasan, keperkasaan, keberanian menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, dan lain lain. Ketiga, citra kemewahan dan eksklusif. Kemewahan dan ekslusif adalah realitas yang diidamkan oleh banyak orang dalam kehidupan masyarakat. Banyak orang bekerja keras, berjuang hidup untuk memperoleh realitas kemewahan dan eksklusif, karena itu iklan televisi mereproduksi realitas ini ke dalam realitas iklan dengan maksud memberi simbol-simbol kemewahan ke dalam obyek iklan televisi. Keempat, citra kelas sosial. Individu juga mendambakan hidup dalam kelas sosial yang lebih baik, kelas yang dihormati banyak orang. Kelima, citra kenikmatan yang merupakan bagian terbesar dari dunia kemewahan dan kelas sosial yang tinggi. Keenam, citra manfaat karena pada umumnya orang mempertimbangkan faktor manfaat sebagai hal utama dalam memutuskan perilaku pembelian, karena itu menfaat menjadi nilai dalam keputusan seseorang. Ketujuh, citra persahabatan. Citra persahabatan ditampilkan pada sebuah iklan, sebagai jalan keluar terhadap banyaknya problem rendah diri yang terjadi di kalangan remaja. Kedelapan, citra seksisme dan seksualitas yang merupakan hal yang amat menarik dibicarakan karena hal ini menjadi bagian kehidupan individu yang disembunyikan atau bahkan tabu diungkapkan, namun menjadi bagian yang dominan dalam kehidupan panggung belakang individu (Bungin, 2008).

Tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi sebuah citra, dan apa pun pencitraan yang digunakan dalam sebuah iklan, baik itu citra kelas sosial,


(12)

citra seksualitas dan sebaginya, yang penting pencitraan itu memiliki efek terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya. Dengan demikian, pencitraan iklan televisi adalah bagian terpenting dalam konstruksi iklan televisi atas realitas sosial. Ketika iklan televisi melakukan pencitraan terhadap produk tertentu maka nilai ekonomis sebuah iklan menjadi pertimbangan utama. Artinya pencitraan itu harus bermanfaat bagi produk tertentu. Sengaja atau tidak, citra dalam iklan televisi telah menjadi bagian terpenting dari sebuah iklan televisi itu. Citra ini pula adalah bagian penting yang dikonstruksi oleh iklan televisi. Namun, sejauh mana konstruksi itu berhasil, amat bergantung pada banyak faktor, terutama adalah faktor konstruksi sosial itu sendiri, yaitu bagaimana upaya seorang copywriter mengkonstruksi kesadaran individu serta membentuk pengetahuan tentang realitas baru dan membawanya ke dalam dunia hiper-realitas, sedangkan pemirsa tetap merasa bahwa realitas itu dialami dalam dunia rasionalnya (Bungin, 2008).

Sebagai bagian dari dunia komunikasi, maka iklan menggunakan bahasa sebagai alat utama untuk melakukan penggambaran tentang sebuah realitas. Demikian pentingnya bahasa sebagai alat iklan, maka di dalam iklan bahasa digunkan untuk semua kepentingan iklan. Bahasa juga dipahami sebagai wacana di mana iklan dilihat sebagai seni. Iklan merupakan seni bagaimana orang menggunakan bahasa untuk menjual. Ada dua unsur iklan : pertama, iklan itu berbisnis dan kedua, iklan itu seni. Sebagai seni, maka iklan itu sebuah karya kreativitas yang menjadi cerminan suatu masyarakat di mana iklan itu berada dan itu sangat bermanfaat bagi nuansa pengembangan seni masyarakat dan bagus bagi kesetaraan gender. Jadi, bahasa dapat digunakan dengan dua tujuan, pertama, sebagai media komunikasi dan kedua, bahasa digunakan untuk menciptakan sebuah realitas. Sebagai media komunikasi, maka iklan bersifat informatif sedangkan sebagai wacana penciptaan realitas, maka iklan adalah sebuah seni di mana orang menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia yang diinginkannya (Bungin, 2008).

2.1.2 Sikap Konsumen

Dalam konteks perilaku konsumen, sikap adalah kecenderungan yang dipelajari dalam berprilaku dengan cara yang menyenangkan atau tidak


(13)

menyenangkan terhadap suatu obyek tertentu. Kata obyek disini meliputi konsep yang berhubungan dengan konsumsi atau pemasaran khusus, seperti produk, golongan produk, merk, jasa, kepemilikan, penggunaan produk, sebab-sebab atau isu, orang, iklan, situs internet, harga, medium, atau pedagang ritel. Karateristik sikap antara lain adalah : 1) sikap konsumen harus terkait dengan obyek, 2) Sikap relatif konsisten dengan perilaku yang dicerminkannya, 3) Sikap terjadi dalam dan dipengaruhi oleh situasi tertentu (Schiffman & Kanuk, 2007).

Sikap memiliki beberapa model struktur diantaranya adalah : model sikap tiga komponen, model sikap multi sifat, model mencoba mengkonsumsi, dan model sikap terhadap iklan. Model sikap tiga komponen menyatakan sikap terdiri dari tiga komponen utama yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen pertama dari model sikap tiga komponen terdiri dari kognisi seseorang yaitu pengetahuan dan persepsi yang diperoleh berdasarkan kombinasi pengalaman langsung dengan obyek sikap dan informasi yang berkaitan dari berbagai sumber. Pengetahuan dan persepsi yang ditimbulkannya biasanya mengambil bentuk kepercayaan, yaitu, kepercayaan konsumen bahwa obyek sikap mempunyai berbagai sifat dan bahwa perilaku tertentu akan menimbulkan hasil-hasil tertentu. Komponen kedua yaitu emosi atau perasaan mengenai produk atau merk tertentu merupakan komponen afektif dari sikap tertentu. Emosi atau perasaan ini mencakup penilaian terhadap obyek sikap secara langsung dan menyeluruh (menyenangkan atau tidak menyenangkan, bagus atau jelek). Konasi, komponen terakhir dari model sikap tiga komponen berhubungan dengan kemungkinan atau kecenderungan bahwa individu akan melakukan tindakan khusus atau berperilaku dengan cara tertentu terhadap obyek sikap tertentu (Schiffman & Kanuk, 2007).

Model sikap multi sifat menggabarkan sikap konsumen terhadap obyek sikap (seperti produk, jasa, katalog direct mail, atau sebab isu tertentu) sebagai fungsi persepsi dan penilaian konsumen terhadap sifat-sifat atau keyakinan pokok yang dipegang mengenai obyek sikap tertentu. Model sikap terhadap obyek menyatakan bahwa sikap konsumen terhadap produk atau merk produk tertentu merupakan fungsi dari adanya (atau tidak adanya) dan penilaian terhadap keyakinan atau sifat-sifat produk tertentu. Konsumen biasanya mempunyai sikap


(14)

yang menyenangkan terhadap merk-merk yang dipercaya mempunyai tingkat sifat-sifat yang memadai dan mereka nilai positif, dan mempunyai sikap yang tidak menyenangkan terhadap merk-merk yang dirasa tidak mempunyai tingkat yang memadai mengenai sifat-sifat yang diingini atau mempunyai terlalu banyak sifat-sifat negatif atau tidak diinginkan. Model sikap terhadap perilaku merupakan sikap individu dalam berperilaku atau bertindak terhadap obyek tertentu, dan bukannya sikap terhadap obyek itu sendiri (Schiffman & Kanuk, 2007).

Model sikap terhadap iklan menggambarkan konsumen membentuk berbagai perasaan (pengaruh) dan pertimbangan (kognisi) sebagai akibat keterbukaan terhadap iklan. Perasaan dan pertimbangan ini pada gilirannya mempengaruhi sikap konsumen terhadap iklan dan keyakinan terhadap merk yang diperoleh dari keterbukaan terhadap iklan. Akhirnya sikap konsumen terhadap iklan, dan keyakinan pada merk mempengaruhi sikapnya terhadap merk (Schiffman & Kanuk, 2007).

Bagaimana berbagai sikap konsumen dibentuk dan bagaimana mereka diubah merupakan dua isu yang berkaitan erat yang memperoleh perhatian besar para praktisi pemasaran. Pembentukan sikap dipermudah oleh pengalaman pribadi langsung dan dipengaruhi oleh berbagai gagasan dan pengalaman teman-teman dan anggota keluarga dan keterbukaan terhadap media massa. Kepribadian individu memainkan peran utama dalam pembentukan sikap. Faktor-faktor yang sama ini juga mempunyai pengaruh terhadap perubahan sikap, yaitu perubahan sikap itu dipelajari. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai pengalaman pribadi dan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber perorangan dan umum. Kepribadian konsumen sendiri mempengaruhi penerimaan maupun kecepatan perubahan sikap (Schiffman & Kanuk, 2007).

Strategi perubahan sikap dapat digolongkan ke dalam enam kategori yang berbeda : 1) mengubah motivasi dasar, 2) digolongkan, 3) menghubungkan obyek sikap dengan sikap yang berlawanan, 4) mengubah komponen model multi-sifat , 5) mengubah keyakinan mengenai merk para pesaing, 6) model perluasan kemungkinan. Setiap strategi ini memberikan jalan alternatif kepada para pemasar untuk mengubah sikap konsumen yang ada (Schiffman & Kanuk, 2007).


(15)

Kebanyakan pembahasan mengenai pembentukan sikap dan pengubahan sikap menekankan pandangan tradisional bahwa para konsumen mengembangkan sikap sebelum mereka bertindak. Mungkin tidak selalu ataupun biasa terjadi. Baik teori ketidakcocokan kognitif maupun teori pertalian memberikan penjelasan alternatif mengenai pembentukan dan pengubahan sikap yang mengemukakan bahwa perilaku mungkin mendahului sikap. Teori ketidakcocokan kognitif mengemukakan bahwa pemikiran yang bertentangan, atau informasi yang tidak cocok, yang mengikuti keputusan pembelian dapat mendorong para konsumen untuk mengubah sikap mereka untuk membuatnya sesuai dengan tindakan mereka. Teori pertalian memfokuskan pada bagaimana orang menentukan hubungan sebab akibat terhadap berbagai peristiwa dan bagaimana mereka membentuk atau mengubah sikap sebagai hasil dalam menilai perilaku mereka sendiri, atau perilaku orang-orang atau benda-benda lain (Schiffman & Kanuk, 2007).

2.1.3 Pengaruh Iklan Terhadap Sikap Konsumen

Pengaruh atau dampak menurut Moriarty (1991) mengacu pada kemampuan iklan dalam mengontrol proses persepsi pemirsa untuk mengatasi ketidakacuhan khalayak, merebut perhatian, memelihara minat dan menanamkan produk dengan kuat dalam ingatan. Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi dampak adalah perhatian, pengertian dan penerimaan audiens terhadap pesan-pesan yang disampaikan melelui media ( Rakhmat, 1997). Berkaitan dengan dampak pesan melalui media massa terhadap khalayak, Anderson dalam Rakhmat (1997) menyebutkan ada tiga jenis dampak, yaitu perubahan kognitif, perubahan afektif dan perubahan konatif.

Untuk mengetahui bagaimana suatu usaha promosi dapat mempengaruhi proses respons penerima, para ahli periklanan mengembangkan berbagai model proses respons yang salah satunya dikenal sebagai The Hierarchy of Effect. Hirarki efek adalah model proses respons yang dikembangkan oleh Lavridge dan Steiner dalam Sudiana (1986), dimana model ini mengetengahkan enam tahapan sebagai berikut :


(16)

Cognitive : Awareness Knowledge Affective : Liking Preference Conative : Conviction Purchase

Model ini merupakan alur peringkat pengaruh kesadaran ( hierarchy-of-effect models) yang terbentuk dengan beberapa tahapan yakni kesadaran, pengetahuan, menyukai, kegandrungan, keyakinan, dan pembelian. Tahap pertama mencakup tingkat-tingkat pengetahuan dan kesadaran yang dapat di bandingkan dengan komponen pengetahuan akan kognitif sikap. Komponen afektif dari suatu sikap, aspek suka-tidak suka, terwakili oleh peringkat menyukai atau kegandrungan. Komponen sikap mengingatkan adalah komponen konatif, sedangkan unsur motivasi atau tindakan diwakili oleh peringkat keyakinan dan pembelian, yang merupakan dua tingkat terakhir dalam model tersebut (Sudiana, 1986).

Berkaitan dengan tahapan dampak komunikasi seperti yang telah dipaparkan di atas, menurut Sendjaja (1999) kenyataannya ketiga tahap dampak komunikasi, tidak selalu berjalan secara berurutan dari tahap kognitif, ke tahap afektif kemudian ke tahap konatif. Tahap tersebut dapat terjadi secara tidak berurutan. Proses yang berjalan secara berurutan dari kognitif ke afektif dan ke konatif disebut sebagai model belajar (learning process). Proses yang terjadi secara terbalik dimulai dari konatif, afektif, dan kognitif disebut sebagai proses yang mengikuti model atribusi disonansi (dissonance-atribution). Proses yang berjalan secara meloncat-loncat tidak beraturan disebut sebagai ketidakkonsistenan (inconsistency).

Pesan iklan yang tereksposure ke dalam benak seseorang akan menimbulkan efek kognitif yang kemudian dapat berkembang menjadi comprehension dan selanjutnya bisa membentuk sikap serta tindakan. Efektivitas berlangsungnya proses tersebut turut ditentukan oleh faktor internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain : kredibilitas sumber,


(17)

media yang digunakan, faktor pendidikan dan pengalaman, budaya, kondisi ekonomi, gender, lingkungan termasuk peer group, dan lain lain (Zuraida & Chasanah,2006).

Iklan efektif mempengaruhi niat beli dan pembelian melalui sikap terhadap iklan dan sikap terhadap merek. Sikap terhadap produk dibentuk oleh sikap terhadap iklan bukan oleh pengetahuan dan kepercayaan. Rancangan iklan yang meliputi attraction, comprehension, acceptability, dan self-involvement mempengaruhi sikap konsumen (Zuraida & Chasanah, 2006). Dalam proses komunikasi, sebuah pesan efektif dalam mempersuasi khalayak bila pesan tersebut mencakup unsur-unsur daya tarik (attraction), keterlibatan diri (self -involvement), penerimaan (acceptability) dan pemahaman (comprehension) dari khalayak sasaran dalam perancangan dan penuangan kedalam media. Attraction adalah daya tarik, perhatian, dan kenikmatan pesan yang menstimulasi audiens. Comprehension adalah tingkat dimana pesan tersebut dapat dibaca, didengarkan, diperhatikan, dan dipahami sesuai dengan yang dirasakan audiens. Acceptability terdiri dari kredibilitas serta kepercayaan terhadap pesan. Self-involvement merupakan tingkat dimana audiens dapat menemukan pesan tersebut melibatkan mereka secara personal dimana pesan tersebut ditujukan kepada mereka dan meningkatkan partisipasi mereka (Bertrand dalam Sitopu, 2009).

Frekuensi menonton televisi juga turut berpengaruh terhadap tingkat afeksi karena semakin banyak frekuensi menonton televisi maka semakin banyak pula frekuensi menonton iklan televisi. Semua hal tersebut membuktikan bahwa iklan memiliki pengaruh kuat pada sikap konsumen, sehingga pemasang iklan harus memiliki pemanfaatan media dan metode penjadwalan yang baik karena sikap konsumen mempunyai pengaruh signifikan terhadap niat beli (Zuraida & Chasanah, 2006).


(18)

2.2 Kerangka Pemikiran

Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi sikap konsumen terhadap iklan, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa ancangan iklan yang memiliki attraction, comprehension, acceptability, dan self-involvement. Faktor internal berupa frekuensi menonton televisi, tingkat pengalaman konsumen terhadap produk tersebut, dan tingkat pendapatan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi sikap konsumen pada tahap kognitif, afektif, dan konatif. Kerangka pemikiran tersebut tertera pada gambar 1.

Faktor Eksternal (Rancangan Iklan Televisi) :

Attraction Comprehension Acceptability Self-Involvement

Sikap Konsumen :  Kognitif  Afektif  Konatif

Faktor Internal (karateristik konsumen):

 Frekuensi Menonton

Televisi

 Tingkat pengalaman

 Tingkat pendapatan

Keterangan : mempengaruhi


(19)

2.3 Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran, maka hipotesis umum yang diuji kebenarannya yaitu bahwa :

1. Diduga terdapat hubungan yang erat antara karateristik konsumen dengan sikap konsumen.

2. Diduga terdapat hubungan yang erat antara rancangan iklan dengan sikap konsumen.

Hipotesis uji berdasarkan hipotesis umum tersebut adalah:

1. Diduga terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan kognitif

2. Diduga terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan afektif.

3. Diduga terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan konatif.

4. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan kognitif 5. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan afektif. 6. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan konatif. 7. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan kognitif 8. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan afektif 9. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan konatif. 10. Diduga terdapat hubungan yang erat antara attraction dengan kognitif

11. Diduga terdapat hubungan yang erat antara attraction dengan afektif. 12. Diduga terdapat hubungan yang erat antara attraction dengan konatif. 13. Diduga terdapat hubungan yang erat antara comprehension dengan kognitif 14. Diduga terdapat hubungan yang erat antara comprehension dengan afektif. 15. Diduga terdapat hubungan yang erat antara comprehension dengan konatif. 16. Diduga terdapat hubungan yang erat antara acceptability dengan kognitif 17. Diduga terdapat hubungan yang erat antara acceptability dengan afektif. 18. Diduga terdapat hubungan yang erat antara acceptability dengan konatif.


(20)

19. Diduga terdapat hubungan yang erat antara self-involvement dengan kognitif 20. Diduga terdapat hubungan yang erat antara self-involvement dengan afektif. 21. Diduga terdapat hubungan yang erat antara self-involvement dengan konatif.

2.4 Definisi Operasional a. Attraction:

Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk menarik konsumen, dinyatakan dalam : kisaran skor : 8-20 : rendah

21-32 : tinggi b. Comprehension :

Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk dapat dipahami konsumen, dinyatakan dalam : kisaran skor : 8-20 : rendah

21-32 : tinggi c. Acceptability :

Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk dapat diterima konsumen, dinyatakan dalam : kisaran skor : 8-20 : rendah

21-32 : tinggi d. Self-involvement :

Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk melibatkan konsumen, dinyatakan dalam ditujukan : kisaran skor : 8-20 : rendah

21-32 : tinggi e. Frekuensi menonton televisi :

Frekuensi waktu menonton televisi per hari, dinyatakan dalam: a. Kurang dari 1 jam per hari, b. 1-3 jam per hari, c. Lebih dari 3 jam per hari

f. Tingkat pengalaman :

Tingkat pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi produk tersebut, dinyatakan dalam :


(21)

g. Tingkat pendapatan :

Tingkat pendapatan berdasarkan uang saku perbulan yang diperoleh dari orang tua, beasiswa, penghasilan lainnya, dinyatakan dalam :

a. <500 rb perbulan, b. 500 rb-1 juta perbulan, c. >1 juta perbulan h. Kognitif :

Pengetahuan dan kesadaran konsumen terhadap produk, dinyatakan dalam kisaran skor : 8-20 : rendah

21-32 : tinggi i. Afektif :

Pernyataan emosi atau perasaan konsumen terhadap produk, dinyatakan dalam kisaran skor : 9-22.5 : rendah

22.6-36 : tinggi j. Konatif :

Kecenderungan konsumen untuk berprilaku terhadap produk, dinyatakan dalam kisaran skor : 7-17.5 : rendah


(22)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode pada penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data primernya, dengan unit analisa individu (Singarimbun dan Effendi, 1995).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di kampus IPB Darmaga. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa :

1. Kampus Darmaga merupakan tempat mahasiswa menuntut ilmu, sehingga memudahkan peneliti untuk menemui responden.

2. Mahasiswa merupakan salah satu target konsumen dari produk yang diiklankan.

3. Lokasi Penelitian dapat menerima siaran televisi.

4. Secara geografis lokasi penelitian mudah dijangkau oleh peneliti. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2009.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data primer. Penggunaan kuesioner ditujukan untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian. Unit analisa yang digunakan dalam penelitian ini yaitu individu.

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa IPB khususnya mahasiswa Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang berada di kampus Dramaga. Kerangka sampel yang digunakan adalah mahasiswa Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang pernah menonton iklan produk Indomie versi ‘Satu Selera’. Teknik penentuan sampel menggunakan simple random sampling dimana responden yang digunakan merupakan bagian dari


(23)

kerangka sampel dan dipilih secara acak. Sampel yang digunakan berjumlah 30 responden. Pemilihan sampel dilakukan dengan melakukan pengundian terhadap kerangka sampel.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapangan dari hasil kuesioner dengan responden dan wawancara dengan Matari Advertising. Data sekunder didapatkan dari dokumen serta literatur dengan instansi terkait yaitu PT Indofood Sukses Makmur dan Matari Advertising.

3.4 Teknik Analisis Data

Data primer yang telah dikumpulkan terlebih dahulu ditabulasikan kemudian dianalisis dan dipresentasikan untuk dapat melihat fakta. Pengolahan data kuantitatif dilakukan menggunakan software SPSS 16.0 for windows. Analisis data menggunakan Microsoft Excel untuk mengukur sikap konsumen. Variabel karateristik konsumen terhadap sikap konsumen dan variabel rancangan iklan terhadap sikap konsumen diuji dengan menggunakan korelasi Rank Spearman yang berfungsi untuk menentukan besarnya hubungan dua variabel yang berskala ordinal (Sarwono, 2006).

Adapun rumus koefisien korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut: ρ atau rs = 1 – 6 ∑di2

n (n2– 1) Keterangan :

ρ atau rs = Koefisien korelasi spearman rank di = determinan

n = Jumlah data/sampel

Koefisien korelasi Rank Spearman (rxy) menunjukkan kuat tidaknya antara indikator x terhadap variabel X dengan indikator y terhadap variabel Y maupun variabel X terhadap variabel Y sehingga digunakan batasan koefisien korelasi untuk mengkategorikan nilai r. Kriteria pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1.


(24)

Tabel 1. Kriteria Pengukuran Koefisien Korelasi

Kisaran Kriteria

0 - 0,249 menunjukkan tidak adanya hubungan atau lemah sekali 0,250 - 0,499 menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah 0,500 - 0,749 menunjukkan hubunganyang erat atau tinggi

0,750 – 1 menunjukan hubungan yang sangat erat atau sangat kuat sekali dan dapat diandalkan


(25)

BAB IV

GAMBARAN UMUM PRODUK

4.1 Produk Indomie

Indomie adalah merek mi instan terpopuler di Indonesia, diproduksi oleh PT. Indofood Sukses Makmur. Selain di Indonesia, Indomie juga dijual di luar negeri, antara lain Amerika Serikat, Australia, Asia, Afrika dan negara-negara Eropa. Di Indonesia, sebutan "Indomie" juga umum dijadikan istilah generik yang merujuk kepada mi instan. Mie ini murah meriah dan cocok dengan selera Indonesia, sampai tidak jarang orang membawa Indomie ke luar negeri bila makanan di luar tidak cocok. Saat terjadi bencana alam, orang Indonesia sering sekali menyumbang mi instan seperti Indomie, tentu saja beserta barang-barang kebutuhan lainnya (id.wikipedia.org/wiki/Indomie). Berbagai macam jenis atau rasa dari produk Indomie (www.indomie.com) antara lain adalah :

1. Indomie Regular-goreng

Produk terpopuler dari brand Indomie, Indomie Goreng pertama diluncurkan pada tahun 1982 dan telah merambah banyak negara termasuk Amerika Serikat, Australia, Inggris, Timur Tengah dan China. Pilihan rasa dari produk ini antara lain : Indomie Goreng Special, Indomie Goreng Spesial Plus, Indomie Goreng Kriuk Pedas, Indomie Goreng Kriuk Bawang, Indomie Goreng Kriuk Ayam, Indomie Goreng Pedas, Indomie Goreng Rasa Ayam, dan Indomie Goreng Sate. Contoh dari produk tersebut ditunjukkan pada gambar 2.

Gambar 2. Indomie regular-goreng

2. Indomie Regular-soup

Pilihan rasa dari produk ini antara lain : Indomie Soto Mie, Indomie Ayam Bawang, Indomie Rasa Kaldu Ayam, Indomie New Kari Ayam, Indomie Kari Ayam, Indomie Rasa Ayam Spesial, Indomie Rasa Soto Spesial, Indomie Rasa


(26)

Kaldu Udang, Indomie Rasa Baso Sapi, dan Indomie Rasa Sop Ayam. Contoh dari produk tersebut ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Indomie regular-soup

3. Indomie Rasa Nusantara

Sebagai mie instan asli Indonesia, Indomie pun hadir dalam beraneka rasa khas dari seluruh pelosok nusantara. Pilihan rasa tersebut antara lain : Ikan Cakalang, Soto Medan, Soto Banjar, Mi Kocok Bandung, Empal Gentong, Soto Banjar Limo Kuit, Coto Makassar, Mie Celor, Soto Betawi, Sop Buntut, dan Kari Medan. Contoh produk tersebut ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Indomie Rasa Nusantara

4. Indomie Premium

Indomie Premium ditujukan bagi konsumen yang menginginkan sesuatu yang lebih dari sebuah mie instan. Produk ini merupakan jenis mie keriting yang terbuat dari terigu kualitas nomor satu disertai extra topping dengan pilihan rasa mie keriting goreng spesial, mie keriting ayam panggang, mie ayam, dan mie keriting ayam. Contoh produk tersebut ditunjukkan pada gambar 5.


(27)

5. Indomie Jumbo.

Produk ini memiliki porsi besar dan ditujukan kepada konsumen yang tidak cukup memakan satu bungkus mie. Contoh produk tersebut ditunjukkan pada gambar 6.

Gambar 6. Indomie Jumbo

Sampai saat ini Indomie masih memegang 60 % dari total pasar mie instan berdasarkan riset riset yang dilakukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Indomie merupakan brand leader dari produk mie instan di Indonesia. Hal ini juga ditambah dengan berbagai penghargaan yang diperoleh (www.indomie.com) diantaranya adalah :

1. Indonesia Costumer Satisfaction Award (2001-2007) untuk kategori mie instan. 2. Indonesia Best Brand Award (2003-2008) untuk kategori mie instan.

3. Superbrand (2005) untuk kategori best local brand dan Superbrand (2005- 2006) untuk kategori mie instan.

4. Anugerah Produk Asli Indonesia (2007).

4.2 Iklan Indomie Versi ‘Satu Selera’ 4.2.1 Konsep Iklan

Iklan Indomie versi ‘Satu Selera’ merupakan iklan indomie yang ditayangkan di televisi pada tahun 2008. Iklan ini bertemakan keanekaragaman budaya Indonesia. Tema tersebut dapat terlihat dari tampilan representasi budaya-budaya di Indonesia berupa penggunaan bahasa daerah pada jingle iklan tersebut dan penggunaan landmark dari beberapa propinsi di Indonesia seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Bali, Papua, maupun DKI Jakarta. Maksud pesan dari iklan tersebut adalah bahwa orang Indonesia walaupun berbeda budaya, bahasa, dan lain-lain tetaplah satu, dimana diantaranya adalah


(28)

satu selera dalam memilih mie instan yaitu Indomie. Pembuatan tema iklan ini juga bertepatan dengan peringatan 100 tahun kebangkitan nasional, sehingga hal ini merupakan momen yang tepat untuk mengajak masyarakat menjunjung nilai-nilai persatuan diatas semua perbedaan yang ada.

Tujuan komunikasi iklan adalah untuk mendekatkan produk Indomie kepada konsumen. Indomie merupakan brand leader dari produk mie instan di Indonesia, maka iklan tersebut merupakan iklan pengingat yang berfungsi untuk maintenance dari pemasaran produk tersebut agat tidak kehilangan pasarnya. Target audiens yang diharapkan dari penayangan iklan tersebut adalah sesuai dengan target pasar Indomie yaitu seluruh masyarakat Indonesia dari seluruh lapisan masyarakat, segala usia, jenis kelamin, pekerjaan, maupun lokasi geografis masayarakat.

Matari Advertising selaku biro pembuat iklan bekerjasama dengan CHAMP Production House. Iklan ini menggunakan jingleoriginal Indomie yang diarransemen ulang oleh Erwin Gutawa dan liriknya diganti menggunakan representasi beberapa bahasa daerah. Penggunaan model-model yang merupakan anak muda dimaksudkan untuk membawa spirit pemuda yang aktif dan penuh semangat. Selain itu juga agar Indomie tidak kehilangan pasar dari generasi muda. Salah satu scene pada iklan tersebut dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. SceneIklan Indomie ‘Satu Selera’

4.2.2 Penayangan

Iklan indomie versi ‘Satu Selera’ ditayangkan di semua stasiun televisi nasional maupun lokal di Indonesia, diantaranya : RCTI, SCTV, Trans TV, Trans 7, Indosiar, ANTV, TV One, TPI, dan lain-lain. Jumlah penayangan iklan ini rata-rata 5 kali tayang per hari selama tahun 2008 dengan durasi 60 detik. Untuk penentuan waktu penayangan dan durasi bisa berubah-ubah sesuai dengan


(29)

negosiasi lebih lanjut. Iklan tersebut bisa saja ditayangkan pada saat prime time ataupun waktu-waktu tertentu. Durasi iklan tersebut pada akhirya pun berkurang menjadi 30 detik sampai 15 detik per tayang.

Sampai dengan saat ini media iklan televisi merupakan media yang paling banyak digunakan oleh Indomie dibandingkan dengan media lainnya seperti media cetak atau media-media below the line seperti billboard. Contoh iklan Indomie ‘Satu Selera’ versi billboard dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Iklan Indomie ‘Satu Selera’ versi billboard

Media televisi merupakan media yang paling efektif dalam memasarkan produk mie instan dikarenakan konsumen mie instan dapat terpengaruh secara besar oleh iklan televisi. Hanya dengan melihat tayangan iklan di televisi, konsumen dapat tertarik untuk membeli produk mie instan yang diiklankan tersebut.


(30)

BAB V

SIKAP KONSUMEN

5.1 Sikap Konsumen Terhadap Produk

Tiga puluh responden telah mengisi kuesioner yang berisikan pertanyaan mengenai sikap mereka terhadap produk. Sikap yang dimaksud adalah kognitif (pengetahuan), afektif (emosi atau perasaan), dan konatif (kecenderungan untuk berprilaku). Berdasarkan pengolahan data menggunakan Microsoft Excel, diperoleh data bahwa responden memiliki sikap kognitif, afektif, dan konatif yang tinggi terhadap produk. Data tersebut tersaji pada tabel 2.

Tabel 2. Sikap Konsumen Terhadap Produk Sikap Kisaran

Skor

Kategori Jumlah (orang) Persentase (%)

Kognitif 8-20 Rendah 0 0

21-32 Tinggi 30 100

Afektif 9-22,5 Rendah 2 6.7

22,6-36 Tinggi 28 93.3

Konatif 7-17,5 Rendah 5 16.7

17,6-28 Tinggi 25 83.3

5.1.1 Kognitif

Tiga puluh responden yang telah mengisi kuesioner, semua responden atau 100 % dari total responden menunjukkan sikap kognitif yang tinggi terhadap produk (Tabel 2). Hasil tersebut menunjukkan bahwa seluruh responden (100 %) memiliki kognitif yang tinggi mengenai produk. Kognitif yang merupakan pengetahuan dan persepsi yang diperoleh berdasarkan kombinasi pengalaman langsung dengan obyek sikap dan informasi yang berkaitan dari berbagai sumber. Pengetahuan mengenai produk Indomie didapatkan dari pengalaman mereka


(31)

terhadap produk dan informasi yang berkaitan dari berbagai sumber terutama dari iklan televisi.

Seluruh responden yang memiliki pengetahuan tinggi terhadap produk tersebut, dibagi ke dalam dua kategori yaitu tinggi dan sangat tinggi. Responden yang termasuk kategori tinggi berjumlah 10 orang (33,3 %) dimana responden ini berada dalam kisaran skor 21-26,5. Responden tersebut mengetahui akan keberadaan produk Indomie. Pengetahuan mengenai produk Indomie yang dimiliki oleh responden-responden tersebut diantaranya adalah mengenai berbagai varian rasa dari produk Indomie. Berbagai varian rasa tersebut antara lain rasa ayam bawang, soto mie, mie goreng, dan lain lain. Selain varian rasa, responden-responden tersebut juga mengetahui zat-zat yang terkandung dalam Indomie dimana terdapat zat-zat seperti vitamin A, B1, B6, B12, Niasin, Asam Folat, Mineral, Zat Besi, dan lain-lain. Responden mengetahui tagline Indomie adalah ‘indomie seleraku’. Responden juga mengetahui bahwa Indomie merupakan brand leader dari produk mie instan di Indonesia. Indomie merupakan merek mie instan paling favorit di Indonesia sehingga Indomie umum dijadikan istilah generik untuk merujuk kepada mie instan. Akan tetapi responden-responden tersebut kurang mengetahui bahwa Indomie juga dijual ke luar negeri.

Responden lainnya yang berjumlah 20 orang (66,7%) termasuk dalam kategori sangat tinggi dimana mereka berada dalam kisaran skor 26,5 -32. Responden tersebut termasuk dalam kategori tingkat pengetahuan yang sama dengan responden yang berada dalam kategori tinggi ditambah dengan mereka mengetahui bahwa produk Indomie juga dijual ke luar negeri.

5.1.2 Afektif

Tiga puluh responden yang telah mengisi kuesioner, 28 responden menunjukkan sikap afektif yang tinggi terhadap produk (tabel 2). Afektif merupakan emosi atau perasaan mengenai produk atau merek. Emosi atau perasaan ini mencakup penilaian terhadap obyek sikap secara langsung dan menyeluruh. Emosi atau perasaan yang dimaksud adalah suka atau tidaknya konsumen terhadap produk. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden (93,3 %) menyukai produk.


(32)

Sebagian besar responden tersebut menyukai produk Indomie karena mereka juga menyukai iklan Indomie versi ‘Satu Selera’. Responden juga menyukai produk Indomie di antaranya adalah karena rasa yang enak. Rasa yang enak tersebut membuat mereka lebih memilih Indomie daripada merek mie instan lainnya. Kemasan yang menarik dan varian rasa yang beragam juga membuat mereka menyukai Indomie. Selain itu, harga yang terjangkau, produk Indomie yang mudah didapatkan dimana-mana juga membuat responden menyukai Indomie. Responden-responden tersebut juga menyatakan bahwa Indomie lebih baik dari produk Indomie lainnya.

Dua responden lainnya yang tidak menyukai produk dikarenakan mereka tidak menyukai iklan indomie versi ‘Satu Selera’, rasanya tidak enak, kemasan tidak menarik, variasi rasa tidak membuat mereka tertarik, harganya tidak terjangkau, tidak mudah untuk mendapatkan produk, dan Indomie tidak lebih baik daripada produk mie instan lainnya.

5.1.3 Konatif

Tiga puluh responden yang telah mengisi kuesioner, 25 responden atau 83,3 % dari total responden menunjukkan sikap konatif yang tinggi terhadap produk (Tabel 2). Konatif merupakan kecenderungan bahwa individu akan melakukan tindakan khusus atau berperilaku dengan cara tertentu terhadap obyek sikap tertentu. Dalam hal ini, kecenderungan untuk membeli produk. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden (83,3 %) ingin membeli produk Indomie.

Sebagian besar responden tersebut ingin membeli produk Indomie karena mereka juga menyukai iklan Indomie versi ‘Satu Selera’. Responden juga ingin membeli produk Indomie di antaranya adalah karena rasa yang enak. Rasa yang enak tersebut membuat mereka lebih memilih untuk mengkonsumsi Indomie daripada merek mie instan lainnya. Kemasan yang menarik dan varian rasa yang beragam juga membuat mereka tertarik untuk membeli Indomie. Selain itu, harga yang terjangkau, produk Indomie yang mudah didapatkan dimana-mana juga membuat mereka lebih mudah untuk membeli dan mengkonsumsi Indomie


(33)

Lima responden lainnya yang tidak ingin membeli produk dikarenakan indikator-indikator seperti rasa, varian, harga, kemudahan untuk memperoleh produk, kemasan dan iklan tidak membuat mereka ingin membeli produk Indomie. Responden-responden tersebut memang tidak menyukai rasa produk Indomie, selain itu harga, kemasan, kemudahan untuk memperoleh produk, serta iklan tidak membuat mereka tertarik untuk membeli.


(34)

BAB VI

FAKTOR-FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI SIKAP KONSUMEN

6.1 Karateristik Konsumen

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki frekuensi menonton televisi 1-3 jam per hari. Data juga menunjukkan bahwa setiap tingkatan frekuensi menonton televisi, responden memiliki sikap kognitif, afektif, konatif yang tinggi terhadap produk. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya frekuensi menonton televisi tidak akan menyebabkan semakin tingginya sikap konsumen terhadap produk.

Hasil pengolahan data juga menunjukkan terdapat 1 orang responden yang sama sekali belum pernah mencoba produk dikarenakan responden tersebut lebih menyukai produk mie instan lainnya. Responden tersebut memiliki sikap kognitif atau pengetahuan yang tinggi terhadap produk dan memiliki sikap afektif dan konatif terhadap produk. Selain itu, terdapat pula beberapa responden yang telah mencoba produk lebih dari 2 kali tetapi memiliki sikap afektif dan konatif yang rendah terhadap produk dikarenakan di saat itu tidak ada mie instan yang ia sukai atau ingin beli untuk dikonsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya tingkat pengalaman tidak akan menyebabkan semakin tingginya sikap konsumen terhadap produk.

Sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan Rp 500.000,00-Rp 1.000.000,00. Data juga menunjukkan bahwa setiap tingkatan frekuensi menonton televisi, responden memiliki sikap kognitif, afektif, konatif yang tinggi terhadap produk. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya tingkat pendapatan tidak akan menyebabkan semakin tingginya sikap konsumen terhadap produk. Data-data mengenai karateristik konsumen tersebut tersaji pada tabel 3.


(35)

Tabel 3. Karateristik Konsumen Karateristik

Konsumen

Tingkat Jumlah (orang)

Persentase (%)

Kognitif Afektif Konatif

Frekuensi Menonton Televisi

< 1 jam per hari

5 16.67 % tinggi tinggi tinggi

1 – 3 jam per hari

16 53.3 % tinggi tinggi tinggi

> 3 jam per hari

9 30 % tinggi tinggi tinggi

Tingkat Pengalaman

Tidak Pernah

1 3 % tinggi rendah rendah

1 kali 0 0 0 0 0

>2 kali 29 97 % tinggi tinggi tinggi

Tingkat Pendapatan

< Rp 500.000,00

4 13.3 % tinggi tinggi tinggi

Rp 500.000,00-

Rp 1.000.000,0

0

21 70 % tinggi tinggi tinggi

> Rp 1.000.000,0

0


(36)

6.1.1 Frekuensi Menonton Televisi

Berdasarkan hasil pengolahan data, responden yang memiliki frekuensi menonton televisi kurang dari 1 jam per hari berjumlah 5 orang atau 16.7 % dari total responden. Responden memiliki waktu yang sedikit untuk menonton televisi karena kesibukan kuliah dan kegiatan-kegiatan lainnya yang menyebabkan mereka jarang menonton televisi. Responden yang memiliki frekuensi menonton televisi lebih dari 3 jam per hari berjumlah 9 orang atau 30 % dari total reponden. Responden ini memiliki waktu menonton televisi yang banyak karena jadwal kuliah yang tidak padat serta tidak mengikuti banyak kegiatan baik di kampus maupun luar kampus.

Sebagian besar responden memiliki frekuensi menonton televisi per hari antara 1 sampai dengan 3 jam berjumlah 16 orang atau 53.3 % dari total responden. Responden ini memiliki waktu yang seimbang antara menonton televisi dengan kuliah dan kegiatan-kegiatan lainnya.

6.1.1.1 Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Kognitif

Berdasarkan hasil uji antara frekuensi menonton televisi dengan sikap kognitif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.308 (tabel 4). Nilai Koefisien korelasi ini menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah. Hal tersebut juga ditunjukkan pada tabel 3 dimana responden yang memiliki frekuensi menonton televisi paling rendah memiliki kognitif yang tinggi, sama dengan responden yang memiliki frekuensi menonton televisi lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan kognitif.

Frekuensi menonton televisi tidak memiliki pengaruh yang kuat atau langsung terhadap sikap kognitif atau pengetahuan konsumen terhadap produk. Semakin tinggi frekuensi menonton televisi konsumen tidak membuat pengetahuan konsumen akan produk Indomie semakin tinggi. Hal tersebut disebabkan oleh pengetahuan mengenai produk Indomie tidak hanya didapat dengan seringnya menonton televisi. Beberapa responden yang memiliki


(37)

frekuensi menonton televisi tinggi akan tetapi jarang melihat iklan tersebut karena menonton televisi ketika waktu yang bukan jam penayangan iklan tersebut. Selain itu terdapat pula beberapa responden yang memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai produk dengan hanya sekali melihat iklan tersebut. Responden tersebut memiliki frekuensi menonton televisi yang rendah.

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan

Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 90.28 %

N : jumlah responden

6.1.1.2 Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Afektif

Berdasarkan hasil uji antara frekuensi menonton televisi dengan sikap afektif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.338 (tabel 5). Nilai koefisien korelasi ini menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah. Hal tersebut juga ditunjukkan pada tabel 3 dimana responden yang memiliki frekuensi menonton televisi paling rendah memiliki afektif yang tinggi, sama dengan responden yang memiliki frekuensi menonton televisi lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan afektif.

Frekuensi menonton televisi tidak memiliki pengaruh yang kuat atau langsung terhadap sikap afektif atau perasaan konsumen terhadap produk.. Semakin tinggi frekuensi menonton televisi konsumen tidak membuat konsumen semakin menyukai produk Indomie. Beberapa responden yang memiliki frekuensi menonton televisi tinggi akan tetapi jarang melihat iklan tersebut karena mereka menonton televisi ketika waktu yang bukan jam penayangan iklan tersebut. Selain Tabel 4. Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Kognitif

frektv Kognitif

Spearman's rho frektv Correlation Coefficient 1.000 .308

Sig. (2-tailed) . .097

N 30 30

Kognitif Correlation Coefficient .308 1.000

Sig. (2-tailed) .097 .


(38)

itu terdapat pula beberapa responden yang menyukai produk dengan hanya sekali melihat iklan tersebut. Responden tersebut memiliki frekuensi menonton televisi yang rendah.

Tabel 5. Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Afektif

frektv Afektif

Spearman's rho frektv Correlation Coefficient 1.000 .338

Sig. (2-tailed) . .068

N 30 30

Afektif Correlation Coefficient .338 1.000

Sig. (2-tailed) .068 .

N 30 30

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan

Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 93.18 %

N : jumlah responden

6.1.1.3 Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Konatif

Berdasarkan hasil uji antara frekuensi menonton televisi dengan sikap konatif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.470 yang berarti menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah (tabel 6). Hal tersebut juga ditunjukkan pada tabel 3 dimana responden yang memiliki frekuensi menonton televisi paling rendah memiliki konatif yang tinggi, sama dengan responden yang memiliki frekuensi menonton televisi lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan konatif.

Frekuensi menonton televisi tidak memiliki pengaruh yang kuat atau langsung terhadap sikap konatif atau keinginan konsumen untuk membeli produk. Semakin tinggi frekuensi menonton televisi konsumen tidak membuat konsumen semakin ingin membeli produk Indomie. Beberapa responden yang memiliki frekuensi menonton televisi tinggi akan tetapi jarang melihat iklan tersebut karena menonton televisi ketika waktu yang bukan jam penayangan iklan tersebut. Selain itu terdapat pula beberapa responden yang ingin membeli produk dengan hanya


(39)

sekali melihat iklan tersebut. Responden tersebut memiliki frekuensi menonton televisi yang rendah.

Tabel 6. Hubungan Frekuensi Menonton Televisi dengan Konatif

frektv Konatif

Spearman's rho frektv Correlation Coefficient 1.000 .470**

Sig. (2-tailed) . .009

N 30 30

Konatif Correlation Coefficient .470** 1.000

Sig. (2-tailed) .009 .

N 30 30

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 99.08 %

N : jumlah responden

6.1.2 Tingkat Pengalaman

Berdasarkan hasil pengolahan data, responden yang memiliki tingkat pengalaman konsumsi produk paling rendah yaitu tidak pernah mencoba berjumlah 1 orang atau 3 % dari total responden. Responden tersebut tidak pernah mengkonsumsi Indomie karena mengkonsumsi produk mie instan lainnya. Tidak ada responden yang pernah mencoba produk sebanyak 1 kali saja, dan mayoritas responden yang berjumlah 29 orang responden atau 97 % dari total responden lebih dari 2 kali mencoba produk Indomie. Responden-responden tersebut telah mencoba mengkonsumsi Indomie sejak mereka kecil dank arena Indomie merupakan produk mie instan yang mudah didapatkan. Indomie tersedia di setiap supermarket, mini market, maupun pasar tradisional di seluruh Indonesia.

6.1.2.1 Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Kognitif

Berdasarkan hasil uji antara tingkat pengalaman dengan sikap kognitif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.271 (tabel 7). Nilai Koefisien korelasi ini menunjukkan hubungan yang tidak erat. Hal tersebut juga ditunjukkan pada tabel


(40)

3 dimana terdapat responden yang belum pernah mencoba produk akan tetapi memiliki sikap kognitif yang tinggi mengenai produk. Hasil ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan kognitif.

Tingkat pengalaman terhadap produk , dalam hal ini produk Indomie tidak berpengaruh terhadap pengetahuan konsumen. Hal ini disebabkan pengetahuan konsumen mengenai produk tidak didapatkan ketika mengkonsumsi produk tersebut. Pengetahuan mengenai produk lebih banyak didapat dari media seperti iklan televisi maupun dari mulut ke mulut. Konsumen ketika mencoba atau mengkonsumsi produk mie instan, mereka tidak memperhatikan segala hal mengenai kandungan gizi, variasi rasa, dan informasi lainnya. Konsumen tersebut hanya mengetahui keberadaan produk tersebut dan mengetahui rasa dari mie instan tersebut.

Tabel 7. Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Kognitif

Pengalaman Kognitif

Spearman's rho Pengalaman Correlation Coefficient 1.000 .271

Sig. (2-tailed) . .148

N 30 30

Kognitif Correlation Coefficient .271 1.000

Sig. (2-tailed) .148 .

N 30 30

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan

Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 85.18 %

N : jumlah responden

6.1.2.2 Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Afektif

Berdasarkan hasil uji antara tingkat pengalaman dengan sikap afektif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.292 yang berarti menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah (tabel 8). Hasil ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan afektif.


(41)

Tingkat pengalaman terhadap produk kurang berpengaruh pada suka atau tidaknya konsumen terhadap produk. Hal ini juga ditunjukkan oleh terdapat responden yang memiliki sikap afektif rendah terhadap produk walaupun telah lebih dari 2 kali mencoba produk Indomie. Responden tersebut tidak menyukai produk Indomie karena lebih menyukai produk mie instan merek lainnya. Responden tersebut mengkonsumsi produk Indomie karena di saat itu tidak ada merek mie instan yang ia suka untuk dikonsumsi.

Tabel 8. Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Afektif

Pengalaman Afektif

Spearman's rho Pengalaman Correlation Coefficient 1.000 .292

Sig. (2-tailed) . .118

N 30 30

Afektif Correlation Coefficient .292 1.000

Sig. (2-tailed) .118 .

N 30 30

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan

Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 88.18 %

N : jumlah responden

6.1.2.3 Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Konatif

Berdasarkan hasil uji antara tingkat pengalaman dengan sikap konatif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.271 yang berarti menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah (tabel 9). Hasil ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan konatif.

Tingkat pengalaman terhadap produk kurang berpengaruh pada keinginan konsumen untuk membeli produk. Sebagian besar responden yang memiliki tingkat pengalaman tinggi memiliki sikap konatif yang tinggi pula. Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh terdapat 4 orang responden yang memiliki sikap konatif rendah terhadap produk walaupun telah lebih dari 2 kali mencoba produk


(42)

Indomie. Responden tetap tidak ingin membeli produk karena lebih menyukai produk mie instan merek lainnya. Responden tersebut mengkonsumsi produk Indomie karena di saat itu tidak ada merek mie instan yang ia ingin beli untuk dikonsumsi.

Tabel 9. Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Konatif

Pengalaman Konatif

Spearman's rho Pengalaman Correlation Coefficient 1.000 .271

Sig. (2-tailed) . .148

N 30 30

Konatif Correlation Coefficient .271 1.000

Sig. (2-tailed) .148 .

N 30 30

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan

Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 85.18 %

N : jumlah responden

6.1.3 Tingkat Pendapatan

Berdasarkan hasil pengolahan data, responden yang memiliki tingkat pendapatan yang berasal dari uang saku orang tua, beasiswa, dan lain lain kurang dari Rp. 500.000,00 perbulan berjumlah 4 orang atau 13.3 % dari total responden, kemudian untuk responden yang memiliki tingkat pendapatan antara Rp. 500.000,00 sampai dengan Rp. 1.000.000,00 perbulan berjumlah 21 orang atau 70 % dari total responden, dan untuk responden yang memiliki tingkat pendapatan di atas Rp. 1.000.000,00 berjumlah 5 orang atau 16.7 % dari total responden. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa mayoritas responden berpendapatan menengah.

6.1.3.1 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Kognitif

Berdasarkan hasil uji antara tingkat pendapatan dengan sikap kognitif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.231 (tabel 10). Nilai Koefisien korelasi ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap kognitif. Hal tersebut juga ditunjukkan pada tabel 3 dimana setiap tingkat


(43)

pendapatan memiliki sikap kognitif yang tinggi. Tingkat pendapatan yang paling rendah pun memiliki sikap kognitif yang tinggi sama dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan kognitif.

Pada produk mie instan, tingkat pendapatan tidak akan mempengaruhi pengetahuan konsumen terhadap produk. Semakin tinggi pendapatan tidak akan menambah pengetahuan konsumen mengenai produk. Tingkat pendapatan tidak akan mempengaruhi konsumen untuk mendapatkan informasi mengenai produk Indomie, karena pengetahuan terhadap produk juga bisa diperoleh dari mulut ke mulut dan melalui iklan.

Tabel 10. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Kognitif

Pendapatan Kognitif

Spearman's rho Pendapatan Correlation Coefficient 1.000 .231

Sig. (2-tailed) . .220

N 30 30

Kognitif Correlation Coefficient .231 1.000

Sig. (2-tailed) .220 .

N 30 30

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan

Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 77.98 %

N : jumlah responden

6.1.3.2 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Afektif

Berdasarkan hasil uji antara tingkat pengalaman dengan sikap afektif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.195 yang berarti menunjukkan tidak adanya hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap afektif (tabel 11). Hal tersebut juga ditunjukkan pada tabel 3 dimana setiap tingkat pendapatan memiliki sikap afektif yang tinggi. Tingkat pendapatan yang paling rendah pun memiliki sikap afektif yang tinggi sama dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan afektif.


(44)

Pada produk mie instan, tingkat pendapatan tidak akan mempengaruhi suka atau tidaknya konsumen terhadap produk. Semakin tinggi tingkat pendapatan tidak akan mempengaruhi konsumen untuk menyukai produk mie instan tertentu, karena kesukaan terhadap produk lebih dipengaruhi oleh pengaruh iklan. Setiap produk mie instan memiliki target pasar dengan segmentasi semua lapisan pendapatan, sehingga harganya pun tidak berbeda jauh. Selain itu mie instan merupakan makanan favorit masyarakat Indonesia dari semua kalangan baik menengah ke bawah maupun menengah atas. Semua lapisan masyarakat tersebut sama-sama menyukai mie instan. Harga bukan menjadi faktor dalam menentukan kesukaan konsumen terhadap produk mie instan. Hal ini bisa dilihat dari responden yang memiliki tingkat pendapatan rendah, akan tetapi memiliki sikap afektif yang tinggi terhadap produk.

Tabel 11. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Afektif

Pendapatan Afektif

Spearman's rho Pendapatan Correlation Coefficient 1.000 .195

Sig. (2-tailed) . .301

N 30 30

Afektif Correlation Coefficient .195 1.000

Sig. (2-tailed) .301 .

N 30 30

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan

Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 69.88 %

N : jumlah responden

6.1.3.3 Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Konatif

Berdasarkan hasil uji antara tingkat pengalaman dengan sikap konatif didapatkan koefisien korelasi sebesar -0.008 yang berarti menunjukkan tidak adanya hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap konatif (tabel 12). Hal tersebut juga ditunjukkan pada tabel 3 dimana setiap tingkat pendapatan memiliki sikap konatif yang tinggi. Tingkat pendapatan yang paling rendah pun memiliki sikap konatif yang tinggi sama dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Hasil


(45)

ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti tidak terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan konatif.

Pada produk mie instan, tingkat pendapatan tidak akan keinginan konsumen untuk membeli produk. Tingkat pendapatan tidak akan mempengaruhi konsumen untuk membeli produk mie instan, karena lebih dipengaruhi oleh iklan. Setiap produk mie instan memiliki target pasar dengan segmentasi semua lapisan pendapatan, sehingga harganya pun tidak berbeda jauh. Selain itu mie instan merupakan makanan favorit masyarakat Indonesia dari semua kalangan baik menengah ke bawah maupun menengah atas. Harga bukan menjadi faktor dalam menentukan pembelian produk. Hal ini bisa dilihat dari responden yang memiliki tingkat pendapatan rendah, akan tetapi memiliki sikap konatif yang tinggi terhadap produk.

Nilai negatif pada koefisien korelasi frekuensi menonton televisi dengan sikap konatif menunjukkan hubungan yang negatif dimana semakin tinggi pendapatan akan membuat konsumen semakin tidak ingin membeli produk. Beberapa responden yang memiliki pendapatan rendah justru memiliki skor konatif yang lebih besar daripada yang berpendapatan lebih tinggi. Hal tersebut meemperkuat pernyataan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan tidak akan mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli produk mie instan.

Tabel 12. Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Konatif

Pendapatan Konatif

Spearman's rho Pendapatan Correlation Coefficient 1.000 -.008

Sig. (2-tailed) . .967

N 30 30

Konatif Correlation Coefficient -.008 1.000

Sig. (2-tailed) .967 .

N 30 30

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan

Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 3.28 %


(46)

6.1.4 Hubungan Karateristik Konsumen dengan Sikap Konsumen

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis antara variabel-variabel karateristik konsumen dengan sikap konsumen didapatkan hasil bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang kurang erat. Hal ini dilihat dari frekuensi menonton televisi dan tingkat pengalaman terhadap produk yang memiliki hubungan yang rendah dengan sikap konsumen, dan tingkat pendapatan yang tidak memiliki hubungan terhadap sikap konsumen. Hasil tersebut menunjukkan bahwa karateristik konsumen kurang berpengaruh terhadap sikap konsumen. Nilai keeratan hubungan antara kedua variabel tersebut ditunjukkan pada tabel 13.

Tabel 13. Koefisien Korelasi Karateristik Konsumen dengan Sikap Konsumen Karateristik

Konsumen

Kognitif Afektif Konatif

Frekuensi Menonton Televisi

0.308 0.338 0.470

Tingkat Pengalaman

0.271 0.292 0.271

Tingkat Pendapatan

0.231 0.195 -0.008

6.2 Rancangan Iklan

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa seluruh responden menyatakan bahwa iklan Indomie ‘Satu Selera’ merupakan iklan yang menarik, dapat dipahami, dan dapat diterima. Selain itu sebagian besar responden juga menyatakan bahwa iklan tersebut melibatkan mereka. Seluruh responden tersebut memiliki sikap yang tinggi baik pada tahap kognitif, afektif, dan konatif kecuali sebagian kecil responden yang menyatakan bahwa iklan tersebut tidak melibatkan mereka. Responden tersebut memiliki sikap konatif yang rendah. Data tersebut tersaji pada tabel 14.


(47)

Tabel 14. Rancangan Iklan Rancangan

Iklan

Kategori Jumlah (orang)

Persentase (%)

Kognitif Afektif Konatif

Attraction rendah - - - - -

tinggi 30 100 % tinggi tinggi tinggi

Comprehension rendah - - - - -

tinggi 30 100 % tinggi tinggi tinggi

Acceptability rendah - - - - -

tinggi 30 100 % tinggi tinggi tinggi

Self-involvement rendah 7 23.3 % tinggi tinggi rendah

tinggi 23 76.7 % tinggi tinggi tinggi

ket : kisaran skor rendah : 5-12.5 kisaran skor tinggi : 12.6-20

6.2.1 Attraction

Berdasarkan pengolahan data diperoleh hasil bahwa dari 30 responden yang telah mengisi kuesioner, seluruh responden (100 %) menyatakan bahwa iklan indomie ‘Satu Selera’ memiliki tingkat attraction yang tinggi. Dari 30 responden tersebut dikategorikan lagi ke dalam dua kategori yaitu menarik dan sangat menarik. Responden yang menyatakan bahwa iklan tersebut menarik berjumlah 26 orang (86.7 %), sedangkan 4 orang responden lainnya (13.3 %) menyatakan iklan tersebut sangat menarik.

Hasil ini menunjukkan bahwa seluruh responden menyatakan bahwa iklan indomie ‘Satu Selera’ merupakan iklan yang menarik. Beberapa hal yang membuat iklan tersebut menarik diantaranya adalah penggunaan jingle yang bagus yaitu jingle original Indomie yang telah diarransemen ulang dan menerjemahkan liriknya ke dalam berbagai bahasa daerah. Jingle itu mudah diingat dan dinyanyikan oleh konsumen. Penggunaan model-model iklan yang menarik juga merupakan daya tarik bagi konsumen. Selain itu pengambilan


(48)

lokasi-lokasi yang menarik di beberapa tempat di Indonesia dan editing iklan membuat iklan tersebut menarik untuk dilihat.

6.2.1.1 Hubungan Attraction dengan Kognitif

Berdasarkan hasil uji antara rancangan iklan yg memiliki attraction dengan sikap kognitif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.616 (tabel 15). Nilai Koefisien korelasi ini menunjukkan hubungan yang erat atau tinggi. Hal tersebut juga ditunjukkan pada tabel 14 dimana responden yang menyatakan bahwa iklan tersebut menarik memiliki sikap kognitif yang tinggi. Selain itu, seluruh responden yang menyatakan iklan tersebut sangat menarik memiliki sikap kognitif yang tergolong sangat tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti terdapat hubungan yang erat antara attraction dengan kognitif.

Semakin iklan itu menarik, maka semakin tinggi pula pengetahuan konsumen mengenai produk. Hal tersebut dikarenakan ketika iklan tersebut menarik konsumen, maka informasi atau pengetahuan mengenai produk akan bertambah. Konsumen mendapat pengetahuan mengenai jingle indomie dan tagline ‘indomie seleraku’ dari iklan indomie ‘satu selera’ yang dikemas secara menarik.

Tabel 15. Hubungan Attraction dengan Kognitif

Attraction Kognitif Spearman's rho Attraction Correlation Coefficient 1.000 .616**

Sig. (2-tailed) . .000

N 30 30

Kognitif Correlation Coefficient .616** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 30 30

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 99.98 %


(1)

sebagai konsumen sasaran dari produk tersebut dan akan membuat ia menyukai produk.

6.2.4.3 Hubungan Self-involvement dengan Konatif

Berdasarkan hasil uji antara rancangan iklan yg memiliki self-involvement dengan sikap konatif didapatkan koefisien korelasi sebesar 0.752 yang berarti menunjukkan hubungan yang sangat erat (tabel 26).Hasil ini menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima yang berarti terdapat hubungan yang erat antara

self-involvement dengan konatif.

Hasil ini juga menunjukkan bahwa pengaruh terbesar dari rancangan iklan yang dapat melibatkan konsumen adalah kepada sikap konatif (tabel 27). Selain itu, hal ini ditunjukkan oleh kategori responden yang menyatakan bahwa iklan tersebut tidak melibatkan mereka memiliki sikap konatif yang rendah. Hal ini tentu saja berbeda dengan responden yang menyatakan bahwa iklan tersebut melibatkan mereka dimana secara keseluruhan sikap konatif mereka tinggi.

Apabila iklan tersebut melibatkan konsumen maka konsumen ingin membeli produk tersebut. Iklan tersebut ditujukan kepada masyarakat Indonesia, ditujukan kepada konsumen Indomie, konsumen memiliki selera sama dengan orang Indonesia lainnya karena merupakan konsumen Indomie, dan iklan tersebut Tabel 25. Hubungan Self-involvement dengan Afektif

selfinvolvement Afektif Spearman's rho selfinvolvement Correlation Coefficient 1.000 .728**

Sig. (2-tailed) . .000

N 30 30

Afektif Correlation Coefficient .728** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 30 30

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01, selang kepercayaan 99.98 %


(2)

secara tidak langsung membuat konsumen merasa dilibatkan sebagai masyarakat Indonesia dan konsumen Indomie. Hal-hal tersebut tentu saja membuat konsumen ingin membeli produk Indomie karena merasa iklan itu ditujukan kepadanya.

Tabel 26. Hubungan Self-involvement dengan Konatif

selfinvolvement Konatif Spearman's rho selfinvolvement Correlation Coefficient 1.000 .752**

Sig. (2-tailed) . .000

N 30 30

Konatif Correlation Coefficient .752** 1.000

Sig. (2-tailed) .000 .

N 30 30

ket : Correlation Coefficient : nilai keeratan hubungan Sig ( 2-tailed) : signifikansi 0.01 selang kepercayaan 99.98 %

N : jumlah responden

6.2.5 Hubungan Rancangan Iklan dengan Sikap Konsumen

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis antara variabel-variabel rancangan iklan dengan sikap konsumen didapatkan hasil bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang erat. Rancangan iklan yang bersifat attraction, comprehension, acceptability, dan self involvement memiliki hubungan yang erat dengan sikap konsumen baik pada tahap kognitif, afektif, dan konatif kecuali self-involvement dengan kognitif. Hasil tersebut menunjukkan bahwa rancangan iklan berpengaruh terhadap sikap konsumen. Nilai keeratan hubungan antara kedua variabel tersebut ditunjukkan pada tabel 27.

Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa sikap konsumen terhadap produk lebih dipengaruhi oleh rancangan iklan daripada karateristik konsumen itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa pada produk mie instan, iklan khususnya melalui media televisi memiliki pengaruh yang besar pada sikap konsumen terhadap produk. Iklan dapat membuat sikap konsumen terhadap produk tinggi baik pada pengetahuan, kesukaan, dan niat untuk membeli.


(3)

Tabel 27. Koefisien Korelasi Rancangan Iklan dengan Sikap Konsumen

Rancangan Iklan Kognitif Afektif Konatif

Attraction 0.616* 0.701* 0.597*

Comprehension 0.727* 0.645* 0.611*

Acceptability 0.533* 0.701* 0.583*

Self-involvement 0.497 0.728* 0.752**

ket : *: tinggi ** : sangat tinggi


(4)

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Sikap konsumen terhadap produk Indomie setelah melihat iklan versi ‘Satu

Selera’ menunjukkan nilai yang tinggi pada setiap tahap baik kognitif, afektif

dan konatif.

2. Faktor internal berupa karateristik konsumen kurang berpengaruh pada sikap konsumen terhadap produk Indomie baik pada tahap kognitif, afektif, dan konatif. Faktor eksternal berupa rancangan iklan berpengaruh terhadap sikap konsumen baik pada tahap kognitif, afektif, dan konatif.

7.2 Saran

1. Untuk pihak PT Indofood Sukses Makmur maupun Matari Advertising agar mempertahankan kualitas rancangan iklan yang dilihat dari attraction, comprehension, dan acceptability, serta meningkatkan kualitas rancangan iklan yang bersifat self involvement sehingga mereka bisa mempertahankan pasar mereka dan bahkan meningkatkan pasar mereka. Hal ini membuat poduk Indomie tidak akan kalah atau tersingkir oleh pesaing-pesaing lama maupun baru dalam industri mie instan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta : Kencana. Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta : Erlangga

Kennedy, John E dan R.Dermawan Soemanegara. 2006. Marketing Communication :Taktik dan strategi. Jakarta : Gramedia

Moriarty, S.E .1991. Creative Advertising Theory and Practice. USA : Prentice- Hall

PT Indofood Sukses Makmur, 2008. Produk Indomie. www.indomie.com/product_category(2 Juni 2009)

Pujiyanto. 2003. Strategi Pemasaran Produk Melalui Media Periklanan. http://puslit.petra.ac.id/journals/design/. (24 Desember 2008)

Rakhmat, Jalaludin. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Sadariskar, Ahmad. 2006. Pengaruh Terpaan Iklan Televisi Terhadap Tingkat Afeksi : Studi Kasus Iklan Produk Susu Bubuk Dancow bagi Ibu- ibu di RW 08 Kelurahan Kampung Melayu Jakarta Timur. Tesis Pascasarjana Universitas Indonesia ( Jakarta : Universitas Indonesia) Schiffman, Leon & Leslie Lazar Kanuk. 2007. Perilaku Konsumen. Jakarta : Indeks

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sendjaja, S.D. 1999. Pengantar Komunikasi Modul 1-9. Jakarta : Karunia Universitas Terbuka.

Sitopu, Saryah Meilany. 2009. Pengaruh Penggunaan Bahasa Indonesia dan

Bahasa Daerah Bali dalam Komik Fabel Tentang Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Way Kambas ( Studi Eksperimen Terhadap Sikap

Konservasi Siswa Sd Negeri 01 Desa Braja Yekti Kabupaten Lampung Timur ). http://skripsi.unila.ac.id/wp-content/uploads/2009/07.

(2 Juni 2009)


(6)

Singarimbun, Masri & Efendi Sofyan. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES

Wikipedia, 2009. Indomie. id.wikipedia.org/wiki/Indomie. (2 Juni 2009) Zuraida, Lukia & Uswatun Chasanah, 2006. Analisis Efektivitas Iklan Rinso, Soklin, dan Attack Dengan Menggunakan Consumer Decision Model (CDM). http://puslit.petra.ac.id/journals/design/. (11 Januari 2009).