Seroprevalensi Tuberkulosis pada Sapi Bali seebagaii Langkah Awal Monitoring Pencegahan Penyakit Zoonosis di Provinsi Bali.

(1)

ISBN 978-602-294-065-4

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BIOSAINS I

Diterbitkan Oleh :

Program Studi Magister Biologi

Program Pascasarjana


(2)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BIOSAINS I 2014 “Biodiversitas Sebagai Penunjang Ketahanan Pangan”

Denpasar, 29 Desember 2014

Editor :

Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, MS Dr. Dra. Eniek Kriswiyanti, M.Si Dra. Ni Luh Watiniasih, M.Sc, Ph.D

Ir. Made Pharmawati, M.Sc., Ph.D Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc., Ph.D

Dr. Ir. Yenni Ciawi

Diterbitkan Oleh : Universitas Udayana


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara dengan baik pada tanggal 29 Desember 2014, serta prosiding hasil seminar ini dapat tersusun dan diterbit sesuai rencana. Kegiatan seminar dengan tema“Biodiversitas sebagai Penunjang Ketahanan Pangan”, merupakan realisasi kerjasama yang telah dirintis oleh Program Magister Biologi dan Jurusan Biologi Universitas Udayana, dengan North Dakota State University, USA. Tema ini sangat relevan diangkat karena ketahanan pangan merupakan issue yang sangat penting dalam dua dekade terakhir. Pertambahan jumlah penduduk dunia yang sangat cepat yang tidak diimbangi oleh penambahan luasan lahan pertanian telah menyebabkan adanya gap yang sangat nyata antara produksi pangan dengan jumlah penduduk. Hal ini telah banyak menyebabkan bencana kelaparan di banyak belahan dunia. Untuk menanggulangi masalah kekurangan pangan ini, penganekaragaman sumber pangan yang bersumber dari darat dan laut menjadi issue yang sangat krusial, sehingga hasil–hasil penelitian terkait biodiversitas, terutama yang dapat dijadikan sebagai sumber pangan, sangat perlu didukung dan disebarluaskan, diantaranya melalui penerbitan prosiding seminar.

Topik yang tercakup dalam prosiding ini adalah Biodiversitas dan Konservasi, Pangan dan Teknologi Pangan, Genetika dan Biomolekuler, Lingkungan, Biosistematik dan Evolusi, serta Kesehatan. Topik-topik yang disajikan dalam buku sederhana ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan dalam mengembangkan keanekaragaman pangan, sehingga masalah kekurangan pangan secara bertahap dapat diatasi.

Pada kesempatan ini, Panitia ingin menyampaikan rasa apresiasi yang sangat tinggi kepada para peserta seminar, para penyaji makalah dan penyusun naskah, para tim editor dan reviewer, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, karena atas kerjasamanya penerbitan prosiding ini dapat dilakukan.

Semoga prosiding ini dapat memberi manfaat kepada masyarakat luas, terutama para pemerhati biodiversitas, mahasiswa, peneliti, pemerintah serta swasta yang memiliki rasa kepedulian terhadap biodiversitas. Sekali lagi, Terimakasih dan sampai jumpa pada Seminar Nasional Biosains II.

Denpasar, 13 Agustus 2015 Ketua Panitia Penyelenggara


(4)

RINGKASAN

Prosiding ini merupakan kumpulan naskah yang telah disajikan pada Seminar Nasional Biosains I yang diselenggarakan pada tanggal 29 Desember 2014, bertempat di Gedung Pascasarjana, Universitas Udayana, Jl. PB Sudirman, Denpasar, Bali. Seminar Nasional Biosains I ini mengangkat tema

“Biodiversitas sebagai Penunjang Ketahanan Pangan”. Ada lima topik yang disajikan dalam prosiding ini, yaitu Biodiversitas dan Konservasi, Pangan dan Teknologi Pangan, Genetika dan Biomolekuler, Lingkungan, Biosistematik dan Evolusi, serta Kesehatan, dengan total 24 naskah.

Semoga naskah dalam prosiding ini memberi manfaat baik kepada semua pihak yang memiliki perhatian pada keberlanjutan (sustainabilitas) biodiversitas di Indonesia serta manfaatnya dalam menunjang ketahanan pangan bagi umat manusia.

Denpasar, 13 Agustus 2015 Tim Penyunting


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i RINGKASAN ... ii DAFTAR ISI ... iii MODIFIKASI PATI TALAS KIMPUL DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT UNTUK MEMPERBAIKI KARAKTERISTIK SOHUN (STARCH NOODLE) ... 1

Anak Agung Istri Sri Wiadnyani, I Wayan Rai Widarta ... 1 VIABILITAS SERBUK SARI BUNGA TERATAI SUDAMALA (Nymphoides indica (L.) Kuntze, MENYANTHACEAE) DENGAN UJI WARNA, IN-VITRO DAN SQUASH KEPALA PUTIK ... 12

Gusti Ayu Nyoman Budiwati, Eniek Kriswiyanti, I Gusti Ayu Sugi Wahyuni ... 12 KARAKTERISTIK DAN VIABILITAS SERBUK SARI RAGAM KELAPA (Cocos nucifera, L.) DI BALI ... 20

Eniek Kriswiyanti ... 20 TANGGAP TANAMAN KEDELAI TERHADAP PEMBERIAN EKSTRAK KRANDALIT, FRAKSI HUMAT, DAN MOLIBDENUM (Mo) PADA INCEPTISOLS PRAFI MANOKWARI ... 26

Ishak Musaad, Dwiana Wasgito Purnomo, Murtiningrum, Yohanis Amus Mustamu ... 26 BIOASSAY EKSTRAK KASAR (CRUDE EXTRACT) DAUN BROTOWALI (Tinospora crispa (L) Miers) PADA BAKTERI GRAM POSITIF DAN BAKTERI GRAM NEGATIF ... 35

Ida Ayu Putu Suryanti ... 35 KARAKTER MORFOLOGI DAN TINGKAT PERTUMBUHAN ANAKAN SEBAGAI BUKTI TAKSONOMI PENDUKUNG VARIETAS Pandanus tectorius ASAL PULAU ROSWAR, TELUK WONDAMA, WEST PAPUA ... 41

Nurhaidah I. Sinaga1, Martinus Iwanggin1, Cicilia M.E. Susanti1 ... 41 STRUKTUR ANATOMI AKAR, BATANG DAN DAUN SERTA PENYEBARAN STOMATA DAN TRIKOMATA PADA Monochoria vaginalis (Burm. F.) Presl ... 48

Ni Putu Adriani Astiti ... 48 PERKEMBANGAN STRUKTUR MORFOLOGI EMBRIO CENDANA (Santalum Album Linn.) DARI BUNGA MEKAR HINGGA TERBENTUKNYA BUAH MUDA ... 55

Ni Putu Yuni Astriani Dewi1, Eniek Kriswiyanti1,2, Ni Nyoman Darsini2... 55 DAYA HAMBAT EKSTRAK DAUN RAMBUTAN RAPIAH (Nephelium lappaceum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KUNYIT ... 64

Anak Agung Istri Mirah Dharmadewi1, Ni Putu Adriani Astiti 1, Luh Putu Wrasiati2 ... 64 PELAKSANAAN AWIG-AWIG FAKTOR KEBERHASILAN BIOLOGI KONSERVASI JALAK BALI (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) DI KEPULAUAN NUSA PENIDA ... 72


(6)

KONSERVASI HUTAN MANGROVE MELALUI DIVERSITAS PANGAN OLAHAN BUAH

MANGROVE DI PESISIR KABUPATEN POHUWATO GORONTALO ... 80

Ramli Utina1,2, Jusna Ahmad1, Abubakar Sidik Katili1,2, Mustamin Ibrahim1, ... 80

GAMBARAN HISTOLOGI HATI TIKUS (Rattus norvegivus) YANG DIINJEKSI WHITE VITAMIN C DOSIS TINGGI DALAM JANGKA WAKTU LAMA ... 87

Ni Wayan Sudatri, Iriani Setyawati, Ni MadeSuartini, Dwi Ariani Yulihastuti ... 87

KERAGAMAN GENETIK DNA MIKROSATELIT BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) ... 95

I Wayan Rosiana, I Gede Widhiantara ... 95

SEROPREVALENSI TUBERKULOSIS PADA SAPI BALI SEBAGAI LANGKAH AWAL MONITORING PENCEGAHAN PENYAKIT ZOONOSIS (NEW EMERGING DISEASE) DI PROVINSI BALI... 101

Hapsari Mahatmi1, Nyoman Adi Suratma1, Nengah Kerta Besung1 Ketut Budiasa1, G.P. Widiarsa2 ... 101

STUDI EPIDEMIOLOGI KOKSIDIOSIS PADA SAPI DI BALI ... 107

Nyoman Adi Suratma, Ida Bagus Made Oka, I Made Dwinata ... 107

POTENSI Lactobacillus rhamnosus SKG34 SEBAGAI STARTER YOGHURT DAN VIABILITASNYA SELAMA PENYIMPANAN ... 113

Komang Ayu Nocianitri1, I Nengah Sujaya2, Ni Nyoman Puspawati3 ... 113

EVALUASI SIFAT KIMIA DAN SENSORIS ROTI BUN YANG MEMANFAATKAN TEPUNG SUWEG (Amorphopalluscampanulatus B1) SEBAGAI BAHAN PENSUBSTITUSI TERIGU ... 122

I DP. Kartika Pratiwi*, Ni Made Indri Hapsari A., A.A.G.N. Anom Jambe ... 122

POTENSI Streptomyces sp. DALAM MENGHAMBAT BAKTERI Klebsiella pneumoniae RESISTEN TERHADAP AMPISILIN ... 130

Kadek Desy Kartika1, Retno Kawuri2, Putra Dwija3 ... 130

BIOREMEDIASI PERAIRAN TERCEMAR LIMBAH INDUSTRI PENCELUPAN DENGAN PEMANFAATAN TUMBUHAN AIR SECARA OPTIMAL ... 138

Ni Made Susun Parwanayoni dan Ni Luh Suryani ... 138

DESKRIPSI PERBEDAAN JUMLAH INDIVIDU KEPITING MANGROVE, SPESIES Scylla serrata DAN Uca sp SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR LINGKUNGAN PADA EKOSISTEM MANGROVE DI DESA BULALO KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA ... 145

Abubakar Sidik Katili 1,2), Ramli Utina 2,2), Chairunnisah J.Lamangantjo3,2) ... 145

ASOSIASI MAKROZOOBENTOS PADA PADANG LAMUN DI PANTAI MERTA SARI DAN SINDHU, SANUR-BALI ... 153


(7)

MODIFIKASI PATI TALAS KIMPUL DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT UNTUK MEMPERBAIKI KARAKTERISTIK SOHUN (STARCH NOODLE)

MODIFICATION OF COCOYAM STARCH WITH HEAT MOISTURE TREATMENT TO IMPROVE CHARACTERISTICS OF STARCH NOODLE

Anak Agung Istri Sri Wiadnyani, I Wayan Rai Widarta

Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Email: [email protected]

INTISARI

Pati talas kimpul alami memiliki stabilitas tekstur yang kurang kokoh, memiliki profil pasta pati dengan viskositas puncak yang tinggi diikuti dengan viskositas breakdown yang tinggi dan viskositas pasta dingin yang rendah. Perlakuan HMT (Heat Moisture Treatment) diharapkan penggunaan pati talas kimpul dapat ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh perlakuan HMT terhadapat pati talas kimpul dan mengetahui karakteritik pati talas kimpul termodifikasi yang nantinya diaplikasikan pada pembuatan sohun. Talas kimpul diekstraksi, selanjutnya diberi perlakuan HMT yang dikondisikan pada kadar air 30%, suhu 110OC dengan variasi waktu pmanasan 0, 4,8 dan 10 jam. Pati talas kimpul alami dan pati HMT dianalisis meliputi kadar air, kadar amilosa dan sifat amilografinya. Pati HMT yng menunjukkan hasil terbaik digunakan untuk pembuatan sohun dan dilakukan pengamatan sifat noodlenya secara visual. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan terbaik hasil modifikasi adalah perlakuan HMT 4 jam dengan analisis meliputi kadar air 10,26%, kadar amilosa 28,91% serta tidak memiliki puncak viskositas tapi peningkatan viskositas terus terjadi selama pemanasan hingga akhir pendinginan sebesar 6200cp.

Kata kunci: pati, talas kimpul, heat moisture treatment, sohun

ABSTRACT

A native cocoyam starch has a softer textural sta bility, has starch paste profile with high peak viscosity followed by a high breakdown viscosity and low cold paste viscosity. Treated with (HMT) heat moisture treatment, is expected to improve the application of cocoyam starch. The study aimed to observe the effect of different heat moisture treatment on the characteristic of cocoyam starch and also to know the best modified starch for application starch noodle preparation. Cocoyam starch extracted, then treated with HMT was adjusted at restrict wa ter content 30%, temperature 110OC for different time 0,4,8 and 16 hours. Native and treated starch were analysed for the water content, amilosa content and amilograph profile. HMT which showed the best performance, were made into starch noodle and evaluated the properties with visual. The result showed the best treatment of modificatiom was HMT treated 4 hours with analysis results include water content 10.26%, amilose content 28.91% and no pasting peak but rather a high viscosity which remains constantor increases during cooling.


(8)

PENDAHULUAN

Ketahanan pangan menjadi masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah melaksanakan beberapa program dan kebijakan yang bertujuan untuk mewujudkan ketaha nan pangan nasional salah satunya adalah dengan penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan). Program ini ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok alternatif sumber karbohidrat selain beras adalah dengan menggunakan komoditas lain yang dapat diperoleh secara lokal dengan harga murah. Salah satu tanaman sumber karbohidrat yang berpotensi besar untuk dikembangkan adalah talas kimpul.

Talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium) atau yang dikenal di Bali dengan keladi merupakan jenis umbi-umbian dan salah satu komoditas pertanian yang memiliki peranan yang cukup strategis tidak hanya sebagai sumber pangan dan bahan baku industri tetapi juga pakan ternak. Produk pangan yang dibuat menggunakan bahan baku talas kimpul sangat jarang ditemui. Talas kimpul umumnya diolah hanya dengan jalan direbus saja oleh masyarakat, sehingga kurang mempunyai nilai ekonomis.

Pola konsumsi masyarakat dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup saat ini menjadi isu yang sangat penting. Makanan selain nasi kian digemari sepert roti, mie, bihun, kwetiau dan sohun karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi menjadi pilihan pengganti bahan makanan pokok beras.

Pada umumnya pati talas kimpul memiliki sifat inferior untuk diproduksi menjadi sohun (sta rch noodle). Sohun atau soun (suun) adalah produk makanan sejenis bihun atau mie halus yang dibuat dari pati (Anon., 2012a). Dibanding jenis mie dan bihun, sohun lebih liat dan tidak mudah putus. Sohun dijual dalam keadaan kering dan terlipat setelah direbus atau direndam, sohun berwarna bening, bertekstur kenyal, dan memiliki permukaan yang licin.

Kualitas sohun banyak dipengaruhi oleh pati sebagai bahan dasarnya. Menurut Lii and Chang (1991) di Cina, pati yang ideal untuk bahan dasar pengolahan sohun harus mempunyai kadar amilosa yang tinggi seperti pati kacang hijau sebesar 33%, sedangkan pati talas mengandung amilosa sebesar 20-25% (Setyowati et al., 2007). Pati alami memiliki stabilitas tekstur yang baik, namun memiliki keterbatasan saat pemanasan dan cenderung mudah teretrogradasi, sehingga memiliki keterbatasan penggunaanya di dalam industri.

Modifikasi pati adalah cara mengubah struktur dan mempengaruhi ikatan hydrogen dengan cara terkontrol untuk meningkatkan dan memperluas kegunaannya. Modifikasi pati diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan fungsional dari pati alami. Salah satu cara modifikasi pati yang dapat dilakukan untuk mengubah sifat-sifat pati adalah dengan cara Heat Moisture Treatment (HMT). Perlakuan HMT pada pati didefenisikan sebagai modifikasi pati secara fisik dengan mengkombinasikan antara kadar air dan panas yang akan merubah sifat-sifat pati. HMT dilakukan pada suhu diatas suhu gelatinisasi (80-120OC) dan dengan kadar air kurang dari 35% (Stute, 1992).

Modifikasi pati secara fisikawi ini juga dianggap lebih alami dan aman dibandingkan dengan memodifikasi pati dengan cara kimiawi. Modifikasi pati secara HMT relatif aman dan sederhana untuk dilakukan, karena modifikasi ini tidak menggunakan bahan kimiawi dalam melakukan modifikasi sehingga sangat cocok dilakukan untuk pati yang akan digunakan dalam bahan pangan.

Oleh karena itu pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterisasi pati alami dan pati talas kimpul termodifikasi HMT yang kemudian akan digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh HMT terhadap sifat fungsional pati yang diaplikasikan dalam pembuatan sohun (sta rch noodle).


(9)

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Analisa Hasil Pangan, Laboratorium Biokimia dan Nutrisi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Bali, Laboratorium Balai Besar Tanaman Padi, Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Juli - Desember 2012.

Bahan Penelitian

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah talas dari perkebunan petani, aquades, HCL 25 %, NaOH 1%, Etanol 95%, Asam asetat, larutan Iod 2% dan bahan kimia untuk analisis.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixer, oven, plastik, pengemas vakum, ayakan 100 mesh, propipet, gelas ukur, pipet, loyang, kompor, panci, pencetak sohun, timbangan, pengaduk mekanik atau manual, kabinet dyer, pisau, desikator, blender, spektrofotometer, perajang mekanis, wa terba th, Brabender Amylograph, Teksture analyzer serta alat-alat analisis lainnya.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 3 tahap yakni ekstraksi pati talas, selanjutnya modifikasi pati talas dengan HMT dan pembuatan sohun (starch noodle). Pada penelitian ini diawali dengan mengekstraksi pati talas dengan menggunakan metode Collado and Corke (1997). Pati talas alami yang telah diekstraksi dianalisis rendemennya. Tahap selanjutnya adalah pembuatan pati HMT menggunakan metode (Collado et al., 2001) yang dimodifikasi. Pati alami dan pati HMT kemudian dianalisis meliputi kadar air, kadar amilosa dan amilografi pati. Kemudian perlakuan HMT terbaik diaplikasikan dalam pembuatan sta rch noodle yang dibandingkan dengan pati alami (Gambar 1).


(10)

Gambar 1. Diagram alir jalannya penelitian

Tahap 1. Ekstraksi Pati Talas

Pati talas diekstraksi dengan tahapan sebagai berikut : talas dicuci dan dikupas, lalu diparut. Hasil parutan talas kemudian diekstraksi dengan perbandingan air dan bahan 1: 1 dan dilakukan penyaringan dengan menggunakan k a i n s a r i n g diperoleh filtrat 1. Ampas yang diperoleh, kemudian dicampurkan lagi dengan air dengan perbandingan air dan ampas 1: 0,5 dan dilakukan penyaringan hingga diperoleh filtrat 2. Filtrat 1 dan 2 dicampur, kemudian dilakukan pengendapan selama 6 jam, dan setiap 3 jam dilakukan penggantian air. Air dan endapan kemudian dipisah dan endapan yang diperoleh disebut pati basah. Pati basah kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven pengering selama 24 jam pada suhu 50ºC, hingga diperoleh pati kering. Pati kering selanjutnya digiling dan diayak dengan menggunakan ayakan ukuran 1 00 mesh, dan diperoleh pati dalam bentuk tepung. Pati yang diperoleh disimpan dalam wadah yang tertutup rapat.


(11)

Tahap 2. Heat Moisture Treatment

Modifikasi pati dengan HMT dilakukan dengan metode Collado et al. (2001) yang dimodifikasi. Cara modifikasi pati dengan HMT adalah sebagai berikut :

Pati alami yang digunakan diatur kadar airnya menjadi 30%, kemudian disimpan pada suhu 4°C selama 24 jam. Lalu dilakukan pemanasan dengan menggunakan oven pada suhu 110°C dengan perlakuan lama pemanasan HMT 4 jam, 8 jam dan 16 jam. Pati kemudian langsung didinginan untuk mencegah gelatinisasi lebih lanjut, dan dilakukan pengeringan pada suhu 50°C selama 4 jam. Pati HMT kemudian didinginkan pada suhu kamar selama 1 jam. Lalu pati dikemas dan dianalisis. Analisis yang dilakukan meliputi kadar air (AOAC,1994), kadarar amilosa (AOAC, 1994), dan amilografi pati.

Tahap 3. Pembuatan Sohun (Starch noodle)

Metode pembuatan bihun instan mengacu pada Collado et al.(2001): Purwani et.al (2006) yang dimodifikasi. Pembuatan bihun instan terdiri atas beberapa tahap, meliputi pembuatan binder adonan, pembuatan adonan, pencetakan bihun, pengukusan, dan pengeringan. Tingkat substitusi pati modifikasi HMT yang digunakan adalah 50% terhadap pati talas alami. Produksi sohun diawali dengan pembentukan binder (perekat). Pembentuan binder dilakukan dengan mengelatinisasi sebagian pati (10%) yang akan digunakan dalam pembuatan adonan sohun dengan menambahkan air dengan perbandingan (1 : 7 b/v). Pati yang digunakan sebagai binder adalah pati talas alami mengingat pati talas termodifikasi memiliki daya rekat yang lebih rendah. Selanjutnya suspensi pati dipanaskan selama 5 menit atau hingga mengental yaitu mempunyai penampakan yang transparan. Pati yang telah mengental atau tergelatinisasi seluruhnya digunakan sebagai binder.

Sisa Pati talas campuran antara pati talas alami dengan pati HMT (90%) dicampur dengan binder. Campuran diaduk dan diadon hingga merata. Adonan yang sempurna terbentuk ketika pati kering telah tercampur merata dan terikat oleh binder sehingga dapat menyatu saat digenggam. Selanjutnya adonan dicetak pada mesin pencetak mie dan dilanjutkan dengan proses pengukusan yang berlangsung selama 4 menit. Sohun dikukus selama 2 menit kemudian dikeluarkan untuk dibalikkan susunannya. Selanjutnya sohun dikukus kembali selama 2 menit.

Rancangan Penelitian

Pada penelitian ini digunakan Rancangan Acak k e l o m p o k untuk analisis kadar amilosa dan kadar air pati HMT yang dibandingkan dengan pati alami. Analisis variabel dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan HMT terhadap sifat amilografi pati (suhu gelatinisasi, puncak viskositas, trough, brea kdown, setba ck, dan viskositas akhir) menggunakan ANOVA. Apabila pengaruhnya signifikan (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji Dunca n Multiple Range Test (DMRT).

Perlakuan lama HMT: T1 : 4 jam, T2 : 8 jam, T3 : 16 jam

Perlakuan diulang 3 kali sehingga didapat 12 unit percobaan. Masing-masing ulangan dilakukan analisis sesuai dengan parameter yang diamati yang selanjutnya dibandingkan dengan kontrol.


(12)

HASIL

Rendemen Pati

Tabel 1. Rendemen Pati Talas Alami

No Jenis Pati Rendemen (%)

1 Pati Alami 19.21

Kadar Air

Tabel 2. Kadar Air Pati Tanpa Modifikasi dan Pati Modifikasi HMT No Perlakuan Kadar Air b/b (%)

1 T0 11,73 (a)

2 T1 10,26 (b)

3 T2 9,65 (b)

4 T3 8,87 (c)

Ket : Huruf yang sama menunjukkan bahwa kadar air tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.

Kadar Amilosa

Tabel 3. Kadar Amilosa pati Tanpa Modifikasi dan Pati Modifikasi HMT No Perlakuan Kadar Amilosa (%)

1 T0 28,17 (b )

2 T1 28,91 (a)

3 T2 28,77 (a)

4 T3 28,37 (ab)

Ket : Huruf yang sama menunjukkan bahwa kadar amilosa tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.


(13)

Amilografi

Gambar 2. Kurva amilografi Pati talas Kimpul Modifikasi

Tabel 4. Profil Pasta Pati Talas alami dan Pati Modifikasi HMT

Karakteristik Perlakuan

T0 T1 T2 T3

Suhu awal gelatinisasi (OC) 71.23 78.57 82.70 79.83 Suhu puncak gelatinisasi (OC) 93.40 ND ND ND

Viskositas puncak (Cp) 3312.50 ND ND ND

Viskositas pasta panas (Cp) 3112.50 ND ND ND Viskositas pasta dingin (Cp) 4879.17 6200.00 3975.00 5179.17 Viskositas breakdown (Cp) 200.00 ND ND ND Viskositas set back (Cp) 1766.67 ND ND ND

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000

0 5 10 15 20 25 30 35 40

V IS K O S IT A S ( C p )

T (MENIT)

T0 T1 T2 T3 SUHU


(14)

Sohun (Strach Noodle)

Tabel 5. Pengamatan visual sohun pati talas alami dan HMT 4 jam

Perlakuan Pengamatan visual

Pencetakan Pengukusan

Sohun alami untaian sohun mudah putus bila ditarik mudah putus tekstur rapuh tergelatinisasi kurang sempurna warna lebih putih Ukuran sohun kurang mengembang Sohun HMT 4 jam Untaian sohun tidak mudah putus bila ditarik liat dan tidak mudah putus

tekstur lebih kokoh tergelatinisasi sempurna warna agak putih/sedikit lebih buram Ukuran sohun mengembang

PEMBAHASAN

Rendemen Pati

Rendemen pati adalah perbandingan antara berat pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi dengan berat bahan dasarnya. Rendemen pati secara langsung tidak mempengaruhi mutu produk pati namun memiliki dampak pada aspek ekonomi pengolahan pati talas, karena rendemen yang tinggi akan lebih menguntungkan produsen pati talas.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa rendemen pati talas sebesar 19,21%. Perbedaan kadar rendemen pati talas bisa disebabkan oleh perbedaan varietas, usia tanam, dan proses ekstraksi, dimana proses ekstraksi pati yang optimal akan menghasilkan rendemen pati talas yang tinggi. Semakin tinggi kandungan pati talas segar diharapkan semakin tinggi rendemen pati yang dapat diekstrak dari tal as

Kadar Air

Kadar air bahan pangan erat kaitannya dengan umur simpan bahan pangan tersebut, semakin rendah kadar air dalam bahan pangan maka akan semakin lama bahan tersebut dapat disimpan dan tentunya akan lebih aman dari kemungkinan kerusakan akibat kontaminasi dari lingkungan sekitarnya, misalnya dari mikroorganisme. Hasil pengamatan erhadap kadar air pati talas alami dan pati talas modifikasi HMT yang dihasilkan setelah dianalisis dapat dilihat pada Tabel 2.

Data Tabel 2 menunjukkan bahwa perbedaan lama pemanasan perlakuan HMT berpengaruh nyata terhadap kadar air pati talas yang dihasilkan. Kadar air tertinggi sebesar 11,73% pada perlakuan T0 (pati alami). Sedangkan kadar air terendah pada perlakuan HMT 16 jam. Kadar air pati HMT berkisar 8,87% sampai dengan 10,26%. Makin lama waktu HMT kadar air yang dihasilkan makin rendah, dikarenakan semakin lamanya waktu pemanasan air pada bahan akan menguap lebih banyak. Kadar air pati talas yang diperoleh pada penelitian ini relatif sama dengan kadar air beberapa jenis umbi yang lain seperti ubi jalar pada penelitian yang dilaporkan Chen (2003) yaitu berkisar antara 8,6% sampai dengan 9,4%. Lama pemanasan dan banyaknya air yang terikat pada granula pati sangat mempengaruhi kadar air pada pati.


(15)

Kadar Amilosa

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan HMT selama 4 jam (T1) memiliki kadar amilosa tertinggi yaitu 28,.91% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan HMT 8 jam (T2) dan 16 jam (T3). Sedangkan kadar amilosa terendah adalah perlakuan pati alami 0 jam (TO) sebesar 28,17% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan HMT 16 jam (T3). Perbedaan lama waktu HMT berpengaruh nyata terhadap kadar amilosa pati talas. Kadar amilosa pati talas alami dan hasil modifikasi HMT pada penelitian ini berkisar 28% lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian (Setyowati et al., 2007) mengandung amilosa sebesar 20-25%. Kadar amilosa merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi sifat pasting dan retrogradasi pati.

Kadar amilosa yang cenderung mengalami sedikit peningkatan dengan makin lamanya waktu pemanasan. Keadaan ini diduga terjadi karena pada saat melakukan modifikasi dengan HMT, molekul amilopektin mengalami degradasi pada rantai eksteriornya yang menyebabkan penurunan jumlah molekul besar, tetapi menaikan jumlah molekul kecil. Rantai eksterior hasil degradasi tersebut merupakan rantai-rantai linier dan berbentuk helix ganda, sehingga dapat dikatakan menyerupai molekul amilosa dan mampu melakukan pengikatan dengan molekul amilosa melalui ikatan hydrogen (Lu et al., 1996).

Amilografi Pati

Setiap pati dari berbagai jenis tanaman memiliki sifat gelatinisasi yang berbeda. Hasil pengamatan terhadap hasil pengukuran pasta pati dan sifat amilografi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 2 dan profil pasta pati talas alami dan pati modifikasi pada p e rl ak u a n l am a H M T yang berbeda dapat dilihat pada table 4. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perbedaan lama HMT memberikan pengaruh nyata terhadap suhu gelatinisasi pati alami dan pati modifikasi HMT yang cenderung mengalami peningkatan dengan semakin lamanya waktu HMT (Gambar 2). Suhu gelatinisasi terendah adalah pada pati talas alami sebesar 71,.23 OC dan tertinggi adalah perlakuan HMT 8 jam (T2) sebesar 82,70OC. Diduga bahwa proses HMT menyebabkan meningkatnya kristalinitas pati karena adanya perubahan dari struktur granula pati. kokohnya ikatan intramolekul pati karena HMT membuat pati membutuhkan panas yang lebih besar untuk memecah struktur pati dan pembentukan pasta terjadi. Keadaan ini menggambarkan bahwa pati HMT mempunyai kestabilan yang tinggi terhadap panas (Lii et a l., 1995) Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Collado and Corke (1999); Collado et a l., 2001; Sigh et a l. (2005); tsakama et al., 2011 pada pati ubi jalar, serta penelitian Pukkahuta et a l. (2008) pada pati jagung.

Pati alami memiliki viskositas puncak 3312.50 Cp, viskositas pasta panas 3112,50 Cp, viskositas pasta dingin 4879.17 Cp, breakdown 200 Cp, set back 1766.67 Cp. Suhu gelatinisasi yang tinggi, puncak viskositas yang menandakan pengembangan granula pati yang terbatas dan nilai brea kdown rendah meggambarkan kestabilan granula pati yang rendah, serta nilai setback dan Viskositas akhir gelatinisasi yang tinggi, menggambarkan pati talas alami memiliki pola amilografi tipe B (puncak pasta lebih rendah dan pengenceran yang tidak terlalu besar selama pemanasan) sehingga penelitian tersebut berhasil mengubah pasta pati talas alami yang memiliki pasta pati tipe B dengan modifikasi HMT menjadi pasta pati tipe C. Hal ini sejalan dengan penelitian (Collado et al., 2001); Tsakama et al., 2011) pada pati ubi jalar dan Jiranuntakul et al., 2011) pada pati beras dan jagung yang mengubah pasta pati tipe A menjadi tipe C.


(16)

Sohun (Strach Noodle)

Pengamatan sohun dilakukan secara visual pada pati alami dibandingkan dengan pati modifikasi HMT terbaik yaitu pada perlakuan HMT 4 jam (T1) dikarenakan pati HMT 4 jam memiki pola amilografi tipe C sehingga sesuai untuk karakteristik dijadikan sohun yaitu tidak memiliki viskositas puncak tetapi lebih menunjukkan pada pembentukan viskositas yang sangat tinggi dan tetap konstan selama pemanasan bahkan sampai pendinginan (Chen et al., 2003; Purwani et al., 2006). Bila dibandingkan dengan perlakuan T2 (8 jam) dan T3 (16jam) yang juga memiliki pola amilografi tipe C, viskositas pati HMT (T1) memiliki viskositas yang lebih tinggi sampai pada pendinginan (retrogradasi) suhu 50OC. Pengamatan terhadap lembaran sohun dilakukan setelah pencetakan adonan sohun dan juga setelah pengukusan. Pengamatan sohun alami dan sohun modifikasi HMT dapat dilihat pada Tabel 5.

Bila dilihat pada table 5, baik pada pencetakan ataupun pada pengukusan pati alami memiliki tekstur yang lebih rapuh dan mudah putus dibandingkan dengan pati modifikasi HMT. Demikian pula bila dilakukan pengukusan dengan waktu yang sama.

SIMPULAN

Pati HMT terbaik adalah lama HMT 4 jam yang dilihat dari pofil dan kurva amilografinya dikarenakan perlakuan HMT 4 jam tidak memiliki viskositas puncak tetapi lebih menunjukkan pada pembentukan viskositas yang sangat tinggi dan tetap konstan selama pemanasan bahkan sampai pendinginan (profil pasta tipe C). Sohun yang dibuat dari pati HMT 4 jam memiliki tekstur yang lebih kokoh dan untaian sohun tidak mudah putus pada saat pencetakan. Demikian pula pada saat pengukusan pati talas HMT memiliki tekstur yang lebih liat, tergelatinisasi dengan sempurna serta ukurannya lebih mengembang dibandingkan pati talas alami.

KEPUSTAKAAN

Anonim, 2012a. Sohun. http://id.wikipedia.org/wiki/Sohun. Diakses 13 Februari 2012.

AOAC, 1984. Officia l Methodes of Analysis of the Associa tion of Ana lytical Chemist. 14th ed. AOAC Inc. Arlington. Virginia

Chen, Z., 2003. Physicochemica l Properties of Sweet Pota to Sta rches and their Applica tion in Noodle Products. Dissertation of Wageningen University, Netherland

Collado, L.S and Corke, H., 1997. Properties of sta rch noodles as effected by sweet potato genotype. Cereal Chemist ry, 74 (2), 182-187

Collado, L.S and Corke, H., 1999. Hea t moisture treatment effect on Sweet Pota to starches differing in a mylose content. Food Chemistry, 65, 339-346

Collado, L.S., Mabesa, L.B., Oates C.G., and Corke, H., 2001. Bihon-type noodles from heat moisture trea ted S weet Potato sta r ch. J. Food Science, 66 (4), 604-609

Gunaratne, A., and Hoover, R. 2002. Effect of hea t moistur e trea tment on the structure and phys icochemica l properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polymers, 49, 425-437

Hoover, R., 2001. Composition, molecula r structure, and p hysicochemical properties of tuber and root sta r ch : Review. Carbohydrate Polymers, 45: 253-267

Hoover, R. and Vasanthan, T. 1994. Effect of hea t moisture trea tment on structur e and physicochemica l properties of cereal, legume and tuber sta rches. Carbohydrate Research, 252: 33-53


(17)

Lii, C.Y., and Chang, Y.H., 1981. Chara cterization of Red Bea n (Pha seolus radiatus Va r. aurea ) starch and its noodle q uality. J. Food Science, 46: 78-81

Lii, C.Y., Tsai, M.L. and Tsang, K.H. 1995. Effect of a mylose content of rheologica l of r ice sta r ch. Cereal Chemistry, 73: 415-420.

Lu, S., C.Y.Chen and C.Y.Lii. 1996. Gel Chroma tography fra ctintion and Thermal Cha racterizatin of Rice Sta rch Affected by Hydrothermal Trea tment. Cereal Chemestry, 73:5-11.

Pukkuhuta, C., Suwannawat, B., Shobsngob, S and Varavinit, S. 2008. Comparative Study of Pasting and Thermal Transition characteristic of Osmotic Pressure and Heat Moisture Treated Corn Starch. CCabohydrat Polymer, 72:527-536.

Purwani, E.Y., Widaningrum, R., Thahir, and Muslich, 2006. Effect of hea t moisture treatment of Sago starch on its noodle q uality. Indonesia Journal of Agricultural Science, 7 (1): 8-1 4

Sajilata, M.G., Singhal, R.S., and Kulkarni, P.R., 2006. Resistant sta r ch-a review.J. Food Science and Food Safety, 6: 1-17

Singh, S., Raina, C.S., Bawa, A.S. and Saxena, D.C. 2005. Effect of hea t moisture trea tment and a cid modification on r heological, textura l and differentia l scanning ca lorimetry chara cteristics of sweet potato sta r ch. Journal of Food Science, 70 (6): 373-378

Stute, R. 1992. Hydrotherma l modification of starches: the d ifference between anneling and hea t moisture treatment. Starch, 6:205-214

Tran, U.T., Okadome, H., Murata, M., Homma, S. and Ohtsubo, K. 2001. Comparisson of vietnamese and japa nese r ice cultivars in terms of physicochemica l properties. Journal Food Science and Technology Research, 7:323-330


(18)

VIABILITAS SERBUK SARI BUNGA TERATAI SUDAMALA (Nymphoides indica (L.) Kuntze, MENYANTHACEAE) DENGAN UJI WARNA, IN-VITRO DAN SQUASH KEPALA PUTIK

VIABILITY OF SUDAMALA’S LOTUS POLLEN (Nymphoides indica (L.) Kuntze, MENYANTHACEAE) BASED ON COLOR TEST, IN-VITRO AND STIGMA’S SQUASH.

Gusti Ayu Nyoman Budiwati, Eniek Kriswiyanti, I Gusti Ayu Sugi Wahyuni

Program Studi Magister Biologi, Universitas Udayana Email: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berkecambah (viabilitas) serbuk sari teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) dengan uji warna, in-vitro dan squash kepala putik. Sampel serbuk sari diambil dari 10 bunga (5 individu) dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar, tempat pengambilan sampel di Danau Beratan Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Metode: uji warna aniline blue dalam laktofenol, in vitro 0,8% agar dalam 30% larutan gula dan squash kepala putik menggunakan fiksatif Farmer dan pewarnaan 1 % aniline blue. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe bentuk serbuk sari teratai Sudamala: bulat, minuta, prolate spheroidal. Persentase viabilitas serbuk sari tertinggi pada uji warna ± 100% dari bunga sebelum mekar, mekar dan setelah mekar, paling rendah pada uji in - vitro yaitu dari bunga sebelum mekar ± 0%, baru mekar ± 1,1% (0-9,40%) dan setelah mekar ± 5,61% (0-21,56%) sedangkan pada squash kepala putik dari bunga sebelum mekar ± 0%, mekar ± 14,44 (0-85,71%), dan setelah mekar ± 84,96% (70,93-92,45%).

Kata kunci: serbuk sari, uji viabilitas, Nymphoides indica

ABSTRACT

The purpose of this research was to determine the viability of Sudamala’s lotus pollen germination by colortest, in-vitro and stigma’s squash. Flowersare usedrespectively- each 10 (5 individual) of before anthesis, anthesis and after anthesis, samples were taken from Candi Kuning village, Lake Beratan, Baturiti, Tabanan. The methods: aniline blue’s color test in laktofenol, in-vitro 0,8% jellyin 30% sugar and stigma’s squash use fixative Farmer. The results showedthe type of pollen forms from Lotus Sudama lawere: circular,prolate spheroidalminuta and ruga. The percentage of pollen’s viability from before anthesis, anthesis and after anthesis by color test, showed a very high viability is ± 100%. In –vitro test before anthesis showed the pollen’s viability wa s ± 0%, anthesis ± 1,10% (0-9,40%) and after anthesis ± 5,61% (0-21,56%). Stigma’s squash method showed before anthesis was ± 0%, anthesis ± 14,44 % (0-85,71%), and after anthesis ± 84,96% (70,93-92,45%).


(19)

PENDAHULUAN

Di Indonesia telah ditemukan tiga spesies tanaman teratai yaitu Nympheae pubescens, N. stellata, N. nouchali (Steenis dkk., 2005). Di Bali, khususnya di daerah Gianyar, berdasarkan hasil penelitian pendahuluan ditemukan beberapa jenis teratai berdasarkan warna bunga yaitu teratai Sudamala (Nymphoides indica), teratai Kuning, teratai Biru Tua (Nymphaea stellata Wild), teratai Merah Muda, teratai Ungu Tua, teratai Ungu Muda, teratai Putih (Nymphaea nouchali Burm f.), teratai Biru Muda (Nymphaea stellata Wild), teratai Tutur, teratai Dedari dan teratai Brumbun. Diantara teratai tersebut yang paling menarik dan langka adalah teratai Sudamala (Budiwati, 2014).

Menurut masyarakat di Bali, teratai Sudamala (Nymphoides indica) digolongkan ke dalam keluarga teratai – terataian tetapi hasil penelusuran pustaka teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) tidak tergolong ke dalam keluarga teratai. Tetapi termasuk familia Menyanthaceae yang merupakan tanaman bisah air (Marwat et al, 2009). Tanaman ini hidup menahun, memiliki akar geragih yang pendek, batang berbentuk silindris, daun berbentuk bulat (orbicularis), berbunga banyak dengan mahkota berukuran kecil berbulu halus, berwarna kuning dan ada yang berwarna putih, pada corolla, bagian pusatnya berwarna kuning (Marwat et al, 2009).

Pada umumnya tanaman ini merupakan tanaman kosmopolitan dengan distribusi yang luas, namun akibat adanya eutrofikasi dan reklamasi lahan menyebabkan tanaman ini terancam punah (Ornduff, 1966). Hal ini sesuai dengan pernyataan Shibayama and Yasuro (2003) yang menyebutkan bahwa Nymphoides indica (L.) Kuntze merupakan tanaman yang terancam punah. Tanaman ini di Bali ditanam sebagai tanaman hias dan sebagai sarana upacara keagamaan, di Papua New Guinea, tanaman ini digunakan untuk merangsang kehamilan. Di Vietnam tanaman ini digunakan untuk menurunkan demam, menyegarkan badan, serta meredakan masuk angin dan perut kembung (Wiart, 2006).

Reproduksi pada tanaman teratai umumnya secara generatif dan vegetatif (Tjiptrosoepomo, 2005), pada teratai Sudamala belum ada yang melaporkan cara perkembangbiakannya apakah secara generatif atau vegetatif. Reproduksi generatif merupakan perkembangbiakan tanaman dengan menggunakan biji, yang diawali dengan peristiwa penyerbukan, yaitu jatuhnya serbuk sari di kepala putik. Salah satu penyebab dari gagalnya suatu tanaman membentuk biji atau pembuahan adalah sterilitas serbuk sari. Parameter penting dalam menentukan keberhasilan penyerbukan salah satunya adalah fertilitas serbuk sari, karena setelah penyerbukan serbuk sari harus hidup dan mampu berkecambah. Fertilitas serbuk sariditentukan oleh kemampuan serbuk sari berkecambah (viabilitas), viabilitas yang tinggi merupakan salah satu komponen yang menentukan keberhasilan persilangan tanaman (Widiastuti dan Endah, 2008). Hilangnya viabilitas serbuk sari sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, terutama suhu dan kelembaban relatif (Shivanna et al., 1991).

Untuk mengetahui fertilitas serbuk sari dapat dilakukan uji viabilitas serbuk sari. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian mengenai viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) dengan teknik uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol, in - vitro dan squash kepala putik.

MATERI DAN METODE

Sampel yang digunakan adalah serbuk sari dan putik dari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) sebelum mekar, mekar dan sesudah mekar. Sampel diambil dari danau Beratan Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Penelitiandilaksanakan di Laboratorium Struktur dan Perkembangan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.Pelaksanaan penelitian dimulai dari bulan Oktober – Desember 2013.


(20)

Uji viabilitas serbuk sari :

a. Uji warna 1 % aniline blue dalam laktofenol

Serbuk sari teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) yang telah diambil kemudian dikumpulkan pada mikrotube yang telah diberi zat warna 1% aniline blue dalam laktofenol dan dibiarkan selama 10 menit (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999). Kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop olymphus. Dihitung jumlah serbuk sari dengan dinding mengkerut dan tidak menyerap warna serta serbuk sari yang tidak mengkerut dan dapat menyerap warna, dilakukan pengamatan untuk 10 preparat dan dihitung rata – ratanya dalam persentase (Kriswiyanti, dkk., 2010).

b. Uji viabilitas serbuk sari secara in vitro

Serbuk sari dari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indicaL.) Kuntze) diambil dan ditaburkan pada 10 gelas benda yang telah berisi media 0,8% agar dalam 30% larutan gula kemudian diinkubasi selama ±24 jam (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999). Setelah diinkubasi selama ± 24 jam kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop, diamati serbuk sari dengan panjang buluh yang terbentuk sama atau lebih panjang dari diameter serbuk sari. Dihitung persentase perkecambahan serbuk sari.

c. Uji viabilitas serbuk sari dengan teknik squash kepala putik

Kepala putik dari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica L.) Kuntze) dipotong dan dimasukkan ke dalam mikrotube yang telah berisi fiksatif Farmer selama ± 24 jam. Fiksatif dibuang dan diganti dengan larutan clearing 10% NAOH selama 1-5 menit, pewarnaan dengan 1% aniline blue dalam laktofenol selama 2-5 menit. Kemudian kepala putik diletakkan pada gelas benda dan ditutup, disquash. Diamati serbuk sari yang berkecambah pada kepala putik. Pengamatan mikroskopik dengan mikroskop, viabilitas serbuk sari (%) = jumlah serbuk sari yang berkecambah dibagi dengan jumlah serbuk sari yang berkecambah dan tidak kali seratus persen (Kriswiyanti, dkk., 2010).

Metode asetolisis

Serbuk sari difiksasi dalam AGG (Asam Asetat Glasial) selama 24 jam, disentrifugasi selama 5 menit, dicuci dengan air. Air dibuang diganti dengan larutan asetolisis AAG 9 bagian dan 1 bagian asam sulfat pekat, tabung reaksi diletakkan dalam water bath yang telah berisi air mendidih, biarkan tetap mendidih selama 15 menit. Setelah dingin dicuci dengan air beberapa kali, disentrifugasi selama 5-10 menit. Air dibuang diganti dengan glyserin jelly yang telah dicampur 1% safranin. Penutupan dan labeling (Berlyn and Miksche, 1976). Serbuk sari diamati dengan mikroskop untuk menentukan tipe bentuk (panjang, lebar dan diameter serbuk sari) dengan menggunakan mikrometri.

Parameter serbuk sari yang diukur meliputi panjang, lebar dan diameternya dilihat secara acak dibawah mikroskop, kemudian diukur dengan menggunakan mikrometri untuk mengukur panjang axis polar dan diameter bidang equatorial yang disebut indeks P/E. Serbuk sari yang diukur berasal dari 80 butir serbuk sari yang di ambil secara acak dari 10 gelas benda.

HASIL

Tipe Bentuk dan Struktur Serbuk Sari TerataiSudamala (Nymphoides Indica (L.) Kuntze) dengan Metode Asetolisis

Berdasarkan hasil pengukuran serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) dengan metode asetolisis dapat diketahui serbuk sari dari bunga teratai Sudamalaberbentuk bulat, memiliki rata – rata panjang aksis polar (P) 27,46µm ± 3,61 (15 - 40µm) dan rata – rata bidang equatorial (E) 25µm ± 3,32 (20 - 35µm) sehingga indek P/E berkisar antara 1,00 – 1,14 yang tergolong ke dalam


(21)

kelas tipe Prolate Spheroidal. Sedangkan diameternya berkisar antara 10-25µm sehingga termasuk kelompok Minuta. Berdasarkan tipe aperture termasuk kelompok Ruga (Erdtman, 1952) (gambar 1).

Gambar 1. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze)

Keterangan: A. Serbuk sari teratai Sudamala; a.Aperture B. Pengukuran serbuk sari dengan menggunakan mikrometri; a. Eksin; b. Intin; c. Aperture

Viabilitas (%) Serbuk Sari Teratai Sudamala (Nymphoides Indica (L.) Kuntze) Dengan Uji Warna, In - Vitro Dan Squash Kepala Putik

Berdasarkan hasil perhitungan viabilitas serbuk sari dari bunga teratai Sudamala sebelum mekar (Gambar 2), baru mekar dan setelah mekar dengan menggunakan metode uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol, in vitro dan squash kepala putik : pada uji warna serbuk sari bunga teratai Sudamala sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar menunjukkan viabilitas yang sangat tinggi yaitu ± 100%. Pada uji in - vitro viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar± 0%, baru mekar ± 1,10% (0 - 9,40%) dan setelah mekar ±5,61% (0 - 21,56%). Pada squash kepala putik viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala dari bunga sebelum mekar ± 0%, baru mekar ± 14,44% (0 – 85,71%), dan setelah mekar ± 84,96% (70,93 – 92,45%).

Gambar 2. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar dengan uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol

Keterangan: A. Serbuk sari teratai Sudamala baru mekar; B. foto serbuk sari teratai Sudamala; a. Serbuk sari viabel; b. Serbuk sari tidak viabel

c

a

b

a

A B


(22)

PEMBAHASAN

Viabilitas Serbuk Sari Dengan Uji Warna

Hasil uji viabilitas serbuk sari dengan metoda uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999), menunjukkan bahwa serbuk sari dari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica) sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar memiliki viabilitas yang sangat tinggi yaitu ±100%. Serbuk sari bunga sebelum mekar menunjukkan viabilitas sebesar ±100%, hal ini disebabkan karena serbuk sari sel – selnya meristematik sehingga dapat menyerap warna dengan baik, namun serbuk sari belum masak. Serbuk sari masak ditandai dengan lepasnya serbuk sari dari kepala sari (anther) (Prana, 2007).

Viabilitas Serbuk Sari Dengan Metoda In-vitro

Berdasarkan hasil pengamatan viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) dengan metode in-vitro yaitu pada bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekarmenunjukkan bahwa viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar 0%, bunga baru mekar sebesar 1,10% (0 - 9,40%) dan bunga setelah mekarsebesar 5,61% (0 - 21,56%). Viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar 0%, hal ini disebabkan karena serbuk sari belum masak ditandai dengan belum lepasnya serbuk sari dari dalam anther (Prana, 2007).

Beberapa faktor yang mempengaruhi perkecambahan serbuk sari secara in vitro antara lain :jenis tanaman, waktu pengumpulan serbuk sari, musim, metode pengambilan serbuk sari, penyimpanan dan kerapatan serbuk sari serta kondisi lingkungan perkecambahan seperti suhu, media, dan pH (Galleta, 1983).

Rendahnya viabilitas serbuk sari dapat disebabkan karena komposisi dan konsentrasi media perkecambahan yang digunakankurang sesuai. Menurut Wang et al. (2004) komposisi dan konsentrasi media yang digunakan dalam uji perkecambahan serbuk sari dapat mempengaruhi viabilitas serbuk sari pada berbagai jenis tanaman. Selain komposisi dan konsentrasi media, rendahnya viabilitas serbuk sari dapat disebabkan karena suhu dan kelembaban. Pada umumnya suhu yang lebih rendah akan lebih baik bagi perkecambahan serbuk sari, namun hal ini juga tergantung dari genotip tanaman yang digunakan (Parfitt and Almehdi, 1984). Pada suhu yang rendah tidak menyebabkan perubahan kandungan air serbuk sari, karena air tersebut terikat dan tidak membeku (Widiastuti dan Endah, 2008).

Suhu dan kelembaban merupakan faktor yang sangat mempengaruhi viabilitas serbuk sari. Suhu yang baik bagi perkecambahan serbuk sari secara in vitro berkisar antara 15 - 35 oC, sedangkan suhu optimumnya adalah 25oC . Pada suhu yang terlalu tinggi yaitu berkisar antara 40 - 50oC, serbuk sari tidak akan berkecambah karena pada suhu yang terlalu tinggi maka penguapan juga akan semakin tinggi, penguapan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan serbuk sari mengering, sedangkan apabila suhu terlalu rendah misalnya di bawah 10oC serbuk sari akan mengalami dehidrasi dan mengkerut sehingga tidak mampu berkecambah (Darjanto dan Satifah, 1990). Viabilitas serbuk sari pada sebagian besar tanaman dapat dipertahankan pada kelembaban relatif 0-30% (Setiawan dan Ruskandi, 2005).

Faktor lain yang menyebabkan rendahnya viabilitasserbuk sari adalah tingkat kemasakan serbuk sari. Makin tinggi tingkat kemasakan serbuk sari makapersentase perkecambahan makin tinggi (Bhojwani dan Bahtnagar, 1999).


(23)

Gambar 3. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) hasil uji in - vitro Keterangan: a.Serbuk sari tidak membentuk buluh (nonviabel); b. Serbuk sari membentuk buluh (viabel)

Viabilitas Serbuk Sari Dengan Squash Kepala Putik

Viabilitas serbuk sari dengan squash kepala putik dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekarmenunjukkan bahwaviabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar ±0%, bunga baru mekar ±14,44% (0 - 85,71%) dan bunga setelah mekar±84,96% (70,93 - 92,45%). Persentase viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar ±0 %, hal ini disebabkan karena pada bunga sebelum mekar, serbuk sari belum masak sehingga tidak terjadi penyerbukan (polinasi).

Viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala dengan squash kepala putik pada bunga setelah mekar menunjukkan viabilitas yang tinggi. Menurut Lubis (1993) serbuk sari dikatakan memiliki viabilitas rendah jika persentasenya dibawah 60%. Viabilitas serbuk sari dari bunga baru mekar lebih rendah dibandingkan bunga setelah mekar hal ini disebabkan karena serbuk sari membutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses imbibisi air, garam – garam anorganik, dan sukrosa. Pada bunga setelah mekar lebih banyak serbuk sari yang sudah melakukan proses imbibisi untuk pertumbuhan buluhnya sehingga lebih banyak serbuk sari yang berkecambah dibandingkan dengan bunga baru mekar, dimana pada bunga baru mekar belum semua serbuk sari telah selesai melakukan proses imbibisi sehingga belum banyak serbuk sari yang berhasil membentuk buluh.

Faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan serbuk sari dalam membentuk buluh antara lain: reseptivitas kepala putik, kondisi serbuk sari, serta faktor luar yaitu suhu dan kelembaban. Putik yang reseptif ditandai dengan perubahan warna pada putik menjadi lebih terang, pori – pori kepala putik membesar, tangkai putik mulai lurus, putik memproduksi cairan ekstraseluler.

Gambar 6. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) hasil squash kepala putik

Keterangan : A.Serbuk sari tidak berkecambah (tidak viabel); B. Serbuk sari berkecambah (viabel). b

a

A B


(24)

Berdasarkan hasil uji viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala dengan uji warna, in vitro dan squash kepala putik menunjukkan bahwa viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamalatertinggi pada uji warna mencapai 100% baik dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar, dan pada squash kepala putik bunga setelah mekar mencapai 84,96%. Viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala terendah terdapat pada uji in vitro dan squash kepala putik dari bunga sebelum mekar yaitu 0%, hal ini menunjukkan bahwa penyerbukan bunga teratai Sudamala terjadi setelah bunga mekar (Kasmogami).

Teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) menurut penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya merupakan tipe bunga Self-incompatibility.Nymphoides indica (L.) Kuntze merupakan tanaman Perenial, Makrofita, Herkogami, Geitonogami, dengan tipe yang khas yaitu Heterostilidan Self incompatibility (Sibayama and Yasuro, 2003). Inkompatibilitas (incompatibility) adalah tanaman dengan serbuk sari dan bakal biji (ovulum) yang normal tidak mampu untuk membentuk biji disebabkan karena gangguan fisiologis yang menghalangi terjadinya pembuahan. Penyebab terjadinya ketidakserasian sendiri adalah : a. Butir-butir serbuk sari tidak menempel pada kepala putik, atau b. Butir serbuk sari berkecambah pada stigma atau buluh serbuk sari gagal mempenetrasi stigma (Candra, 2013).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : Tipe bentuk serbuk sari teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze):bulat, prolate spheroidal, minuta dan ruga. Persentase viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) tertinggi pada uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol mencapai 100%, baik dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar dan pada squash kepala putik bunga setelah mekar mencapai 84,96%. Persentase viabilitas terendah pada uji in vitro dan squash kepala putik dari bunga sebelum mekar yaitu 0%, menunjukkan tipe penyerbukan Kasmogami dan teratai Sudamala termasuk tanaman perenial, makrofita, herkogami, geitonogami, heterostilidan self incompatibility.

UCAPAN TERIMAKASIH

Kepada Bapak Drs. Pande Ketut Sutara, M. Si.dan Drs. Martin Joni, M. Si., atas masukan, kritik, dan sarannya.

KEPUSTAKAAN

Berlyn, G. P. and J. P. Miksche. 1976. Botanical Microtechnigque and Cytochemistry, The Lowa State University Press. Ames. Lowa.

Bhojwani, S. S. and S. P. Bhatnagar. 1999. The Embryology of Angiosperm. Fourth Resived Edition.Vikas Publishing House.PVT.LTD. Delhi.

Budiwati, G. A. N. 2014. Manfaat Tanaman Teratai (Nymphaea sp., Nymphaeaceae) di Desa Adat Sumampan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Universitas Udayana. Jurnal Simbiosis, 2 (1):122-134.

Candra, A. 2013. Pemuliaan Tanaman “Self Incompatibility and Male Sterility”. Jurusan Argoteknologi Fakultas PertanianUniversitas Riau.

Darjanto dan S. Satifah. 1982. Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. PT Gramedia. Jakarta.


(25)

Erdtman, G. 1952. Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiosperms (An Introduction to Palynology I).The Chronica Co. New York.

Kriswiyanti, E., N. K. Y. Sari, dan H. R. Wahyuningtyas. 2010. Uji Viabilitas Serbuk Sari buah Naga (Hylocereus spp.) dengan Metode Pewarnaan, In-Vitro, Hanging-Droff dan Squash Kepala Putik. Prosiding Seminar Nasional Biologi, Fakultas Biologi UGM, 568:575.

Marwat, S. K., M. A. Khan., M. Ahmad and M. Zafar. 2009. Nymphoides Indica (L.) Kuntze, A New Record For Pakistan. Department of Plant Sciences, Quaid-i-Azam University, Islamabad. Journal Pakistan, 41(6): 2657-2660.

Ornduff, R. 1966. The Origin of Dioecism From Heterostyly in Nymphoides (Menyanthaceae). Journal Evolution. 20: 309-314.

Parfitt, D. E. and A.A. Almehdi. 1984. Liquid Nitrogen Storage of Pollen From Five Cultivated Prunus Spesies. Departement of Pomology.University of California, Davis, CA 95616. 19(1):69-70. Prana, M. S. 2007. Studi Biologi Pembungaan pada Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.). Pusat

penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong 16911. Jurnal Biodiversitas. 8 (1): 63-66.

Setiawan dan O. Ruskandi. 2005. Teknik Penyimpanan Serbuk Sari Tiga Kultivar Kelapa Dalam. Jurnal Teknik Pertanian. Available at :http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/bt10105k.pdf. Opened:14.8.2012

Shivanna, K. R., H. F. Linkens and M.Cresti. 1991. Pollen Viability and Pollen Vigor. Theory Application Genetic.81: 38 – 42

Shibayama, Y.and Y. Kadong. 2003. Floral Morph Composition and Pollen Limitation in The Seed Set of Nymphoides indica populations. Graduate School of Science and Technology and Faculty of Science, Kobe University. Japan. Ecological Research.18: 725-737

Steenis, C. G. G. J. V. 2005. Flora. Cetakan ke 5.PT Pradnya Paramita. Jakarta.

Tjitrosoepomo, G. 2005. Morfologi Tumbuhan. Cetakan ke-15.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wang, Z., Y. Ge, M. Scott, G. Spangenberg. 2004. Viability and longevity of Pollen from Transgenic and Non Transgenic Tall Fescue (Festuca arundinacea) (Poaceae) Plants. Available at :www. Biotek.Lipi.go.id/perpus/index.php?=show detail.Opened :30.12.2013

Widiastuti, A.dan R.P. Endah. 2008. Viabilitas Serbuk Sari dan Pengaruhnya Terhadap Keberhasilan Pembentukan Buah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Jurnal Biodiversitas. 9(1):35-38.


(26)

KARAKTERISTIK DAN VIABILITAS SERBUK SARI RAGAM KELAPA (Cocos nucifera, L.) DI BALI

THE CHARACTERISTICS AND VIABILITY OF COCONUT POLLEN VARIETY (Cocos nucifera, L.) IN BALI

Eniek Kriswiyanti

FMIPA Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Kuta Email: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan viabilitas serbuk sari ragam kelapa (Cocos nucifera, L.) di Bali. Sampel serbuk sari yang digunakan dalam penelitian ini 26 ragam kelapa, masing-masing ragam 3 individu. Untuk mengetahui karakteristik serbuk sari ragam kelapa digunakan metode asetolisis dan pewarnaaan 1% safra nin, untuk mengetahui viabilitas serbuk sari digunakan uji wa rna dengan 1% aniline blue dalam lactofenol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter istik serbuk sari dari 26 ragam kelapa di Bali memiliki bentuk bulat - lonjong, media, monosulcate, oblat sferoidal pada kelapa Dalam (Cocos nucifera, L.var. nana), suboblat pada kelapa Genjah (Cocos nucifera, L.var. typica). Panjang aksis polar (P) antar a 24,15 µ m (Genjah Bulan) sampai 40,12 µ m (Coklat Biasa), diameter bidang Equatorial (E) 27,4 µ m (Genjah Udang) sampai 43,6 µm (Coklat Biasa ). Indek P/E = 0,814 (Genjah Hijau) - 0,973 (Gading Bali). Rata -rata ukuran serbuk sari kelapa Genjah (0,81-0,87) lebih kecil daripada kelapa Dalam (0,89-0,97). Viabilitas serbuk sari kelapa Genjah lebih tinggi dari pada kelapa Dalam, rata -rata: 41,7±7,3% (bervariasi terendah 28,51±7,5% pada kelapa Naga dan tertinggi 60,6±8,8% pada kelapa Genjah Bulan).

Kata Kunci : viabilitas, Cocos nucifera, L., monosulcate, oblat sferoidal, suboblat.

ABSTRACT

The aim of this research was to determine the characteristic and pollen viability of coconuts (Cocos nucifera L.) in Bali. Pollen viability was tested in 1% aniline blue in lactophenole, and the characteristic of pollen wa s prepared in acetolysis method and stained 1% Safranine. The result showed that the morphology of pollens from 26 coconut variances was determined as circular -oval, mediate, monosulcate, oblat sferoidal in tall coconuts (Cocos nucifera, L.var. nana), suboblat on drawf coconut (Cocos nucifera, L.var. typica). The length of the polar axis (P) ranged from 27.4 µm (Genjah Udang) to 43.6 µ m (Coklat Biasa ). P/E Indexes ranged from 0.814 µ m in Genjah Hijau to 0.9 73 µ m (Gading Bali). The pollen size of dwarf coconut was 0.81-0.87 µ m, smaller than tall coconut with the pollen size of 0.89 µ m - 0.97 µ m. Pollen viability of dwarf coconut was higher than tall coconut with the average of 41.7±7.3%, with the value of 28.51±7.5% in Naga tall and 60.6±8.8% in Bulan dwarf.


(27)

PENDAHULUAN

Hasil ekplorasi keragaman tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) di propinsi Bali berdasarkan kegunaannya dapat dibedakan antara kelapa atau nyuh (bahasa Bali) biasa dan kelapa madan. Kelapa biasa adalah jenis kelapa yang biasa digunakan untuk membuat bahan makanan dan kopra (minyak), sedang kelapa madan adalah jenis kelapa yang memiliki ciri morfologi khusus (unik) dengan nama sesuai ciri tersebut, diperlukan untuk bahan obat (usada) maupun sarana upakara agama Hindu. Kelapa madan umumnya menghasilkan buah per tandan sedikit dibandingkan kelapa biasa dan kelapa genjah. Keberadaannya belum banyak diketahui, sedikit diantara populasi kelapa biasa (Kriswiyanti, 2013, 2014). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang penyebab terbentuknya buah sedikit. Beberapa penyebab kegagalan terbentuknya buah dan biji pada Plase (Butea monosperma (Lamk.) Taub.) adalah struktur morfologi alat reproduksi yang tidak menunjang terjadinya penyerbukan: kepala sari lebih rendah dari kepala putik dan keduanya tertutup oleh carina. Viabilitas serbuk sari rendah, self- incompatibility yaitu buluh serbuksari tidak mau tumbuh pada kepala putik sehingga dapat menyebabkan tidak terjadi pembuahan (Kriswiyanti dan Watiniasih, 2010). Bhojwani dan Bhadnagar (1999) mengatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan terbentuknya buah adalah sterilitas serbuk sari. Untuk mengetahui sterilitas serbuk sari dapat dilakukan dengan uji viabilitas serbuk sari dengan uji warna atau in- vitro. Uji viabilitas serbuk sari secara in-vitro pada kelapa Rangda telah dilakukan oleh Nirmala (2013) yaitu < 3%, pada kelapa Ancak oleh Sari (2013) viabilitas lebih rendah yaitu < 2,5%. Berdasar latar belakang diatas maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan viabilitas serbuk sari ragam kelapa (Cocos nucifera, L.) di Bali.

MATERI DAN METODE

Sampel serbuk sari dari 26 ragam (3 individu/ragam) kelapa yang digunakan berasal dari berbagai kabupaten di propinsi Bali. Pengamatan dan pengukuran panjang aksis polar, diameter bidang ekuitorial, untuk menentukan indek Polar/Equatorial (P/E) dari serbuk sari digunakan metode asetolisis (Erdman, 1969; Faegri dan Iversen, 1989). Sedang uji viabilitas serbuk sari menggunakan metode pewarnaan 1% aniline blue dalam Laktofenol (Berlyne dan Miscke, 1976; Bhojwani dan Bhatnagar, 1999), sebagai berikut:

Asetolisis: serbuk sari diambil dari anther bunga mekar (1-3 individu) difiksasi dalam AAG (45%) 24 jam, sentrifuge 5 menit, kecepatan 3.500 rpm, kemudiaan dicuci air beberapa kali. Serbuk sari diasetolisis dengan campuran AAG dan asam Sulfat pekat (9:1), dipanaskan dalam water bath yang telah berisi air mendidih, biarkan tetap mendidih selama 15 menit. Setelah dingin dicuci dengan air beberapa kali, disentrifuge lagi selama 5 menit 2 x, cuci dengan air. Air dibuang diganti glyserin jelly yang telah dicampur dengan 1 % safranin, biarkan hingga kental. Pengamatan menggunakan mikroskop Merk MEIJI, perbesaran 10, 40X, masing-masing kelapa serbuk sari yang diukur 30 butir dengan menggunakan mikrometri.

Tipe bentuk serbuk sari ditentukan dengan menghitung perbandingan rerata ukuran panjang aksis Polar (P) dan diameter bidang Equatorial (E), yang disebut sebagai indek P/E menurut Erdtman (1969) sebagai berikut :


(28)

Uji Viabilitas Serbuksari : untuk uji viabilitas serbuksari digunakan dengan uji warna dengan 1% aniline blue dalam laktofenol yaitu:

Viabilitas (V) serbuk sari (%) (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999):

Keterangan:

a = jumlah serbuk sari viabel adalah serbuk sari dengan dinding berwarna b = jumlah serbuk sari nonviabel ( dinding tidak berwarna dan mengkerut) dengan mikroskop masing-masing jenis kelapa 3 gelas benda.

HASIL

Karakteristik dan Viabilitas Serbuk sari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk serbuk sari mulai dari bulat hingga lonjong, berukuran media, klas bentuk oblat sferoidal pada kelapa Dalam, suboblat pada kelapa Genjah, viabilitas serbuk sari kelapa Genjah lebih tinggi dibandingka pada kelapa Dalam. Data hasil penelitian ditampilkan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Karakteristik dan Viabilitas Serbuk Sari Ragam Kelapa (Cocos nucifera L.)

No Nama Ragam Kelapa (1) Viabilitas (%) (2) Diameter Equitorial/E (µm) (3) Panjang Aksis Polar/P (µm) (4) Indek P/E (5)

1 Ancak 40.96±6.1 30.7 29.62 0.964

2 Bejulit 43.18±6.4 31.75 30.145 0.949

3 Gadang Biasa 34.97±7.202 32.79 30.32 0.924

4 Coklat 34.1±4.4 43.16 40.12 0.966

5 Barak 35.85±2.9 29.93 27.6 0.958

6 Bingin 41.83±4.03 30.88 29.928 0.969

7 Bojog 41.47±5.47 31.29 29.58 0.945

8 Bulan 39.41±4.68 29.029 27.23 0.938

9 Gadang 38.38±5.7 39.04 36.32 0.930

10 Gading bali 37.59±7.85 30.015 29.232 0.973

11 Srogsogan 43.19±2.5 32.018 31.001 0.968

12 Mulung 29.49±7.71 26.75 23.9 0.893

13 Rangda 39.97±3.54 28.01 26.8 0.956

14 Bluluk 36.12±6.67 28.62 27.23 0.951

15 Sudamala 41.31±5.16 29.23 27.7 0.947

16 Surya 46.42±4.13 29.06 27.97 0.962

17 Udang 48.93±4.08 30.59 29.58 0.966

18 Kapas 36.94±.8.57 30.36 28.88 0.951

19 Kebo 42.64±5.38 29.49 27.75 0.941

20 Macan 42.21±6.505 30.595 29.58 0.966


(29)

22 Pudak 31.99±5.858 28.71 27.318 0.951

23 Genjah hijau 55.87±10.4 30.45 24.79 0.814

24 Genjah putih 60.62±8.84 27.4 23.92 0.873

25 Genjah kuning 39.025±6.39 29.58 25.23 0.852

26 Genjah coklat 48.1±10.4 27.92 24.15 0.865

Rerata 41.731±7.32 30.64±3.43 28.57±3.53 0.932±0.0406

Rerata panjang aksis polar dan diameter bidang equatorial serbuk sari 26 ragam kelapa bervariasi. Panjang aksis polar (P) antara 24,15 µm (Genjah Bulan) sampai 40,12 µm (Coklat). Diameter bidang Equatorial (E) 27,4 µm (Genjah Udang) sampai 43,6 µm (Coklat). Indek P/E = 0,814 (Genjah Hijau) - 0,973 (Gading Bali). Rata-rata ukuran serbuk sari kelapa Genjah (0,81-0,87/suboblat) lebih kecil daripada kelapa Dalam (0,89-0,97/oblat sferoidal). Contoh beberapa bentuk serbuk sari yang didapat dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Serbuk Sari pada Empat Ragam Kelapa (Cocos nucifera L. )

Keterangan: Serbuk sari empat ragam dengan ukuran bervariasi, A. Serbuk sari kelapa Dalam Coklat dengan SEM, bercahaya menunjukkan serbuk sari viabel (800x), B. a.Serbuk sari viable kelapa Bluluk, perbesaran 400X, b. serbuk sari non viabel, c. apperture C. Serbuk sari kelapa Rangda dengan dinding eksin dan intin jelas, D. Serbuk sari Genjah Gading dengan ukuran lebih kecil dari serbuk sari kelapa Dalam.

Hasil uji viabilitas serbuk sari kelapa secara umum rata-rata dibawah 50% yaitu: 41,7 ± 7,3% (28,51±7,5% pada kelapa Naga sampai 60,6±8,8% pada kelapa Genjah Bulan), viabilitas tertinggi pada kelapa Dalam: kelapa Udang (48,93± 4,08%) (Table 1, Gambar 2).

a b

A

B

c

C

D

A

30,18µm

25,5 µm


(30)

Gambar 2. Viabilitas Serbuk Sari dari 26 Ragam Kelapa (Cocos nucifera L.) di Bali

PEMBAHASAN

Menurut Erdman (1965) dan Mulyani (2006) jika serbuk sari memiliki indek P/E antara 0,8-1,0 tergolong klas tipe bentuk oblat sferoidal, berdasar diameter bidang ekuatorialnya = 29,6 µm (25-50 µm) digolongkan dalam serbuk sari media. Berdasar jumlah dan bentuk aperture : satu seperti alur memanjang termasuk serbuk sari monosulcate (Dransfield, et al., 2008).Rata-rata indek P/E hasil penelitian ini lebih besar dari indek P/E menurut Erdmund (1969) indek P/E Cocos nucifera L. <0,8 sehingga digolongkan dalam tipe bentuk oblat, tetapi berdasar jumlah dan bentuk aperture sama yaitu monosulcate.

Armendariz, et al (2006) fertilitas serbuk sari tanaman kelapa sangat menentukan keberhasilan terbentuknya buah. Berbeda dengan Armendariz, et al (2006), Ranasanghe, et al (2010) menyatakan bahwa keberhasilan fruit set selain tergantung oleh kualitas serbuk sari dan persentase perkecambahan serbuk sari, proses pertumbuh an buluh serbuk sari juga berperan dalam keberhasilan pembuahan.Hasil Penelitian Setiawan dan Ruskandi (2005) viabilitas serbuk sari dari tiga kultivar kelapa Dalam Tenga (DTA), Dalam Bali (DBI), dan Dalam Palu (DPU) setelah disimpan 24 minggu masih baik, dan dapat digunakan untuk persilangan karena viabilitasnya di atas 30%. Namun sampai berapa lama viabilitas serbuk sari kelapa tersebut dapat bertahan dalam penyimpanan perlu diteliti lebih lanjut.

Hasil penelitian Ranasinghe et al (2010) pada 6 kultivar kelapa di Sri Lanka menunjukkan bahwa persentase viabilitas serbuk sari tergantung dari letak spikelet bagian mana sampel serbuk sari diambil, apakah bagian ujung, tengah, atau pangkal. Viabilitas serbuk sari kelapa Dalam San Ramon dengan sampel serbuk sari dari spikelet bagian ujung rata-rata viabilatasnya: 77,7%, spikelet bagian tengah 64, 26% dan spikelet bagian angkal aling rendah . Pada te erature aksi al rata-rata viabilitas menurun menjadi hanya 11%.

SIMPULAN

Bentuk serbuk sari bulat-lonjong, media, oblat sferoidal pada kelapa Dalam, suboblat pada kelapa Genjah, viabilitas serbuk sari kelapa Genjah lebih tinggi dari pada kelapa Dalam.


(31)

KEPUSTAKAAN

Armendariz, B.H.C., C.Oropeza , J. L. Chan,. B. Maust, N. Torres, C.D.C Aguilar and L. Sáenz. 2006. Pollen Fertility and Female Flower Anatomy Of Micro propagated Coconut Palms, Rev. Fitotec. Mex. 29 (4) : 373-378.

Berlyn, G. P. and J. P. Miksche. 1976. Botanical Microtachnique and Cytochemistry. The Iowa State University Press Ames. Iowa.

Bhojwani, S. S. and S. P. Bhatnagar. 1999. The Embryology of Angiosperms. Third Rivised Edition. Vikas Publishing House P.V.T., LTD., New Delhi.

Erdtman. G.1969. Handbook of Palinology. Morfology - Taxonomy - Ecology. An Introduction to Study of Pollen Grains and Spores. Hapner Publishing CO. New York.

Erdtman. G. 1972. Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiosperms (An Introduction to Palinology I). The Chronica Botanica Co.Waltham.

Faegri, K and J. Iversen. 1989. Texbook of Pollen Analysis. 4 th Edition (Revised by Faegri, Kaland, K and Krzywinski, P.E.) John Wiley & Sons Ltd Chichester.

Kriswiyanti, E, 2013. Keanekaragaman Karakter Tanaman Kelapa (Cocos nucifera L. ) yang digunakan sebagai Bahan Upacara Padudusan Agung, Jurnal Biologi XVII (1) 2013:15-19

Kriswiyanti, E, 2014.Karakteristik Ragam Kelapa (Cocos nucifera, L) di Bali Berdasarkan Morfologi, Anatomi dan Molekuler. Ringkasan Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar

Sari N. L. G. C., E. Kriswiyanti, dan N. N. Darsini. 2013. Perkembangan Mikro gametofit dan Uji Viabilitas Serbuk Sari Kelapa (Cocos nucifera L.”Ancak” Jurnal Simbiosis 1 (1) 2013:51-58 Nirmala S., E. Kriswiyanti dan A. A. K. Darmadi. 2013. Uji Viabilitas Serbuk Sari Secara in-vitro Kelapa

(Cocos nuciferaL.”Rangda” dengan waktu dan suhu Penyi anan yang Berbeda. Simbiosis 1 ( 1 ) 2013: 59-69

Ranasinghe C. S., K. P. Waidyarathna, A. P. C. Pradeep and M. S. K. Meneripitiya. 2010. Approach to Screen Coconut Varieties for High Temperature Tolerance by in-vitro Pollen Germination. J.Cocos 19 : 01-11

Rhee, H. K., H. R Cho, K. J. Kim, and K. S. Kim. 2005. Comparison of Pollen Morphology in Interspecific Hybrid Lilies after In-Vitro Chromosome Doubling. Acta Hort.673 : 639-643. Setiawan, O dan Ruskandi. 2005. Teknik Penyimpanan Serbuk Sari Tiga Kultivar Kelapa Dalam. Buletin


(1)

Gambar 4. Perbandingan makrozoobentos di atas dan dalam sedimen pantai Sindhu

Makrozoobentos di pantai Merta Sari yang berada di atas permukaan sedimen ditemukan sebanyak 290 individu dengan 5 kelas dan kelas dari Holothruidea banyak ditemukan, sedangkan yang di dalam sedimen ditemukan 4 kelas dengan jumlah individu sebanyak 326 individu dan kelas yang banyak ditemukan dari Malacostraca (Gambar 3). Pada pantai Sindhu di atas permukaan sedimen ditemukan 5 kelas juga yaitu Asteroidea, Holothuroidea, Ophiuroidea, Echinoidea, dan Gastropoda dengan jumlah total sebanyak 226 individu. Sedangkan bagian dalam sedimen ditemukan 384 individu dengan 3 kelas yaitu Malacostraca, Polychaeta, dan Sipunculidea. Pada pantai Sindhu tidak ditemukan kelas dari Bivalvia (Gambar 4).

Asosiasi makrozoobentos dengan tutupan lamun di pantai Merta Sari, menunjukkan bahwa sebaran kepadatan makrozoobentos memiliki korelasi positif dengan kepadatan tutupan lamun (Gambar 5A). Sedangkan pantai Sindhu menunjukkan bahwa sebaran kepadatan makrozoobentos korelasi negatif dengan kepadatan tutupan lamun (Gambar 5B). Pada kedua pantai kepadatan makrozoobentos menunjukkan korelasi positif dengan tipe sedimen gravel sepanjang kuadrat (Gambar 6 A dan B).

Gambar 5. Asosiasi kepadatan makrozoobentos dengan tutupan lamun pada pantai Merta Sari (A) dan Sindhu (B)


(2)

Gambar 6. Asosiasi kepadatan makrozoobentos (ind/m2) dengan tipe sedimen di pantai Merta Sari (A) dan Sindhu (B)

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan total jenis yang didapatkan dari dua lokasi yaitu 47 jenis dari 1226 individu makrozoobentos. Pantai Merta Sari e iliki indeks diversitas H’ 4 17 nilai tersebut

lebih tinggi dibandingkan dengan antai Sindhu yang hanya nilai indeks diversitas H’ 9. Bila dilihat

secara keseluruhan nilai indeks diversitasnya lebih dari 3, menggambarkan keanekaragaman yang tinggi dan kondsi yang stabil. Perbandingan nilai diversitas yang didapatkan sesuai dengan jumlah jenis makrozoobentos yang ditemukan, semakin banyak jumlah jenis yang ditemukan semakin tinggi nilai indeks diversitasnya (Krebs, 1989).

Pantai Merta Sari dan Sindhu memiliki nilai indeks keseragaman (E) yang mendekati 1. Nilai indeks keseragaman yang mendekati 1 ini menunjukan bahwa keseragaman pada setiap lokasi penelitian tinggi dan memiliki penyebaran individu yang merata (Dahuri, 2003). Selain itu pada tiap lokasi tidak terdapat jenis yang mendominansi, hal ini terlihat dari nilai dominansi (C) memiliki nilai di bawah 0,50. Menurut Magurran (1988) kriteria 0,00 < C ≤ 0 50 eru akan do inansi rendah sedangkan 0 75 < C ≤ 1,00 merupakan dominansi tinggi. Suatu kawasan pantai dengan perairan kondisi tidak tercemar akan menunjukan keanekaragaman yang tinggi, keseragaman dan meratanya penyebaran individu, serta tidak adanya spesies yang mendominansi (Wijayanti, 2007; Iswanti et al., 2012).

Jumlah jenis makrozoobentos pada kedua lokasi tergolong masih sedikit, bila dibandingkan dengan kawasan lain seperti di estuaria Bontang Kuala Kota Bontang Kalimantan Timur ditemukan 104 spesies (Irawan, 2003) , sedangkan di perairan Pulau Barrang Lompo ditemukan 70 genus (Ira, 2011). Namun jumlah jenis makrozoobentos di pantai Merta Sari (38 jenis) dan Sindhu (33 jenis) masih tergolong tinggi. Hal ini bila dibandingkan dengan kawasan perairan Kuala Gigieng Kabupaten Aceh Besar hanya diperoleh 12 jenis makrozoobentos (Fadli et al., 2012), dan pantai Pererenan Kabupaten Badung Bali hanya diperoleh 17 jenis makrozoobentos (Wiratmini, 2008). Perbedaan jumlah jenis dalam


(3)

setiap perairan dapat disebabkan karena faktor lingkungan, seperti kondisi kepadatan tutupan lamun, tipe sedimen, aktifitas masyarakat, dan bahan pencemar (Nybakken, 1988; Huda, 2005).

Kepadatan makrozoobentos pada pantai Merta Sari berkisar 0,001-0,172 ind/m2, jenis Synaptula sp. dan Thalamita sp. yang paling banyak ditemukan. Sedangkan di pantai Sidhu kepadatan makrozoobentos berkisar dari 0,001-0,169 ind/m2, dengan jenis Thalamita sp., Ophiotrix fragilis, dan Nikoides Sp. yang banyak ditemukan. Banyaknya jenis Thalamita sp. pada kedua lokasi disebabkan karena jenis tersebut saat pasang surut mempunyai adaptasi yang baik dengan bersembunyi dengan cepat dibawah sedimen atau patahan-patahan karang sehingga terhindar dari predator dan gelombang (Nybakken, 1988). Selain itu, jenis ini belum diketahui nilai ekonomisnya sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Patang, 2012).

Banyaknya ditemukan kelas Malacostraca dikedua lokasi dan berlimpah didalam sedimen dapat disebabkan perilaku menggali sedimen saat terjadi pasang surut untuk menghindari paparan cahaya dan gelombang (Nybakken, 1988). Malacostraca yang mencakup beberapa jenis udang dan kepiting menurut informasi setempat belum mempunyai nilai ekonomis sehingga tidak terjadi pemanfaatan oleh masyarakat. Selain itu, melimpahnya makrozoobentos dalam sedimen dapat memyebabkan keseimbangan ekosistem. Ketersediaan unsur hara yang cukup untuk lamun karena lubang-lubang yang dibuat meningkatkan penyerapan unsur hara dan oksigen kedalam substrat , serta menggambarkan sedikitnya kandungan anorganik (Ira, 2011; Taqwa, 2010).

Makrozobentos di atas sedimen pada pantai Merta Sari banyak ditemukan kelas Holothuroidea sedangkan pantai Sindhu dari kelas Ophioroidea. Banyaknya jumlah individu dari kelas tersebut karena mampu beradaptasi terhadap kepadatan lamun yang berguna sebagai tempat berlindung dan mencari makan, selain itu tipe sedimen yang berpasir menjadi habitat yang sesuai (Wulandari et al., 2012). Sedikitnya jumlah individu dari kelas Bivalvia di atas dan di dalam sedimen pada kedua lokasi, hal ini diduga karena adanya penangkapan oleh masyarakat untuk konsumsi. Akibat adanya nilai ekonomis akan mempunyai dampak terhadap penangkapan yang mengarah ke eksploitasi (Patang, 2012). Perilaku Bivalvia dengan mengguburkan diri tidak dapat dilakukan secara optimal karena tipe sedimen yang sedikit berlumpur dan adanya pengaruh faktor lingkungan (Riniatsih dan Widianingsih, 2007).

Asosiasi kepadatan makrozoobentos dengan peningkatan tutupan lamun dari tepi ke arah tubir di pantai Merta Sari secara rata-rata menunjukkan hubungan yang linear (Gambar 5). Sehingga terdapat asosiasi saling menguntungkan yang menggambarkan adanya suatu hubungan organisme terhadap lingkungannya dan sumber makanannya dalam suatu ekosistem (Nybakken, 1988). Menurut Irawan (2011) peningkatan pola tutupan lamun dalam suatu kawasan mempengaruhi jumlah jenis dan kepadatan makrozoobentos. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ira (2011) menyatakan meningkatnya kelimpahan makrozoobentos yang berasosiasi pada lamun diikuti juga peningkatan kerapatan tutupan lamun karena meningkat pula bahan total organic yang tersedia pada kawasan tersebut.

Di pantai Sindhu menunjukkan kepadatan makrozoobentos dengan tutupan lamun tidak terlihat hubungan yang linear (Gambar 5B). Menurunnya pola tutupan lamun dari tepi kearah tubir, dapat disebabkan faktor lingkungan dan manusia. Faktor lingkungan seperti tipe sedimen berbatu atau banyak patahan karang tidak sesuai dengan habitat lamun karena akar lamun tidak dapat menembus permukaan sedimen (Dahuri, 2003). Sedangkan faktor manusia seperti adanya jalur kapal dan tambatan kapal tanpa memperhatikan kondisi padang lamun akan memberikan dampak negatif. Dampak negatif seperti akibat terhalangnya sinar matahari dapat memperlambat pertumbuhan lamun serta akibat baling-baling kapal merusak secara fisik tumbuhan lamun (Short et al., 2006). Namun meningkatnya kepadatan makrozoobentos dipengaruhi oleh tipe sedimen, bahwa zona berbatu dapat memberikan tempat berlindung dari hembasan gelombang (Hutabarat dan Evanas 1985; Nybakken, 1988).

Sedimen mempunyai peran penting sebagai tingkat keberhasilan hidup makrozoobentos, kedua lokasi memiliki tipe sedimen yang didominansi tipe sedimen pasir kasar. Hal ini menunjukkan bahwa aliran air di kawasan tersebut relatif sedang. Tekstur sedimen berpasir dalam perairan mempengaruhi


(4)

ketersediaan oksigen dan makanan yang berguna untuk makrozoobentos, serta mempengaruhi penyebaran, morfologi fungsional dan tingkah laku organisme (Sanusi, 2006).

Adanya faktor lain seperti arus mempunyai dampak terhadap tipe sedimen yang ditempati oleh makrozoobentos. Ini dilihat dari tepi kearah tubir terjadi peningkatan tipe sedimen gravel dan peningkatan kepadatan makrozoobentos pada kedua lokasi. Hal ini mengindikasikan bahwa kepadatan makrozoobentos nampak linier untuk pengaruh arus karena tipe sedimen gra vel menyediakan tempat berlindung untuk makrozoobentos. Bila arus yang lemah akan membuat sedimen dominan lumpur dan tanah organik, sedangkan arus yang kuat tipe sedimennya dominan gravel dan batu. Sehinggga terjadi pengelompokan dan sebaran makrozoobentos yang berbeda akibat adanya tipe karakteristik sedimen (Fadli et al., 2012).

SIMPULAN

Kondisi ko unitas akrozoobentos ada adang la un di kedua lokasi tergolong stabil H’:

4,38, E: 0,79, C: 0,07) dan sebaran kepadatan makrozoobentos linear dengan tipe sedimen. Sebaran makrozoobentos di pantai Merta Sari menunjukkan asosiasi yang linier dengan kepadatan tutupan lamun, sedangkan di pantai Sindhu tidak menunjukkan asosiasi secara langsung dengan kepadatan tutupan lamun.

KEPUSTAKAAN

Arifin. dan J. Jompa. 2005. Studi Kondisi dan Potensi Ekosistem Padang Lamun Sebagai Daerah Asuhan Biota Laut. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 12 (2): 73-79

Asy'ari, H. 2009. Studi Sebaran Spasial Tumbuhan Lamun di Pantai sekitar Denpasar. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. (Skripsi). Tidak Dipublikasikan.

Colin, P. L. and A. C. Anerson. 1995. Tropical Pacific Invertebrates. Coral Reef Press. U. S. A.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut (Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia Indonesian Shell. Jakarta. PT. Sarana Graha 1992. Siput dan Kerang Indonesia Indonesian Shell II. Jakata. PT. Sarana Graha

English, S., C. Wilkinson. and V. J. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia: ASEAN-Australia Marine Project

Fadli, N., I. Setiawan. dan N. Fadhilah. 2012. Keragaman Makrozoobentos di Perairan Kuala Gigieng Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Depik. 1 (1): 45-52

Huda, Q. 2005. Kondisi Pantai Geger Desa Bualu Kecamatan Kuta Selatan Dilihat Dari Komunitas Padang Lamun dan Makrozoobentos Serta Implikasinya Dalam Pengelolaan Pantai. Jurusan Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Udayana. (Skripsi). Tidak Dipublikasikan.

Hutabarat, S. dan S. M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Indarmawan, T. dan A. Manan. 2011. Pemantauan Lingkungan Estuaria Perancak Berdasarkan Sebaran Makrzoobenthos. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 3 (2): 215-220


(5)

Ira. 2011. Keterkaitan Padang Lamun Sebagai Pemerangkap dan Penghasil Bahan Organik dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pulau Barrang Lompo. Program Studi Ilmu Kelautan Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. (Tesis).

Irawan, A. 2003. Asosiasi Makrozoobentos Berdasarkan Letak Padang Lamun di Estuaria Bontang Kuala Kota Bontang Kalimantan Timur. Program Studi Ilmu Kelautan Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. (Tesis).

Istiqal, B. A., D. S. Yusup. dan N. M. Suartini. 2013. Distribusi Horizontal Moluska di Kawasan Padang Lamun Pantai Merta Segara Sanur, Denpasar. Journal of Biology. 17 (1): 10-14

Iswanti, S., S. Ngabekt. dan N. K. T. Martuti. 2012. Distribusi dan Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Sungai Damar Desa Weleri Kabupaten Kendal. Unnes Journal of Life Science. 1 (2): 86-93

Kannan, L. and T. Thangaradjou. 2008. Seagrases. Centre of Advanced Study in Marine Biology. Annamalai University.

Krebs C. J. 1989. Ecological Methodology. New York: Harper and Row Publisher.694 p

Kusnadi, A., U. E. Hermawan. Dan T. Tiandiza. 2008. Inventarisasi Spesies dan Potensi Moluska Padang Lamun Kepulauan Kei Kecil, Maluku Utara. Biodiversitas. 9 (1): 30-34

Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. New Jersey: Princetown Press.

Manik, N. 2011. Struktur Komunitas Ikan di Kawasan Padang Lamun Kecamatan Wori, Sulawesi Selatan. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 37 (1): 29-41

Mather, P. and I. Bennett. 1994. A Guide To The Geology, Flora And Fauna Of The Great Barrier Reef. Surrey Beatty and Sons Pty Limited. Australia.

Mclachlan, A dan A. C. Brown. 2006. The Ecology of Sandy Shore. Elsevier Inc. USA Nybakken, J. W. 1988. Ekologi Laut Suatu Pendekatan Ekolgi. PT. Gramedia. Jakarta.

Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Penerjemah Ir. Tjahjono Samingan, M.Sc. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Patang, F. 2012. Makrozoobentos Yang Bernilai Ekonomis di Pesisir Pantai Lamaru Balikpapan. Mulawarman Scientifie. 11 (2) : 229-235

Pratiwi, R. 2010. Asosiasi Krustasea di Ekosistem Padang Lamun Perairan Teluk Lampung. Ilmu Kelautan. 15 (2): 66-76

Riniatsih, I. dan Widianingsih. 2007. Kelimpahan Dan Pola Sebaran Kerang-Kerangan (Bivalve) di Ekosistem Padang Lamun, Perairan Jepara. Jurnal Kelautan. 12 (1): 53-58

Ruswahyuni. 2008. Struktur Komunitas Makrozoobentos Yang Berasosiasi Dengan Lamun Pada Pantai Berpasir di Jepara. Jurnal Saintek Perikanan. 3 (2) : 33-36

Sanusi H. S. 2006. Kimia Laut (Proses Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan). Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Short, F. T., L. J. McKenzie., R. G. Coles., K. P. Vidler. and J. L. Gaeckle. 2006. SeagrassNet Manual for Scientific Monitoring of Seagrass Habitat, Worldwide Edition. University of New Hampshire Publication. 75 pp.

Taqwa, A. 2010. Analisis Produktivitas Fitoplankton dan Struktur Komunitas Fauna Makrozoobentos Berdasarkan Kerapatan Mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Program Studi Manajemen Sumberdaya Pantai. Program Pascasarjana. Universitas Diponogoro. Semarang. (Tesis).


(6)

Wijayanti, H. 2007. Kajian Kualitas Perairan di Pantai Kota Bandar Lampung Berdasarkan Komunitas Hewan Makrozoobentos. Program Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Program Pascasarjana. Universitas Diponogoro. Semarang. (Tesis).

Wulandari, N., M. Krisanti. dan D. Elfidasari. 2012. Keragaman Teripang Asal Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu Teluk Jakarta. Unnes Journal of life science. 1 (2): 133 -139

Wiratmini, N. I., J. Wiryatno. dan A. A. G. R. Dalem. 2008. Makrozoobentos Pantai Pererenan (Kabupaten Badung): Jenis, Status dan Manfaatnya Bagi Masyarakat. Jurnal Bumi Lestari, 8 (2): 176-179

Yulianto, A. R. 2012. Pemanfaatan Bulu Babi Secara Berkelanjutan Pada Kawasan Padang Lamun. Jakarta: Program Studi Ilmu Lingkungan. Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. (Tesis).