Perlindungan konsumen dan pencegahan monopoli bisnis sms (kasus kartelisasi bisnis sms)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

RIDWAN ARDY PRASTYA NIM : 1111048000059

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

i

PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENCEGAHAN MONOPOLI BISNIS SMS (KASUS KARTELISASI BISNIS SMS)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

RIDWAN ARDY PRASTYA 1111048000059

Pembimbing

Prof. Dr. H. Atho Mudzar, MPSD

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436H/2015M


(3)

(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang di ajukan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar strata 1 (S1) di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan saya dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil

jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Unversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 23 Februari 2014


(5)

iv

Hidayatullah Jakarta, 1436H/2015M, x + 86 halaman+halaman lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Anti Monopoli dalam

kasus kartelisasi bisnis sms (short message services). Latar belakang penelitian ini adalah

berkaitan dengan hak-hak konsumen yang dirugikan dalam kasus kartelisasi bisnis sms yang dilakukan oleh 6 operator seluler di Indonesia pada tahun 2004 sampai 2008 yang diberitakan

merugikan konsumen mencapai 2 Triliun Rupiah. Penelitian ini bersifat library research,

mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah yuridis normative dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan historis. Ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999 bisa diterapkan secara maksimal dalam penyelesaian kasus kartelisasi

bisnis sms (short message service) tahun 2004-2008. Pasal-pasal dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen dan Anti Monopoli bisa diterapkan secara ketat. Disarankan agar KPPU dan BPSK lebih bersinergi dalam memberantas perilaku usaha yang hanya memikirkan keuntungan semata tanpa memperdulikan nasib para konsumen. Bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Anti Monopoli bisa diterapkan secara maksimal

dalam kasus kartelisasi bisnis sms (short message service) yang dilakukan sejak tahun

2004-2008.

Kata Kunci : Hukum Perlindungan Konsumen, Hukum Anti Monopoli,

Kartelisasi SMS

Pembimbing : Prof. Dr. H. Atho Mudzar, MPSD


(6)

v

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang hanya dengan hidayah dan nikmat dari-Nyalah skripsi Penulis “Perlindungan Konsumen dan Pencegahan Monopoli Bisnis SMS (Kasus Kartelisasi Bisnis SMS)” dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam semoga tetap selalu tercurahkan pada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Tidak mudah bagi penulis untuk membuat karya seperti ini dikarenakan berbagai keterbatasan yang dimiliki, namun hal ini penulis jadikan sebagai motivasi rangkaian pengalaman hidup yang berharga. Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari elaborasi keilmuan yang Penulis dapatkan dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini ingin penulis sampaikan setulus hati ucapan terimakasih kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MH, MA, Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arif

Furqon SH, MH, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan berupa saran dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.


(7)

vi

4. Kedua Orang Tua yang sangat dicintai dan disayangi Penulis, Bapak Riyadi dan Ibu Any

Suharti yang merupakan kedua orangtua yang selalu mendoakan, mencintai, memberi dukungan baik moril maupun materiil kepada Penulis serta menjadi motivasi Penulis sekaligus menjadi inspirasi dalam kehidupan penulis.

5. Kedua Adik yang sangat dicintai, disayangi dan dikasihi Penulis, Raka iknan Alqursani

dan Nayya Safana Salsabila karena telah menjadi insprirasi Penulis untuk bisa dibanggakan dan Keluarga Besar Penulis yang selalu mendoakan agar karya ini cepat terselaikan.

6. Kepada Hellen Anita Pratiwi yang bisa menjadi sahabat, teman, adik karena telah

mendoakan dan memberi semangat kepada Penulis sehingga karya ini bisa cepat terselesaikan dan alasan Penulis ingin cepat-cepat lulus.

7. Kawan-kawan seperjuangan SkripSWEET, Ade Putra Indrawan, Gary Ichsan Putro, Dwi

Puji Apriyantok, Nanda Narendra Putra, Ahmad Bustomy, Azhar Nur Fajar Alam, Rizky Arisandi, M. Rizki Firdaus, Rezha Haryo Mahendra Putra, Marwan Alkatiri, Fadhilah Haidar. Dan juga para sahabat SMA Vina Refriana Nur Wulan Sari dan Zen Fadli yang semuanya telah memberi dukungan kepada Penulis agar karya ini cepat terselesaikan.

8. Kawan-kawan seangkatan Ilmu Hukum 2011 yang selalu kompak dalam mengerjakan

dan menyelesaikan Skripsi dan juga kepada AMPUH (Angkatan Muda Peduli Hukum), BLC (Bussines Law Community), HMPS Ilmu Hukum angkatan 2013 yang membantu keaktifan dalam berorganisasi Penulis.


(8)

vii

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak

dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu, semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amiin).

Akhir kata, penulis berharap kepada semua pihak untuk memberikan masukan yang bermanfaat untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menjadi referensi untuk adik-adik kelas dan bermanfaat untuk setiap pembaca.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Jakarta, 23 Februari 2015


(9)

viii

LEMBAR PERNYATAAN ……….. iii

ABSTRAK ………... iv

KATA PENGANTAR ……… v

DAFTAR ISI ……… viii

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Batasan Dan Rumusan Masalah ………. 7

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ………. 8

D. Kajian Terdahulu ………... 9

E. Kerangka Konseptual ……… 10

F. Metode Penelitian ………. 12

G. Sistematika Penulisan ………... 15

BAB II TEORI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENCEGAHAN MONOPOLI A. Teori Perlndungan Konsumen Dan Pencegahan Monopoli Dalam Pendapat Para Ahli ……….………… 17

B. Sistem Perlindungan Konsumen Dan Anti Monopoli Dalam Hukum International ………...……….. 23

C. Teori Perlindungan Konsumen Dan Antimonopoli Dalam Islam ….. 28

BAB III HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ANTI MONOPOLI DI INDONESIA


(10)

ix

A. Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

……… 36

B. Hukum Anti Monopoli Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

……… 44

C. Deskripsi Kasus Kartel Sms Terkait Dengan Perlindungan Konsumen

………... 48

D. Deskripsi Kasus Kartel Sms Terkait Dengan Anti Monopoli Dan Penyelesaian

Sengketa Yang Telah Dilakukan

……… 53

BAB IV PENERAPAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN NOMOR 8 TAHUN 1999 DAN UNDANG-UNDANG ANTI MONOPOLI NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KASUS KARTEL SMS

A. Analisis Pasal Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999

Terkait Masalah Kartel SMS (Short Message Service) …… 62

B. Analisis Kasus Kartel SMS (Short Message Service) Terkait Undang-Undang

Perlindungan Konsumen ………. 66

C. Analisis Pasal Dalam Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 Terkait

Masalah Kartel SMS ………..……….. 72

D. Analisis Kasus Kartel Sms Terkait Undang-Undang Anti Monopoli

………. 75

BAB V PENUTUP


(11)

(12)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Tingginya permintaan masyarakat terhadap kebutuhan telekomunikasi khususnya yang murah menyebabkan pelaku usaha berlomba-lomba untuk memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan animo masyarakat

menggunakan layanan short message services (sms). Dalam masyarakat

biasanya ada anggapan bahwa bisnis tidak mempunyai hubungan dengan etika dan moralitas. Berdasarkan pandangan yang keliru ini para pelaku usaha akan menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan

sebanyak-banyaknya.1

Salah satu bentuk perilaku bisnis yang hanya mementingkan keuntungan semata tanpa memperdulikan hak-hak masyarakat sebagai

konsumen adalah masalah penetapan harga (price fixing) short message

services (sms) yang dilakukan oleh 6 operator telepon seluler di Indonesia. Diberitakan bahwa para pelakunya antara lain PT. Excelcomindo Pratama,Tbk, PT. Telekomunikasi Selular, Tbk, PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk, PT. Bakrie Telecom, Tbk, PT. Mobile-8 Telecom, Tbk, PT. Smart Telecom, Tbk yang telah merugikan masyarakat sebagai konsumen dengan total jumlah kerugian mencapai Rp. 2.827.700.000.000 (Putusan Perkara Nomor: 26/KPPU-L/2007).

1


(13)

Ke enam operator ini berdasarkan Putusan KPPU Nomor 26/KPPU-L/2007 dikenakan sanksi berupa denda sejumlah Rp 52 milyar kepada Negara karena terbukti melakukan kegiatan kartel dalam bentuk perjanjian penetapan harga yang telah merugikan konsumen. Kartel merupakan kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat karena kartel adalah bentuk kerja sama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan harga untuk melakukan monopoli

terhadap komoditas atau industri tertentu.2 Melalui kegiatan kartel ini para

anggota kartel dapat menetapkan harga atau syarat-syarat perdagangan lainnya untuk mengekang suatu persaingan usaha sehingga hal ini dapat menguntungkan para anggota kartel yang bersangkutan. Berdasarkan dengan praktek kartel ini di pasar telekomunikasi Indonesia maka sudah sangat jelas para konsumen yang telah dirugikan. Lalu bentuk kegiatan

kartel ini pun juga tidak dibenarkan berdasarkan “pasal 11 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli yang berbunyi pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan pemasaran suatu barang dan jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.”

Dampak dari adanya kartel short message services (sms) adalah

kerugian konsumen secara materiil dan immaterial. Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 1 butir 2 dijelaskan bahwa

2

Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli (Menyongsong Era Persaingan Sehat),(Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h. 63


(14)

3

yang dimaksud dengan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, konsumen adalah pihak yang paling dirugikan jika dunia bisnis dikuasai kartel, meskipun sulit dibuktikan secara hukum tetapi kartel diyakini sudah terjadi dalam beberapa sector di Indonesia. Di satu sisi kartel memang sulit dibuktikan namun disisi lain konsumen juga berada dalam posisi lemah dengan hubungan bisnis para pelaku usaha yang hanya mementingkan profit semata.3

Dalam hal terjadi pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain, maka secara garis besar pihak-pihak yang terlibat dapat dikelompokan dalam dua kelompok :

Pertama, kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa yang

pada umumnya pihak ini berlaku sebagai: 4

1. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa

(investor)

2. Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen)

3. Penyalur barang atau jasa

3

www.hukumonline.com diunduh pada 9 Oktober 2014 4

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia,(Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2011), h. 33


(15)

Kedua, kelompok penerima barang atau jasa yang pada umumnya pihak ini berlaku sebagai :

1. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan

tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain atau mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial)

2. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk

memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (untuk tujuan komersial)

Dalam kasus kartelisasi bisnis sms (short message services) di

Indonesia juga sudah sangat jelas bahwa hak-hak konsumen dilanggar sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang intinya bahwa konsumen berhak

mendapatkan perlakuan yang jujur dan tidak ada diksriminasi.5 Apabila

diperhatikan kondisi konsumen di Indonesia dewasa ini, maka terlihat bahwa posisi konsumen masih sangat lemah dibandingkan dengan posisi produsen, sehingga perlu adanya pemberdayaan konsumen agar posisinya tidak selalu pada pihak yang dirugikan. Pemberdayaan konsumen dapat dilakukan melalui penerapan hukum perlindungan konsumen yang memadai. Hukum perlindungan konsumen ini menjadi relevan pada tiga tahap transaksi konsumen, yaitu ada prapembelian, disaat pembelian, dan purna pembelian.

5

Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, RajaGrafindoPersada, 2004), h. 38


(16)

5

Pemberdayaan konsumen ini harus diakui bukan pekerjaan yang mudah, namun harus tetap diusahakan agar kondisinya tidak semakin buruk bahkan tetap diusahakan agar berimbang dengan posisi produsen yang selama ini jauh lebih unggul daripada konsumen. Mengingat kedua belah pihak saling membutuhkan maka sebenarnya konsumen memiliki potensi untuk menempati posisi yang seimbang dengan produsen karena kemajuan usaha

produsen bergantung dengan konsumen pula.6

Dalam setiap terbitnya suatu undang-undang yang dibuat, pembentuk

undang-undang biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip7 sebagai dasar

terbitnya undang-undang tersebut. Asas hukum merupakan fondasi suatu

undang-undang dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Bila asas

dikesampingkan maka runtuhlah undang-undang itu dan segenap peraturan pelasaknaannya. Menurut Sajipto Rahardjo yang dikutip oleh Teuku Muhammad Radhie, asas hukum bukan peraturan hukum namun tidak adanya hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen di Indonesia bukanlah sebagai suatu system. Dari segi kerangka landasan hukum, sebenarnya tanpa Undang-Undang Perlindungan Konsumen norma-norma perlindungan konsumen sudah ada hanya saja tersebar dalam berbagai

6

Ibid, h. 41 7

Wojowasito, KamusBahasa Indonesia (dengan ejaan yang disempurnakan menurut pedoman Lembaga Bahasa Nasional), (Bandung, Shinta Dharma, 1972), h. 17 dan 227


(17)

instrumen hukum-hukum pokok, tetapi tidak pada hukum-hukum sektoral.8 Perlindungan konsumen sebelum adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebar di berbagai cabang hukum seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana dan hukum yang tercampur aduk ke cabang hukum lainnya, sehingga jika ada masalah-masalah yang terkait dengan perlindungan konsumen perlu dilakukan penafsiran yang hanya memiliki sampiran dari suatu peraturan. Sehingga sebelum berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen di Indonesia tidak dapat dipandang sebagai suatu system perlindungan konsumen.

Pokok-pokok pengaturan perlindungan konsumen menurut Purba yang

dikutip oleh Yusuf Shofie adalah sebagai berikut.9 :

1. Kesederajatan antara konsumen dan pengusaha

2. Konsumen mempunyai hak

3. Pengusaha mempunyai kewajiban

4. Pengaturan mengenai perlindungan konsumen menyumbang pada

pembangunan nasional

5. Pengaturan tidak merupakan syarat

6. Perlindungan konsumen dalam iklim hubungan bisnis yang sehat

7. Keterbukaan dalam promosi produk

8. Pemerintah berperan aktif

9. Peran serta masyarakat

10.Implementasi asas kesadaran hukum

11.Perlindungan konsumen memerlukan penerobosan konsep-konsep hukum

tradisional

12.Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap

8

Teuku Muhammad Radhie, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijakan, (Yogyakarta, Fakultas Hukum UII, 1997), h. 210-211

9

Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2002),h. 25-27


(18)

7

B.

Rumusan dan Batasan Masalah

1.

Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, permasalahan pokok yang akan diteliti ialah tentang bagaimana penerapan system perlindungan konsumen dan pencegahan monopoli sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli telah diterapkan dalam kasus kartel sms dan bagaimana penyelesaian sengketa yang telah dilakukan. Rumusan tersebut dapat dirinci menjadi dua pertanyaan pokok sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan system perlindungan konsumen sebagaimana

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah diterapkan dalam kasus kartel sms dan bagaimana penyelesaian yang telah dilakukan?

2. Bagaimana penerapan system pencegahan monopoli sebagaimana

tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah diterapkan dalam kasus kartel sms dan bagaimana penyelesaian yang telah dilakukan?

2.

Batasan Masalah

Penelitian ini memfokuskan pada kasus perlindungan konsumen yang dirugikan dan dirampas hak-hak nya oleh para operator seluler sejak


(19)

tahun 2004 sampai 2008 yang melakukan kegiatan usaha tidak sehat yaitu

melakukan kegiatan kartel sms (short message services) dan juga

memfokuskan tentang pencegahan monopoli dalam kasus kartelisasi bisnis

sms (short message services). Penelitian ini menitikberatkan tentang

perlindungan konsumen terhadap kegiatan kartelisasi sms (short message

services) dan mengenai pencegahan monopoli bisnis sms (short message services).

C.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana penerapan system perlindungan konsumen sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah diterapkan dalam kasus kartel sms dan bagaimana penyelesaian yang telah dilakukan.

b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan system pencegahan monopoli sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah diterapkan dalam kasus kartel sms dan bagaimana penyelesaian yang telah dilakukan.

2. Manfaat Penelitian

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:


(20)

9

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang bagaimana penerapan dari Perlindungan Konsumen, bahwa sebagai konsumen saat ini sudah dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha nya agar tidak melakukan kegiatan usaha tidak sehat karena telah ada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang mengatur tentang kegiatan usaha para pelaku usaha.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi para pelaku usaha khususnya di Indonesia agar tidak lagi terjadi kegiatan usaha yang dilarang karena bisa menyebabkan kerugian bagi pihak-pihak lain terutama konsumen.

D.

Review (Kajian) Terdahulu

Ada dua penelitian skripsi terkait masalah ini. Pertama, penelitian Annisa Dita Muliasari, mahasiswi Universitas Indonesia, yang membahas

kasus ini pada tahun 2009 dengan judul “Analisis Yuridis Perlindungan

Konsumen Terkait Masalah Kartel short message services (sms)”. Annisa

Dita Muliasari berkesimpulan bahwa konsumen dalam kasus kartelisasi sms dirugikan akibat kegiatan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh beberapa operator seluler. Kedua, penelitian skripsi Risma Qumilaila,


(21)

Konsumen Terhadap Bahan-Bahan Kimia Berbahaya Pada Makanan (Studi Komparasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen)”.

Risma Qumilaila berkesimpulan bahwa Undang-Undang

Perlindungan Konsumen harus diterapkan dalam kasus yang merugikan konsumen dan perlindungan konsumen dalam studi komparasi hukum Islam. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Annisa Dita Muliasari karena ini hanya membahas perlindungan hukum dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen terkait masalah kartel sms, sedangkan penulis akan membahas pula penerapan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan penarapan Undang-Undang Anti Monopoli dan perspektif hukum Islam dalam kasus kartelisasi bisnis sms, sehingga dapat dipahami pula posisi hukum pihak-pihak yang terkait dalam kasus kartelisasi bisnis sms dan akibat hukum dari kasus kartelisasi bisnis sms. Adapun perspektif Islam dalam penelitian ini hanya untuk menunjukan konteks, bukan sebagai obyek utama kajian sebagaimana dilakukan oleh Risma Qumilaila yang melakukan komparasi hukum Islam dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

E.

Kerangka Konseptual

Untuk menghindari perbedaan pemahaman mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, diberikan batasan konseptual untuk istilah-istilah berikut ini :


(22)

11

1. Konsumen, konsumen ialah setiap orang pemakai barang atau jasa

yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan sendiri, keluarga

dan orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.10

2. Produsen, produsen ialah pelaku usaha yang menawarkan barang

atau jasa hasil buatannya sendiri kepada konsumen untuk diperdagangkan dan meraih penghasilan untuk dirinya sendiri.

3. Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen ialah segala upaya

yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan konsumen.11

4. Kartel, kartel ialah kegiatan usaha yang dilarang karena merupakan

suatu kerja sama dari produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan harga, dan untuk melakukan

monopoli terhadap komoditas atau industry tertentu.12

5. Asas no privity non liability, ialah pihak ketiga (konsumen) yang

tidak bisa menggugat kepada pihak pertama (produsen) karena tidak

mempunyai hubungan kontrak walaupun telah dirugikan.13

10

Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, RajaGrafindoPersada, 2004), h. 5

11

Ibid, h. 1 12

Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999), h. 63 13

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2011), h. 42


(23)

6. Investor, ialah penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa.14

7. Penetapan harga, ialah pelaku-pelaku usaha yang melakukan

kegiatan usaha bekerja sama guna melakukan penetapan harga di

pasaran untuk meraih keuntungan.15

F.

Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitiaan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan bersifat penelitian kepustakaan dengan cara meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder yang mencakup penelitian asas-asas hukum khususnya yang terkait dengan hukum perlindungan konsumen, peraturan perundang-undangan, buku-buku bacaan terkait dengan judul penelitian, makalah-makalah, dan dokument-dokument lainnya. 2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan yaitu :

a.Undang-Undang Dasar 1945

b.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat dan semua peraturan

pelaksanaannya

14

Ibid, h. 33 15


(24)

13

c.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen dan semua peraturan pelaksanaannya

3. Data dan Sumber Data

Berdasarkan sumbernya maka penulisan ini disusun berdasarkan :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum utama dalam penelitian hukum normatif, yang berupa peraturan Perundang-Undangan. Bahan hukum primer itu ialah Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik terkait dengan penelitian berupa, buku-buku terkait, artikel dalam majalah/media elektronik, laporan penelitian/ jurnal hukum, makalah yang disajikan dalam pertemuan kuliah dan catatan kuliah.16

c. Bahan Non Hukum

16

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003), h. 13-14


(25)

Bahan non hukum dalam penelitian ini yaitu wawancara yang dilakukan kepada narasumber yang kompeten di bidang hukum perlindungan konsumen.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat yuridis normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research)

yakni upaya untuk memperoleh data atau upaya mencari dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, artikel, dan jurnal hukum yang relevan dengan penelitian agar dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecahkan

suatu masalah.17

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah data yang diedit dan dipilih menurut kategori masing-masing dan kemudian dihubungkan satu sama lain atau ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban atas masalah penelitian.

6. Metode Penulisan

17

Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Bumi Intitama Sejahtera, 2009), h. 56


(26)

15

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

G.

Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini di bagi menjadi enam bab, dimana pada setiap bab akan di bahas secara rinci sebagai bagian dari keseluruhan penelitian ini. Sistematika uraian skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I, Pendahuluan. Bab ini berisi pengantar untuk memahami garis

besar dari seluruh pembahasan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan, pokok permasalahan, metode penelitian serta sistematika dalam penulisan penelitian ini.

Bab II, Teori Perlindungan Konsumen Dan Pencegahan Monopoli. Bab ini berisi tinjauan umum mengenai teori terkait tetang hukum perlindungan konsumen dan pencegahan monopoli di Indonesia dan teori perspektif Islam terkait dalam perlindungan konsumen dan anti monopoli.

Bab III, Hukum Perlindungan Konsumen Dan Anti Monopoli Di Indonesia. Bab ini berisi tinjauan umum tentang hukum perlindungan konsumen dan hukum anti monopoli di Indonesia.


(27)

Bab IV, Penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Dan Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999 Dalam Kasus Kartel SMS. Bab ini berisi deskripsi dan analisa mengenai penerapan undang-undang perlindungan konsumen dan anti monopoli dalam kasus kartel sms dan pasal yang terkait.


(28)

17 BAB II

TEORI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENCEGAHAN MONOPOLI A. Teori Perlndungan Konsumen dan Pencegahan Monopoli Dalam Pendapat

Para Ahli

Hukum perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen dalam bertransaksi bisnis dengan produsen agar tidak dirugikan sebagai pihak yang lemah. Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen, yang memuat asas-asas yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi konsumen. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam

kehidupan bermasyarakat.1 John F. Kennedy mengatakan yang dikutip oleh

Yusuf Shofie, “Consumers, by definition, includes us all” (konsumen adalah

kita semua).2 Hondius (pakar masalah konsumen di Belanda), ingin

membedakan antara konsumen dengan konsumen pemakai terakhir. Dengan menyimpulkan bahwa para ahli hukum sepakat mengartikan konsumen sebagai

1

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2000), h. 37.

2

Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK: Teori dan Pencegahan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.13


(29)

pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goerderen en diensten).3

Berkaitan dengan teori perlindungan konsumen adalah gagasan tentang

keadilan (justice and fairness). Di dalam realitas hukum, sekurang-kurangnya

beberapa norma, berurusan dengan jatah minimum dari setiap warga masyarakat, harus „adil‟ dan harus dilaksanakan „secara adil‟. Tujuan hukum itu adalah untuk mewujudkan keadilan, banyak definisi atau ungkapan beraneka ragam mengenai makna tentang keadilan. Ada yang mengaitkan keadilan dengan peraturan politik negara, ada juga yang memandang keadilan dalam wujud kemauan yang sifatnya terus-menerus dan untuk memberikan apa yang

menjadi hak bagi setiap orang.4 Sajipto Rahardjo (1985:54), menuliskan seperti

yang dikutip oleh Jimly Asshidiqqie bahwa sekalipun hukum itu langsung dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang praktis, yaitu tentang bagaimana sumber-sumber daya itu hendak dibagi-bagikan dalam masyarakat, tetapi tidak bisa terlepas dari pemikiran-pemikiran yang lebih abstrak yang menjadi landasannya, yaitu pertanyaan tata aturan yang adil adalah tata aturan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan tersebut. Namun tidak dapat dihindarkan adanya fakta bahwa keinginan seseorang atas kebahagiaan dapat bertentangan dengan keinginan orang lain. Sehingga keadilan adalah

3

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), h. 2. 4

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan,(Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 217-223.


(30)

19

pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat tertentu. Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya orang. Kriteria keadilan seperti halnya kriteria kebenaran, tidak tergantung pada frekuensi dibuatnya pembenaran tersebut. Karena manusia terbagi menjadi banyak bangsa, kelas, agama, profesi, dan sebagainya yang berbeda-beda, sehingga terdapat banyak ide keadilan yang berbeda-beda pula. Terlalu banyak untuk

menyebut salah satunya sebagai keadilan.5 Keadilan adalah sesuatu diluar rasio

karena itu bagaimanapun pentingnya bagi tindakan manusia, tetap bukan subyek pengetahuan. Bagi pengetahuan rasional yang ada dalam masyarakat yang ada hanyalah kepentingan dan konflik kepentingan.

Secara umum, tanggung jawab produk merupakan aspek yang sangat penting dari hukum perlindungan konsumen. Dalam banyak system hukum, pemerintahan semakin teribat dalam berbagai upaya perlindungan konsumen. Kecenderungan ini sebagaian dapat tercermin dalam globalisasi perekonomian dunia, karena semakin banyak transaksi konsumen yang dilakukan dengan badan usaha yang tidak dikenal secara pribadi oleh konsumen, dan banyak dari badan usaha ini mempunyai kekuatan tawar-menawar yang sangat besar dan

luas jauh melebihi yang dimiliki oleh konsumen. 6

5

Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta, Konstitusi Press), h. 17-20.

6


(31)

Berdasarkan “pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 pengertian perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan

perlindungan konsumen.7 Meskipun demikian bukan berarti juga kepentingan

pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, karena untuk menghindari pula praktek kegiatan usaha tidak sehat yang sering dilakukan oleh para pelaku usaha, juga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli. Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,

“konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan”. Di dalam perpustakaan

ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produksi lainnya. Oleh karena itu, pengertian

7

Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 1


(32)

21

yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir.8

Adapun teori mengenai pencegahan monopoli sesungguhnya banyak istilah yang digunakan untuk bidang hukum ini selain istilah hukum persaingan usaha, yaitu hukum anti monopoli. Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan

dengan persaingan usaha.9

Menurut pasal 1 angka 6 Undang-Undang Antimonopoli Nomor 5 Tahun 1999 persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Dalam system perekonomian nasional berdasarkan asas demokrasi ekonomi, praktek monopoli dan persaingan usaha harus diatur sedemikian rupa agar tidak menjadi sarana praktek monopoli. Lalu mekanisme hukum untuk mengaturnya ialah para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya hendaklah bersaing secara sehat dengan berpedoman kepada undang-undang

yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.10

8

Elsi Kartika, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), h. 120

9

Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta, Kencana Pernada Media Group, 2008), h. 1

10

Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), h. 34-35


(33)

Tujuan dari dibentuknya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Anti

Monopoli ini seperti yang tertera dalam “pasal 3 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 ialah untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat”. Adapun yang patut untuk diperhatikan dalam persaingan

usaha ini adalah unsur penting yang wajib diperhatikan bagi penentuan kebijakan yang ideal dalam pengaturan persaingan di Indonesia adalah

kepentingan publik dan efisiensi ekonomis.11

Terkait masalah anti monopoli ini adalah persoalan kartel. Kartel ialah pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya dengan bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan pemasaran suatu barang dan jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Terjadinya partek kartel dilatarbelakangi oleh persaingan yang cukup sengit dipasar. Untuk menghindari persaingan fatal ini, anggota kartel setuju menentukan harga bersama, mengatur produksi bahkan menentukan secara bersama-sama potongan harga, promosi dan syarat-syarat penjualan. Kartel juga bisa melindungi perusahaan yang tidak efisien, yang bisa hancur bila tidak masuk kartel. Dengan kata lain kartel dapat menjadi pelindung bagi pelaku usaha yang lemah. Kartel merupakan suatu hambatan persaingan yang paling merugikan konsumen, karena kartel dapat

11


(34)

23

mengubah struktur pasar menjadi bersifat monopolistic. Kaitannya dalam

kegiatan kartel yang dilarang ini maka akan dikenakan sanksi oleh KPPU.12

B. Sistem Perlindungan Konsumen dan Anti Monopoli Dalam Hukum International

Sebagaimana kita ketahui bahwa tantangan bangsa Indonesia dalam

pembangunan jangka panjang adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk mewujudkan masyarakat maju, adil, makmur dan mandiri. Untuk mencapai tujuan tersebut kita dihadapkan pada kemajuan ekonomi perdagangan yang semakin terbuka diantara bangsa-bangsa dan untuk itu dibutuhkan daya saing yang kuat. Dalam adanya perdagangan yang semakin terbuka dibutuhkan penyeimbang didalamnya agar bisa berjalan dengan beriringan tanpa mengambil hak atau melanggar hak satu sama lain. Perlindungan Konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa didunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi ruang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha

dan pemerintah.13

Dikalangan kriminolog studi kritis mengenai pelaku-pelaku usaha atau peranan korporasi sudah dimulai setidaknya sejak tahun 1939 melalui pidato

12

Ibid, h. 57-65. 13


(35)

bersejarah Edwin H. Sutherland di depan the American Sociological Association. Beliau mengemukakan konsep white colar crime (WCC) yang didefenisikan sebagai “a crime commmited by a person of spectability and high social status in the course of his occupation”. Penelitian Sutherland yang

menggunakan catatan-catatan jawatan-jawatan pengaturan (regulatory

agencies), pengadilan-pengadilan dan komisi-komisi menemukan bahwa 70 korporasi industry dan perdagangan yang ditelitinya masing-masing setidaknya melakukan satu pelanggaran hukum dan membuat kebijakan-kebijakan yang

melanggar hukum seperti, periklanan yang menyesatkan (false advertising),

penyalahgunaan paten (patent abuse), pelanggaran persaingan dagang

(wartime trade violations), penetapan harga (price fixing), penipuan (fraud),

dan penjualan barang-barang cacat (sale of faulty goods). Pada satu sisi

peranan korporasi atau pelaku usaha memang menggerakan roda perekonomian di suatu negara, bahkan melintasi batas-batas negara sedangkan pada sisi lainnya juga menimbulkan distorsi-distorsi dan ketidak adilan bagi masyarakat.

Seiring karakter pengawasan yang unik dari sesuatu yang baru,

pengembangan institusi sangat membutuhkan berbagai pengalaman (best

practices) dari berbagai lembaga persaingan usaha sejenis di dunia

Internasional, misalnya Jepang dengan Jepan fair Commision, Amerika dengan

Fair Trade Commision dan Australia dengan Australian Consumer and Competition. Di tingkat ASEAN, hingga saat ini hanya terdapat 3 (tiga) Negara


(36)

25

selain Indonesia yang memiliki Hukum Persaingan Usaha yaitu Singapura (Competition Commision of Singapura) Thailand (Departement of Internal Trade Ministry of Commerce) dan Vietnam (Vietnam Competition Administration).14 Salah satu resolusi yang pernah dicetuskan oleh perserikatan bangsa-bangsa adalah tentang perlindungan konsumen terakhir, masalah ini

dimuat dalam resolusi No.39/248 Tahun 1985. Di dalam Guidelines for

consumer pontection (bagian tiga prinsip-prinsip umum) dinyatakan hal-hal apa

saja yang dimaksud dengan kepentingan konsumen (legitimate needs) itu :

1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya

2. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen

3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan mereka kemampuan melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan

kebutuhan pribadi.15

Kepentingan-kepentingan konsumen telah lama menjadi perhatian, yang secara tegas telah dikemukakan pada tahun 1962 oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang menyampaikan pesan di depan Kongres tentang

14

Deswin Nur & Tim Direktorat Kebijakan Persaingan, KPPU dan Pengembangan Kebijakan Persaingan di Asia, (KOMPETISI, Media Berkala Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008), h. 16.

15


(37)

pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat.16 Peristiwa berikutnya yang merupakan perhatian atas kepentingan konsumen, secara tegas telah ditetapkan dalam putusan Sidang Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada sidang ke-106 tanggal 9 April 1985. Resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang Perlindungan Konsumen (Resolusi 39/248) telah menegaskan

enam kepentingan konsumen, yaitu sebagai berikut.17

1. Perlindungan Konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya. 2. Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi konsumen.

3. Tersedianya informasi yang mencukupi sehingga memungkinkan dilakukannya pilihan sesuai kehendak.

4. Pendidikan konsumen.

5. Tersedianya cara-cara ganti rugi yang efektif.

6. Kebebasan membentuk organisasi konsumen dan diberinya kesempatan kepada mereka untuk menyatakan pendapat sejak saat proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.

Pada masa kini, kecenderungan untuk memperluas ruang lingkup

Hukum Perlindungan Konsumen telah dilakukan oleh The Economic Law

16

Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahan (Bandung, Alumni, 1981) h. 47

17

Az. Nasution ,“Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen”, Majalah Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum UI, No. 6 tahun ke XVI, Desember 1986. h. 57


(38)

27

Procurement System Project (ELIPS), yang mengemukakan sembilan materi

rumusan hukum perlindungan konsumen, yakni :18

1. Ketidaksetaraan dalam kekuatan tawar-menawar

2. Kebebasan berkontrak versus keadilan dalam berkontrak

3. Persyaratan untuk memberikan informasi kepada konsumen, yang meliputi

hukum pengumuman yang umum dan hukum tentang keuangan

4. Peraturan tentang perilaku atau tindakan penjual, yang meliputi petunjuk

arahan yang salah dan kelicikan dalam perdagangan

5. Peraturan tentang mutu produk, yang meliputi garansi dan keamanan produk

6. Akses terhadap kredit (pelaporan, kredit, nondiskriminasi)

7. Batas-batas hak mengakhiri masa jaminan

8. Peraturan tentang harga

9. Pembetulan

Hak-hak konsumen juga merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tanggal 10 Desember 1948, yang pengaturannya dan pasal nya masing-masing diatur dalam

18


(39)

Organisasi Konsumen Sedunia.19 Oleh karena itu hak-hak konsumen merupakan hal yang sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan atau merupakan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia.

Gerakan perlindungan konsumen internasional juga telah memiliki wadah

yang cukup berwibawa, yang disebut Internasional Organization of Consumers

Unions (IOCU). Setiap tanggal 15 Maret organisasi ini menjadikan sebagai hari

Hak Konsumen sedunia.20

C. Teori Perlindungan Konsumen Dan Antimonopoli Dalam Islam

Dalam hukum positif seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen diberikan hak untuk memilih barang atau jasa yang mereka inginkan dan berhak mendapat informasi yang jelas dan benar mengenai barang atau jasa tersebut agar tidak kecewa. Dalam permasalahan tersebut hukum Islam memberikan khiyar bagi pembeli, menurut Wahbah Az-Zuaili defenisi khiyar adalah seorang pelaku akad memiliki hak pilih antara melanjutkan akad atau tidak melanjutkannya dengan memfasakhnya atau pelaku akad memilih salah satu dari dua barang dagangan. Dengan adanya hak khiyar tersebut dimaksudkan agar suatu ketika terjadi masalah dengan akad atau obyek

19

C. Tantri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, (Jakarta, yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation), h. 19-21

20

Imelda Martinelli, “Tiga Isu Penting Dalam Transaksi Konsumen”, Era Hukum , No. 11/Th 3/1997, hal.66.


(40)

29

maka persoalan dapat diselesaikan dengan mengacu pada hak-hak khiyar yang sudah ada dan menjamin agar akad yang diadakan benar-benar terjadi atas kerelaan penuh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun pengertian khiyar menurut Sulaiman Rasyid ialah boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli). Diadakan khiyar dalam Islam agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di

kemudian hari karena merasa tertipu.21

Manusia adalah makhluk tuhan yang mempunyai dua sifat individu dan sosial. Secara individu mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan dan lain-lain. Secara sosial manusia memerlukan bantuan orang lain untuk mencukupi segala kebutuhannya salah satu bentuk dari hubungan sosial itu adalah jual

beli.22 Dalam Islam, jual beli merupakan suatu hal yang diperbolehkan sesuai

dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 275 :

ِۚ ۡ طۡ َّ طَّ ت َ ق ك َإ ق ْ بِ كۡأ َ ۡث عۡ ّۡ َإ ْٓ ق ۡ َأب ك

ِ َ ح عۡ ّۡ َ َ حأ ْ بِ ةظعۡ ءٓج ف ْۚ ب

฀ َ إ ٓ ۡ أ ف ف ت ف ِبَ ِ

خ ف ۡ َ بحۡصأ ك ْٓ أف ع ۡ Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)

21

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2014), h. 286. 22

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989), h. 366.


(41)

penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka

kekal di dalamnya.”

Menurut Wahbah Az-Zuhaili, defenisi jual beli adalah proses tukar

menukar barang dengan barang. Kata bay’ yang artinya jual beli termasuk kata

bermakna ganda yang berseberangan, seperti hal nya kata syiraa’. Secara

terminologi, jual beli menurut ulama Hanafiyah adalah tukar-menukar maal (barang atau harta) dengan maal yang dilakukan dengan cara tertentu atau tukar-menukar barang yang bernilai dengan semacamnya dengan cara yang sah dan

khusus, yakni ijab-qabul atau mu‟aathaa (tanpa ijab qabul). Dengan demikian,

jual beli satu dirham dengan satu dirham tidak termasuk jual beli, karena tidak sah. Begitu pula jual beli seperti bangkai, debu, dan darah tidak sah, karena

termasuk jual beli barang yang tidak disenangi.23

Menurut Sulaiman Rasyid jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang lain dengan cara tertentu (akad). Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, ada beberapa point yang patut diperhatikan yaitu, menyakiti si

23


(42)

31

penjual, pembeli atau orang lain, menyempitkan gerakan pasaran, dan merusak

ketentraman umum.24

Dalam jual beli dalam Islam memiliki beberapa etika, diantaranya sebagai berikut:

1. Tidak boleh berlebihan dalam mengambil keuntungan, penipuan

dalam jual beli yang berlebihan di dunia dilarang dalam semua agama karena hal itu termasuk penipuan yang diharamkan dalam semua agama. Ulama Malikiah menentukan batas penipuan yang berlebihan itu adalah pertiga keatas, karena jumlah itulah batas maksimal yang dibolehkan dalam wasiat dan selainnya. Dengan demikian keuntungan yang baik dan berkah adalah keuntungan sepertiga keatas.

2. Berinteraksi yang jujur, dengan menggambarkan barang dagangan

dengan sebetulnya tanpa ada unsur kebohongan ketika menjelaskan macam, jenis, sumber, dan biayanya.

3. Bersikap toleran dalam berinteraksi, penjual bersikap mudah dalam

menentukan harga dengan cara menguranginya, begitu pula pembeli tidak terlalu keras dalam menentukan syarat-syarat penjual dan

memberikan harga lebih.25

24

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2014) h. 278-286. 25


(43)

Dalam jual beli terdapat dua subyek yaitu penjual yang kedudukannya sebagai pelaku usaha dan pembeli sebagai konsumen. Penjual sebagai pelaku usaha berusaha menghasilkan berbagai jenis produk diantaranya adalah makanan agar dapat dikonsumsi oleh konsumen. Dalam proses produksinya, sering kali para pelaku usaha atau produsen tidak jujur dan melakukan kecurangan atau penipuan kepada konsumen. Diantara kecurangan-kecurangan dan penipuan tersebut adalah direnggutnya hak-hak konsumen dalam kasus kartel sms yang merugikan konsumen mencapai triliunan rupiah yang dilakukan oleh para operator-operator seluler. Berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen dan anti monopoli dalam perspektif Islam mengenai

kasus kartelisasi bisnis sms (short message sercives) para operator seluler telah

melanggar para konsumen tentang etika jual beli. Point pertama, tidak boleh berlebihan mengambil keuntungan, hal ini telah dilanggar oleh para operator

seluler dalam melakukan kegiatan penetapan harga (price fixing) tarif sms

dengan mengambil keuntungan berlebih dalam kartelisasi sehingga merugikan konsumen. Point kedua berinteraksi yang jujur, konsumen mempunyai hak mendapatkan informasi yang jujur dari produsen atau pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha nya namun dalam kasus kartelisasi bisnis sms, para pelaku usaha yang tergabung dalam kegiatan kartel tidak menggambarkan atau menjelaskan secara jujur mengenai biaya tarif sms sehingga menimbulkan kerugian yang besar untuk konsumen.


(44)

33

Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat konsumen. Pada umumnya para

pelaku usaha berlindung dibalik standard contract atau perjanjian baku yang

telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pelaku usaha dan

konsumen.26 Dalam Islam tidak ada larangan jual beli, akan tetapi Islam

melarang setiap tindakan curang, penipuan para pelaku usaha terhadap konsumen. Larangan ini disebutkan dalam surah Hud ayat 85 :

ّۡت طۡ قۡ ب ۡ ۡ ۡ ْ فۡ أ ۡ ق ۡف ضۡ أۡ ف ْۡ ثۡعت ۡ ءٓ ۡشأ َ ْ

Artinya : Dan Syu´aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”

Selain telah dilarang dalam al-Quran larangan atas tindakan curang atau penipuan oleh pelaku usaha sebagai penjual atau dari pihak yang berlaku curang terhadap konsumen, misalnya menyembunyikan cacat, hal ini juga dilarang

dalam hadis nabi SAW.27 Berdasarkan dalil dari al-Quran dan hadis tersebut

menunjukan bahwa dalam Islam pun ada perlindungan konsumen, walaupun tidak secara defisit.

26

Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta, Gramedia, 2001), h. 1-3.

27

Abi Bakar Ahmad Ibn al Husein, Al-Sunan Al-Sagir, (Beirut, Dal Al-Fikri, 1:463, hadis nomor 2017) Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Uqbah bin amir al-Juhni.


(45)

Mustaq Ahmad menekankan bahwa dalam pespektif Islam, landasan yang mendorong perilaku seseorang pelaku bisnis hendaknya jangan didasarkan karena adanya rasa takut pada sebuah pemerintahan, tidak juga karena hasrat untuk menumpuk dan menimbun kekayaan. Perilaku bisnis mereka hendaknya dipondasikan atas rasa takut pada Allah SWT dalam usaha mencari dan menggapai ridho-Nya. Sehingga bisnis hendaknya melampaui sesuatu yang bersifat legal. Seseorang bukan hanya semata mengharapkan rasa keadilan, bahkan lebih jauh dari itu ia menginginkan yang melampaui hal tersebut dalam rangka memenuhi kebajikan dan keluruhan budi. Sebagaimana juga tuntutan bagi seorang muslim yang bertakwa, dia bukan hanya menghindari semua hal yang dilarang, bahkan lebih dari itu ia hendaknya menghindari “wilayah kelabu” (syubhaf), apabila dia melakukan tindakan itu ia merasa tidak mendapatkan ketenangan bathin. Singkatnya perilaku seseorang hendaknya diwarnai oleh sebuah kesopanan tindakan dan niat yang jujur sesuai dengan

kadar dirinya sebagai makhluk Allah yang mulia.28

Dalam melakukan perjanjian yang sah dalam jual beli sudah diatur dalam Islam. Dalam kajian Fiqh Muamalat masalah akad menempati posisi sentral karena merupakan cara paling penting yang digunakan untuk memperoleh maksud dan tujuan, terutama yang berkenaan dengan harta atau manfaat sesuatu secara sah. Tidak jarang karena kesalahan dalam memilih akad atau kurang


(46)

35

terpenuhinya syarat dan rukun akad, transaksi yang dilakukan seseorang bisa

dinilai tidak sah (batal). Secara terminologi, akad memiliki arti umum (al-ma‟na

al-am) dan khusus (al-ma‟na al-khas). Adapun arti umum dari akad adalah

segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk dikerjakan, baik yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak untuk wakaf, membebaskan hutang, thalak, dan sumpah, maupun yang membutuhkan pada kehendak dua pihak dalam melakukannya seperti jual beli, sewa menyewa, dan gadai atau jaminan. Adapun arti khusus akad adalah pertalian atau keterikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syari‟ah (Allah dan Rasulnya) yang menimbulkan

akibat hukum pada obyek akad.29 Oleh karena itu, pengetahuan mengenai akad

penting dalam menjalankan praktek jual beli antara produsen dan konsumen.

29


(47)

36 BAB III

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ANTI MONOPOLI DI INDONESIA

A. Hukum Perlindungan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Semula dalam tata hukum Indonesia, istilah Hukum Perlindungan Konsumen belum begitu dikenal. Keadaan agak berubah setelah hadirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 pada tanggal 20 April 1999. Konsumen yang dimaksudkan dalam bagian ini adalah setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk memproduksi barang atau jasa lain atau

memperdagangkannya kembali.1 Dalam pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor

8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Melemahnya etika bisnis di kalangan profesional mengindikasikan perlunya penerapan kaidah hukum dalam kasus-kasus yang membawa kerugian sebagian atau kerugian yang meluas di kalangan para korban (konsumen). Peran regulasi sendiri semacam kode etik belum

1

Yusuf Shofie, Perlndungan Konsumen dan instrument-instrumen hukumnya, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 269.


(48)

37

mampu membina para anggota profesinya agar berperilaku yang pantas di dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya. Meskipun demikian, dalam pembaruan hukum perlindungan konsumen, pihak produsen yang merupakan pihak yang diuntungkan oleh ketiadaan atau tidak memadainya aturan hukum perlindungan konsumen perlu pula mendapat perlindungan-perlindungan tertentu agar tetap terjadi keseimbangan dalam perlindungan hukum.

Tujuan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan

perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen atau secara tidak langsung mendorong pelaku usaha didalam menyelenggarakan kegiatan usahanya agar dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :

1. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur

keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum.

2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh

pelaku usaha.

3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.

4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang

menipu dan menyesatkan.

5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan perlindungan


(49)

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen” meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha. Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen, baik dalam hukum privat (perdata) maupun bidang hukum public (hukum pidana dan hukum administrasi negara).

Asas dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 menurut pasal 2 berbunyi “Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum”. Penjelasan dari bunyi pasal ini, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.


(50)

39

2. Asas kadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen berdasarkan pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 berbunyi. “perlindungan konsumen bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat konsumen dengan menghindarkan dari ekses negative pemakaian barang atau jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen, menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dalam


(51)

berusaha dan meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang atau jasa”. Pasal 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen ini merupakan isi pembangunan nasional, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

Berkaitan dengan perbuatan yang dilarang untuk pelaku usaha, seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan tujuan perlindungan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negative dari pemakaian barang atau jasa harus dihindarkan dari aktifitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negative pemakaian barang atau jasa tersebut, undang-undang menentukan berbagai larangan, termasuk kegiatan kartel. Tentu untuk mengatur hal ini dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tercantum dalam pasal 8 ayat (1), (2), (3), (4), yang dimana pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha nya dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat dan juga harus memberikan informasi yang lengkap dan benar terkait barang yang diperdagangkan. Pada intinya substansi pasal ini tertuju pada dua hal, yaitu larangan memproduksi barang atau jasa dan larangan memperdagangkan barang atau jasa yang dimaksud. Larangan-larangan yang dimaksudkan hakikatnya antara lain mengupayakan agar barang atau jasa yang beredar di masyarakat


(52)

41

merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan

informasi pengusaha baik melalui label, dan lain sebagainya.2

Dalam hal pembinaan dan pengawasan konsumen dalam melakukan transaksi usaha dengan produsen peran Pemerintah juga ikut andil dalam pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan dalam pasal 29 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ayat (1) yang berbunyi, “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”. Keterlibatan pemerintah dalam pasal ini didasarkan pada kepentingan yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kehadiran negara untuk mensejahtrerakan rakyatnya. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut maka adanya tanggung jawab Pemerintah atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen tidak lain dimaksudkan untuk

memberdayakan konsumen memperoleh haknya. Tugas pembinaan

penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan dilaksanakan oleh Menteri terkait sebagaimana ditentukan dalam pasal 29 tersebut, selanjutnya telah dijabarkan dalam Peraturan

2

Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung, Mandar Maju, 2000), h. 18


(53)

Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 yang intinya menciptakan iklim usaha yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen.

Dalam kaitannya dengan badan apakah yang menaungi konsumen dalam hal melindungi konsumen adalah adanya Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Dibentuknya badan ini untuk melindungi konsumen termaktub dalam pasal yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, berdasarkan pasal 31 yang berbunyi, “Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan

konsumen dibentuk badan Perlindungan Konsumen Nasional”. Berangkat dari

ketentuan pasal ini, dapat diketahui bahwa Badan Perlindungan Konsumen Nasional diadakan untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia. Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibentuk sebagai upaya untuk mengembangkan perlindungan konsumen yang sudah diatur dalam pasal

lain. Pengaturan tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional

memperlihatkan bentuk kesungguhan pembuat undang-undang memberikan perlindungan kepada konsumen yang selama ini lebih banyak hanya dijadikan sebagai objek produksi barang atau jasa oleh pelaku usaha yang tidak jarang melakukan kegiatan usaha terlarang seperti kartel. Dan untuk menjalankan tugas dan fungsinya Badan Perlindungan Konsumen Nasional telah diatur dalam pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.

Sebelum lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, upaya perlindungan terhadap konsumen kurang dirasakan oleh masyarakat karena


(54)

43

disamping tersebarnya ketentuan perlindungan konsumen dalam berbagai peraturan undangan, pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tersebut memang belum dirasakan oleh masyarakat sebagai perlindungan terhadap konsumen. Walaupun telah lahir Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang sudah lama dinanti-nantikan, namun masih belum mencapai perkembangan sebagaimana di negara maju. Sebagai contoh, ganti kerugian yang dapat diberikan kepada konsumen yang mengalami kerugian hanya meliputi kerugian yang langsung dialami oleh konsumen karena mengkonsumsi suatu produk (hanya kerugian karena rusaknya produk) dan tidak meliputi akibat (kerugian harta benda) yang ditimbulkannya, lebih-lebih pada keuntungan yang tidak diperoleh (kehilangan keuntungan yang

diharapkan) akibat pennggunaan produk.3 Peran lembaga konsumen dalam

suatu negara sangat penting untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Begitu pentingnya peran lembaga konsumen ini, pada kongres konsumen sedunia di Santiago, sempat mengemuka tentang peran lembaga konsumen dalam memfasilitasi konsumen memperoleh keadilan.

Di Indonesia peran lembaga konsumen dalam memfasilitasi konsumen guna memperoleh keadilan ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 11 Mei 1973 yang bertujuan untuk

3

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2011), h. 68-69


(55)

membantu konsumen Indonesia agar tidak dirugikan dalam mengonsumsi barang dan jasa. Kehadirannya merupakan langkah maju dalam menegakan keadilan bagi konsumen. Keberadaan lembaga-lembaga yang memberikan perlindungan konsumen semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang secara tegas menyatakan akan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang bertugas guna memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen dan juga melakukan penelitian terhadap barang dan jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.

Diharapkan dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mendorong dibentuknya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat bisa menempatkan posisi konsumen pada posisi yang seharusnya yaitu menjadi seimbang bahkan lebih kuat dari produsen agar terciptanya

keseimbangan dalam hukum dan ekonomi nasional.4

B. Hukum Anti Monopoli Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Sebetulnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara komperehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu muncul karena banyaknya praktek-praktek perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering

memberikan perlindungan maupun privileges kepada para pelaku bisnis

4


(56)

45

tertentu, sebagai bagian dari praktek-praktek kolusi, korupsi, kroni, dan nepotisme. Pengaturan persaingan usaha baru terwujud pada tahun 1999 saat Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan. Kelahiran undang-undang ini ditunjang dengan tuntutan masyarakat akan reformasi total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan kegiatan monopoli

di segala sector.5 Dampak positif dari lahirnya undang-undang ini adalah

terciptanya pasar yang tidak terdistorsi, sehingga menciptakan peluang usaha yang semakin besar bagi para pelaku usaha. Keadaan ini akan memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam menciptakan dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika hal ini tidak dilakukan, para konsumen akan beralih kepada produk yang lebih baik dan kompetitif. Ini berarti secara tidak langsung undang-undang ini akan memberikan keuntungan bagi konsumen dalam produk yang lebih berkualitas, harga yang bersaing, dan pelayanan yang lebih baik. Undang-undang ini juga mengikat pemerintah untuk tidak mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat memberikan kemudahan dan fasilitas istimewa kepada para pelaku usaha tertentu yang bersifat monopolistik. Diharapkan undang-undang ini akan mampu mengikat pemerintah untuk lebih objektif dan profesional dalam mengatur dunia usaha di Indonesia dan dapat

5

Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 8.


(57)

meningkatkan kepercayaan masyarakat Internasional terhadap Indonesia

sehingga mereka tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.6

Dalam suatu struktur pasar yang kompetitif, pelaku usaha yang berusaha di dalam pasar tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk kedalam pasar, membuat setiap pelaku usaha yang ada di dalam pasar tidak akan mampu untuk menyetir harga sesuai dengan keinginannya, mereka hanya menerima harga yang sudah ditentukan oleh pasar dan akan berusaha untuk berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai suatu tingkat yang efisien dalam berproduksi. Namun sebaliknya dalam pasar yang berstruktur oligopoli, dalam pasar ini hanya terdapat beberapa pelaku usaha saja kemungkinan pelaku usaha bekerjasama untuk menentukan harga produk dan jumlah produksi dari masing-masing pelaku usaha menjadi lebih besar. Oleh karena itu biasanya praktek kartel dapat tumbuh dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli, karena lebih mudah untuk bersatu dan

mengusai sebagian pangsa pasar.7

Praktek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap,

6

Ibid, h. 9. 7

Herbert Hovenkamp, Federal Anti Trust Policy, The Law of Competition and It’s Practice, (2nd ed, Katalis and GTZ, 1995), h. 144


(58)

47

maka akan berakibat pada naiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi dan sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka berlimpah, sudah barang tentu akan berdampak pada penurunan harga produk mereka di pasar. Maka dari itu pada praktek kartel ini, para pelaku usaha mencoba membentuk suatu kerjasama

horizontal (pools) untuk menentukan harga dan jumlah produksi barang atau

jasa.8

Pada hakikatnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah

mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya. Berkaitan dengan ini maka keberadaan undang-undang ini yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan memerhatikan keseimbangan antara kepentingan usaha dan kepentingan umum tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia. Dengan menyimak secara seksama tujuan diatas kita dapat mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan dari Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999 adalah menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas, dan memberikan sanksi terhadap para pelanggarnya. Sehingga secara prinsipnya tujuan dari Undang-Undang Anti Monopoli untuk menciptakan efisiensi dan keadilan terutama disuatu pasar

8


(59)

tertentu dengan cara menghilangkan distorsi pasar antara lain mencegah penguasaan pangsa pasar yang besar oleh seorang atau beberapa orang pelaku pasar, mencegah timbulnya hambatan terhadap peluang pelaku pasar pendatang baru, dan menghambat atau mencegah perkembangan pelaku pasar yang menjadi pesaingnya. Jadi jelaslah, bahwa eksistensi dan orientasi dari Undang-Undang Anti Monopoli adalah menciptakan persaingan usaha yang sehat dengan cara mencegah monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, serta untuk mencipakan ekonomi pasar yang efektif dan efisiensi demi peningkatan

kesejahteraan rakyat.9

C. Deskripsi Kasus Kartel SMS Terkait Dengan Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah. Lebih-lebih jika produk yang dihasilkan oleh produsen merupakan jenis produk yang terbatas, produsen dapat menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut. Hal itu tentu saja akan merugikan konsumen.

Krisis finansial Asia menyebabkan ekonomi Indonesia melemah pada akhir masa Orde Baru. Era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah

9

Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 13-15.


(1)

dilakukan oleh para pelaku usaha untuk mencegah hal-hal yang dapat merugikan orang lain peran dan wewenang KPPU diharapkan sebagai alat pengontrol agar para pelaku usaha tidak melakukan kegiatan usaha yang dilarang sesuai dengan Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999.

3. Hukum perlindungan konsumen dan hukum persaingan usaha anti monopoli merupakan dua hal yang saling berhubungan dan saling mendukung. Harga murah, kualitas tinggi dan pelayanan yang baik merupakan tiga hal yang fundamental bagi konsumen dan persaingan merupakan cara yang terbaik untuk menjaminnya. Peran lembaga BPSK dan KPPU juga harus bisa bersinergi dalam menangani masalah-masalah yang melibatkan antara konsumen dan pelaku usaha. Oleh karena itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen harus sejalan atau saling mendukung dengan Undang-Undang Anti Monopoli agar tercipta keharmonisan system dalam bidang ekonomi nasional.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini ada beberapa hal yang ingin disarankan penulis, diantaranya adalah :

1. Pemberlakuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 ditujukan untuk melindungi konsumen terhadap produsen. Sebelum lahirnya undang-undang ini dalam kegiatan usaha pihak konsumen merupakan pihak yang lemah. Dalam kegiatan usaha saat ini pihak konsumen harus lah


(2)

82

menjadi konsumen yang cerdas karena saat ini pihak konsumen telah dilindungi oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan dibawah undang-undang perlindungan konsumen pula dibentuk instansi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Jika konsumen dirugikan oleh para pelaku usaha atau produsen bisa langsung melapor ke instansi tersebut untuk menyelesaikan permasalahan yang ada terutama untuk melindungi para konsumen.

2. Disamping itu pelaku usaha atau produsen dalam menjalankan kegiatan usaha nya juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli. Agar para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya bisa dibatasi dan tidak berbuat sewenang-wenangnya hanya demi mementingkan keuntungan semata. Diharapkan agar para pelaku usaha juga memperhatikan hak-hak para konsumen dalam kegiatan usaha agar tercipta keseimbangan dan kenyamanan dalam ekonomi nasional. Untuk mengawasi dan memutuskan para pelaku usaha dalam berkegiatan usaha telah dibentuk KPPU agar para pelaku usaha tidak melanggar undang-undang dalam berkegiatan usaha.

3. Peran BPSK dan KPPU perlu bersinergi dalam memberantas kegiatan usaha tidak sehat atau yang dilarang dan juga agar konsumen tidak mengambil kesempatan atau berbuat curang dalam hal ini yang dikarenakan telah dilindungi dalam UUPK, karena perlindungan konsumen dan juga persaingan usaha anti monopoli merupakan dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan.


(3)

83

DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku :

Ahmad, Mustaq, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2001.

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009.

Arsedo, Philip, Anti Trust Analysis Problems Text Cases, Litile Brown and Company, 1981.

Asshidiqie, Jimly, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press. Echols, John, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta, Gramedia Jakarta, 1986.

Fahmi, Andi., Lubis, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,Jakarta, RDV Creative Media, 2009.

Fuady, Munir, Hukum Anti Monopoli (Menyongsong Era Persaingan Sehat),Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Head, W., John, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta, Elips II, 2002.

Henry, Black., Campbell, Black LawDictionary, USA, 6 thn Ed West Publishing Co. St Paul-Minn, 1990.

Hensen, Knud, Undang-Undang No. 5Tahun 1999 : Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Law Concering Probhition of monopolistic practices and unfair business competition), Jakarta:Katalis dan GTZ.

Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta, Kencana Pernada Media Group, 2008.

Homby, A., S, Oxford Learner’s Dictionary of Current English, Oxford, Oxford University Press, 1987.

Ibrahim, Johny, Hukum Persaingan Usaha, Malang, Bayumedia Publishing, 2007. Kartika, Elsi, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,


(4)

84

Kartte, Wolfgang, Law Concerning Prohibition Of Monopolistic Practices And Unfair Business Competition, Federal Republic of Germany, Deutche Geselleschaft fur Techische, 2001.

Lathif, Azharudin, Fiqh Muamalat, Jakarta, UIN Jakarta Press, 2005.

Miru, Ahmadi, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, RajaGrafindoPersada, 2004.

Miru, Ahmadi, Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2011.

Muhammad, Teuku., Radhie, Pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijakan, Yogyakarta, Fakultas Hukum UII, 1997.

Nasution, AZ, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2000.

Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 2000.

Patrik, Purwahid, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Bandung, Mandar Maju, 1994. Rajaguguk, Erman, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000. Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2014.

Sardjono, Agus, Pentingnya Sistem Persaingan Usaha Yang Sehat dalam Upaya Memperbaiki Sistem Perekonomian, Jakarta,Newsletter No 34 Tahun IX, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 1998.

Shofie, Yusuf, PelakuUsaha, Konsumen, Dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2002.

Sofie, Yusuf, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK: Teori dan Pencegahan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo, 2000. Sinamo, Nomensen, Penelitian Hukum, Jakarta, Bumi Intitama Sejahtera, 2009. Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, RajaGrafindo Persada,


(5)

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002

Syawali, Husni, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000. Tantri, C, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, Jakarta, yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation.

Taufik, Muhammad, Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010.

Theodore, P., Kovaleff, The Anti Trust Impulse, vol. 1, 1994.

Usman, Rachmadi, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002.

Wojowasito, KamusBahasa Indonesia (dengan ejaan yang disempurnakan menurut pedoman Lembaga Bahasa Nasional), Bandung, Shinta Dharma, 1972. Zuhaili, Wahbah, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Depok, Gema Insani, 2011. Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 butir 2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 TentangAnti Monopoli Pasal 11

Peraturan Pemerintah :

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 Tentang Penggabungan Atau Peleburan Badan Usaha Dan Pengambilan Saham Perusahaan Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


(6)

86

Agus Sardjono, Pentingnya Sistem Persaingan Usaha Yang Sehat dalam

UpayaMemperbaiki Sistem Perekonomian: Jakarta,Newsletter No 34 Tahun IX, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 1998

Az. Nasution ,“Sekilas Hukum Perlindungan Konsumen”, Majalah Hukum dan Pembangunan, Fakultas Hukum UI, No. 6 tahun ke XVI, Desember 1986. Deswin Nur & Tim Direktorat Kebijakan Persaingan, KPPU dan Pengembangan

Kebijakan Persaingan di Asia, KOMPETISI, Media Berkala Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008.

Internet :

www.yudicare.wordpress.com diunduh pada 9 Oktober 2014 www.hukumonline.com diunduh pada 9 Oktober 2014

Kompasiana, Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Adalah Budaya (online), http://politik.kompasiana.com diunduh pada 15 April 2014