16
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Dasar Rasionalitas Pengaturan Pariwisata Pensiunan 5.1.1 Dasar Filosofis
Adanya pengaturan tentang pariwisata usia lanjut atau pensiunan sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari konsep Negara kesejahteraan
welfare state
. Welfare State merupakan fenomena penting di akhir abad ke-19 dengan gagasan bahwa Negara didorong untuk semakin
meningkatkan perannya dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, termasuk masalah-masalah perekonomian yang dalam tradisi liberalisme sebelumnya
cenderung dianggap sebagai urusan masyarakat sendiri.
44
Ketika bangsa memasuki konsep
Welfare State
, tuntutan terhadap intervensi pemerintah melalui pembentukan hukum yang melindungi pihak yang lemah sangatlah kuat.
45
Pada periode ini, negara mulai memperhatikan antara lain kepentingan tenaga kerja, konsumen, usaha kecil dan lingkungan hidup.
46
Pengaturan pariwisata pensiunan merupakan manifestasi konsep
welfare state
. Peran Negara dalam hal ini terlihat melalui aplikasi norma yang dikeluarkan dan kebijakan hukum
yang harus mampu mengakomodiir dan melindungi kepentingan masyarakatnya khususnya masyarakat usia lanjut sebagai upaya untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyatnya.
5.1.2 Dasar Sosiologis
Urgensi adanya perubahan dan penciptaan norma hukum dan kebijakan yang mengakomodiir kebutuhan dan kepentingan masyarakat usia lanjut merupakan wujud
pemerintah dalam menciptakan
social engineering
dalam masyarakat. Roscoe Pound dengan teori
law is a tool of sosial engineering
menyatakan bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan social masyarakatnya.
47
Ini berarti hukum harus dipandang bukan
44
Jimly Asshiddiqie,Pergeseran-pergeseran Kekuasaan Legislatif Eksekutif, Jakarta:Universitas Indonesia
, 2000,hlm.97.
45
Erman Rajagukguk,Peranan hokum di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial
, Jakarta:Universitas Indonesia, 2000, hlm.14.
46
Karen S. Fishman, An Overview of Consumer Law dalam Donald P. Rothschild David W Carroll: Consumer Protection Reporting Service
, US:Maryland,1986,hlm.7
47
Soekanto, Soejono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,Jakarta:Rajawali, 19800, hlm.37
17 sebagai keadaan tetapi suatu proses. Selanjutnya, bahwa hukum itu hendaknya dihubungkan
dengan fakta-fakta sosial dimana hukum itu dibuat dan ditujukan.
48
Konstruksi inilah yang sering dikatakan sebagai
sosial engineering
dimana orientasi hukum dimaksudkan untuk menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam tingkah laku
anggota masyarakat. Terkait pariwisata pensiunan, adanya pengaturan yang bersifat
sui generis
dan komprehensif akan menimbulkan perubahan-perubahan dan keadaan-keadaan baru dalam pengembangan pariwisata pensiunan dengan menjangkau seluruh pemangku
kepentingan yang terlibat antara lain: pemerintah, operator, dan wisatawan pensiunan itu sendiri.
5.1.3 Dasar Yuridis 5.1.3.1 Dimensi Internasional
Adanya urgensi pengaturan terhadap manusia yang telah pensiun dan berusia lanjut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pengakuan hak asasi manusia. Dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia atau yang lazim disebut Universal Declaration of Human Rights UDHR disebutkan bahwa
„All human beings are born free and equal in dignityand rights‟.
49
Sifat universal hak asasi manusia mengindikasikan bahwa ia harus diberikan kepada seluruh
manusia tanpa memandang jenis kelamin, umur, agama, orientasi seksual, ketidakmampuan ataupun jenis pembedaan lainnya. Terkait dengan keberadaan manusia usia lanjut, pasal 25
UDHR menyebutkan “everyone has the right to security and a „standard of livingadequate
for the health and well-
being of himself and his family‟.
50
Dalam Konvensi Internasional Hak-hak sipil dan politik atau yang lazim disebut
International Convention Civil and Political Rights ICCPR
, terdapat pasal yang memiliki keterpihakan terhadap masyarakat usia lanjut. Sebagai contoh, pasal 26 yang menyatakan
setiap orang harus diperlakukan sama di depan hukum dan berhak atas perlakuan yang non- diskriminatif. Pasal ini menyebutkan beberapa model diskriminasi berbasis kepada ras, warna
kulit, jenis kelamin, agama, dan bentuk pembedaan lainnya.
51
Sementara itu dalam Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya atau yang lazim dikenal sebagai
International Convention Economic, Social, Culture Rights
48
Kusumah, Mulyana W., Beberapa Perkembangan Masalah Dalam Sosiologi Hukum, Bandung:Alumni, 1981, hlm.3
49
Universal Declaration of Human Rights Article 1
50
Universal Declaration of Human Rights Article 25
51
International Covenant on Civil and Political Rights, G.A. Res. 2200 XXI A, U.N.Doc.ARES220XXI Dec. 16, 1966, Article 26.
18
ICESCR
, terdapat pula beberapa pasal yang mengindikasikan keterpihakan terhadap masyarakat usia lanjut. Pasal-pasal ini antara lain: pasal 9 yang mengatur hak atas keamanan
social;
52
pasal 11 tentang hak atas standar hidup yang layak;
53
dan pasal 12 yang mengatur tentang hak atas pencapaian maksimal atas kesehatan fisik dan mental.
54
Pengakuan hak-hak asasi manusia kepada masyarakat usia lanjut secara eksplisit terdapat dalam
United Nations Principles for Older Persons.
Disebutkan beberapa prinsip penting diantaranya:
55
1. Older persons should have access to adequate food, water, shelter, clothing and health
care through the provision of income, family and community support and self-help. 2.
Older persons should have the opportunity to work or to have access to other income- generating opportunities.
3. Older persons should have access to appropriate educational and training programmes.
4. Older persons should be able to live in environments that are safe and adaptable to
personal preferences and changing capacities. 5.
Older persons should remain integrated in society, participate a ctively in the formulation and implementation of policies that directly affect their well-being and share their
knowledge and skills with younger generations.
6. Older persons should have access to health care to help them to maintain or regain the
optimum level of physical, mental and emotional well-being and to prevent or delay the onset of illness.
7. Older persons should have access to social and legal services to enhance their autonomy,
protection and care. 8.
Older persons should have access to the educational, cultural, spiritual and recreational resources of society.
9. Older persons should be treated fairly regardless of age, gender, racial or ethnic
background, disability or other status, and be valued independently of their economic contribution.
5.1.3.2 Dimensi Nasional
Dalam dimensi nasional, cikal bakal pengakuan hak asasi manusia terhadap masyarakat usia lanjut terdapat dalam Pasal 28 F Undang-undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasidenggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
56
Di samping itu Pasal 28 H 1 menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
52
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, G.A. Res. 2200 XXI A,
U.N.Doc.ARES220XXI Dec. 16, 1966, Article 9
53
Ibid, article 11.
54
Ibid article 12.
55
United Nations Principles for Older Persons, ARES4691, 74th plenary meeting ,16 December 1991
56
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 F
19 dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
57
Dalam tingkatan Undang-undang, Pasal 42 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa Setiap warga negara yang berusia lanjut,
cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan
martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
58
Selanjutnya dalam Undang-undang No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia disebutkan hak dan Kewajiban Lansia. Pasal 5 menyebutkan bahwa lanjut usia mempunyai
hak yang sama dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selanjutnya, sebagai penghonnatan dan penghargaan kepada lanjut usia diberikan hak untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial yang meliputi : a. pelayanan keagamaan dan mental spiritual; b. pelayanan kesehatan; c. pelayanan kesempatan kerja; d. pelayanan pendidikan dan pelatihan;
e. kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum; f. kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; g. perlindungan sosial; dan h. bantuan sosial.
59
Terkait dengan pariwisata pensiunan, memang harus diakui belum terdapat aturan yang secara eksplisit mengatur sektor potensial ini. Dalam Pasal 21 Undang-undang No.10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan disebutkan bahwa wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan
kebutuhannya. Perumusan pasal ini setidaknya mengindikasikan bahwa terhadap mereka yang lanjut usia, membutuhkan perlakuan, pelayanan, dan fasilitas yang berbeda sejalan dengan
kebutuhan khusus mereka. Dalam level peraturan dibawah undang-undang, Keputusan Presiden No. 52 Tahun
2004 tentang pembentukan Komisi Nasional Lanjut Usia menyebutkan bahwa komisi inimempunyai tugas antara lain: a. membantu Presiden dalam mengkoordinasikan
pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraansosial lanjut usia;b. memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden dalam penyusunan kebijakan upayapeningkatan kesejahteraan
sosial lanjut usia. Selanjutnya, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1998 tentang
Kemudahan Bagi Wisatawan Lanjut Usia Mancanegaramenyebutkan bahwa wisatawan lanjut
57
Ibid, pasal 28 H 1
58
Undang-Undang 39 Tahun 1999 Pasal 42
59
Undang-undang No.13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lansia Pasal 5.
20 usia mancanegara adalah wisatawan warga negara asing yangmempunyai usia sekurang-
kurangnya 55 tahun. Pasal 2 lalu menyatakan bahwawisatawan lanjut usia mancanegara dapat diberikan Izin Tinggal Terbatasselama satu tahun, dan diberikan jaminan perpanjangan untuk
paling banyaklima kali berturut-turut dengan persyaratan-persyaratan seperti:
a. Memiliki pernyataan dari Lembaga Dana Pensiun atau Bank di negara asalnyaataupu di
Indonesia, tentang tersedianya dana untuk memenuhi kebutuhanhidupnya selama di
Indonesia;
b. Memiliki asuransi kesehatan, kematian dan asuransi tanggung jawab hukumkepada pihak
ketiga di bidang perdata, baik di negara asalnya ataupun diIndonesia; dan
c. Menyampaikan pernyataan untuk tinggal di sarana akomodasi yang tersediaselama di
Indonesia, baik yang diperoleh dengan cara sewa, sewa beli ataupembelian.
Pasal 3 lalu menyebutkan bahwa Wisatawan lanjut usia mancanegara harus mempekerjakan pramuwisma Warga Negara Indonesia selama berada di Indonesia.
Kemudian, Hal-hal yang berkaitan dengan administrasi kemudahan Izin Tinggal Terbatas wisatawan lanjut usia mancanegara sejak kedatangan ke, perpanjangan tinggal di dan
kepulangannya dari Indonesia diurus oleh Biro Perjalanan Wisata Indonesia yang memenuhi persyaratan.
Sebagai aturan pelaksana dari keputusan presiden di atas, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.04.IZ.01.02 tahun 1998 tentang pemberian visa
dan izin keimigrasian bagi wisatawan lanjut usia mancanegara menyebutkan bahwa Kepala Perwakilan RI di Luar Negeri dapat memberikan Visa Kunjungan atas kuasa sendiri kepada
Wisatawan Lanjut Usia Mancanegara. Kemudian, Kepala Perwakilan RI di Luar Negeri hanya dapat memberikan Visa Tinggal Terbatas kepada Wisatawan Lanjut Usia Mancanegara
setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Imigrasi. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Permohonan Visa diajukan oleh yang bersangkutan
melalui Biro Perjalanan yang ditunjuk kepada Kepala Perwakilan RI di Luar Negeri dengan mengisi formulir permohonan Visa yang telah ditetapkan. Selanjutnya, Izin Tinggal
Kunjungan yang diberikan kepada wisatawan lanjut usia mancanegara dapat dialihstatuskan menjadi Izin Tinggal Terbatas.
Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.07.IZ.01.02 tahun 2006 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia nomor: M.04 IZ.01.02 tahun 1998 tentang Pemberian Visa dan Izin Keimigrasian bagi Wisatawan Lanjut Usia Mancanegara menyebutkan sejumlah negara dari asal wisatawan
lanjut usia mancanegara yang dapat diberikan visa dan izin keimigrasian yakni; Afrika
21 Selatan, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Austria, Bahrain, Belgia, Belanda, Brasilia,
Brunai Darussalam, Bulgaria, Cyprus, Denmark, Emirat Arab, Estonia, Finlandia, Hongaria, India, Inggris, Irlandia, Iran, Islandia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Kuwait,
Liechtenstein, Luxemburg, Maladewa, Malaysia, Malta, Mesir, Monaco, Norwegia, Oman, Perancis, Philipina, Polandia, Portugal, Qatar, Rusia, Saudi Arabia, Selandia Baru New
Zealand, Singapura, Spanyol, Suriname, Swedia, Swiss, Taiwan, Thailand dan Yunani. Dalam Pasal 5 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor:
M.04.IZ.01.02 tahun 1998 tentang pemberian visa dan izin keimigrasian bagi wisatawan lanjut usia mancanegara disebutkan bahwa Permintaan alih status keimigrasian dari Izin
Kunjungan menjadi Izin Tinggal Terbatas diajukan oleh orang asing yang bersangkutan melalui Biro Perjalanan Wisata Indonesia yang ditentukan kepada Kepala Kantor Imigrasi
dengan cara mengisi daftar isian yang telah ditentukan, dan selanjutnya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Imigrasi.
Sesuai dengan bunyi pasal 5, Wisatawan Mananegara Lanjut Usia dapat diberikan Izin Tinggal Terbatas selama 1 satu tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 5 lima kali
dengan jangka waktu setiap kali perpanjangan selama 1 satu tahun. Lalu, istri yang sah dari wisatawan lanjut usia pemegang Izin Tinggal Terbatas dapat diberikan status keimigrasian
yang sama dengan suaminya. Pasal 8 lalu meyebutkan bahwa wisatawan lanjut usia tidak diperbolehkan bekerja melakukan kegiatan untuk mencari nafkah dan melakukan usaha.
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor : F.492-UM.01.10 tahun 2002 tanggal : 18 april 2002 tentang petunjuk pelaksanaan pemberian visa dan izin keimigrasian
bagi wisatawan lanjut usia mancanegara. Dimana kebijakan yang bersifat umum meliputi: 1.
Wisatawan Lanjut Usia Mancanegara adalah wisatawan warganegara asing yang berusia sekurang-kurangnya 55 tahun selanjutnya disebut Lansia;
2. Biro Perjalanan Wisata Lansia adalah badan usaha yang melakukan kegiatan membantu
pengurusan kemudahan bagi kepentingan wisatawan lanjut usia mancanegara yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ;
3. Permohonan visa dan izin keimigrasian diajukan oleh orang asing yang bersangkutan
melalui Biro Perjalanan Wisata Lansia Indonesia atau korespondennya di luar negeri ; 4.
Pemberian Visa Kunjungan Lansia dapat diberikan atas kuasa sendiri Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri ;
5. Perpanjangan Izin Kunjungan Lansia dan Izin Tinggal Terbatas Lansia diberikan oleh
Kepala Kantor Imigrasi atau pejabat yang ditunjuk yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal wisatawan lanjut usia mancanegara ;
22 2.
Izin Kunjungan Lansia dapat dialihstatuskan menjadi Izin Tinggal Terbatas Lansia dengan keputusan Direktur Jenderal Imigrasi atau pejabat yang ditunjuk ;
3. Izin Tinggal Terbatas Lansia dapat dialihstatuskan menjadi Izin Tinggal Tetap Lansia
dengan Keputusan Direktur Jenderal Imigrasi atau pejabat yang ditunjuk.
5.1.3.3 Dimensi lokal
Peraturan Gubernur Bali No.20 Tahun 2012 tentang Lembaga Otoritas Wisata Usia Lanjut Bali
Bali Retirement Tourism Authority
BRTA memberikan pengaturan yang komprehensif terkait pengelolaan wisata usia lanjut yang harus ditangani oleh lembaga
khusus. Lembaga Otoritas Wisata Usia Lanjut yang selanjutnya disebut Lembaga adalah lembaga otoritas wisata usia lanjut Bali Retirement Tourism AuthortyBRTA yang
melaksanakan regulasi, akreditasi dan promosi wisata usia lanjut. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Pembentukan Lembaga Otoritas Wisata Usia Lanjut
Bali Bali Retirement Tourism Authority dimaksudkan sebagai katalisator menjembatani seluruh kepentingan pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sekitar dan wisatawan usia lanjut.
Pasal 3 menyebutkan tujuan pembentukan Lembaga ini meliputi: a.
menjamin kenyamanan dan keamanan para wisatawan Usia Lanjut melalui regulasi hukum yang terpadu dengan kebijakan instansi terkait dengan instansi yang membidangi
kepariwisataan, kesehatan, penanaman modal, keimigrasian dan moneter; b.
mendukung keseimbangan pembangunan pariwisata di daerah bali; b.
mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan c.
menciptakan industri pariwisata yang berkelanjutan dan membuka luas lapangan kerja diberbagai sektor.
Pasal 4 lalu memberikan ruang lingkup lembaga ini yang meliputi: a.
menyusun, mengusulkan dan mengkoordinasikan regulasi terkait dengan kebijakan pemerintah tentang wisata Usia Lanjut.
b. melaksanakan akreditasi kawasan baik yang masih direncanakan maupun yang sedang
dalam tahap pembangunan; c.
melaksanakan akreditasi fasilitas yang telah ada meliputi 9 sembilan komponen yaitu: kesehatan, gedung, keamanan, keselamatan, transportasi, hiburan, pengembangan SDM,
managemen, keuangan, dan asuransi; dan d.
mempromosikan Bali sebagai tujuan wisata Usia Lanjut
23 Perangkat Lembaga BRTA sendiri terdiri dari:
a. Pelindung;
b. Kepala Lembaga;
c. Wakil Kepala Lembaga;
d. Kepala Bidang terdiri dari:
1. Kepala Bidang Manajemen;
2. Kepala Bidang Hukum;
3. Kepala Bidang Akreditasi Pelayanan Wisatawan Usia LanjutPensiunan;
4. Kepala Bidang Akreditasi Kawasan dan Fasilitas; dan
5. Kepala Bidang Promosi dan Pemasaran.
5.2 Konstruksi Model Pengaturan Pariwisata Pensiunan di Bali 5.2.1 Model Pengaturan yang memperhatikan sifat dan kebutuhan khusus wisatawan
pensiunan
Penyelenggaraan pariwisata pensiunan yang masih bersifat sporadis dan belum terorganisir membuat industri ini belum mampu memanfaatkan potensi pasar secara maksimal
dan belum mampu bersaing dengan negara-negara lainnya. Posisi Bali sebagai ikon dan figurasi pariwisata Indonesia yang masih tertinggal dengan negara-negara lainnya, membuat
Bali belum mampu memanfaatkan potensi dan kebutuhan pasar pariwisata pensiunan global untuk meningkatkan arus investasi asing dalam rangka memperluas lapangan pekerjaan,
meningkatkan pendapatan masyarakat, dan akhirnya kesejahteraan masyarakat Bali. Mengantisiasi keberadaan wisatawan pensiunan, dibutuhkan model kebijakan yang memuat
standarisasi dan persyaratan dalam menyediakan jasa pariwisata untuk golongan wisatawan ini meliputi:
60
a. Standar kelembagaan Usaha Jasa Pariwisata
b. Standar Sumber daya Manusia
c. Standar transferring sistem dari tempat asal ke tempat tujuan, dari bandara ke lokasi
tujuan, dari lokasi tempat tinggal ke sekeliling tempat tinggal, dari tempat tinggal ke tempat-tempat tujuan wisata, dari tempat tinggal ke tempat perawatan kesehatan, dari
tempat tinggal ke lokasi tempat tinggal wisatawan lainnya.
60
Ida Bagus Wyasa Putra, Konsep Regulasi Pengembangan Pariwisata Usia Lanjut, BRTA, 2013
24 d.
Standar lokasi tempat tinggal selama berwisata; standar jarak dari pusat pelayanan kesehatan, standar jarak dengan bandara dan angkutan umum lainnya, standar bentang
ruang, standar kesehatan udara, standar kesehatan lingkungan. e.
Standar infrastruktur f.
Standar sistem tempat; standar landscape, standar gedung dan bangunan, standar kamar tempat tinggal, standar ruang bersama, standar fasilitas komunikasi, elektronik, standar
pelayanan kesehatan, standar fasilitas gawat darurat, standar tempat aktivitas pemeliharaan kesehatan, dll.
g. Standar makanan dan minuman, serta standar penyediaan makanan.
h. Standar perawatan kesehatan
i. Standar atraksi pariwisata.
Sementara itu, beberapa persyaratan yang dibutuhkan meliputi persyaratan berkaitan dengan sistem eksternal, calon wisatawan dan penyedia jasa pariwisata. Persyaratan yang
berkaitan dengan sistem eksternal antara lain:
61
a. Persyaratan zonasi: kesehatan lingkungan, kesehatan udara, rasionalitas jarak dengan
pusat pelayanan kesehatan, transportasi, dan bandara. b.
Standar keamanan lingkungan usaha c.
Standar kesehatan lingkungan tempat usaha d.
Standar fasilitas pelayanan umum pada lingkungan usaha e.
Standar fasilitas umum pada lingkungan usaha. Persyaratan bagi calon wisatawan meliputi:
a. Persyaratan administrasi perjalanan
b. Persyaratan status kesehatan
c. Persyaratan pembebasan dari tanggungjawab hukum
d. Persyaratan asuransi kesehatan
Persyaratan bagi penyedia jasa meliputi: a.
Penyelenggara jasa angkutan b.
Penyelenggara jasa perjalanan wisata c.
Penyelenggara jasa akomodasi d.
Penyelenggara jasa boga e.
Penyelenggara jasa atraksi f.
Penyelenggara jasa kesehatan
61
Ibid
25
5.2.2 Model Pengaturan yang mendukung konsep pariwisata berkelanjutan
Untuk memperkuat pengembangan pariwisata pensiunan, dibutuhkan suatu jalinan sinergi yang kuat dengan konsep pembangunan berkelanjutan mengingat adanya kedekatan
persepsi, tujuan, dan harapan dalam pengelolaan pariwisata di Bali. Sejak sepuluh tahun terakhir, proses diskursif akan urgensi pembangunan berkelanjutan semakin kuat
dipromosikan berbagai kalangan. Pembangunan berkelanjutan sejatinya merupakan sebuah proses pembangunan yang memperhatikan daya dukung
carrying capacity
dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia. Berkelanjutan dapat berarti pemberian
lingkaran konsentrasi pada sinergisitas pelestarian yang meliputi dimensi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup. Secara singkat, alur konstruksi pengembangan pariwisata
berkelanjutan merupakan perpaduan kelayakan secara ekonomi, keadilan secara sosial budaya, dan berkewajaran dari sisi lingkungan.
Sejatinya, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep alternatifyang bersifat kontradiktif bagi konsep pembangunan konservatif. Terdapat sederet persyaratan di dalamnya
seperti pemberian skala prioritas dari sisi ekologis, pemenuhan kebutuhan dasar manusia, prinsip keadilan bagi generasi mendatang, dan penentuan nasib sendiri bagi masyarakat
setempat. Menelusuri jejak sejarahnya, konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali tercetus dalam konferensi di Stockholm pada tahun 1972 tentang
“Stockholm Conference on Human and Environment”. Secara singkat definisi pembangunan berkelanjutan adalah:
Sustainable development is defined as a process of meeting the present needs without compromising the ability of the future generations to meet their own needs
. Dalam perkembangan selanjutnya,
Pacific Ministers Conference on Tourism and Environment
di Maldivest tahun 1997 lantas menyebutkan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang meliputi kesejahteraan lokal, penciptaan lapangan kerja, konservasi
sumber daya alam, pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup, serta keseimbangan inter dan antar generasi dalam distribusi kesejahteraan. Sebagai proses tindak lanjut, Konferensi
Dunia tentang Pariwisata Berkelanjutan pada tahun 1995 merumuskan secara elaboratif Piagam Pariwisata Berkelanjutan yang isinya sebagai berikut:
1. Pembangunan pariwisata harus berdasarkan kriteria keberlanjutan yang antara lain dapat
didukung secara ekologis dalam waktu yang lama, layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial bagi masyarakat setempat.
2. Pariwisata harus berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan dan diintegrasikan
dengan lingkungan alam, budaya, dan manusia.
26 3.
Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat setempat harus mengambil tindakan reaktif untuk mengintegrasikan perencanaan pariwisata kedalam pembangunan
berkelanjutan. 4.
Pemerintah dan organisasi multilateral harus memprioritaskan dan memperkuat bantuan terhadap proyek-proyek pariwisata yang berkontribusi bagi perbaikan kualitas
lingkungan. 5.
Ruang-ruang dengan lingkungan dan budaya yang rentan saat ini maupun di masa depan harus diberi prioritas khusus dalam hal kerjasama teknis dan bantuan keuangan untuk
pembangunan pariwisata berkelanjutan. 2.
Promosi atau dukungan terhadap berbagai bentuk alternatif kegiatan pariwisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
3. Pemerintah harus mendukung dan berpartisipasi dalam penciptaan jaringan untuk
penelitian, diseminasi informasi, dan transfer pengetahuan tentang pariwisata dan teknologi pariwisata berkelanjutan.
4. Penetapan kebijakan pariwisata berkelanjutan memerlukan dukungan dan sistem
pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan, studi kelayakan untuk transformasi sektor, dan pelaksanaan berbagai proyek percontohan dan pengembangan program
kerjasama internasional. Di tataran lokal, Pemerintah Daerah Bali telah menetapkan Peraturan Daerah Perda
No. 3 Tahun 1974 tentang Pariwisata Budaya sebagai acuan pengembangan kepariwisataan secara komprehensif. Perda tersebut dalam perjalanannya kemudian diperbaharui menjadi
Perda No 3 Tahun 1991 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kepariwisataan yang dikembangkan di daerah Bali adalah pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama Hindu.
Dengan demikian, kegiatan pariwisata diharapkan dapat berjalan secara selaras, serasi, dan harmonis dengan kebudayaan setempat dan berakar pada nilai-nilai luhur agama Hindu.
Sederet kebijakan yang menyangkut konsep pengelolaan pariwisata berkelanjutan di Bali antara lain:
a. Perda Tk.I Bali Nomor 3 Tahun 1974
juncto
Perda Tk.I Bali Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya.
b. Perda Prov. Bali Nomor 3 Tahun 2005 tentang RTRW Provinsi Bali yang di dalamnya
diatur tentang penetapan 15 kawasan pariwisata. c.
Perda Prov. Bali Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup.
d. Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.
27 e.
Perda Prov. Bali Nomor 7 Tahun 2007 tentang Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta. f.
Perda Prov. Bali Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pramuwisata. Beranjak dari serangkaian konstruksi di atas, pengembangan pariwisata berkelanjutan
merupakan suatu serangkaian proses secara terukur dan terencana yang berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan di masa sekarang untuk selanjutnya diwariskan kepada generasi
mendatang. Selanjutnya, visi dan orientasi ini memiliki kedekatan makna dan tujuan yang erat dengan tata kelola pengembangan pariwisata pensiunan.
5.2.3 Model Pengaturan yang bersinergi dengan model pengaturan lain yang terkait