Distribusi pendapat responden tentang pelayanan kefarmasian di puskesmas

3.6 Distribusi pendapat responden tentang pelayanan kefarmasian di puskesmas

Pelayanan kefarmasian merupakan salah satu faktor penting dari pelayanan kesehatan dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat. Puskesmas berperan dalam menyediakan obat-obatan dan peralatan kesehatan serta memberikan informasi, konsultasi mengenai obat yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga tujuan pembangunan kesehatan dapat terwujud Anonim A, 2010. Tabel 3.5 Distribusi pendapat responden tentang pelayanan kefarmasian di puskesmas No Distribusi pendapat responden tentang Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Jumlah = 97 1 Dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian, berapa lama waktu yang dibutuhkan petugas farmasi dalam melayani resep? a. ≤ 10 Menit 76 78,35 b. 10 Menit 21 21,65 Total 97 2 Apakah petugas farmasi mencantumkan etiketlabel aturan pemakaian obat saat memberi obat ke pasien? a. Ya 97 100 b. Tidak Total 97 3 Pernahkah dalam pelayanan kefarmasian petugas memberikan informasi tentang obat? a. Pernah 90 92,78 b. Tidak pernah 7 7,21 Total 97 4 Apakah ada konseling Tanya-jawab mengenai obat antara petugas pelayanan kefarmasian dengan pasien? a. Ada 85 87,63 b. Tidak ada 12 12,37 Total 97 Universitas Sumatera Utara Tabel 3.5 menunjukkan bahwa pelayanan kefarmasian dari segi waktu yang dibutuhkan petugas pelayanan kefarmasian dalam melayani resep ≤ 10 menit persentasinya yaitu 78,35. Adanya etiketlabel aturan pemakaian obat mempunyai persentase tertinggi yaitu 100. Sedangkan untuk pelayanan kefarmasian dalam memberikan informasi obat kepada pasien persentasinya mencapai 92,78. Dan untuk pelayanan kefarmasian berupa konseling Tanya- jawab antara pasien dengan petugas pelayanan obat persentasenya mencapai 87,63. Bila dilihat dari pendapat responden tentang pelayanan kefarmasian di atas, pelayanan kefarmasian di puskesmas cukup baik. Salah satu pelayanan kefarmasian yang penting didapat oleh seorang pasien adalah pelayanan informasi obat. Ini merupakan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh tenaga farmasi dengan tujuan untuk menjamin ketepatan dan kerasionalan penggunaan obat. Diterbitkannya PP No. 51 tahun 2009 ditujukan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan terutama pelayanan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama. Oleh karena itu keberadaan seorang apoteker pada fasilitas pelayanan kefarmasian dalam hal ini puskesmas sangat diperlukan untuk membantu proses pelayanan kesehatan terutama dalam memberikan pelayanan kefarmasian yang optimal. Menurut PP No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian menyatakan pelayanan kefarmasian puskesmas hanya dapat dilaksanakan oleh apoteker. Sedangkan tenaga teknis kefarmasian sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis Universitas Sumatera Utara farmasi dan tenaga menengah farmasiasisten apoteker adalah tenaga yang membantu apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian. 3.7 Distribusi pendapat responden tentang peningkatan pengetahuan dan keahlian dibidang pelayanan kefarmasian Salah satu tujuan yang ingin dicapai dari pembangunan kesehatan menuju indonesia sehat 2010 adalah aspek peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya mutu pelayanan pengobatan. Tabel 3.6 Distribusi pendapat responden tentang peningkatan pengetahuan dan keahlian dibidang pelayanan kefarmasian Pendapat responden tentang Peningkatan pengetahuan dan keahlian dibidang pelayanan kefarmasian Jumlah = 97 Perlu 84 86,60 Tidak Perlu 13 13,40 Dari tabel 3.6 di atas diperoleh perlunya peningkatan pengetahuan dan keahlian dibidang pelayanan kefarmasian mempunyai persentase sebesar 86,60. Sedangkan yang menyatakan tidak perlu adanya peningkatan pengetahuan dan keahlian persentasenya 13,40. Untuk mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang tinggi, semua tenaga farmasi harus meningkatkan pengetahuan dan keahlian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 3.8 Distribusi pendapat responden terhadap PP No. 51 pasal 2 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu mengatur Universitas Sumatera Utara pekerjaan kefarmasian dalam suatu peraturan pemerintah yaitu PP No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian. Peraturan pemerintah No. 51 Pasal 2 ayat 2 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian berbunyi “Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”. Tabel 3.7 Distribusi pendapat responden terhadap PP No. 51 pasal 2 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Pendapat tenaga kesehatan terhadap PP No.51 pasal 2 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Jumlah = 97 Setuju 93 95,88 Tidak Setuju 4 4,12 Dari tabel 3.7 di atas diperoleh tenaga kesehatan yang setuju terhadap PP No. 51 pasal 2 ayat 2 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian mempunyai persentase sebesar 95,88. Sedangkan yang menyatakan tidak setuju persentasenya 4,12. Penyerahan obat dispensing di pusat pelayanan kesehatan primer umumnya dilakukan oleh petugas yang ditunjuk secara khusus. Dalam proses dispensing ini terkandung beberapa komponen seperti meracik obat atas dasar instruksi dokter prescriber, memasukkan obat dalam kemasan yang sesuai packaging, pencantuman label dan petunjuk untuk pasien pada kemasan yang dibuat labeling dan penyerahan obat ke pasien disertai informasi yang berkaitan dengan obat yang diberikan. Di sini peran petugas penyedia obat sangatlah penting karena menjadi pemberi informasi dan penghubung antara obat yang diresepkan oleh dokter dan pasien yang akan menggunakannya. Tidak saja pengetahuan tentang apa yang diberika harus cukup, tetapi pemberiannya harus Universitas Sumatera Utara tepat dan informasi yang diberikan harus jelas dan mudah diterima oleh pasien Dinkes, 2000. Kekeliruan dalam membaca dan menerjemahkan isi resep dapat berakibat fatal bagi pasien. Oleh karena itu petugas penyedia obat seharusnya mempunyai kemampuan dan keterampilan khusus mengenai hal tersebut Dinkes, 2000. 3.9 Distribusi pendapat responden tentang yang memiliki keahlian dan kewenangan dalam melakukan pekerjaan kefarmasian Pekerjan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional Pemerintah RI, 2009. Tabel 3.8 Distribusi pendapat responden tentang yang memiliki keahlian dan kewenangan dalam melakukan pekerjaan kefrmasian Pendapat responden tentang yang memiliki keahlian dan kewenangan dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di puskesmas Jumlah = 97 Apoteker 46 47,42 Asisten Apoteker 51 52,58 Tenaga Kesehatan Lain Dari tabel 3.8 di atas diperoleh 52,58 responden memilih asisten apoteker yang memiliki kewenangan dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di puskesmas, Sedangkan yang berpendapat apoteker yang memiliki keahlian dan wewenang dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di puskesmas persentasenya 47,42. Tidak ada satupun tenaga kesehatan yang berpendapat tenaga kesehatan Universitas Sumatera Utara lain yang memiliki keahlian dan wewenang dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di puskesmas. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi dan tenaga menengah farmasiasisten apoteker Pemerintah RI, 2009. Apoteker merupakan profesi yang berwenang dalam merancang sediaan farmasi dalam bentuk penelitian, pengembangan, pengujian hingga registrasi produk obat, mendesain bentuk sediaan farmasi, merancang produksi yang mempertemukan biaya rendah dengan mutu tinggi, mengendalikan mutunya, menjamin keamanan produknya bagi seluruh masyarakat, serta dalam pengelolaan sediaan farmasi dari sumber yang legal, menyerahkan kepada pasien yang disertai komunikasi informasi edukasi dan menjamin pasien mendapatkan jaminan khasiat dan keamanan maksimal dan atas dasar pengetahuannya, apoteker menjadi partner dokter dalam meningkatkan kualitas terapi penggunaan obat Anonim B, 2010. Berikut ini ditampilkan distribusi pendapat responden tentang yang memiliki keahlian dan wewenang dalam melakukan pekerjaan kefarmasian dalam bentuk grafik batang. Universitas Sumatera Utara Gambar 3.2 Grafik distribusi pendapat tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan wewenang dalam melakukan pekerjaan kefarmasian 3.10 Distribusi pendapat responden terhadap PP No. 51 pasal 21 ayat 2 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian PP No. 51 pasal 21 ayat 2 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian berbunyi “Penyerahan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker”. Menurut Kepmenkes RI No. 1027 Tahun 2004, resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Tabel 3.9 Distribusi pendapat responden terhadap PP No. 51 pasal 21 ayat 2 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Distribusi pendapat responden terhadap PP No. 51 pasal 21 ayat 2 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Jumlah = 97 Setuju 64 65,98 Tidak Setuju 33 34,02 Dari tabel 3.9 di atas diperoleh tenaga kesehatan yang setuju terhadap PP No. 51 pasal 21 ayat 2 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian mempunyai persentase sebesar 65,98. Sedangkan yang menyatakan tidak setuju Universitas Sumatera Utara persentasenya 34,02. Responden berpendapat bahwa penyerahan obat atas resep dokter dapat dilakukan oleh asisten apoteker. Menurut anief 1995, apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya dan dilandasi pada kepentingan masyarakat. Kekeliruan dalam membaca dan menerjemahkan isi resep dapat berakibat fatal bagi pasien. Oleh karena itu petugas penyedia obat seharusnya mempunyai kemampuan dan keterampilan khusus mengenai hal tersebut Dinkes, 2000. Oleh Karena itu pelayanan resep dokter termasuk di dalamnya skrining resep, penyiapan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan merupakan tugas dan tanggung jawab apoteker. 3.11 Distribusi pendapat responden terhadap PP No. 51 pasal 51 ayat 1 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian PP No. 51 pasal 51 ayat 1 Tahun 2009 tentang pekekerjaan kefarmasian berbunyi ”Pelayanan kefarmasian puskesmas hanya dapat dilaksanakan oleh apoteker”. Tabel 3.10 Distribusi pendapat responden terhadap PP No. 51 pasal 51 ayat 1 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Pendapat tenaga kesehatan terhadap PP No. 51 pasal 51 ayat 1 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian Jumlah = 97 Setuju 36 37,11 Tidak Setuju 61 62,87 Dari tabel 3.10 di atas diperoleh tenaga kesehatan yang tidak setuju terhadap PP No. 51 pasal 51 ayat 1 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian mempunyai persentase sebesar 62,87. Sedangkan yang menyatakan yang setuju terhadap PP Universitas Sumatera Utara No. 51 pasal 51 ayat 1 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian persentasenya 37,11. Belum meratanya penyebaran tenaga apoteker di puskesmas menjadi salah satu alasan dari responden tidak setuju dengan PP No. 51 pasal 51 ayat 1 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian yang mengharuskan pelayanan kefarmasian puskesmas hanya dapat dilaksanakan oleh apoteker. Menurut sebagian responden karena belum adanya apoteker di puskesmas pelayanan kefarmasian dapat dilakukan oleh asisten apoteker bahkan untuk puskesmas yang belum memiliki asisten apoteker tenaga kesehatan lain seperti bidan dan perawat juga bisa menggantikannya sehingga pelayanan kefarmasian dapat dilakukan tanpa tenaga apoteker. Keberadaan seorang apoteker pada fasilitas pelayanan kefarmasian sangat penting dikarenakan adanya obat golongan narkotik dan obat keras yang berdasarkan undang-undang apoteker yang memiliki wewenang mengelolanya. Oleh karena itu, tugas seorang apoteker tidak boleh digantikan oleh tenaga kesehatan lain. Puskesmas merupakan tempat pelayanan kesehatan umum yang terdapat banyak jenis obat termasuk golongan obat keras dan narkotik. Untuk itu diperlukan seorang apoteker yang berfungsi dalam pengawasan serta pengunaan obat keras dan juga yang memiliki wewenang dalam melakukan pekerjaan kefarmasian Pemerintah RI, 2009. Universitas Sumatera Utara 3.12 Distribusi pendapat responden terhadap perlukah penempatan apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian di puskesmas Tabel 3.11 Distribusi pendapat responden terhadap perlukah penempatan apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian di puskesmas Pendapat tenaga kesehatan terhadap perlukah penempatan apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian di puskesmas Jumlah = 97 Perlu 66 68,04 Tidak Perlu 31 31,96 Dari tabel 3.11 di atas diperoleh tenaga kesehatan yang berpendapat apoteker perlu ditempatkan dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian di puskesmas mempunyai persentase sebesar 68,04. Sedangkan yang menyatakan tidak diperlukan apoteker dalam pekerjaan kefarmasian persentasenya yaitu 31,96. Responden berpendapat bahwa apoteker cukup ditempatkan di apotik dan rumah sakit, sedangkan di puskesmas cukup asisten apoteker. Adanya paradigma baru dimana pasien harus dilayani langsung oleh apoteker untuk mendapatkan obat dan informasi yang diperlukan oleh pasien agar pasien mengetahui dengan tepat cara penggunaan obat serta informasi lainnya yang dibutuhkan oleh pasien. Hal ini berarti apoteker harus berada di puskesmas untuk memberikan pelayanan yang tidak dapat digantikan oleh asisten apoteker Harianto, 2005. Setelah lebih dari 4 dekade telah terjadi kecenderungan perubahan pekerjaan kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian dari fokus semula penyaluran obat- obatan kearah fokus yang lebih terarah pada kepedulian terhadap pasien. Peran apoteker lambat laun berubah dari peracik obat compounder dan suplair sediaan Universitas Sumatera Utara farmasi kearah pemberi pelayanan dan informasi dan akhirnya berubah lagi sebagai pemberi kepedulian pada pasien. Di samping itu ditambah lagi tugas seorang apoteker adalah memberikan obat yang layak, efektif dan seaman mungkin serta memuaskan pasien. Dengan mengambil tanggung jawab langsung pada kebutuhan obat pasien individual, apoteker dapat memberikan kontribusi yang berdampak pada pengobatan serta kualitas hidup pasien. Pendekatan cara ini disebut pharmaceutical care asuhan kefarmasian; peduli kefarmasian Daris, 2006. Konsep pelayanan kefarmasian pharmaceutical care merupakan pelayanan yang dibutuhkan dan diterima pasien untuk menjamin keamanan dan penggunaan obat yang rasional, baik sebelum, selama, maupun sesudah penggunaan obat. Dari hasil survei di atas dapat dilihat bahwa secara keseluruhan pelayanan kefarmasian di puskesmas sudah cukup baik. Akan lebih optimal lagi bila pelayanan kefarmasian di puskesmas dilaksanakan oleh apoteker yang merupakan profesi yang kompeten dan memiliki wewenang dalam melakukan pekerjaan kefarmasian. Pada saat ini peran tenaga farmasi sedang mengalami pergeseran dari paradigma lama yang bersifat drug oriented ke paradigma baru yang bersifat patient oriented dengan filosofi Pharmaceutical Care pelayanan kefarmasian. Oleh karena itu tidaklah cukup apabila pelayanan kefarmasian hanya diberikan dalam bentuk penyerahan sediaan farmasi produkobat tetapi sudah harus mulai bergeser ke arah pelayanan kefarmasian pharmaceutical care. Meskipun hal ini berlawanan dengan pekerjaan apoteker beberapa tahun yang lalu namun dengan Universitas Sumatera Utara mengambil tanggung jawab langsung pada kebutuhan obat pasien, apoteker dapat memberikan kontribusi langsung yang berdampak pada pengobatan serta kualias hidup pasien Samano, 2009. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN