12
VIABILITAS SERBUK SARI BUNGA TERATAI SUDAMALA
Nymphoides indica
L. Kuntze, MENYANTHACEAE DENGAN UJI WARNA,
IN-VITRO
DAN
SQUASH
KEPALA PUTIK VIABILITY OF
SUDAMALA’S LOTUS POLLEN
Nymphoides indica
L. Kuntze, MENYANTHACEAE BASED ON COLOR TEST,
IN-VITRO
AND STIGMA’S SQUASH.
Gusti Ayu Nyoman Budiwati, Eniek Kriswiyanti, I Gusti Ayu Sugi Wahyuni
Program Studi Magister Biologi, Universitas Udayana Email: gustiayubudiwatigmail.com
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berkecambah viabilitas serbuk sari teratai Sudamala Nymphoides indica L. Kuntze dengan uji warna, in-vitro dan squash kepala putik.
Sampel serbuk sari diambil dari 10 bunga 5 individu dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar, tempat pengambilan sampel di Danau Beratan Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti,
Kabupaten Tabanan. Metode: uji warna aniline blue dalam laktofenol, in vitro 0,8 agar dalam 30 larutan gula dan squash kepala putik menggunakan fiksatif Farmer dan pewarnaan 1 aniline blue.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe bentuk serbuk sari teratai Sudamala: bulat, minuta, prolate spheroidal. Persentase viabilitas serbuk sari tertinggi pada uji warna ± 100 dari bunga sebelum mekar,
mekar dan setelah mekar, paling rendah pada uji in - vitro yaitu dari bunga sebelum mekar ± 0, baru mekar ± 1,1 0-9,40 dan setelah mekar ± 5,61 0-21,56 sedangkan pada squash kepala putik
dari bunga sebelum mekar ± 0, mekar ± 14,44 0-85,71, dan setelah mekar ± 84,96 70,93- 92,45.
Kata kunci : serbuk sari, uji viabilitas, Nymphoides indica
ABSTRACT
The purpose of this research was to determine the viability of
Sudamala’s
lotus pollen germination by colortest, in-vitro and
stigma’s
squash. Flowersare usedrespectively- each 10 5 individual of before anthesis, anthesis and after anthesis, samples were taken from Candi Kuning village,
Lake Beratan, Baturiti, Tabanan. The
methods: aniline blue’s color test in laktofenol, in
-vitro 0,8 jellyin 30 sugar
and stigma’s squash
use fixative Farmer. The results showedthe type of pollen forms from Lotus Sudama lawere: circular,prolate spheroidalminuta and r
uga. The percentage of pollen’s
viability from before anthesis, anthesis and after anthesis by color test, showed a very high viability is ± 100. In
– vitro test before anthesis showed the pollen’s viability
wa s ± 0, anthesis ± 1,10 0-9,40 and after anthesis ± 5,61 0-
21,56. Stigma’s squash method showed before anthesis was ± 0,
anthesis ± 14,44 0-85,71, and after anthesis ± 84,96 70,93-92,45.
Keywords : pollen, viability test, Nymphoides indica
13
PENDAHULUAN
Di Indonesia telah ditemukan tiga spesies tanaman teratai yaitu
Nympheae pubescens
,
N
.
stellata
,
N
.
nouchali
Steenis dkk., 2005. Di Bali, khususnya di daerah Gianyar, berdasarkan hasil penelitian pendahuluan ditemukan beberapa jenis teratai berdasarkan warna bunga yaitu teratai
Sudamala Nymphoides indica
, teratai Kuning, teratai Biru Tua
Nymphaea stellata
Wild, teratai Merah Muda, teratai Ungu Tua, teratai Ungu Muda, teratai Putih
Nymphaea nouchali
Burm f., teratai Biru Muda
Nymphaea stellata
Wild, teratai
Tutur
, teratai
Dedari
dan teratai
Brumbun
. Diantara teratai tersebut yang paling menarik dan langka adalah teratai
Sudamala
Budiwati, 2014.
Menurut masyarakat di Bali, teratai
Sudamala Nymphoides indica
digolongkan ke dalam keluarga teratai
– terataian tetapi hasil penelusuran pustaka teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze tidak tergolong ke dalam keluarga teratai. Tetapi termasuk familia
Menyanthaceae
yang
merupakan tanaman bisah air Marwat
et al
, 2009. Tanaman ini hidup menahun, memiliki akar geragih yang pendek, batang berbentuk silindris, daun berbentuk bulat
orbicularis
, berbunga banyak dengan mahkota berukuran kecil berbulu halus, berwarna kuning dan ada yang berwarna putih, pada
corolla,
bagian pusatnya berwarna kuning Marwat
et al
, 2009. Pada umumnya tanaman ini merupakan tanaman kosmopolitan dengan distribusi yang luas,
namun akibat adanya eutrofikasi dan reklamasi lahan menyebabkan tanaman ini terancam punah Ornduff, 1966. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shibayama and Yasuro 2003 yang menyebutkan
bahwa
Nymphoides indica
L. Kuntze merupakan tanaman yang terancam punah. Tanaman ini di Bali ditanam sebagai tanaman hias dan sebagai sarana upacara keagamaan, di Papua New Guinea, tanaman ini
digunakan untuk merangsang kehamilan. Di Vietnam tanaman ini digunakan untuk menurunkan demam, menyegarkan badan, serta meredakan masuk angin dan perut kembung Wiart, 2006.
Reproduksi pada tanaman teratai umumnya secara generatif dan vegetatif Tjiptrosoepomo, 2005, pada teratai
Sudamala
belum ada yang melaporkan cara perkembangbiakannya apakah secara generatif atau vegetatif. Reproduksi generatif merupakan perkembangbiakan tanaman dengan
menggunakan biji, yang diawali dengan peristiwa penyerbukan, yaitu jatuhnya serbuk sari di kepala putik. Salah satu penyebab dari gagalnya suatu tanaman membentuk biji atau pembuahan adalah sterilitas
serbuk sari. Parameter penting dalam menentukan keberhasilan penyerbukan salah satunya adalah fertilitas serbuk sari, karena setelah penyerbukan serbuk sari harus hidup dan mampu berkecambah.
Fertilitas serbuk sariditentukan oleh kemampuan serbuk sari berkecambah viabilitas, viabilitas yang tinggi merupakan salah satu komponen yang menentukan keberhasilan persilangan tanaman Widiastuti
dan Endah, 2008. Hilangnya viabilitas serbuk sari sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, terutama suhu dan kelembaban relatif Shivanna
et al
., 1991. Untuk mengetahui fertilitas serbuk sari dapat dilakukan uji viabilitas serbuk sari. Berdasarkan hal
tersebut maka dilakukan penelitian mengenai viabilitas serbuk sari bunga teratai
Sudamala Nymphoides
indica
L. Kuntze dengan teknik uji warna 1
aniline blue
dalam laktofenol,
in - vitro
dan
squash
kepala putik.
MATERI DAN METODE
Sampel yang digunakan adalah serbuk sari dan putik dari bunga teratai
Sudamala Nymphoides
indica
L. Kuntze sebelum mekar, mekar dan sesudah mekar. Sampel diambil dari danau Beratan Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Penelitiandilaksanakan di Laboratorium Struktur
dan Perkembangan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.Pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Oktober
– Desember 2013.
14
Uji viabilitas serbuk sari : a.
Uji warna 1
aniline blue
dalam laktofenol
Serbuk sari teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze yang telah diambil kemudian dikumpulkan pada
mikrotube
yang telah diberi zat warna 1
aniline blue
dalam laktofenol dan dibiarkan selama 10 menit Bhojwani dan Bhatnagar, 1999. Kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop
olymphus. Dihitung jumlah serbuk sari dengan dinding mengkerut dan tidak menyerap warna serta serbuk sari yang tidak mengkerut dan dapat menyerap warna, dilakukan pengamatan untuk 10 preparat dan
dihitung rata – ratanya dalam persentase Kriswiyanti, dkk., 2010.
b. Uji viabilitas serbuk sari secara
in
–
vitro
Serbuk sari dari bunga teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze diambil dan ditaburkan pada 10 gelas benda yang telah berisi media 0,8 agar dalam 30 larutan gula kemudian diinkubasi
selama ±24 jam Bhojwani dan Bhatnagar, 1999. Setelah diinkubasi selama ± 24 jam kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop, diamati serbuk sari dengan panjang buluh yang terbentuk sama atau
lebih panjang dari diameter serbuk sari. Dihitung persentase perkecambahan serbuk sari.
c. Uji viabilitas serbuk sari dengan teknik
squash
kepala putik
Kepala putik dari bunga teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze dipotong dan dimasukkan ke dalam
mikrotube
yang telah berisi fiksatif Farmer selama ± 24 jam. Fiksatif dibuang dan diganti dengan larutan
clearing
10 NAOH selama 1-5 menit, pewarnaan dengan 1
aniline blue
dalam laktofenol selama 2-5 menit. Kemudian kepala putik diletakkan pada gelas benda dan ditutup,
disquash
. Diamati serbuk sari yang berkecambah pada kepala putik. Pengamatan mikroskopik dengan mikroskop,
viabilitas serbuk sari = jumlah serbuk sari yang berkecambah dibagi dengan jumlah serbuk sari yang berkecambah dan tidak kali seratus persen Kriswiyanti, dkk., 2010.
Metode asetolisis
Serbuk sari difiksasi dalam AGG Asam Asetat Glasial selama 24 jam, disentrifugasi selama 5 menit, dicuci dengan air. Air dibuang diganti dengan larutan asetolisis AAG 9 bagian dan 1 bagian asam
sulfat pekat, tabung reaksi diletakkan dalam
water bath
yang telah berisi air mendidih, biarkan tetap mendidih selama 15 menit. Setelah dingin dicuci dengan air beberapa kali, disentrifugasi selama 5-10
menit. Air dibuang diganti dengan
glyserin jelly
yang telah dicampur 1
safranin
. Penutupan dan
labeling
Berlyn and Miksche, 1976. Serbuk sari diamati dengan mikroskop untuk menentukan tipe
bentuk panjang, lebar dan diameter serbuk sari dengan menggunakan mikrometri.
Parameter serbuk sari yang diukur meliputi panjang, lebar dan diameternya dilihat secara acak dibawah mikroskop, kemudian diukur dengan menggunakan mikrometri untuk mengukur panjang axis
polar dan diameter bidang equatorial yang disebut indeks PE. Serbuk sari yang diukur berasal dari 80 butir serbuk sari yang di ambil secara acak dari 10 gelas benda.
HASIL Tipe Bentuk dan Struktur Serbuk Sari Teratai
Sudamala Nymphoides Indica
L. Kuntze dengan Metode Asetolisis
Berdasarkan hasil pengukuran serbuk sari bunga teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze dengan metode asetolisis dapat diketahui serbuk sari dari bunga teratai
Sudamala
berbentuk bulat, memiliki rata
– rata panjang aksis polar P 27,46µm ± 3,61 15 - 40µm dan rata – rata bidang equatorial E 25µm ± 3,32 20 - 35µm sehingga indek PE berkisar antara 1,00
– 1,14 yang tergolong ke dalam
15
kelas tipe
Prolate Spheroidal
. Sedangkan diameternya berkisar antara 10-25µm sehingga termasuk kelompok
Minuta
. Berdasarkan tipe
aperture
termasuk kelompok
Ruga
Erdtman, 1952 gambar 1.
Gambar 1. Foto serbuk sari bunga teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze Keterangan: A. Serbuk sari teratai
Sudamala
; a.
Aperture
B. Pengukuran serbuk sari dengan menggunakan mikrometri; a
. Eksin
; b.
Intin
; c.
Aperture
Viabilitas Serbuk Sari Teratai
Sudamala Nymphoides Indica
L. Kuntze Dengan Uji Warna,
In - Vitro
Dan
Squash
Kepala Putik
Berdasarkan hasil perhitungan viabilitas serbuk sari dari bunga teratai
Sudamala
sebelum mekar Gambar 2, baru mekar dan setelah mekar dengan menggunakan metode uji warna 1
aniline blue
dalam laktofenol,
in
–
vitro
dan
squash
kepala putik : pada uji warna serbuk sari bunga teratai
Sudamala
sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar menunjukkan viabilitas yang sangat tinggi yaitu ± 100. Pada uji
in - vitro
viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar± 0, baru mekar ± 1,10 0 - 9,40 dan setelah mekar ±5,61 0 - 21,56. Pada
squash
kepala putik viabilitas serbuk sari bunga teratai
Sudamala
dari bunga sebelum mekar ± 0, baru mekar ± 14,44 0 – 85,71, dan setelah mekar ±
84,96 70,93 – 92,45.
Gambar 2. Foto serbuk sari bunga teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar dengan uji warna 1
aniline blue
dalam laktofenol Keterangan: A. Serbuk sari teratai
Sudamala
baru mekar; B. foto serbuk sari teratai
Sudamala
; a. Serbuk sari viabel; b. Serbuk sari tidak viabel
c a
b a
A B
A B
16
PEMBAHASAN Viabilitas Serbuk Sari Dengan Uji Warna
Hasil uji viabilitas serbuk sari dengan metoda uji warna 1
aniline blue
dalam laktofenol Bhojwani dan Bhatnagar, 1999, menunjukkan bahwa serbuk sari dari bunga teratai
Sudamala Nymphoides indica
sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar memiliki viabilitas yang sangat tinggi yaitu ±100. Serbuk sari bunga sebelum mekar menunjukkan viabilitas sebesar ±100, hal ini
disebabkan karena serbuk sari sel – selnya meristematik sehingga dapat menyerap warna dengan baik,
namun serbuk sari belum masak. Serbuk sari masak ditandai dengan lepasnya serbuk sari dari kepala sari
anther
Prana, 2007.
Viabilitas Serbuk Sari Dengan Metoda
In-vitro
Berdasarkan hasil pengamatan viabilitas serbuk sari bunga teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze dengan metode
in-vitro
yaitu pada bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekarmenunjukkan bahwa viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar 0, bunga baru
mekar sebesar 1,10 0 - 9,40 dan bunga setelah mekarsebesar 5,61 0 - 21,56. Viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar 0, hal ini disebabkan karena serbuk sari belum masak ditandai
dengan belum lepasnya serbuk sari dari dalam
anther
Prana, 2007. Beberapa faktor yang mempengaruhi perkecambahan serbuk sari secara
in
–
vitro
antara lain :jenis tanaman, waktu pengumpulan serbuk sari, musim, metode pengambilan serbuk sari, penyimpanan
dan kerapatan serbuk sari serta kondisi lingkungan perkecambahan seperti suhu, media, dan pH Galleta, 1983.
Rendahnya viabilitas serbuk sari dapat disebabkan karena komposisi dan konsentrasi media perkecambahan yang digunakankurang sesuai. Menurut Wang
et al
. 2004 komposisi dan konsentrasi media yang digunakan dalam uji perkecambahan serbuk sari dapat mempengaruhi viabilitas serbuk sari
pada berbagai jenis tanaman. Selain komposisi dan konsentrasi media, rendahnya viabilitas serbuk sari dapat disebabkan karena suhu dan kelembaban. Pada umumnya suhu yang lebih rendah akan lebih baik
bagi perkecambahan serbuk sari, namun hal ini juga tergantung dari genotip tanaman yang digunakan Parfitt and Almehdi, 1984. Pada suhu yang rendah tidak menyebabkan perubahan kandungan air serbuk
sari, karena air tersebut terikat dan tidak membeku Widiastuti dan Endah, 2008.
Suhu dan kelembaban merupakan faktor yang sangat mempengaruhi viabilitas serbuk sari. Suhu yang baik bagi perkecambahan serbuk sari secara
in
–
vitro
berkisar antara 15 - 35
o
C, sedangkan suhu optimumnya adalah 25
o
C . Pada suhu yang terlalu tinggi yaitu berkisar antara 40 - 50
o
C, serbuk sari tidak akan berkecambah karena pada suhu yang terlalu tinggi maka penguapan juga akan semakin tinggi,
penguapan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan serbuk sari mengering, sedangkan apabila suhu terlalu rendah misalnya di bawah 10
o
C serbuk sari akan mengalami dehidrasi dan mengkerut sehingga tidak mampu berkecambah Darjanto dan Satifah, 1990. Viabilitas serbuk sari pada sebagian besar tanaman
dapat dipertahankan pada kelembaban relatif 0-30 Setiawan dan Ruskandi, 2005. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya viabilitasserbuk sari adalah tingkat kemasakan serbuk
sari. Makin tinggi tingkat kemasakan serbuk sari makapersentase perkecambahan makin tinggi Bhojwani dan Bahtnagar, 1999.
17
Gambar 3. Foto serbuk sari bunga teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze hasil uji
in - vitro
Keterangan: a.Serbuk sari tidak membentuk buluh nonviabel; b. Serbuk sari membentuk buluh viabel
Viabilitas Serbuk Sari Dengan
Squash
Kepala Putik
Viabilitas serbuk sari dengan
squash
kepala putik dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekarmenunjukkan bahwaviabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar ±0, bunga
baru mekar ±14,44 0 - 85,71 dan bunga setelah mekar±84,96 70,93 - 92,45. Persentase viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar ±0 , hal ini disebabkan karena pada bunga
sebelum mekar, serbuk sari belum masak sehingga tidak terjadi penyerbukan
polinasi
. Viabilitas serbuk sari bunga teratai
Sudamala
dengan
squash
kepala putik pada bunga setelah mekar menunjukkan viabilitas yang tinggi. Menurut Lubis 1993 serbuk sari dikatakan memiliki
viabilitas rendah jika persentasenya dibawah 60. Viabilitas serbuk sari dari bunga baru mekar lebih rendah dibandingkan bunga setelah mekar hal ini disebabkan karena serbuk sari membutuhkan waktu
yang lebih lama untuk proses imbibisi air, garam – garam anorganik, dan sukrosa. Pada bunga setelah
mekar lebih banyak serbuk sari yang sudah melakukan proses imbibisi untuk pertumbuhan buluhnya sehingga lebih banyak serbuk sari yang berkecambah dibandingkan dengan bunga baru mekar, dimana
pada bunga baru mekar belum semua serbuk sari telah selesai melakukan proses imbibisi sehingga belum banyak serbuk sari yang berhasil membentuk buluh.
Faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan serbuk sari dalam membentuk buluh antara lain:
reseptivitas
kepala putik, kondisi serbuk sari, serta faktor luar yaitu suhu dan kelembaban. Putik yang reseptif ditandai dengan perubahan warna pada putik menjadi lebih terang, pori
– pori kepala putik membesar, tangkai putik mulai lurus, putik memproduksi cairan ekstraseluler.
Gambar 6. Foto serbuk sari bunga teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze hasil
squash
kepala putik
Keterangan : A.Serbuk sari tidak berkecambah tidak viabel; B. Serbuk sari berkecambah viabel. b
a
A B
A B
18
Berdasarkan hasil uji viabilitas serbuk sari bunga teratai
Sudamala
dengan uji warna,
in
–
vitro
dan
squash
kepala putik menunjukkan bahwa viabilitas serbuk sari bunga teratai
Sudamala
tertinggi pada uji warna mencapai 100 baik dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar, dan pada
squash
kepala putik bunga setelah mekar mencapai 84,96. Viabilitas serbuk sari bunga teratai
Sudamala
terendah terdapat pada uji
in
–
vitro
dan
squash
kepala putik dari bunga sebelum mekar yaitu 0, hal ini menunjukkan bahwa penyerbukan bunga teratai
Sudamala
terjadi setelah bunga mekar
Kasmogami
. Teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze menurut penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya merupakan tipe bunga
Self-incompatibility
.
Nymphoides indica
L. Kuntze merupakan tanaman
Perenial
,
Makrofita
,
Herkogami
,
Geitonogami
, dengan tipe yang khas yaitu
Heterostilidan Self
–
incompatibility
Sibayama and Yasuro, 2003. Inkompatibilitas
incompatibility
adalah tanaman dengan serbuk sari dan bakal biji
ovulum
yang normal tidak mampu untuk membentuk biji disebabkan karena gangguan fisiologis yang menghalangi terjadinya pembuahan. Penyebab terjadinya ketidakserasian
sendiri adalah : a. Butir-butir serbuk sari tidak menempel pada kepala putik, atau b. Butir serbuk sari berkecambah pada
stigma
atau buluh serbuk sari gagal mempenetrasi
stigma
Candra, 2013.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : Tipe bentuk serbuk sari teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze:bulat,
prolate spheroidal
,
minuta
dan
ruga
. Persentase viabilitas serbuk sari bunga teratai
Sudamala Nymphoides indica
L. Kuntze tertinggi pada uji warna 1
aniline blue
dalam laktofenol mencapai 100, baik dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar dan pada
squash
kepala putik bunga setelah mekar mencapai 84,96. Persentase viabilitas terendah pada uji
in
–
vitro
dan
squash
kepala putik dari bunga sebelum mekar yaitu 0, menunjukkan tipe penyerbukan
Kasmogami
dan teratai
Sudamala
termasuk tanaman
perenial
,
makrofita
,
herkogami
,
geitonogami
,
heterostilidan self
–
incompatibility
. UCAPAN TERIMAKASIH
Kepada Bapak Drs. Pande Ketut Sutara, M. Si.dan Drs. Martin Joni, M. Si., atas masukan, kritik, dan sarannya.
KEPUSTAKAAN
Berlyn, G. P. and J. P. Miksche. 1976.
Botanical Microtechnigque and Cytochemistry
, The Lowa State University Press. Ames. Lowa.
Bhojwani, S. S. and S. P. Bhatnagar. 1999.
The Embryology of Angiosperm
. Fourth Resived Edition.Vikas Publishing House.PVT.LTD. Delhi.
Budiwati, G. A. N. 2014. Manfaat Tanaman Teratai
Nymphaea
sp., Nymphaeaceae di Desa Adat Sumampan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Universitas Udayana.
Jurnal Simbiosis
, 2 1:122-134. Candra, A. 2013.
Pemuliaan Tanaman
“
Self Incompatibility and Male Sterility
”. Jurusan Argoteknologi Fakultas PertanianUniversitas Riau.
Darjanto dan S. Satifah. 1982.
Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan
. PT Gramedia. Jakarta.
19
Erdtman, G. 1952.
Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiosperms An Introduction to Palynology I
.The Chronica Co. New York.
Kriswiyanti, E., N. K. Y. Sari, dan H. R. Wahyuningtyas. 2010. Uji Viabilitas Serbuk Sari buah Naga
Hylocereus
spp. dengan Metode Pewarnaan,
In-Vitro, Hanging-Droff
dan
Squash
Kepala Putik.
Prosiding Seminar Nasional Biologi
, Fakultas Biologi UGM, 568:575. Marwat, S. K., M. A. Khan., M. Ahmad and M. Zafar. 2009.
Nymphoides Indica
L. Kuntze, A New Record For Pakistan. Department of Plant Sciences, Quaid-i-Azam University, Islamabad.
Journal Pakistan
, 416: 2657-2660. Ornduff, R. 1966. The Origin of Dioecism From Heterostyly in
Nymphoides
Menyanthaceae.
Journal Evolution
. 20: 309-314. Parfitt, D. E. and A.A. Almehdi. 1984.
Liquid Nitrogen Storage of Pollen From Five Cultivated Prunus Spesies.
Departement of Pomology.University of California, Davis,
CA 95616
. 191:69-70. Prana, M. S. 2007. Studi Biologi Pembungaan pada Talas
Colocasia esculenta
L. Schott.. Pusat penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Cibinong 16911.
Jurnal Biodiversitas
. 8 1: 63-66. Setiawan dan O. Ruskandi. 2005. Teknik Penyimpanan Serbuk Sari Tiga Kultivar Kelapa Dalam.
Jurnal Teknik Pertanian
. Available at :http:pustaka.litbang.deptan.go.idpublikasibt10105k.pdf. Opened:14.8.2012
Shivanna, K. R., H. F. Linkens and M.Cresti. 1991. Pollen Viability and Pollen Vigor.
Theory Application Genetic
.81: 38 – 42
Shibayama, Y.and Y. Kadong. 2003. Floral Morph Composition and Pollen Limitation in The Seed Set of
Nymphoides indica
populations. Graduate School of Science and Technology and Faculty of Science, Kobe University. Japan.
Ecological Research
.18: 725-737 Steenis, C. G. G. J. V. 2005.
Flora
. Cetakan ke 5.PT Pradnya Paramita. Jakarta. Tjitrosoepomo, G. 2005.
Morfologi Tumbuhan
. Cetakan ke-15.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wang, Z., Y. Ge, M. Scott, G. Spangenberg. 2004. Viability and longevity of Pollen from Transgenic and Non Transgenic Tall Fescue
Festuca arundinacea
Poaceae Plants. Available at :www. Biotek.Lipi.go.idperpusindex.php?=show detail.Opened :30.12.2013
Widiastuti, A.dan R.P. Endah. 2008. Viabilitas Serbuk Sari dan Pengaruhnya Terhadap Keberhasilan Pembentukan Buah Kelapa Sawit
Elaeis guineensis
Jacq..
Jurnal Biodiversitas
. 91:35-38.
20
KARAKTERISTIK DAN VIABILITAS SERBUK SARI RAGAM KELAPA
Cocos nucifera
, L. DI BALI
THE CHARACTERISTICS AND VIABILITY OF COCONUT POLLEN VARIETY
Cocos nucifera
, L. IN BALI Eniek Kriswiyanti
FMIPA Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Kuta Email: eniek_kriswiyantiyahoo.co.id
INTISARI
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan viabilitas serbuk sari ragam kelapa Cocos nucifera, L. di Bali. Sampel serbuk sari yang digunakan dalam penelitian ini 26 ragam kelapa,
masing-masing ragam 3 individu. Untuk mengetahui karakteristik serbuk sari ragam kelapa digunakan metode asetolisis dan pewarnaaan 1 safra nin, untuk mengetahui viabilitas serbuk sari digunakan uji
wa rna dengan 1 aniline blue dalam lactofenol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter istik serbuk sari dari 26 ragam kelapa di Bali memiliki bentuk bulat - lonjong, media, monosulcate, oblat
sferoidal pada kelapa Dalam Cocos nucifera, L.var. nana, suboblat pada kelapa Genjah Cocos nucifera, L.var. typica. Panjang aksis polar P antar a 24,15 µ m Genjah Bulan sampai 40,12 µ m
Coklat Biasa, diameter bidang Equatorial E 27,4 µ m Genjah Udang sampai 43,6 µm Coklat Biasa . Indek PE = 0,814 Genjah Hijau - 0,973 Gading Bali. Rata -rata ukuran serbuk sari kelapa Genjah
0,81-0,87 lebih kecil daripada kelapa Dalam 0,89-0,97. Viabilitas serbuk sari kelapa Genjah lebih tinggi dari pada kelapa Dalam, rata -rata: 41,7±7,3 bervariasi terendah 28,51±7,5 pada kelapa
Naga dan tertinggi 60,6±8,8 pada kelapa Genjah Bulan.
Kata Kunci : viabilitas, Cocos nucifera, L., monosulcate, oblat sferoidal, suboblat.
ABSTRACT
The aim of this research was to determine the characteristic and pollen viability of coconuts Cocos nucifera L. in Bali. Pollen viability was tested in 1 aniline blue in lactophenole, and the
characteristic of pollen wa s prepared in acetolysis method and stained 1 Safranine. The result showed that the morphology of pollens from 26 coconut variances was determined as circular -oval, mediate,
monosulcate, oblat sferoidal in tall coconuts Cocos nucifera, L.var. nana, suboblat on drawf coconut Cocos nucifera, L.var. typica. The length of the polar axis P ranged from 27.4 µm Genjah Udang to
43.6 µ m Coklat Biasa . PE Indexes ranged from 0.814 µ m in Genjah Hijau to 0.9 73 µ m Gading Bali. The pollen size of dwarf coconut was 0.81-0.87 µ m, smaller than tall coconut with the pollen size of 0.89
µ m - 0.97 µ m. Pollen viability of dwarf coconut was higher than tall coconut with the average of 41.7±7.3, with the value of 28.51±7.5 in Naga tall and 60.6±8.8 in Bulan dwarf.
Keywords : viabilitas, Cocos nucifera, L., monosulcate, oblat sferoidal, suboblat.
21
PENDAHULUAN
Hasil ekplorasi keragaman tanaman kelapa
Cocos nucifera
L. di propinsi Bali berdasarkan kegunaannya dapat dibedakan antara kelapa atau
nyuh
bahasa Bali
biasa
dan kelapa
madan.
Kelapa
biasa
adalah jenis kelapa yang biasa digunakan untuk membuat bahan makanan dan kopra minyak, sedang kelapa
madan
adalah jenis kelapa yang memiliki ciri morfologi khusus unik dengan nama sesuai ciri tersebut, diperlukan untuk bahan obat
usada
maupun sarana
upakara
agama Hindu. Kelapa madan umumnya menghasilkan buah per tandan sedikit dibandingkan kelapa biasa dan kelapa genjah.
Keberadaannya belum banyak diketahui, sedikit diantara populasi kelapa biasa Kriswiyanti, 2013, 2014. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang penyebab terbentuknya buah sedikit. Beberapa
penyebab kegagalan terbentuknya buah dan biji pada Plase
Butea monosperma
Lamk. Taub. adalah struktur morfologi alat reproduksi yang tidak menunjang terjadinya penyerbukan: kepala sari lebih rendah
dari kepala putik dan keduanya tertutup oleh
carina
. Viabilitas serbuk sari rendah,
self- incompatibility
yaitu buluh serbuksari tidak mau tumbuh pada kepala putik sehingga dapat menyebabkan tidak terjadi pembuahan Kriswiyanti dan Watiniasih, 2010. Bhojwani dan Bhadnagar 1999 mengatakan bahwa
salah satu penyebab kegagalan terbentuknya buah adalah sterilitas serbuk sari. Untuk mengetahui sterilitas serbuk sari dapat dilakukan dengan uji viabilitas serbuk sari dengan uji warna atau
in- vitro
. Uji viabilitas serbuk sari secara
in-vitro
pada kelapa
Rangda
telah dilakukan oleh Nirmala 2013 yaitu 3, pada kelapa
Ancak
oleh Sari 2013 viabilitas lebih rendah yaitu 2,5. Berdasar latar belakang diatas maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan viabilitas serbuk sari ragam
kelapa
Cocos nucifera
, L. di Bali.
MATERI DAN METODE
Sampel serbuk sari dari 26 ragam 3 individuragam kelapa yang digunakan berasal dari berbagai kabupaten di propinsi Bali. Pengamatan dan pengukuran panjang aksis polar, diameter bidang ekuitorial,
untuk menentukan indek PolarEquatorial PE dari serbuk sari digunakan metode asetolisis Erdman, 1969; Faegri dan Iversen, 1989. Sedang uji viabilitas serbuk sari menggunakan metode pewarnaan 1
aniline blue
dalam Laktofenol Berlyne dan Miscke, 1976; Bhojwani dan Bhatnagar, 1999, sebagai
berikut: Asetolisis: serbuk sari diambil dari
anther
bunga mekar 1-3 individu difiksasi dalam AAG 45 24 jam, sentrifuge 5 menit, kecepatan 3.500 rpm, kemudiaan dicuci air beberapa kali. Serbuk sari
diasetolisis dengan campuran AAG dan asam Sulfat pekat 9:1, dipanaskan dalam
water bath
yang telah berisi air mendidih, biarkan tetap mendidih selama 15 menit. Setelah dingin dicuci dengan air beberapa
kali, disentrifuge lagi selama 5 menit 2 x, cuci dengan air. Air dibuang diganti
glyserin jelly
yang telah dicampur dengan 1 safranin, biarkan hingga kental. Pengamatan menggunakan mikroskop Merk
MEIJI, perbesaran 10, 40X, masing-masing kelapa serbuk sari yang diukur 30 butir dengan menggunakan mikrometri.
Tipe bentuk serbuk sari ditentukan dengan menghitung perbandingan rerata ukuran panjang aksis Polar P dan diameter bidang Equatorial E, yang disebut sebagai indek PE menurut Erdtman 1969
sebagai berikut :
Berdasar hasil penghitungan indek PE ditentukan klas tipe bentuk serbuk sari menurut Erdtman 1972
22
Uji Viabilitas Serbuksari : untuk uji viabilitas serbuksari digunakan dengan uji warna dengan
1
aniline blue
dalam laktofenol yaitu: Viabilitas V serbuk sari Bhojwani dan Bhatnagar, 1999:
Keterangan: a = jumlah serbuk sari viabel adalah serbuk sari dengan dinding berwarna
b = jumlah serbuk sari nonviabel dinding tidak berwarna dan mengkerut dengan mikroskop masing-masing jenis kelapa 3 gelas benda.
HASIL Karakteristik dan Viabilitas Serbuk sari
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk serbuk sari mulai dari bulat hingga lonjong, berukuran media, klas bentuk
oblat sferoidal
pada kelapa Dalam,
suboblat
pada kelapa Genjah
,
viabilitas serbuk sari kelapa Genjah lebih tinggi dibandingka pada kelapa Dalam. Data hasil penelitian ditampilkan
pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Karakteristik dan Viabilitas Serbuk Sari Ragam Kelapa
Cocos nucifera
L.
No
Nama Ragam Kelapa
1 Viabilitas
2 Diameter
EquitorialE µm 3
Panjang Aksis PolarP
µm 4 Indek PE
5 1
Ancak
40.96±6.1 30.7
29.62 0.964
2
Bejulit
43.18±6.4 31.75
30.145 0.949
3
Gadang Biasa
34.97±7.202 32.79
30.32 0.924
4
Coklat
34.1±4.4 43.16
40.12 0.966
5
Barak
35.85±2.9 29.93
27.6 0.958
6
Bingin
41.83±4.03 30.88
29.928 0.969
7
Bojog
41.47±5.47 31.29
29.58 0.945
8
Bulan
39.41±4.68 29.029
27.23 0.938
9
Gadang
38.38±5.7 39.04
36.32 0.930
10
Gading bali
37.59±7.85 30.015
29.232 0.973
11
Srogsogan
43.19±2.5 32.018
31.001 0.968
12
Mulung
29.49±7.71 26.75
23.9 0.893
13
Rangda
39.97±3.54 28.01
26.8 0.956
14
Bluluk
36.12±6.67 28.62
27.23 0.951
15
Sudamala
41.31±5.16 29.23
27.7 0.947
16
Surya
46.42±4.13 29.06
27.97 0.962
17
Udang
48.93±4.08 30.59
29.58 0.966
18
Kapas
36.94±.8.57 30.36
28.88 0.951
19
Kebo
42.64±5.38 29.49
27.75 0.941
20
Macan
42.21±6.505 30.595
29.58 0.966
21
Naga
28.51±7.568 29.4
27.14 0.923
23
22
Pudak
31.99±5.858 28.71
27.318 0.951
23
Genjah hijau
55.87±10.4 30.45
24.79 0.814
24
Genjah putih
60.62±8.84
27.4 23.92
0.873 25
Genjah kuning
39.025±6.39 29.58
25.23 0.852
26
Genjah coklat
48.1±10.4 27.92
24.15 0.865
Rerata 41.731±7.32
30.64±3.43 28.57±3.53
0.932±0.0406
Rerata panjang aksis polar dan diameter bidang equatorial serbuk sari 26 ragam kelapa bervariasi. Panjang aksis polar P antara 24,15 µm
Genjah Bulan
sampai 40,12 µm
Coklat
. Diameter bidang Equatorial E 27,4 µm
Genjah Udang
sampai 43,6 µm
Coklat
. Indek PE = 0,814
Genjah Hijau
- 0,973
Gading Bali
. Rata-rata ukuran serbuk sari kelapa Genjah 0,81-0,87
suboblat
lebih kecil daripada kelapa Dalam 0,89-0,97
oblat sferoidal
. Contoh beberapa bentuk serbuk sari yang didapat dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Serbuk Sari pada Empat Ragam Kelapa
Cocos nucifera
L. Keterangan: Serbuk sari empat ragam dengan ukuran bervariasi, A. Serbuk sari kelapa Dalam
Coklat
dengan SEM, bercahaya menunjukkan serbuk sari viabel 800x, B. a.Serbuk sari viable kelapa
Bluluk
, perbesaran 400X, b. serbuk sari non viabel, c.
apperture
C. Serbuk sari kelapa
Rangda
dengan dinding eksin dan intin jelas, D. Serbuk sari
Genjah Gading
dengan ukuran lebih kecil dari serbuk sari kelapa Dalam.
Hasil uji viabilitas serbuk sari kelapa secara umum rata-rata dibawah 50 yaitu: 41,7 ± 7,3 28,51±7,5 pada kelapa
Naga
sampai 60,6±8,8 pada kelapa
Genjah Bulan
, viabilitas tertinggi pada kelapa Dalam: kelapa
Udang
48,93± 4,08 Table 1, Gambar 2. a
b
A
B
c
C D
A
30,18µm
25,5 µm 33,75 µm
24
Gambar 2. Viabilitas Serbuk Sari dari 26 Ragam Kelapa
Cocos nucifera
L. di Bali
PEMBAHASAN
Menurut Erdman 1965 dan Mulyani 2006 jika serbuk sari memiliki indek PE antara 0,8-1,0 tergolong klas tipe bentuk
oblat sferoidal
, berdasar diameter bidang ekuatorialnya = 29,6 µm 25-50 µm
digolongkan dalam serbuk sari
media.
Berdasar jumlah dan bentuk aperture : satu seperti alur memanjang termasuk serbuk sari
monosulcate
Dransfield,
et al.
, 2008. Rata-rata indek PE hasil penelitian ini lebih
besar dari indek PE menurut Erdmund 1969 indek PE
Cocos nucifera
L. 0,8 sehingga digolongkan dalam tipe bentuk
oblat,
tetapi berdasar jumlah dan bentuk aperture sama yaitu
monosulcate.
Armendariz,
et al
2006 fertilitas serbuk sari tanaman kelapa sangat menentukan keberhasilan terbentuknya buah. Berbeda dengan Armendariz,
et al
2006, Ranasanghe,
et al
2010 menyatakan bahwa keberhasilan
fruit set
selain tergantung oleh kualitas serbuk sari dan persentase perkecambahan serbuk sari, proses pertumbuh an buluh serbuk sari juga berperan dalam keberhasilan pembuahan.Hasil
Penelitian Setiawan dan Ruskandi 2005 viabilitas serbuk sari dari tiga kultivar kelapa Dalam Tenga DTA, Dalam Bali DBI, dan Dalam Palu DPU setelah disimpan 24 minggu masih baik, dan dapat
digunakan untuk persilangan karena viabilitasnya di atas 30. Namun sampai berapa lama viabilitas serbuk sari kelapa tersebut dapat bertahan dalam penyimpanan perlu diteliti lebih lanjut.
Hasil penelitian Ranasinghe
et al
2010 pada 6 kultivar kelapa di Sri Lanka menunjukkan bahwa persentase viabilitas serbuk sari tergantung dari letak
spikelet
bagian mana sampel serbuk sari diambil, apakah bagian ujung, tengah, atau pangkal. Viabilitas serbuk sari kelapa Dalam San Ramon dengan
sampel serbuk sari dari
spikelet
bagian ujung rata-rata viabilatasnya: 77,7,
spikelet
bagian tengah 64, 26 dan
spikelet
bagian angkal aling rendah . Pada te erature aksi al rata-rata viabilitas menurun menjadi hanya 11.
SIMPULAN
Bentuk serbuk sari bulat-lonjong, media,
oblat sferoidal
pada kelapa Dalam,
suboblat
pada kelapa Genjah
,
viabilitas serbuk sari kelapa Genjah lebih tinggi dari pada kelapa Dalam.
25
KEPUSTAKAAN
Armendariz, B.H.C., C.Oropeza , J. L. Chan,. B. Maust, N. Torres, C.D.C Aguilar and L. Sáenz. 2006. Pollen Fertility and Female Flower Anatomy Of Micro propagated Coconut Palms,
Rev. Fitotec. Mex.
29 4 : 373-378. Berlyn, G. P. and J. P. Miksche. 1976.
Botanical Microtachnique and Cytochemistry
. The Iowa State University Press Ames. Iowa.
Bhojwani, S. S. and S. P. Bhatnagar. 1999.
The Embryology of Angiosperms
. Third Rivised Edition. Vikas Publishing House P.V.T., LTD., New Delhi.
Erdtman. G.1969.
Handbook of Palinology. Morfology - Taxonomy - Ecology. An Introduction to Study of Pollen Grains and Spores
. Hapner Publishing CO. New York. Erdtman. G. 1972. Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiosperms An Introduction to Palinology
I. The Chronica Botanica Co.Waltham. Faegri, K and J. Iversen. 1989.
Texbook of Pollen Analysis
. 4
th
Edition Revised by Faegri, Kaland, K and Krzywinski, P.E. John Wiley Sons Ltd Chichester.
Kriswiyanti, E, 2013. Keanekaragaman Karakter Tanaman Kelapa
Cocos nucifera
L. yang digunakan sebagai Bahan Upacara Padudusan Agung, Jurnal Biologi XVII 1 2013:15-19
Kriswiyanti, E, 2014.Karakteristik Ragam Kelapa
Cocos nucifera
, L di Bali Berdasarkan Morfologi, Anatomi dan Molekuler. Ringkasan Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
Denpasar Sari N. L. G. C., E. Kriswiyanti, dan N. N. Darsini. 2013. Perkembangan Mikro gametofit dan Uji
Viabilitas Serbuk Sari Kelapa
Cocos nucifera
L.”Ancak”
Jurnal Simbiosis
1 1 2013:51-58 Nirmala S., E. Kriswiyanti dan A. A. K. Darmadi. 2013. Uji Viabilitas Serbuk Sari Secara
in-vitro
Kelapa
Cocos nucifera
L.”Rangda” dengan waktu dan suhu Penyi anan yang Berbeda.
Simbiosis
1 1 2013: 59-69
Ranasinghe C. S., K. P. Waidyarathna, A. P. C. Pradeep and M. S. K. Meneripitiya. 2010. Approach to
Screen Coconut Varieties for High Temperature Tolerance by
in-vitro
Pollen Germination.
J.Cocos
19 : 01-11 Rhee, H. K., H. R Cho, K. J. Kim, and K. S. Kim. 2005. Comparison of Pollen Morphology in
Interspecific Hybrid Lilies after
In-Vitro
Chromosome Doubling.
Acta Hort
.673 : 639-643. Setiawan, O dan Ruskandi. 2005. Teknik Penyimpanan Serbuk Sari Tiga Kultivar Kelapa Dalam.
Buletin Teknik Pertanian
10 1 : 37-38
26
TANGGAP TANAMAN KEDELAI TERHADAP PEMBERIAN EKSTRAK KRANDALIT, FRAKSI HUMAT, DAN MOLIBDENUM Mo PADA INCEPTISOLS PRAFI MANOKWARI
RESPONSE OF SOYBEAN DUE TO APPLICATION OF CRANDALLITE EXTRACT, HUMIC FRACTION AND MOLIBDENUM Mo PADA INCEPTISOLS PRAFI MANOKWARI
Ishak Musaad, Dwiana Wasgito Purnomo, Murtiningrum, Yohanis Amus Mustamu
Fakults Pertanian dan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua Manokwari Email: ishakmusaadyahoo.com
INTISARI
Lahan pertanian di Indonesia termasuk di Papua Barat umumnya membutuhkan pemupukan fosfor P untuk memperoleh hasil tanaman yang optimal. Peneltian ini bertujuan untuk mengkaji
pengaruh pemberian ekstrak krandalit, fraksi humat dan unsur mikro Molibdenum Mo sebagai pupuk fosfat cair-plus terhadap produksi kedelai pada Inceptisols Prafi Manokwarit. Penelitian terdiri atas dua
tahap yaitu: 1 formulasi pupuk fosfat cair dari ekstr ak tanah endapan fosfat krandalit asal Ayamaru Kabupaten Maybrat, fraksi humat dan penambahan unsur mikro Mo. 2. Penentuan dosis optimum dari
pupuk fosfat cair-plus yang dhasilkan dan dibandingkan dengan pupuk NPK, NASA, Papua Nutrient, dan krandalit pada t yang diperkaya dengan bahan organik. Penelitian di Lapangan dirancang berasarkan
Rancangan Acak Kelompok dengan 10 perlakuan 0, 20, 30, 40, 50, 60 Lha
-1
pupuk fosfat cair -plus yang dihasilkan dari penelitian tahap kesatu, dan empat jenis pupuk pemband ing. Masing-masing
perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 30 satuan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk fosfat cair -plus yang terdiri atas 60 ekstrak krandalit, 30 fraksi humat, dan
10 unsur mikro Mo pada berbagai dosis meningkatkan bobot kering tanaman, jumlah nodul, dan hasil kedelai t ha
-1
. Dosis optimum yang dihasilkan adalah 30 Lha
-1
dapat meningkatkan produksi kedelai dari 1,60 t ha
-1
menjadi 2,04 t ha
-1
pada tanah Inceptisol Prafi Manokwari.
Kata kunci ; kranda lit, fosfat, humat, Mo, kedelai
ABSTRACT
Agricultural lands in West Papua commonly require fertilization of Phosphate P to attain optimum plant yield. The aims of this resea rch were to study the effect crandallite extract application,
combined with humic fraction and Molibdenum Mo as fertilizers toward soybean production on Inceptisols Manokwari. The target is to obtain optimum dose recommendation of -liquid phosphate plus
fertilizer for soybean on acid Inceptisols. The study were arranged on two pha ses: 1 the production of plus liquid fertilizer formula of sediment soil extract of crandallite phosphate CPSS from Ayamaru, cow
feces extract, and additional of micro element Mo. 2 Determine of optimum dosage, production, and quality of soybean product by treatment of plus liquid fertilizer formula in the preliminary phase. The
field experiments utilised Randomize Block Design with 10 treatments 0, 20, 30, 40, 50, 60 L ha
-1
of P- plus liquid fertilizer, NASA, NPK,Papua Nutrient PN, and Crandllite Phosphate Sediment Soil+ organic
matter. Each treatment unit wa s replicated so its produced 30 experiment units. Result showed that P- plus liquid fertilizer 60 crandallite extract: 30 humic fraction, and 10 Mo application at different
level increased dry matter, nodule, and result of soybean t ha
-1
. Optimum dose of resulting plus liquid phosphate fertilizer is 30 L ha
-1
. Keywords
: soybean, phosphorus, crandallite, humic, Molibdenum,
27
PENDAHULUAN
Konsumsi kedelai terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, sehingga sebagian besar harus diimpor karena produksi di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan. Pada tahun
2009 kebutuhan konsumsi kedelai nasional adalah sebesar 1,97 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri sebesar 0,92 juta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS 2012, produksi kedelai lokal tahun 2011
sebesar 851,29 ribu ton atau 29 persen dari total kebutuhan nasional. Salah satu yang menjadi penyebab rendahnya produktivitas kedelai adalah rendahnya produktivitas lahan pertanian terutama di luar Pulau
Jawa termasuk di Provinsi Papua Barat. Produktivitas kedelai di Papua Barat sangat rendah yaitu kurang dari 1,0 ton ha
-1
. Lahan pertanian di Papua Barat umumnya didominasi oleh tanah mineral masam yaitu Ultisols
dan Inceptisols yang berkendala ganda terutama defisiensi hara fosfor P, rendahnya bahan organik dan beberapa hara mikro terutama Molibdenum Mo. Usaha peningkatan produksi kedelai di Papua Barat
melalui pemupukan berimbang pada tanah Inceptisols mutlak diperlukan. Provinsi Papua Barat memilki salah satu sumberdaya alam yaitu Tanah Endapan Fosfat Krandalit TEFK seluas lebih dari 100 ribu
hektar dan sumberdaya organik yang dapat diproses menjadi pupuk fosfat-plus. Kajian tentang pemanfaatan endapan fosfat krandalit dan kotoran ternak untuk diproses menjadi pupuk padat dan cair
menghasilkan nutrient tanaman lengkap telah dilakukan dengan menghasilkan produk pupuk
“Papua Nutrient” Musaad, 2011. Ekstrak krandalit yang kaya akan P dan hara mikro Fe, Cu, Zn dan Mn dapat
digunakan sebagai nutrisi tanaman. Hasil penelitian tersebut telah memperoleh hak paten sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui keefektifan pupuk
fosfat cair –plus dari ekstrak krandalit, fraksi humat pada tanaman kedelai dengan penambahan unsur Mo,
karena Mo berperan penting dalam reaksi enzimatik pembentukan bintil akar dalam fiksasi N sehingga mengurangi penggunaan pupuk N dan meningkatkan konsentrasi asam-asam amino.
Formulasi pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanah dan tanaman kedelai dengan memanfaatkan bahan baku lokal seperti Tanah Endapan Fosfat Krandalit dan bahan organik di Papua
Barat merupakan salah satu kajian yang sangat penting dan sangat strategis untuk meningkatkan produktivitas kedelai. Keluaran penelitian ini dapat menghasilkan pupuk untuk tanaman kedelai sehingga
dapat mengurangi penggunaan pupuk-pupuk impor yang harganya relatif mahal serta sulit diperoleh petani.
Pertanian organik yang dianjurkan pemerintah saat ini tidak sepenuhnya dapat diterapkan oleh petani karena berbagai kendala. Input pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman kedelai
pada lahan-lahan yang tidak subur diperlukan takaran tinggi berkisar 10 – 20 ton per hektar karena
konsentrasi hara N, P, K, dan hara mikro yang terkandung dalam bahan organik sangat rendah, meskipun bahan organik dapat memperbaiki sifat-sifat tanah lainnya. Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk
organik perlu dimodifikasi dengan pupuk cair anorganik yang bersumber dari bahan baku lokal untuk memenuhi kebutuhan hara bagi tanaman kedelai. Dalam penelitian ini akan dikaji tanggap tanaman
kedelai terhadap pemberian formula pupuk dari ekstrak krandalit, fraksi bahan organik dan Molibdenum Mo sehingga dapat meningkatkan produksi kedelai di Papua Barat, khususnya di Kabupaten
Manokwari. Hasil formulasi ekstrak krandalit yang kaya akan hara P disertai penambahan fraksi humat dari kotoran ternak dan unsur mikro Mo dalam penelitian ini disebut pupuk fosfat cair-plus. Bagaimana
tanggap tanaman kedelai terhadap pemberian formula pupuk fosfat cair-plus dari ekstrak krandalit, fraksi humat dan Mo pada tanah Inceptisols Prafi Manokwari, maka penelitian ini perlu dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian campuran ekstrak krandalit, fraksi humat, dan unsur mikro Molibdenum Mo sebagai pupuk fosfat cair-plus terhadap produksi kedelai pada
tanah Inceptisols Prafi Manokwari. Tujuan khusus adalah untuk memperoleh formula, mengetahui keefektifan agronomi, produktivitas dan takaran optimum pupuk fosfat cair yang dibutuhkan untuk
tanaman kedelai.
28
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan menggunakan metode eksperimen. Percobaan tahun pertama dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri atas tujuh perlakuan yaitu : A
= tanpa pemberian pupuk, A
1
= 100 ekstrak krandalit + 0 fraksi humat + 0 molibdenum; A
2
= 80 ekstrak krandalit + 15 fraksi humat + 5 molibdenum; A
3
= 60 ekstrak krandalit + 30 fraksi humat + 10 molibdenum; A
4
= 40 ekstrak krandalit + 50 fraksi 0rganik + 10 molibdenum; A
5
= 20 ekstrak krandalit + 60 fraksi humat + 20 molibdenum; A
6
= 0 ekstrak krandalit + 80 fraksi humat + 20 molibdenum. Takaran masing-masing perlakuan 30 liter ha
-1
. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 21 satuan percobaan.
Bahan yang digunakan yaitu TEFK Ayamaru, bahan organik kotoran ternak sapi, benih kedelai varietas Grobogan, dan lahan percobaan. Pupuk urea CONH
2 2
dengan kadar N 45, sebagai pupuk dasar digunakan dosis rendah 30 kg ha
-1
. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan menggunakan pestisida Decis. Bahan kimia dan peralatan laboratorium yang digunakan untuk keperluan
analisis tanah, pupuk, dan tanaman disesuaikan dengan keperluan analisis berdasarkan metode dan prosedur untuk setiap variabel respons dalam penelitian ini. Peralatan yang digunakan terdiri atas
peralatan lapangan untuk pengambilan contoh tanah, yaitu: bor tanah, cangkul, parang, tali rafia, dan peraltan lainnya.
Contoh TEFK diambil dari beberapa tempat yang berkonsentrasi fosfat tinggi kemudian dikompositkan. Endapan TEFK dibersihkan dari sisa-sisa tumbuhan dan pengganggu lainnya selanjutnya
diayak dengan menggunakan ayakan berukuran 100 mesh. Endapan Fosfat Krandalit yang sudah diayak dimasukkan ke dalam cawan-cawan porselin kemudian diproses secara termal pada suhu 600
C selama 1 jam. Penentuan suhu 600
C dan waktu satu jam didasarkan atas hasil penelitian Musaad 1996. Bahan ini selanjutnya disebut TEFK-termal yang akan digunakan sebagai bahan pupuk fosfat dan dilanjutkan
dengan ekstraksi menggunakan HCL 1 untuk menghasilkan ekstrak krandalit sebagai fosfat cair. Bahan organik dibersihkan dari kotoran yang mengganggu, kemudian ditumbuk dan disaring
hingga lolos ayakan berdiameter lubang 0,5 mm. Bahan organik tersebut ditimbang dan dilarutkan dalam larutan NaOH 0,5 M dengan perbandingan 1 : 10 wv. Selanjutnya bahan organik difraksionasi
sesuai prosedur Stevenson, 1986. Fraksi bahan organik yang digunakan dalam penelitian ini adalah fraksi satu fraksi humat.
Petak-petak percobaan diukur setelah pengolahan tanah dan masing-masing petak percobaan berukuran 4 x 3 =12 m
2
. Jarak antara petak dalam satu ulangan 0,5 m, sedangkan jarak antara ulangan 0,75 meter. Luas lahan yang dijadikan sebagai areal percobaan adalah : 18 x 20 m
2
= 360 m
2.
Varietas kedelai yang digunakan adalah Varietas Anjasmoro. Pupuk dasar diberikan hanya 30 dari dosis anjuran
pada saat tanam sesuai takaran anjuran yaitu 30 kg ha
-1
. Pemeliharaan tanaman dilakukan selama percobaan di lapangan terutama pengendalian hama dan penyakit tanaman. Gejala-gejala yang tampak
baik gejala yang disebabkan oleh defisiensi atau toksisitas hara maupun akibat hama dan penyakit selama masa pertumbuhan tanaman juga diamati. Pengendalian gulma dilakukan secara manual sesuai kebutuhan
selama masa pertumbuhan tanaman. Tanaman dipanen pada umur perkiraan generatif atau sampai produksi 3 bulan setelah tanam.
Analisis tanah dilakukan terhadap contoh tanah awal sebelum percobaan untuk mengetahui staus N,P, K dan bahan organik. Tanah disiapkan lolos ayakan 2 mm untuk keperluan analisis sesuai
prosedur analisis sifat-sifat tanah seperti diuraikan pada komponen variabel pengamatan. Contoh jaringan tanaman yang diambil adalah daun yang berkembang penuh. Jaringan tanaman
dikeringkan dalam oven pada suhu 70 C kemudian digiling halus untuk keperluan analisis konsentrasi
unsur hara dalam daun. Prosedur analisis seperti pada percobaan tahun pertama.
29
Pengukuran variabel respons dilakukan pada akhir pertumbuhan vegetatif 40 HST. Variabel pertumbuhan: tinggi tanaman, bobot kering tanaman, dan nodul. Sifat kimia tanah yang diukur terdiri
atas: pH, N-total P-tersedia, Mo-total dan Al-dd. Variabel konsentrasi hara tanaman yang diukur adalah N, P, K, Fe, Mo, dan Al. Pengukuran komponen produksi bobot biji
kering kedelai t ha
-1
dan komposisi kimia kedelai dan fraksi protein biji kedelai dilakukan setelah panen. Data variabel respons diolah menggunakan analisis ragam Uji F. Perbedaan antara rerata
perlakuan disajikan dalam bentuk grafik.
HASIL
Hasil pengamatan beberapa sifat fisik tanah menunjukan bahwa tekstur tanah adalah lempung liat berpasir, aerasi tanah baik, struktur granuler, warna tanah coklat keabuan. Tanah pada area percobaan
diklasifikasikan sebagai tanah Inceptisols berdasarkan klasisifikasi Soil Taxonomy Staff, 1992. Hasil analisis ekstrak krandalit yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Data
Tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak krandalit yang digunakan dalam penelitian ini mengandung unsur P yang cukup tinggi yaitu 10,77 P. Unsur lain yang juga tinggi adalah kalsium Ca yaitu sebesar 580,421
ppm, dan kalium 190,970 ppm. Alumunium Al ekstrak krandalit ini sebesar 166,93 ppm.
Tabel 1. Hasil analisis komponen kimia ekstrak krandalit yang digunakan
No. Parameter
Satuan Hasil
1. Kalium, K
mg L
-1
190,970 2.
Kalsium, Ca mg L
-1
580,421 3.
Magnesium, Mg mg L
-1
5,600 4.
Tembaga, Cu mg L
-1
3,244 5.
Seng, Zn mg L
-1
11,015 6.
Mangan, Mn mg L
-1
30,423 7.
Nikel, Ni mg L
-1
1,472 8.
Molibneum, Mo mg L
-1
0,211 9.
Besi, Fe mg L
-1
24,022 10.
Alumunium, Al mg L
-1
166,932 11.
Phospat, P 10,77
Sumber:
1
Hasil Uji Lab. Kimia F-MIPA Unipa, 2013
Komponen Pertumbuhan Tanaman
Tinggi Tanaman pada 2, 4, dan 6 Minggu Setelah Tanam MST. Hasil analisis ragam pada komponen tinggi tanaman dan bobot kering tanaman 4 dan 6 MST disajikan pada Tabel 3. Perbedaan
pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formula ekstrak krandalit, fraksi humat, dan unsur mikro Mo berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi
tanaman tetapi berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman 6 MST. Pengaruh perlakuan terhadap komponen tinggi dan bobot kering tanaman disajikan pada Gambar 1.
30
Gambar 1. Tinggi Tanaman 2, 4, 6 MST dan Bobot Kering 4,6 MST Gambar 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman tertinggi diperoleh pada perlakuan pupuk NPK,
kemudian A
1
100 ekstrak krandalit, A
6
dan A kontrol. Peranan N dari pupuk NPK baik sebagai
perlakuan pembanding dan pupuk dasar berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman fase vegetatif maksimum tanaman kedelai 2-4 minggu setelah tanaman. Kemampuan pembentukan bintil akar
tanaman kedelai untuk memfiksasi N dari udara secara alamiah pada semua perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap komponen tinggi tanaman. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
perlakuan formula pupuk P-Cair-Plus hanya berpengaruh nyata terhadap komponen bobot kering tanaman 4 MST, dan berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering tanaman 6 MST. Data pada grafik
menunjukkan bahwa bobot kering tanaman tertinggi pada perlakuan A
6
ekstrak krandalit + 80 fraksi humat + 20 + 20 Mo dan berbeda tidak nyata dengan semua perlakuan lainnya kecuali terhadap
perlakuan NPK.
Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap bobot kering tanaman 4, 6 MST
Perlakuan Bobot kering tanaman g
4 MST 6 MST
A 0 ekstrak krandalit,0 organik, 0 Mo
2,4 ab 16,7 a
A
1
100 ekstrak krandalit, 0 organik, 0 Mo 3,0 ab
21,7 a A
2
80 ekstrak krandalit +15 0rg + 5 Mo 2,4 ab
16,6 a A
3
60 ekstrak krandalit + 30 org + 10 Mo 2,8 ab
19,7 a A
4
40 ekstrak krandalit + 50 org + 10 Mo 2,8 ab
13,7 a A
5
20 ekstrak krandalit + 60 org + 20 Mo 2,7 ab
15,3 a A
6
0 ekstrak krandalit + 80 org + 20 Mo 3,1 a
15,5 a A
7
NPK 2,0 b
14,9 a atatan. Angka yang diikut oleh huruf yang sa a berbeda tidak nyata enurut Uji BNT α= 0 05
Data pada Gambar 1 menunjukkan bahwa bobot kering tanaman tertinggi pada 6 MST diperoleh pada perlakuan A
1
ekstrak krandalit 100 meskipun berbeda tidak nyata denagn perlakuan lainnya. Data yang ditunjukkan pada Gambar 5, terlihat bahwa formula pupuk fosfat cair-plus A
3
=60 ekstrak
31
krandalit + 30 fraksi humat + 10 Mo berpengaruh lebih baik dibandingkan dengan perlakuan A
2
80 ekstrak krandalit + 15 fraksi humat + 5 Mo dan A
5
=20 ekstrak krandalit + 60 fraksi organic + 20 Mo.
Gambar 2. Pengaruh Perlakuan Pupuk Fosfat Cair-Plus terhadap bobot kering tanaman Perlakuan komposisi campuran ekstrak krandalit sebagai sumber P, fraksi humat, dan Mo
berpengaruh tidak nyata terhadap komoponen tinggi tanaman 2, 4, dan 6 MST, dan bobot kering tanaman 6 MST, tetapi berbeda nyata terhadap bobot kering tanaman 4 MST. Data secara keseluruhan
memberikan indikasi bahwa terdapat kecenderungan penambahan bobot kering tanaman akan menurun seiring dengan berkurangnya unsur hara P yang diberikan. Data secara keseluruhan memberikan indikasi
bahwa terdapat kecenderungan penambahan bobot kering biji kedelai akan menurun seiring dengan berkurangnya unsur hara P yang diberikan melalui ekstrak krandalit.
Tinggi Tanaman akibat Perbedaan dosis dan Jenis Pupuk
Data hasil percobaan pot di Lapaagan yang meliputi komponen pertumbuhan tanaman disajikan pada Gambar 3, 4 dan 5. Data pada gambar 3 menunjukkan bahwa tinggi tanaman bervariasi. Perlakuan
P
4
menghasilkan tinggi tanaman tertinggi, dan yang terendah adalah perlakuan P
2
. Pada perlakuan tanpa pemberian pupuk P
memberikan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan perlakuan P
2
, NPK, dan NASA.
Gambar 3. Pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman kedelai Dosis pemberian pupuk relatif berpengaruh meningkatkan pertumbuhan tanaman dibandingkan
dengan jenis pupuk NPK dan NASA.
32
Jumlah cabang
Perlakuan dosis pupuk fosfat cair-plus berpengaruh terhadap jumlah cabang tanaman kedelai dan sangat bervariasi. Jumlah cabang terbanyak adalah pada perlakuan P
2
sedangkan paling rendah pada perlakuan P
4
..
Gambar 4. Pengaruh perlakuan terhadap jumlah cabang tanaman kedelai Pupuk fosfat cair-plus yang dihasilkan dari campuran ekstrak krandalit, fraksi humat, dan Mo
yang digunakan dalam penelitian ini lebih berpengaruh terhadap komponen produksi dibandingkan komponen vegetatif karena peranan hara P lebih dominan. Jumlah cabang tanaman kedelai tidak
dipengaruhi oleh jenis pupuk yang digunakan. Dalam penelitian ini data jumlah cabang yang diperoleh tidak memberikan gambaran tentang pengaruh tersebut.
Jumlah bintil akar
Jumlah bintil akar akibat pengaruh perlakuan disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Pengaruh dosis dan jenis pupuk terhadap jumlah bintil efektif Gambar 5 menunjukkan bahwa pemberian pupuk fosfat cait-plus pada takaran rendah cenderung
menurunkan jumlah bintil akar, sedangkan pada dosis 60 L ha
-1
P
5
meningkatkan jumlah bintil akar dan relatif sama dengan pengaruh pemberian pupuk lainnya.
33
Hasil kedelai
Gambar 6 menunjukkan bahwa dosis optimum 30 L ha
-1
pupuk fosfat cair-plus yang dihasilkan dari campuran ekstrak krandalit, fraksi humat dan Mo dapat meningkatkan hasil tanaman kedelai dari 1,6
ton ha
-1
menjadi 2,04 ton ha
-1
dan cenderung meurun jika dosisnya ditingkatkan.
Gambar 6. Pengaruh dosis perlakuan terhadap hasil kedelai
PEMBAHASAN
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan formula pupuk P-Cair-Plus dari campuran ekstrak krandalit, fraksi humat, dan Mo berpengaruh nyata terhadap komponen bobot kering tanaman 4
MST, dan berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering tanaman 6 MST. Bobot kering tanaman tertinggi pada perlakuan A
6
tanpa ekstrak krandalit + 80 fraksi humat + 20 Mo tetapi berbeda tidak nyata denga nperlakuan lainnya, kecuali terhadap perlakuan NPK. Hal ini disebabkan peranan fraksi
humat lebih dominan mensuplai N dan memperbaiki metabolisme tanaman, sedangkan Mo berperan dalam meningkatkan aktivitas enzim dalam proses fiksasi N sehingga bobot kering tanaman meningkat.
Ekstrak krandalit sebagi sumber P dan beberapa hara mikro lebih berperan dalam fase generatif tanaman dibandingkan fase vegetatif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat bintil pada perakaran
tanaman untuk semua perlakuan, namun keefektivan bintil yang terbentuk berpengaruh tidak nyata terhadap komponen pertumbuhan tanaman. Pengaruh perlakuan pada komponen tinggi tanaman relatif
tidak memiliki pola yang teratur. Hal ini disebabkan keseimbangan nutrisi belum berpengaruh nyata pada awal pertumbuhan 0 sampai 4 MST.
Penyerapan hara maksimum diduga terjadi pada umur 3-4 MST, dan pada saat memasuki fase generatif, penyerapan fosfat lebih tinggi dibandingkan dengan penyerapan hara lainnya. Pengisian polong
pada tanaman kedelai sangat ditentukan oleh ketersediaan hara P, karena P sanagat dibutuhkan dalam transfer energi, pembentukan ATP dan ADP. Energi dari sinar matahari yang terperangkap pada daun
akan diubah menjadi energi kimia yang relatif stabil, selanjutnya digunakan untuk mereduksi C menjadi karbohidrat melalui fotosintesis.
Pupuk fosfat cair-plus yang digunakan dalam penelitian ini lebih berpengaruh terhadap komponen produksi dibandingkan komponen vegetatif karena peranan hara P lebih dominan. Jumlah
cabang tanaman kedelai tidak dipengaruhi oleh jenis pupuk yang digunakan. Dalam penelitian ini data
34
jumlah cabang yang diperoleh tidak meberikan gambaran tentang pengaruh tersebut. Hal ini disebabkan residu pupuk pada pertanaman padi sebelum percobaan di lahan yang sama masih berpengaruh terhadap
pertumbuhan tananan kedelai. Residu pupuk urea dan NPK yang digunakan petani lebih berpengaruh terhadap komponen vegetatif dibandingan komponen generatif. Pembentukan bintil akar sangat
dipengaruhi oleh aktivitas bakteri rhizobium yang bersimbiosis dengan akar tanaman. Diduga kondisi tanah pada lokasi penelitian sangat menunjang aktivitas bakteri rhizobium. Pemberian bahan organik
dapat meningkatkan kelarutan P di dalam tanah melalui pembentukan fosfo-humus yang lebih mudah diserap oleh tanaman Tisdale
et al
., 1993. SIMPULAN
Kesimpulan dari hasil penelitian berdasarkan variabel pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai adalah pupuk fosfat cair yang diformulasi dari ekstrak krandalit, fraksi humat kotoran sapi dan unsur
mikro molybdenum Mo berpengaruh terhadap bobot kering tanaman kedelai 4 MST dibandingkan tanpa pemberian pupuk P. Formula terbaik yang dapat digunakan sebagai pupuk P yang dihasilkan dari
komposisi ekstrak krandalit, fraksi humat kotoran sapi, dan unsur Mo adalah perlakuan A
3
60 ekstrak krandalit + 30 fraksi humat kotoran sapi + 10 unsur mikro Molibdenum untuk meningkatkan
pertumbuhan kedelai pada Inceptisols Prafi. Dosis optimum pupuk fosfat cair-plus dari hasil penelitian ini adalah 30 L ha
-1
dapat meningkatkan produksi kedelai dari 1,6 t ha
-1
menjadi 2,04 t ha
-1
pada Inceptisols
Prafi Manokwari. UCAPAN TERIMA KASIH
Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian MP3EI. Terima kasih kami sampaikan kepada DP2M Dikti, yang telah mendanai kegiatan penelitian ini melalui Hibah Kompetitif Nasional Tahun
2013-2014.
KEPUSTAKAAN
Badan Pusat Statistik BPS. 2006.
Angka Tetap Tahun 2005 dan Angka Ramalan II Tahun 2006 Produksi Tanaman Pangan
. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Musaad, I. 2011. Beberapa sifat Kimia Tanah Akibat Pemberian Ekstrak Krandalit dan Fraksi Bahan
Organik Pada Humic Hapludults.
Jurnal Agrotek
.Vol 2. No.3. Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian UNIPA Manokwari.
Musaad, I. 1996.
Pengaruh Pemanasan dan Pengasaman terhadap Tahana Fosfat Tanah Endapan Fosfat Krandalit Ayamaru Sorong.
Bulletin Penelitian Pascasarjana UGM. 9 3B, Agustus 1996.h. 333-337
Sanchez, P. A. 1992.
Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika
Terjemahan Jayadinata, J.J. Penerbit ITB Bandung
Stevenson, F. J. 1986.
Humus Chemistry, Genesis, Composition, Reactions
. John Wiley and sons, New York.
Tisdale, S., L. Nelson, and J. D. Beaton. 1993.
Soil Fertility and Fertilizers
. Second edition. Macmillan Publishing Co. London Pp. 694-695.
35
BIOASSAY EKSTRAK KASAR
CRUDE EXTRACT
DAUN BROTOWALI
Tinospora crispa
L Miers PADA BAKTERI GRAM POSITIF DAN BAKTERI GRAM NEGATIF
BIOASSAY
CRUDE EXTRACT
OF BROTOWALI LEAVES
Tinospora crispa
L Miers IN GRAM POSITIF AND NEGATIF BACTERIALS
Ida Ayu Putu Suryanti
Jurusan Pendidikan Biologi, F.MIPA Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja
Email: dayusuryantiyahoo.co.id
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat ekstrak kasar daun brotowali pada beberapa bakteri Gram positif Staphylococcus aureus, Steptococcus pyogenes dan Bacillus cereus dan
beberapa bakteri Gram negatif Salmonella thypi, Escherichia coli dan Vibrio colerae dengan menggunakan metode Kirby-Bauer. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi,
Laboratoriom Kimia Organik dan Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Udayana selama 4 bulan. Secara umum, zona hambat pada beberapa bakteri uji dalam
penelitian ini, yang dibentuk oleh ekstrak kasar daun brotowali dengan konsentrasi 100 ppm, 1000 ppm, dan 10000 ppm, menunjukkan hasil yang berbeda nyata P 0,05 dengan kontrol, walaupun belum
diketahui senya wa aktif apa saja dalam daun brotowali yang bersifat bakteriostatik atau bakterisida. Pada bakteri Gram positif, zona hambat tertinggi yang terbentuk dari ekstrak daun brotowali dengan
konsentrasi rendah 1 ppm dan 10 ppm terdapat pada Staphylococcus aureus yaitu berturut-turut 0,32 cm dan 0,47 cm sedangkan pada bakteri Gra m negatif terdapat pada Escherichia coli yaitu 0,87 cm dan
0,49 cm. Bakteri Gram positif cenderung menunjukkan sifat yang lebih resisten pada perlakuan ekstrak daun brotowali dengan konsentrasi rendah jika dibandingkan dengan bakteri Gram negatif, sedangkan
pada konsentrasi tinggi, bakteri Gram positif relatif lebih sensitif.
Kata kunci : Daun Tinospora crispa L Miers, Metode Kirby-Bauer, Bakteri
ABSTRACT
The main objective of this research was to investigate the toxicity of crude extract of leaves of Tinospora crispa L Miers on several Gram positive bacterial species Staphylococcus aureus,
Streptococcus pyogenes and Bacillus cereus, several Gram negative bacterial Salmonella thypi, Escherichia coli and Vibrio colerae using Kirby-Bauer method. The project was conducted at the
Laboratory of Microbiology, Organic Chemistry and Plant Physiology, Faculty of Mathematic and Natural Sciences, Udayana University. The results showed that the crude extract of leaves of Tinospora
crispa L Miers inhibited the growth of both Gram positive and Gram negative bacterial species when exposed at the consentration of 100 ppm, 1000 ppm and 10,000 ppm in vitro. However, it is not known
which of active compounds of brotowali leaves have bacteriostatic or bactericidal properties. In Gram- positive bacteria, the highest inhibition zones formed by extracts of Tinospora crispa L Miers leaves at
low concentrations 1 ppm and 10 ppm on Staphylococcus aureus were 0.32 cm and 0.47 cm, on Gram- negative bacteria Escherichia coli were 0.87 cm and 0.49 cm. Gram-positive bacteria are more resistant
at low concentration of Tinospora crispa L Miers extract when compared to Gram-negative bacteria. Whereas, at high concentrations, Gram-positive bacteria are relatively more sensitive
.
Keywords : Leave of Tinospora crispa L Miers, Kirby-Bauer method, bacteria
36
PENDAHULUAN
Brotowali
Tinospora crispa
L Miers merupakan salah satu tanaman obat yang berpotensi menyembuhkan berbagai macam penyakit. Di Indonesia, brotowali banyak tersebar di Jawa, Bali, dan
Maluku Manan, 1996. Tanaman brotowali digolongkan dalam famili
Menispermaceae
yang tumbuh merambat dan berkembang dengan baik di daerah tropis. Batangnya mempunyai ciri-ciri berbintil-bintil
rapat duri semu dan tidak beraturan, lunak, berair, rasanya pahit, dan mempunyai panjang kurang lebih 2,5 meter. Daunnya berbentuk jantung
cordatus
, agak membulat, ujungnya lancip, dan termasuk jenis daun tunggal. Bunganya berwarna hijau muda dengan lima mahkota bunga dan berukuran kecil. Buahnya
berkumpul dalam tandan serta berwarna merah muda Kresnady dan Lentera, 2003. Senyawa kimia yang terkandung dalam tanamam brotowali antara lain alkaloid berberina, damar
lunak, pati, glikosida, pikroretosid, harsa, pikroretin, tinokrisposid, kolumbin, dan kaokulin Kresnady dan Lentera, 2003. Alkaloid berberin yang banyak ditemukan di akar merupakan senyawa alkaloid
berwarna kuning yang sangat langka dan mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri. Penyakit yang dapat disembuhkan antara lain: demam, sakit perut, diabetes melitus, sakit kuning, rematik,
malaria, dan luka infeksi yang disebabkan oleh bakteri Robinson, 1995 dan Manan, 1996.
Penelitian Limyati dkk. 1998 tentang efek farmakologi brotowali menunjukkan bahwa ekstraksi batang brotowali pada konsentrasi 1,0 gml bersifat bakteriostatik terhadap
Escherichia coli
dan
Staphylococcus aureus
serta bersifat fungistatik terhadap
Tricophyton ajelloi
pada konsentrasi 0,8 gml. Ekstrak ini tidak menunjukkan efektivitas terhadap
Candida albican
. Ekstrak batang brotowali juga dapat menghambat
Streptococcus beta hemoliticus
standar
strain
WHO dengan zona hambat 14,50 mm dengan kadar hambat maksimum 0,25 gml,
Staphylococcus epidermis
sebesar 12,43 mm dengan kadar hambat maksimum 0,4 gml,
Streptococcus aureus
sebesar 10,91 mm dengan hambatan maksimum 0,4 gml, dan yang terkecil adalah
Salmonella thyposa
sebesar 8,11 mm dengan kadar hambat maksimum 0,9 gml Soemiati dkk., 1998.
Penelitian mengenai uji toksisitas ekstrak terutama bagian batang dan akar tanaman brotowali yang dikenal sebagai tanaman obat telah banyak dilakukan. Hanya saja uji toksisitas bagian daun tanaman
brotowali masih belum banyak dilakukan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukan bioassay ekstrak kasar daun brotowali pada beberapa bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.
MATERI DAN METODE Material Hidup
Material hidup berupa bakteri Gram positif
Staphylococcus aureus
,
Streptococcus pyogenes
,
Bacillus cereus
dan bakteri Gram negatif
Salmonella thypi
,
Escherichia coli
dan
Vibrio colerae
diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi F.MIPA UNUD dan Balai Laboratorium Kesehatan BLK Sanglah. Daun brotowali diperoleh di sekitar Kampus Bukit Jimbaran, Universitas
Udayana, Bali.
Bahan Habis
Bahan habis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
nutrient broth
NB Becton Dickinson,
nutrient agar
NA Merck, alkohol, methanol, dan aquades steril.
Larutan Stok
Larutan stok 10.000 ppm dibuat dengan cara melarutkan 1 gram ekstrak kering daun brotowali dalam pelarut dan volume akhir diatur sampai 100 ml. Konsentrasi kerja 1000 ppm, 100 ppm, 10 ppm,
37
dan 1 ppm dibuat dengan cara mengencerkan larutan stok ini dengan menggunakan rumus pengenceran M
1
x V
1
= M
2
x V
2
.
Ekstraksi
Daun brotowali yang telah dicuci bersih dengan air mengalir dikering anginkan, diblender sampai menjadi bentuk tepung, dan ditimbang 100 gram untuk dimaserasi dengan 500 ml metanol pada suhu
kamar selama 72 jam. Setelah itu, disaring, dan diuapkan dengan
vacum rotary evaporator
pada suhu 40
o
C dengan tujuan untuk memisahkan ekstrak dari pelarutnya. Ekstrak yang diperoleh dikeringkan hingga membentuk kristal, sebelum dilakukan
bioassay
.
Bioassay Ekstrak Daun Brotowali
Suspensi bakteri uji dibuat dengan cara menginokulasi 50 ml medium NB dengan 1
loop
jarum ose biakan murni bakteri uji. Medium yang sudah diinokulasi tersebut diinkubasi pada 37
o
C selama 24 jam untuk memperoleh densitas suspensi yang setara dengan 10
8
selml. Aktivitas antibakteri dari ekstrak daun brotowali dengan berbagai konsentrasi ditentukan dengan
menggu nakan etode Kirby dan Bauer 1966 dala Dwidjose utro 1994 . Untuk e buat “bacterial
Lawn” sebanyak 100 µl sus ensi bakteri uji disebarkan secara erata ada er ukaan ediu NA. Kemudian kertas cakram yang sudah diisi didepositkan sebanyak 20 µl ekstrak dengan konsentrasi yang
bervariasi dite elkan ada er ukaan “bacterial lawn” dan diinkubasi ada suhu 7
o
C selama 24 jam. Kertas cakram yang diisi didepositkan dengan pelarut saja dengan volume yang sama dengan ekstrak
berfungsi sebagai kontrol. Aktivitas antibakteri dari ekstrak ditunjukkan oleh terbentuknya zona bening halo di sekitar
kertas cakram pada medium. Uji ini dilakukan sebanyak 5 kali ulangan, diameter hambatan diukur sebanyak 3 kali, dan dirata-ratakan. Percobaan bioassay pada bakteri uji menggunakan rancangan acak
lengkap faktorial, dengan 5 variasi konsentrasi ekstrak ditambah kontrol dan 6 jenis bakteri yang terdiri dari 3 bakteri Gram positif dan 3 bakteri Gram negatif.
Analisis Data
Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam ANOVA, dan bila hasilnya berbeda nyata pada P 0,05, maka analisis dilanjutkan dengan
uji jarak berganda
Duncan
Vincent, 1991. HASIL
Zona hambat yang bervariasi yang disebabkan oleh perlakuan ekstrak kasar daun brotowali
Tinospora crispa
L Miers pada beberapa bakteri Gram positif dapat dilihat pada Grafik 1 dan bakteri Gram negatif pada Grafik 2.
Grafik 1. Daya Hambat Ekstrak Kasar Daun Brotowali terhadap Beberapa Bakteri Gram positif
38
Pada konsentrasi ekstrak rendah 1 ppm dan 10 ppm,
Staphylococcus aureus
menunjukkan zona hambat yang paling tinggi yaitu berturut-turut 0,32 cm dan 0,47 cm, sedangkan zona hambat terendah
terdapat pada
Bacillus cereus
. Ketiga bakteri uji menunjukkan hasil yang bervariasi pada konsentrasi tinggi dari konsentrasi 100 ppm sampai 10000 ppm Grafik 1..
Grafik 2. Daya Hambat Ekstrak Kasar Daun Brotowali terhadap Beberapa Bakteri Gram negatif. Grafik 2 menunjukkan bahwa
Escherichia coli
kurang resisten dibandingkan dengan bakteri uji lainnya, baik pada ekstrak kasar brotowali dengan konsentrasi tinggi maupun rendah. Zona hambat yang
terbentuk pada konsentrasi rendah 1 ppm dan 10 ppm masing-masing adalah 0,87 cm dan 0,49 cm. Sedangkan
Vibrio colerae
terlihat paling resisten bila dibandingkan dengan bakteri Gram negatif lainnya pada penelitian ini.
Tabel 1. Diameter rata-rata zona hambatan ekstrak daun brotowali
Tinospora crispa
L Miers pada berbagai konsentrasi terhadap bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif
Konsentrasi ppm
Diameter Zona Hambatan cm Bakteri Gram Positif
Bakteri Gram Negatif
Staphylococcus aureus
Streptococcus pyogenes
Bacillus cereus
Salmonella thypi Escherichia
coli Vibrio colerae
0,00 ± 0,00
a
0,00 ± 0,00
a
0,00 ± 0,00
a
0,00 ± 0,00
a
0,00 ± 0,00
a
0,00 ± 0,00a 1
0,32 ± 0,44
abcdefg
0,23 ± 0,33
abcde
0,00 ± 0,00
a
0,35 ± 0,33
bcde
0,49 ±
0,45
bcdefg
0,14 ± 0,31
abc
10 0,47 ± 0,43
bcdefghi
0,28 ± 0,38
abcde
0,09 ± 0,21
ab
0,44 ± 0,40
bcdefg
0,86 ± 0,04
ghi
0,15 ± 0,32
abcd
100 0,63 ± 0,55
defghij
0,43 ± 0,39
bcdefg
0,59 ±
0,33
cdefghi
0,56 ± 0,31
cdefg
0,87 ± 0,07
hi
0,43 ± 0,39
bcdefg
1000 0,68 ± 0,38
efghijk
0,72 ± 0,33
f
0,81 ± 0,07
gh
0,57 ± 0,32
cdefg
0,89 ± 0,08
f
0,71 ± 0,02
f
10000 0,91 ± 0,01
i
1,02 ± 0,05
h
0,99 ± 0,04
jk
0,83 ± 0,07
gh
1,06 ± 0,06
h
0,77 ± 0,04
g
Keterangan : Nilai-nilai pada Tabel 1 ± standar deviasi merupakan rata-rata dari 5 x ulangan. Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata P 0,05 dengan 4
ulangan. Nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata P 0,05, berdasarkan pada uji jarak berganda Duncan setelah dilakukan analisis sidik ragam ANOVA.
39
Secara umum, terjadi peningkatan diameter hambatan pada bakteri uji yang berbanding lurus dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak, walaupun tidak berbeda nyata secara statistik P 0,05.
Dalam beberapa kasus, seperti pada uji terhadap
Streptococcus pyogenes
,
Bacillus cereus
, dan
Vibrio colerae
, aplikasi ekstrak sampai 10 ppm menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol 0 ppm P 0,05. Hambatan yang terjadi pada kasus ini lebih banyak disebabkan oleh resistensi bakteri-
bakteri tersebut setelah diberikan perlakuan. Efek ekstrak mulai terlihat pada pertumbuhan bakteri uji, pada saat konsentrasi ekstrak ditingkatkan menjadi 100 ppm atau lebih, dengan zona hambatan yang
terbentuk secara statistik berbeda nyata dengan kontrol P 0,05. Namun secara umum, zona hambatan yang terbentuk pada semua bakteri uji, yang diberikan ekstrak yang konsentrasinya 10.000 ppm,
menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan semua konsentrasi yang dipakai Tabel 1.
PEMBAHASAN
Pada semua kasus, konsentrasi ekstrak memberikan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol P 0,05. Zona hambatan yang terjadi disebabkan oleh senyawa aktif yang terdapat di dalam ekstrak kasar
daun brotowali. Beberapa penelitian yang serupa yang menggunakan ekstrak daun brotowali juga telah banyak dilakukan. Suanda 2002 misalnya melakukan
bioassay
ekstrak ini dapat mengendalikan larva
Plutella xylostella
yang menyerang tanaman kubis. Limyati dkk. 1997; 1998, dan Chang 2003 juga menyatakan bahwa ekstrak tumbuhan ini sangat efektif untuk mengontrol pertumbuhan bakteri uji.
Walaupun tidak diidentifikasi dalam penelitian ini, beberapa peneliti lain menemukan bahwa ekstrak tumbuhan brotowali mengandung senyawa anti bakteri, senyawa alkaloid berberin Anonim,
2003. Senyawa ini juga telah banyak dilaporkan sebagai senyawa antibakteri pada luka yang masih basah. Menurut Martin 1982 dan Pelczar dan Chan 1988 senyawa kimia yang mengandung gugus
fenol termasuk alkaloid berberin dapat merusak proses-proses di dalam sel dengan cara mengendapkan protein atau mendenaturasi protein. Dalam penelitian ini masih belum diketahui apakah senyawa yang
diidentifikasi oleh peneliti-peneliti di atas berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji.
Untuk setiap konsentrasi yang didedahkan, zona hambatan tidak dipengaruhi oleh jenis bakteri uji, walaupun terjadi variasi zona hambatan pada jenis bakteri uji untuk konsentrasi ekstrak yang sama
namun secara statistik P 0,05, hasil tersebut tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata P 0,05 Tabel 1. Hal menarik yang dapat diamati pada tabel ini adalah bakteri-bakteri Gram positif secara umum
cenderung menunjukkan sifat yang lebih resisten pada ekstrak daun brotowali dengan konsentrasi rendah jika dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Sebaliknya, pada konsentrasi tinggi bakteri Gram positif
relatif lebih sensitif terhadap ekstrak daripada bakteri Gram negatif, walaupun hasil-hasil ini tidak berbeda nyata P 0,05. Penyebab dari kecenderungan tersebut tidak diketahui dengan pasti, dan perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Aplikasi ekstrak kasar daun brotowali, khususnya untuk mengontrol bakteri-bakteri penyebab penyakit yang disebabkan oleh bakteri uji, memerlukan konsentrasi yang sedikit bervariasi tergantung
pada jenis bakteri yang akan dikontrol. Namun, konsentrasi yang disarankan adalah konsentrasi terendah yang memberikan efek nyata pada pertumbuhan bakteri uji secara statistik berbeda nyata dengan
kontrol. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan efek-efek samping yang mungkin timbul sebagai akibat diaplikasikannya ekstrak ini pada penderita. Dalam penelitian ini belum diidentifikasi apakah ekstrak
kasar daun brotowali bersifat bakteriostatik atau
lethal
pada bakteri uji yang didedahkan. Oleh karena itu, penelitian lanjutan yang berhubungan dengan aspek tersebut masih perlu dilakukan dikemudian hari.
40
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan : 1. Zona hambat yang terbentuk pada perlakuan ekstrak dengan konsentrasi 100 ppm, 1000 ppm dan
10000 ppm menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol. 2. Pada bakteri Gram positif,
zona
hambat tertinggi dari ekstrak daun brotowali dengan konsentrasi rendah 1 ppm dan 10 ppm terdapat pada
Staphylococcus aureus
yaitu berturut-turut 0,32 cm dan 0,47 cm sedangkan pada bakteri Gram negatif terdapat pada
Escherichia coli
yaitu 0,87 cm dan 0,49 cm. 3. Bakteri Gram positif menunjukkan sifat yang lebih resisten pada perlakuan ekstrak daun brotowali
dengan konsentrasi rendah sedangkan pada konsentrasi tinggi bakteri ini cenderung lebih sensitif.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ni Putu Adriani Astiti dan Bapak Yan Ramona yang telah memberikan masukan dan saran pada penelitian ini serta semua pihak yang membantu.
KEPUSTAKAAN
Anonim. 2003. Brotowali
Tinospora crispa
Miers. Hool. F Thems. httpwww.asiamaya.com jamuisibrotowali_tinosporacrispa.html. Diakses tgl. 17 Januari 2004
Chang, S.S. 2003. Brotowali. Warta Tanaman Obat Indonesia. httpwww. Changjaya-abadi.com alternatives-11.html. Diakses pada 9 Oktober 2004.
Kresnady, B dan T. Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Brotowali, Sipahit Yang Menyembuhkan. Agromedia Pustaka.
Dwidjoseputro, D. 1994. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan. Limyati, D.A., N. Arif, dan Asmawati. 1997. Daya Antimikroba. Penentuan Daya Anti Bakteri Batang
Brotowali dengan Metode Bioautografi. Fakultas Farmasi Unversitas Widya Mandala. http:www.lembaga.wima.ac.id ippmdinaas97.pdf. Diakses tanggal 15 Juni 2003.
Limyati, D.A, Artawan, dan H. Junita. 1998. Daya Antimikroba Ekstrak Brotowali terhadap
Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Candida albicans
, dan
Trichophyton ajelloi
. Fakultas Farmasi Unversitas Widya Mandala. http:www.lembaga.wima.ac.idippmppotAbstrak-PEN-
PPOT-WEB-Mikro.hlml, Diakses tgl.15 September 2003 Manan, H.A. 1996. Tanaman Brotowali, Pahit Tapi Bermanfaat. Harian Suara Pembaharuan. 18 Jan 2003.
Martin, A.R. 1982. Obat Anti Infeksi. Buku Teks Wilson dan Gisvold. Kimia Farmasi dan Medical Organik Edisi VIII. Editor R.F Doerge. Penerjemah: A.M. Fatah. IKIP Semarang Press.
Pelczar, M.J., dan E.C.S. Chan. 1998. Dasar-dasar Mikrobiologi II. Penerjemah: R.S. Hadiototomo. UI Press.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB. Bandung. Suanda, I W. 2002. Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Brotowali
Tinospora crispa
L Miers terhadap Larva
Pluttela xylostella
L. pada Tanaman Kubis. Program Studi Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Tesis S-2. Tidak dipublikasikan.
Soemiati, A., Katrin., Ema, R. 1998. Uji Daya Antibakteri Infus Batang Brotowali Terhadap Beberapa Kuman Standar.
Warta Tumbuhan Obat Indonesia,
24: 20-2 Vincent, G. 1991. Metode Rancangan Percobaan. Penerbit Armico Bandung.
41
KARAKTER MORFOLOGI DAN TINGKAT PERTUMBUHAN ANAKAN SEBAGAI BUKTI TAKSONOMI PENDUKUNG VARIETAS
Pandanus tectorius
ASAL PULAU ROSWAR, TELUK WONDAMA, WEST PAPUA
MORPHOLOGICAL CHARACTER AND THE GROWTH RATE OF OFFSPRINGS AS AN EVIDENCE OF TAXONOMIC VAREITY OF Pandanus tectorius FROM ROSWAR ISLAND,
WONDOMA GULF, WEST PAPUA Nurhaidah I. Sinaga
1
, Martinus Iwanggin
1
, Cicilia M.E. Susanti
1
1
Fakultas Kehutanan, Universitas Papua Email: sarahirianygmail.com dan irianysinagayaho.com
INTISARI
Pandanus mempunyai berbagai varieatas dalam speciesnya, tetapi bebrapa variasi tidaklah cukup membedakan antar spesiesnya. Hal ini karena kami belum memiliki atau menemukan karakter
yang lengkap dari specimen herbarium, seperti kami tidak dapat membedakan antara bunga jantan dan betina. Hal ini terjadi pada Pandanus tectorius dari Pulau Roswar. Oleh karena itu kami memerlukan
data lain dari sumber penting lainnya. Itulah alasanny adilakukan penelitian ini pada P. tectorius dari Pulau Roswar, Teluk Cendrawasih, Papua. Dua varietas dari spesies ditanam menggunakan desain
penelitian dari metode statistic. Hasilnya menunjukkan bahwa Pandanus mempunyai dua varietas. Perbedaan kedua varietas ditemukan baik pada karakter morfologi yang mana buahnya, khususnya jari-
jari dan juga daun dan karakter pertumbuhan anakannya. Pertumbuhan anakan dari Pandanus tectorius memberikan persetujuan dalam level taxon. Paper ini akan mendiskusikan dan memperluas tektik dan
karakter-kharakter khususnya.
Kata kunci : Pandanus tectorius, Varietas, Bukti Taksonomi Pendukung, Pulau Roswar
ABSTRACT
Pandanus has many variaton under species but sometimes the variation has not enough to
separate the species. It is because we don’t have complete cha
ractes during our research or our characters from specimen herbarium not supported, like we missing the male or female flowers or we
don’t know yet which one is the male flowers of the female one. This problem present on Pandanus
tectorius from Roswar island too. So that we need supported characters from other impotant information. That was the reason why we did our researches on the P. tectorius from Roswar Island, Cenderawasih
Bay, Papua. Two varietas of the species were planting using experimental design of statistical method. The result showed that the Pandanus have two varieties. The differences between two varieties are found
on both morphological characters that are fruits, especially phalanges also leaves and developing of seedling characters. The growing seedling of Pandanus tectorius has given approval for the level of the
taxon. This paper will be discussed and elaborated more on the uniqueness and distinctive characters.
Keywords : Pandanus tectorius, Varietas, supporting taxonomic evident, Roswar island
42
PENDAHULUAN
Pandanaceae
merupakan salah satu kelompok tumbuhan pantai yang pemanfaatannya telah dilakukan oleh masyarakat sejak dulu, antara lain sebagai bahan makanan, pewangi, zat warna, obat-
obatan dan bahan anyaman atap, tikar, tempat rokok, tas, dompet. Sebagai bahan ayaman produksi dari pandan telah diimpor hingga ke Eropa. Untuk menghasilkan ayaman yang berkualitas maka serat pandan
perlu diperhatikan. Serat berkaitan erat dengan varietas pandan yang digunakan. Selain itu untuk kelangsungan produksi diperlukan usaha budidaya pandan.
Serat dari varietas mana yang memiliki sifat unggul, kemudian ada berapa varietas pandan yang penting untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut. Serangkaian penelitian yang dilakukan menunjukan
ada 2 dua varietas Pandan di Pulau Roswar dengan bukti taksonomi dari karakter morfologi yang didukung oleh karakter pandan saat pertumbuhan anakan.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan pada bulan July hingga Oktober 2012. Bertempat di Pulau Roswar, laboratorium Silvikultur serta laboratorium Konservasi dan Lingkungan Fahutan Unipa. Anakan diambil
dari pulau Roswar dan ditanam dengan mengikuti pola Rancangan Acak Lengkap dengan media tanam perbadingan tanah dan pasir sebagai perlakuan.
HASIL
P. tectorius