Pengertian Kitab Kuning Sejarah Kajian Kitab Kuning Shahih Bukhari
menyebutnya sebagai Doktor ahli hadits dan kepala ahli-ahli hadits. Ia berhasil membedakan antara hadits yang shahih dengan yang tidak
shahih walaupun dibalik sanadnya dan matannya karena keahliannya. Karya tulisannya yang bernama “Aljamiush Shahih” telah menyita
waktunya selama 16 tahun, dan setiap kali akan menulis hadits-hadits itu ia bershalat dua rakaat dan beristikharah kepada Allah. Buku
tersebut adalah merupakan buku hadits yang paling shahih diantara buku-buku hadits Sunnah, paling shahih sesudah al-
Qur’an, dan para imam ahli hadits mengakuinya untuk diterima ummat Islam.
Hadits Shahih Bukhari telah diterima oleh ulama salaf dan khalaf, yang sebelumnya tidak pernah muncul sebuah buku hadits yang bisa
melepaskan diri dari hadits-hadits yang tidak shahih. Dan menurut Dzahabi: “Shahih Bukhari adalah sebuah buku Islam yang paling agung
sesudah Qur’an”. Kata Syaikhul Islam Ibn Hajar: “Para Ulama sepakat menyatakan bahwa Shahih Bukhari lebih istimewa dari Shahih
Muslim”. Kata Daraquthani: “Tanpa Shahih Bukhari maka shahih muslim tidak akan muncul”.Selain buku tersebut, Imam Bukhari
menulis sebanyak 20 buku yang antara lain adalah “Attarikhul Kabir Sejarah Besar”, yang pada akhir hayatnya buku itu diperluas dua
kalinya. Imam Bukhari terkenal sebagai orang shaleh, banyak beribadat, dan ahli pengetahuan, sehingga Imam Muslim menyatakan padanya:
“Seseorang tidak akan membenci tuan, kecuali itu adalah orang yang
dengki, dan saya yakin bahwa di dunia tidak ada yang seperti tuan”, yang maksudnya dalam hal keahliannya dalam ilmu hadits.
Ketika beliau pulang ke negerinya difitnah oleh tentang keagamaansehingga wali negeri Bukhara mengusirnya dari negeri itu,
dan ia wafat pada tahun 869 M 256 H dalam umur 62 tahun tanpa meninggalkan seorang anak, dan dikuburkan di Khartanak dekat
Samarkand.
6
Dan juga banyak para pakar pemikiran salaf juga berpendapat bahwa kitab kuning bisa disebut juga Turts. Pemikiran salaf dikalangan
akademisi lebih populer dengan sebutan turats. Turats secara harfiah berarti sesuatu yang ditinggalkan atau diwariskan. Di dunia pemikiran
Islam, turats digunakan dalam khazanah intelektual Islam klasik yang diwariskan oleh para pemikir tradisional. Istilah turats yang berarti
khazanah tradisional Islam merupakan asli ciptaan bahasa Arab kontemporer.
Dalam kacamata Ghazali, ilmu ini tidak berguna karena hanya terkait erat dengan kehidupan dunia yang fana. Ilmu bisa dikatakan
bermanfaat bukanlah ilmu yang hanya berorientasi pada kenikmatan dan
kegemilangan masa
depan, melainkan
diukur dengan
kemampuannya mengantarkan kepada kebahagian akhirat yang abadi. Kedua, ilmu yang murni hanya merujuk pada sumber-sumber terdahulu
naqli mahdh. Contoh ilmu ini adalah ilmu hadis, tafsir dan yang
6
Husein Bahreisy, Himpunan Hadits Pilihan Hadits Shahih Bukhari, Surabaya: Al- ikhlas-Surabaya-Indonesia, 1992
sejenis. Ilmu hadis dan tafsir diperoleh dari sahabat, tabi’in dan orang- orang zaman dahulu.
Untuk mengkaji ilmu jenis ini sangat mudah sebab orang muda dan tua dapat menguasai dengan gampang asalkan memiliki daya ingat yang
tajam quwwat al hifdzi, sementara rasio tidak begitu berperan di bidang ini. Dalam perspektif Ghazali, pembagian ilmu yang paling
mulia adalah ilmu yang ketiga. Ilmu ketiga merupakan upaya mensinergikan antara akal dan nukil, antara penalaran dan periwayatan.
Ilmu fikih dan ushul fikih merupakan cakupan dari bagian ilmu yang ketiga, sebab porsi akal dan wahyu bekerja bersama-sama di dalamnya.
Karena dalam ilmu ushul fikih dan fikih terkandung dua unsur sekaligus, maka ilmu ini mempunyai nilai plus bila dibandingkan ilmu
hadis, tafsir dan lainnya. Pengarang buku Ihya’ Ulumuddin ini menambahkan argumen bahwa ilmu-ilmu semacam itu tidak
dilandaskan pada taklid semata yang menjadi ciri khas ilmu naqli begitu pula tidak bersandar pada akal murni. Upaya peniruan secara membabi
buta ditolak oleh akal, sementara berpegang pada akal semata tidak dibenarkan agama. Dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu yang paling
unggul adalah ilmu yang berdiri ditengah-tengah antara akal dan wahyu.
Ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari tiga pemetaan ilmu yang telah dilakukan oleh Ghazali dan sepenggal sejarah perjalanan
intelektual dari masa ke masa.
7
Dari sana, penulis ingin menawarkan metode baru dalam memahami kitab kuning.
1 Pengkaji kitab kuning tidak hanya berhenti pemahaman hukum-
hukum hasil karya ulama terdahulu, tetapi melacak metodologi penggalian hukumnya. Hal ini sebagaimana tawaran al Ghazali
bahwa ilmu yang paling baik adalah penggabungan antara aqli dan naqli, antara menerima hasil pemikiran ulama’ salaf sekaligus
mengetahui dalil dan penalarannya. 2
Membiasakan untuk bersikap kritis dan teliti terhadap objek kajian. Karena pada dasarnya budaya kritis adalah hal yang lumrah dalam
dunia intelektual. Sebagaimana telah kita saksikan potret kehidupan ulama’ salaf yang sarat dengan nuansa konflik dan polemik. Hal itu
terjadi, tak lain hanyalah karena ketelitian, kejelian dan kritisisme yang dimiliki oleh para pendahulu kita yang kesemuanya patut
untuk kita teladani. 3
Melakukan analisa yang mendalam, apakah pendapat ulama itu benar-benar murni refleksi atas teks nash atau ada faktor lain
yang mempengaruhi. Sekedar contoh, kenapa sampai ada qoul qodim dan qoul jadid, kenapa Imam Nawawi berbeda pendapat
7
http:www.pesantrenvirtual.com, Diakses Pada Tanggal 5 Februari 2013, Pukul 10:09 WIB
dengan Ima m Syafi’i dalam transaksi jual beli tanpa sighat bai’al
mu’athoh, kenapa Imam Qoffal berani berbeda pendapat dalam memahami sabilillah yang berarti setiap jalan kebaikan sabil al
khair dapat menerima zakat sedangkan mayoritas ulama tidak memperbolehkan.
4 Menelusuri sebab terjadinya perbedaan pendapat, sejarah kodifikasi
kitab kuning, latar belakang pendidikan pengarang, keadaan sosial dan budaya yang mempengaruhinya. Memahami faktor dan tujuan
pengarang mengemukakan pendapatnya. 5
Pengkaji harus menjaga jarak antara dirinya selaku subyek dan materi kajian selaku obyek. Dengan prinsip ini, peneliti tidak
boleh membuat penilaian apapun terhadap materi dan melepaskan dari fanatisme yang berlebihan. Dalam tahap ini peneliti harus
berusaha ”menelanjangi” aspek kultural, sosial dan historis dimana suatu hukum dicetuskan. Benar-benar memahami latar belakang
suatu hukum yang telah dirumuskan ulama’ salaf. Hal ini dimaksudkan agar terjadi penilaian dan pemahaman yang obyektif.
Langkah terakhir adalah pengkaji menghubungkan antara dirinya dengan obyek kajian. Langkah ini diperlukan untuk mereaktualisasi dan
mengukur relevansi kitab kuning dengan konteks kekinian. Pengkaji dalam hal ini dituntut untuk menjadikan kitab kuning sebagai sesuatu yang cocok
untuk diterapkan, sesuai dengan kondisi saat ini dan bersifat ke- Indonesiaan. Senantiasa berpegang pada prinsip bahwa syariat Islam
diciptakan demi tegaknya kemaslahatan sosial pada masa kini dan masa depan.
Di samping langkah-langkah diatas, pemerhati kajian kitab kuning hendaknya membekali dengan ilmu penunjang yakni logika mantiq. Ilmu
anggitan Aristoteles ini tampaknya kurang mendapatkan perhatian, padahal ilmu tersebut dapat mempertajam rasionalitas dan menumbuhkan
daya nalar yang kreatif. Imam Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm dan ulama salaf lainnya adalah pakar filsafat Islam disamping menguasai ilmu-ilmu
keIslaman. Kitab kuning merupakan hasil kerja keras para sarjana Islam klasik
yang menyimpan segudang jawaban atas permasalahan-permasalahan masa lalu. Sementara itu, disisi lain kita adalah generasi yang hidup di
ruang dan kondisi yang berbeda serta menghadapi peliknya problematika modern. Upaya yang dilakukan para pemikir bebas dalam merespon
pernak-pernik modernitas sembari meninggalkan khazanah tradisional Islam tak lain hanyalah kecongkakan intelektual. Namun serta merta
menjadikan kitab kuning sebagai pedoman yang ’sepenuhnya laku’ adalah tindakan yang kurang bijaksana, karena hanya al Quran dan hadis.