Implementasi Program Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM EMPHATY Medan

(1)

IMPLEMENTASI PROGRAM PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT

(PKBM) di YAYASAN EMPHATY MEDAN

Disusun

Mirza Irfandi Firhadi Sembiring

040902032

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Pendidikan non-formal sebagai bagian dari sistem pendidikan memiliki tugas sama dengan pendidikan lainnya (pendidikan formal) yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat. Layanan alternatif yang diprogramkan di luar sistem persekolahan tersebut bisa berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal sistem persekolahan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dimana data yang diperoleh dari informan dari hasil wawancara, yang kemudian diolah dan dianalisis sehingga mendapatkan gambaran mengenai keadaan sebenarnya bagaimana implementasi kegiatan yang dilakukan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan. Subjek dalam informan penelitian ini sebanyak 6 orang yang terbagi atas pengelola lembaga atau tutor dan warga belajar Kejar Paket B dan Kejar Paket C, yang menjadi informan untuk pengelola PKBM adalah pimpinan, staf, dan pekerja sosial (tutor) beserta warga belajar di PKBM EMPHATY yang berjumlah 3 orang pengelola PKBM EMPHATY beserta tutor dan yang menjadi informan dari warga belajar adalah 3 orang warga belajar Paket C serta 3 orang dari Paket B.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Implementasi Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan adalah (1) Implementasi Program Pendidikan Kesetaraan oleh PKBM EMPHATU berjalan dengan benar, hal ini dilihat dengan adanya warga belajar, tenaga pengajar (tutor) dan melakukan proses pembelajaran, (2) Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan kurang dapat perhatian terutama permasalahan dana dari pemerintah atau dinas terkait da hal ini berdampak kepada kurang maksimalnya implementasi program pendidikan kesetaraan (3) Tenaga pengajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM EMPHAT Medan memiliki loyalitas yang tinggi kepada PKBM EMPHATY Medan


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbila’lamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan hidayah serta karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Adapun skripsi ini oleh penulis diberi judul “ Implementasi Program Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM EMPHATY Medan”.

Dalam hal ini penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dilihat dari gaya bahasa maupun kedalaman materinya, hal ini dikarenakan kemampuan dan pengetahuan penulis masih sangat terbatas serta kurangnya literatur yang berhubungan dengan pembahasan dengan itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif sebagai salah satu upaya penyempurnaan skipsi ini.

Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Khairani Siregar, S.Sos, M.SP selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Seluruh Staf pengajar di Departemem Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU yang telah memberikan bekal ilmu serta kelancaran dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh teman-teman di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU yang telah banyak memberikan masukan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga atas segala bantuan dan dukungan mereka dapat menjadi amal soleh dan mendapat balasan dan Rahmad yang setimpal dari Allah SWT.

Medan, Juni 2011 Penulis,


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN Skripsi ini di pertahankan oleh :

NAMA : MIRZA IRFANDI SEMBIRING NIM : 04 0902 032

JUDUL : IMPLEMENTASI PROGRAM PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT

(PKBM) EMPHATY MEDAN.

Medan, Juni 2011

Pembimbing

(Hairani Siregar, S.Sos,MSP) NIP. 19710927 199801 2 001

Ketua Departemen

Hairani Siregar, S.Sos, M.SP NIP.19710927 199801 2 001

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Prof. Dr. Badaruddin, M.Si NIP. 19680525 199203 1 002


(5)

DAFTAR ISI

Abstrak ……….………. i

Daftar Isi ……… ii - iv BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang Maslah ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 23

1.3. Tujuan Penelitian ………... 23

1.4. Manfaat Penelitian ………... 23

1.5. Sistematika Penulisan... 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………... 26

PNF Berbasis Masyarakat ...……... 26

II.1.Konsep Tentang Implementasi Program ………... 40

II.1.1. PengertianImplementasi ... 40

II.1.2. Program ... 41

II.1.3. Implementasi Program ... 42

II.2. Konsep Pendidikan ... 43


(6)

II.2.2. Pendidikan Non Formal ... 44

II.3. Pendidikan Kesetaraan ... 45

II.3.1. Pendidikan Pengertian Kesetaraan ... 45

II.3.2. Program Pendidikan Kesetaraan ... 46

II.3.3. Tujuan Pendidikan Kesetaraan ... 47

II.3.4. Sasaran Pendidikan Kesetaraan ... 47

II.3.5. Kurikulum Pendidikan Kesetaraan ... 48

II.3.6. Pendidik dan Tenaga Kependidikan ... 49

II.3.7. Peserta Didik ... 50

II.3.8. Sarana dan Prasarana ... 51

II.3.9. Pengelolaan ... 52

II.3.10. Pembiayaan ... 54

II.3.11. Dasar Hukum ... 54

II.3.12. Teori-Teori yang Berkaitan Dengan Pendekatan Pendidikan Kesetaraan ... 55 II.4. PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) ... 56

II.5. Kerangka Pemikiran ... 57

II.6 Definisi Konsep dan Definisi Operasional ... 59

II.6.2 Definisi Operasional... 60

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 61

III.1. Jenis Penelitian ... 61


(7)

III.3. Subjek Penelitian ... 62

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 62

III.5. Teknik Analisa Data ... 64

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 65

IV.1. Sejarah Berdirinya Yayasan EMPHATY Medan ... 65

IV.2. Visi dan Misi Yayasan EMPHATY Medan ... 66

IV.3. Susunan Kepengurusan ... 67

IV.4. Struktur Organisasi ... 69

14.4.1. Struktur Organisasi Yayasan EMPHATY ... 69

IV.4.2. Struktur PKBM EMPHATY Medan ... 70

IV.5. Pogram Kerja Yayasan EMPHATY Medan ... 70

IV.6. Sasaran Program ... 74

IV.7. Lokasi Binaan ... 74

IV.8. Sarana dan Prasarana Lembaga ... 74

BAB V ANALISA DATA ... 77

V.1. Program Pendidikan Kesetaraan ... 77

V.I.1. Program Paket B ... 82

V.I.I.1. Peserta Didik ... 82

V.I.1.2. Jadual Belajar ... 88

V.I.2. Program Paket C ... 90


(8)

V.I.2.2. Jadual Belajar ... 94

V.1.2.3. Tenaga Belajar ... 94

V.2. Keterlibatan PKBM EMPHATY Medan dalam pelaksanaan program pendidikan kesetaraan ... 99 V.3. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Ujian ... 99

V.4. Mata Pelajaran dan Standart Kelulusan UNPK ... 100

V.5. Susunan Kepanitian UNPK ... 101

V.6. Pendanaan Pendidikan Kesetaraan ... 102

BAB VI PENUTUP... 105

VI.1. Kesimpulan ... 105

VI.2. Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

Pendidikan non-formal sebagai bagian dari sistem pendidikan memiliki tugas sama dengan pendidikan lainnya (pendidikan formal) yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat. Layanan alternatif yang diprogramkan di luar sistem persekolahan tersebut bisa berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal sistem persekolahan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dimana data yang diperoleh dari informan dari hasil wawancara, yang kemudian diolah dan dianalisis sehingga mendapatkan gambaran mengenai keadaan sebenarnya bagaimana implementasi kegiatan yang dilakukan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan. Subjek dalam informan penelitian ini sebanyak 6 orang yang terbagi atas pengelola lembaga atau tutor dan warga belajar Kejar Paket B dan Kejar Paket C, yang menjadi informan untuk pengelola PKBM adalah pimpinan, staf, dan pekerja sosial (tutor) beserta warga belajar di PKBM EMPHATY yang berjumlah 3 orang pengelola PKBM EMPHATY beserta tutor dan yang menjadi informan dari warga belajar adalah 3 orang warga belajar Paket C serta 3 orang dari Paket B.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Implementasi Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan adalah (1) Implementasi Program Pendidikan Kesetaraan oleh PKBM EMPHATU berjalan dengan benar, hal ini dilihat dengan adanya warga belajar, tenaga pengajar (tutor) dan melakukan proses pembelajaran, (2) Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan kurang dapat perhatian terutama permasalahan dana dari pemerintah atau dinas terkait da hal ini berdampak kepada kurang maksimalnya implementasi program pendidikan kesetaraan (3) Tenaga pengajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM EMPHAT Medan memiliki loyalitas yang tinggi kepada PKBM EMPHATY Medan


(10)

BAB I

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan non-formal sebagai bagian dari sistem pendidikan memiliki tugas sama dengan pendidikan lainnya (pendidikan formal) yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat. Layanan alternatif yang diprogramkan di luar sistem persekolahan tersebut bisa berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal sistem persekolahan. Sasaran pendidikan non-formal yang semakin beragam, tidak hanya sekedar melayani masyarakat miskin, masyarakat yang masih buta pendidikan dasar, masyarakat yang mengalami drop out dan putus pendidikan formal, masyarakat yang tidak terakses pendidikan formal seperti; suku terasing, masyarakat daerah pedalaman, daerah perbatasan, dan masyarakat pulau luar. Namun demikian masyarakat sasaran pendidikan non-formal terus meluas maju sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan lapangan kerja dan budaya masyarakat itu sendiri. Mengingat sasaran tersebut, maka program pendidikan non-formal harus terus diperluas sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perkembangan masyarakat. Pada prinsipnya perluasan kegiatan/program pendidikan non-formal harus sejalan dengan pemikiran baru tentang konsep belajar (learning), di mana belajar yang terkesan hanya berlangsung di sekolah (formal) kurang tepat lagi dan mulai bergeser ke luar setting persekolahan.


(11)

Belajar harus dipandang sama dengan “living, and living itself is a process of problem finding and problem solving”. We must learn from everything we do, we must exploit every experience as a learning experience. Every institution in our community—government on non-government agencies, stores, recreational places, organizations, churches, mosques, fields, factories, cooperatives, associations, and the like becomes resources for learning, as does every person we access to parent, child, friend, service, provider, docter, teacher, fellow worker, supervisor, minister, store clerk, and among ethars, Learning means making use of every resources-in or out of educational institutions-for our personal growth and development. Even the word is regarded as a classroom.(Knowles, 1975).

Perubahan, pengembangan dan perluasan pendidikan non-formal memberikan suatu apresiasi dan nuansa baru terhadap cara-cara pendidikan non-formal dalam menyediakan pendidikan bagi masyarakat, terutama orang dewasa, baik bagi mereka yang tidak memiliki akses kepada pendidikan formal maupun mereka yang pendidikan formalnya terbukti tidak memadai dan tidak relevan dengan kehidupan dan situasi yang berkembang di lingkungannya (masyarakat).

Proses pembangunan menuntut partisipasi jutaan orang dewasa yang terdidik, sementara lembaga pendidikan formal yang ada tidak mampu mengakses permasalahan- permasalahan pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Di daerah-daerah tertentu sejumlah penduduk menemukan bahwa sistem pendidikan persekolahan tidak mampu membekali keterampilan-keterampilan yang mereka


(12)

butuhkan untuk bersaing secara terbuka dan gamblang dalam masyarakat teknologis (Srinivasan, 1977).

Proses pendidikan itu mengembang ke luar dari sistem-sistem formal terstruktur, ke dalam suatu sistem konfigurasi baru dari suatu rangkaian pemikiran dan pengalaman yang terpisah secara melebar, dan jenis pertemuan lainnya dengan mendayagunakan fasilitas yang tersedia. Peran pendidikan non-formal sebagai komplemen, suplemen maupun substitusi pendidikan non-formal (persekolahan) merupakan suatu konfigurasi yang contextual based and life-relefant, sehingga mampu mewujudkan program/kegiatan pendidikan non-formal yang strategis dan fungsional bagi masyarakat.

Munculnya konsep masyarakat gemar belajar sepanjang hayat sebagai master concept, mendorong individu, lembaga, asosiasi, masyarakat peduli pendidikan atau badan usaha lain untuk ikut berpartisipasi dalam mengembangkan cara berpikir baru dalam merespon tantangan kebutuhan baru masyarakat tentang pendidikan dan belajar (learning). Sekolah sebagai satuan pendidikan formal tidak lagi menjadi satu-satunya wadah (wadah tunggal) dan memonopoli pendidikan (formal) persekolahan dan badan-badan bisnis tidak lagi mengurusi bisnis semata, akan tetapi sudah mulai bergeser ikut serta mengurusi pendidikan khususnya pendidikan non-formal. Lahirnya organisasi-organisasi baru berpenampilan pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan tanpa label sebagai tambahan, perluasan lanjutan dan lainnya memberi kesempatan dan kemudahan kepada masyarakat untuk belajar membelajarkan diri. Sehingga menjadi “self-supporting organizations” untuk ikut andil mengembangkan pendidikan non-formal.


(13)

Ada beberapa peran masyarakat tertentu dalam pendidikan non-formal di antaranya adalah: Masyarakat ikut membangun PKBM, sanggar-sanggar kegiatan belajar lain, magang, Kejar Usaha Produktif, Pendidikan keagamaan dalam bentuk pesantren memberikan bekal kepada santri tidak hanya dalam bentuk pendidikan agama akan tetapi sudah mulai bergeser pada pendidikan umum, dan keterampilan wirausaha sebagai bekal hidup dan kehidupannya di masyarakat. Sosialisasi usaha pendidikan secara luas melalui organisasi masyarakat dalam dunia pendidikan dikenal juga dengan sebutan “learning society”. Begitu pula bekal-bekal pendidikan dan keterampilan yang berhubungan dengan mata pencaharian lainnya. (pertanian, perikanan, industri rumah tangga).

Terciptanya masyarakat gemar belajar (learning society) memberikan nuansa baru dan ruh pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Kondisi ini dicermati sebagai suatu wujud nyata model pendidikan sepanjang hayat. Iklim tersebut mendorong terbukanya kesempatan setiap orang, organisasi dan institusi sosial, industri dan masyarakat untuk belajar lebih luas; tumbuhnya semangat dan motivasi untuk belajar mandiri (independent learning) untuk memenuhi kebutuhan sepanjang hayat, dan memperkuat keberdaya-didikan (educability) masyarakat agar selalu mendidik diri dan masyarakat di lingkungannya, adalah merupakan sisi positif dari lahirnya konsep- konsep yang mendasari pendidikan non-formal dalam membangun kemandirian bangsa.

Ciri masyarakat mandiri dapat dipahami dari tumbuhnya masyarakat gemar belajar, dan masyarakat yang mampu menciptakan berbagai peluang (pendidikan non-formal) di tempat yang mudah dijangkau dengan cara-cara yang


(14)

sesuai potensi, keterampilan dan kecakapannya. Meta konsep educability memungkinkan masyarakat (warga belajar) “fully able to take advantage of any available educational opportunities” (Saraka, 2000), lebih giat belajar dan mencari informasi baru yang berkaitan dengan kepentingan hidupnya.

I.2. Masalah dan Tantangan Pendidikan NonFormal

Permasalahan pendidikan nonformal bukan hanya sekedar persoalan masyarakat yang buta aksara, angka dan buta Bahasa Indonesia. Akan tetapi permasalahan pendidikan nonformal semakin meluas seperti: ketidak jelasan penyelenggaraan pendidikan noformal (standar-standar penjaminan mutu pendidikan nonformal), ketidak jelasan sistem insentif bagi pendidik dan tenaga kependidikan nonformal, masih banyaknya lembaga penyelenggara pendidikan nonformal yang belum profesional, kurangnya lembaga penjaminan mutu penyelenggaraan pendidikan nonformal. Permasalahan lain yang berkaitan dengan program-program pendidikan nonformal adalah masalah sasaran didik (warga belajar) yang selalu bergulat dengan: masyarakat miskin, terdiskriminasi, penganggur, masyarakat yang kurang beruntung, anak jalanan, daerah konflik, traffiking, penganggur, masyarakat pedalaman, daerah perbatasan dll. Di samping itu pula persoalan pendidikan nonformal juga terletak pada tidak adanya kepedulian kita sebagai masyarakat yang melek pendidikan terhadap keberadaan pendidikan nonformal dan kondisi masyarakat sekitar.

Mentri Sosial Bachtiar Chamsyaah menyebutkan, bahwa jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 36,1 % dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia, termasuk di dalamnya penduduk fakir miskin sebanyak 14,8 juta jiwa.


(15)

bonnieleonard.multiply.com/journal/item/5, rata-rata masyarakat miskin tersebut tidak memperoleh pendidikan yang layak bagi anak-anaknya dan dalam kondisi yang buta huruf (Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat menyebutnya dengan buta akasara, angka latin dan Bahas Indonesia atau berkeaksaraan rendah/buta aksara parsial), pengangguran, tinggal dipemukiman kumuh, daerah perbatasan, daerah pedalaman, pulau terluar, tidak terakses sekolah dll. Jumlah penduduk dunia yang butu huruf mencapai 771 juta jiwa. Pada hari anak nasional Komisi nasional perlindungan anak 11 juta Anak Indonesia buta aksara. (data 23 Juli 2009) perhatian adalah tingginya angka pengangguran baik penganggur terdidik maupun penganggur yang betul-betul tidak memiliki pendidikan pada tahun 2010 angka pengangguran terdidik bertambah 1,1 juta jiwa. Angka pengangguran di Indonesia berada pada kisaran 10 %, angka ini akan bertambah menjadi 16, 92 % apabila pemerintah jadi menaikkan BBM. www.detikfinance.com. Menarik untuk disimak bahwa struktur pengangguran terbuka angka tertinggi dihuni oleh penduduk yang tidak tamat SD, tamat SD, DO SMTP dan tamat SMTP.

Pada kondisi lain menunjukkan, bahwa terdapat kurang lebih 36.000 anak Indonesia usia Pendidikan Dasar 7-15 tahun yang orang tuanya bekerja di perkebunan kelapa sawit, ladang, dan kilang-kilang di Sabah Malaysia yang belum tersentuh Pendidikan Dasar. Dimana mereka tinggal di kantung-kantung pemukiman yang tersebar di beberapa lokasi yang terpisah satu dengan lainnya dengan jarak tempuh mulai 3 sampai dengan 12 jam perjalanan. Faktor lain yang menyebabkan mereka belum tersentuh pendidikan diakibatkan oleh kondisi keimigrasian,, demografis, geografis, sosial-budaya, ekonomi dan politik (Hasil


(16)

penelitian, Kemendiknas, 2008). Di Hongkong ada + 120.000 TKI dimana sebagian besar dari mereka tidak tamat SMP. (Kamil, 2010).

Sementara itu Dirjen PNFI baru mampu menyentuh persoalan-persoalan tersebut tidak lebih dari 15 %, seperti digambarkan pada tabel sasaran prioritas Program PNF sebagai berikut:

Tabel 1 Sasaran Prioritas Program PNF

PROGRAM PLS Sasaran Sasaran prioritas

Sasaran 2005-2009

Target Thn 2006 (orang)

PAUD 0 – 6 tahun 2 – 4 tahun 4,3 juta 1,49 juta

Buta Aksara 15 + Tahun 15 – 44 tahun 15,4 juta 450 ribu

Paket A

Paket B

Paket C

- Putus SD

- LSD-TL

- Putus SMP

- LSMP-TL

- Putus SMA

Usia s/d 15

Usia s/d 18

0,64 juta 1,2 juta 0,2 juta 90 ribu 408 ribu 23 ribu

Kursus dan life skill Penduduk tidak bekerja/miskin

Penganggur terbuka

15 + = 10,2 juta

1,5 juta 105 ribu


(17)

Dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan pendidikan itu Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Infromal telah menyusun kebijakan strategis terutama dalam menyelesaikan sasaran prioritas, program strategis itu meliputi:

1. Memperluas aksess anak usia 0-6 tahun, dengan perluasan akses PAUD; diharapkan APK PAUD mencapai 35% pada tahun 2009.

2. Memperluas kesempatan bagi anak usia sekolah 7-15 tahun yg tak terlayani melalui jalur pendidikan formal; dengan pengembangan

pendidikan layanan khusus untuk daerah terpencil, berpenduduk terpencar, bencana, konflik, dan anak jalanan melalu kejar Paket-A/B; ditargetkan pada tahun 2009 bahwa A menangani 25% putus sekolah SD; Paket-B menangani 50% lulusan SD yang tak melanjutkan dan 50% anak putus sekolah SD; sedangkan Paket-C menangani 50% lulusan SMP/MTs yang tak melanjutkan dan 25% anak putus sekolah SMA/MA.

3. Memperluas kesempatan akses bagi penduduk butaaksara usia 15 tahun ke atas; dengan perluasan akses pendidikan keaksaraan; diharapkan angka buta aksara tingal 5% pada tahun 2009.

4. Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat; di antaranya dengan pendidikan kecakapan hidup bagi anak dari keluarga miskin atau orang dewasa miskin atau pengangguran; ditargetkan pada tahun 2009 mencapai 15% anak usia >15 tahun mengikuti pendidikan kecakapan hidup.

5. Memanfaatkan secara optimal teknologi komunikasi dan informasi, termasuk untuk pendidikan nonformal.


(18)

Tantangan pendidikan nonformal bukan hanya sekedar menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas, akan tetapi tantangan utama Pendidikan Nonforamal adalah masih banyaknya masyarakat yang belum mengerti dan mengenal secara jelas tentang keberadaan dan peran pendidikan nonformal di tengah-tengah mereka. Seringkali masyarakat bertanya tentang apa itu PLS (pendidikan luar sekolah), apa itu PKBM, apalagi tentang PNF (pendidikan nonformal) sebagai istilah baru (sebutan lain bagi PLS). Berdasar pada Undang Undang sistem pendidikan nasional, PLS merupakan sub sistem dari pendidikan nasional.

Dengan rendahnya pemahaman dan partisipasi masyarakat terhadap program-program PLS, maka kondisi itu memunculkan masalah baru yaitu; sulitnya mempertahankan lembaga-lembaga penyelenggara satuan pendidikan nonformal agar tetap eksis dan profesional dalam menyediakan layanan pendidikan alternatif bagi masyarakat yang membutuhkan, banyak sekali PKBM dan penyelenggaraan satuan PNF lainnya yang bubar, karena didirikan seadanya dan menunggu bantuan dari pemerintah. Padahal kita sangat hawatir kalau PKBM, dan lembaga sejenis lainnya bubar, sehingga tidak ada lagi lembaga penyelenggara pendidikan nonformal yang dapat melayani kebutuhan pendidikan masyarakat di luar pendidikan formal. Kekahwatiran itu muncul dikarenakan masih tidak jelasnya standar-standar yang dapat dijadikan patokan bagi penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal, sulitnya dan tidak adanya pendidik yang mau membelajarkan masyarakat dan masih sedikitnya lembaga pendidikan tinggi (jurusan PLS) yang tetap eksis mengkaji keilmuan, praktik dan menciptakan model-model pembelajaran pendidikan nonformal.


(19)

Seperti diketahui, bahwa Pendidikan Nonformal bertujuan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan individual itulah yang dominan menjadi karakteristik pendidikan nonformal di negara-negara maju Barat. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang (Dunia Ketiga), pendidikan nonformal tidak sekedar bertujuan untuk melayani kebutuhan individual seperti di negara-negara maju Barat, tetapi juga untuk memenuhi tujuan-tujuan sosial (social goals) sesuai dengan misi pembangunan nasional masing-masing negara, termasuk di dalamnya misi pemberantasan buta aksara, pemberdayaan kaum perempuan, pemberdayaan masyarakat daerah-daerah tertinggal, daerah pedalaman, suku trasing, daerah perbatasan dan dipulau-pulau luar. Kesertaan menjadi warga belajar pada pendidikan nonformal yang dimaksudkan untuk memenuhi tujuan individual lazimnya atas pilihan sukarela, yaitu mengikuti suatu program atas kehendak dan pilihannya sendiri. Sedangkan kesertaan sebagai warga belajar pada program pendidikan nonformal yang tergolong bertujuan sosial (untuk memenuhi social goals) umumnya atas dasar suatu kewajiban sosial guna menyukseskan cita-cita bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Rogers, 1993: 1-2).

Berdasar pada tujuan pendidikan nonformal yang dikembangkan Rogers tersebut, maka membicarakan pendidikan nonformal bukan berarti hanya membahas pendidikan nonformal sebagai sebuah pendidikan alternatif bagi masyarakat, akan tetapi berbicara pendidikan nonformal adalah berbicara tentang konsep, teori dan kaidah-kaidah pendidikan yang utuh yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan masyarakat. Karena pendidikan nonformal sebuah layanan pendidikan yang tidak dibatasi dengan waktu, usia, jenis kelamin, ras (suku, keturunan), kondisi sosial budaya, ekonomi, agama, dan lain-lain.


(20)

Meskipun pendidikan formal merupakan komponen penting dalam pendidikan sepanjang hayat. Akan tetapi, peran pendidikan nonformal dalam rangka pelayanan pendidikan sepanjang hayat bagi masyarakat tertentu sangat dibutuhkan saat ini dan kedepan. Pendidikan nonformal menjadi bagian dari pembicaraan internasional terutama berkaitan dengan berbagai kebijakan tentang pendidikan pada era sebelum tahun 1960 dan akhir tahun 1970-an. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana kaitan antara konsep pendidikan berkelanjutan dengan konsep pendidikan sepanjang hayat. Tight (1996:68) mengajukan konsep tentang penyatuan pendidikan extention dan belajar sepanjang hayat secara utuh dan menyeluruh, sehingga untuk menyatukan itu pendidikan nonformal dianggap memiliki peran dalam ‘acknowledging the importance of education, learning and training which takes place outside recognized educational institutions‘. Begitu pula dengan yang diungkapkan Fordham (1993), menyatakan bahwa sejak tahun 1970-an, ada empat karakteristik dasar yang berkaitan dengan peran strategik pendidikan nonformal di masyarakat: a) relevan dengan kebutuhan kelompok masyarakat (orang-orang) yang tidak beruntung, b) ditujukan dan memiliki perhatian khusus pada kategori sasaran-sasaran tertentu, c) terfokus pada program yang sesuai dengan kebutuhan, d) fleksibel dalam pengorganisasian dan dalam metoda pembelajaran.

Dalam banyak negarapun pembicaraan masalah pendidikan nonformal menjadi topik-topik khusus, serta dianggap sebagai pendidikan yang mampu memberikan jalan serta pemecahan bagi persoalan-persoalan layanan pendidikan masyarakat, terutama masyarakat yang tidak terlayani pendidikan formal. Alan Rogers dalam satu bukunya menyatakan bahwa: There is a renewed interest in


(21)

non-formal education (NFE) today. And it is significant that this interest comes not so much from the so-called ‘Third World‘ (I use this term to refer to poor countries in receipt of aid from rich countries, because many other persons use it as a short-hand). The assembly recognizes that formal educational systems alone cannot respond to chalange of modern society and therefore welcomes to reinforcement by nonformal education. (Alan Rogers, 2004).

Namun demikian dalam membahas pendidikan nonformal selayaknya tidak terlepas dari konsep yang mendasari bagaimana pendidikan nonformal berkembang dengan utuh sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya, oleh karena itu keterkaitan analisis antara pendidikan nonformal dengan community learning, informal education, dan social pedagogi merupakan sesuatu hal yang tetap harus manjadi acuan.

Pembahasan secara original tentang konsep pendidikan nonformal muncul pada tahun 1968 (Coombs 1968), perkembangan pendidikan nonforml begitu pesat terutama ketika pendidikan dirasakan masih banyak kekurangan (Illich 1973), hal tersebut dirasakan tidak hanya di Negara-negara berkembang tetapi merambah sampai ke belahan dunia barat (western) juga sampai ke belahan dunia utara (northern). (Bowles dan Gintis 1976 dan kawan-kawan). Di belahan dunia barat reformasi pendidikan bergerak melalui berbagai perbedaan format, akan tetapi dalam semua perencanaan dan kebijakan-kebijakan yang diambil sangat berkaitan erat dengan pendidikan yang diperlukan bagi negara-negara berkembang mulai tahun 1968 sampai tahun 1986, pada saat itu pendidikan nonformal dirasakan sebagai obat mujarab untuk semua penyakit pendidikan yang


(22)

dirasakan di tengah-tengah masyarakat (Freire 1972 dan kawan-kawan). Berbagai lembaga pendidikan nonformal dan lembaga lain dibidang pendidikan melakukan intervensi kuat serta mendorong terjadinya perubahan di bidang pendidikan khususnya di negara-negara barat termasuk Amerika Serikat. Di Amerika Serikat perubahan pendidikan dilakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah akademik, seperti yang dilakukan di pusat-pusat penelitian, tempat konsultasi, publikasi dan laporan-laporan lainnya.

Pada banyak hal pendidikan nonformal dirasakan sebagai sebuah formula yang sangat ideal serta lebih resfect dibandingkan dengan pendidikan formal. Namun demikian kita tetap harus merasa bahwa pendidikan nonformal tetap merupakan bagian dari sistem pendidikan yang keberadaannya tidak dapat terpisahkan dengan pendidikan formal apalagi dalam konteks pendidikan sepanjang hayat. Sehingga tidak dirasakan, bahwa pendidikan nonformal lebih hebat dari pendidikan formal, atau pendidikan nonformal lebih rendah dari pendidikan formal. Namun itu harus tetap menjadi catatan penting agar pendidikan formal tidak dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat Pigozzi, menyebutkan bahwa: It could even be described as a temporary ‘necessary evil’ in situations of crisis until formal schooling could be restored (Pigozzi, 1999).

Membicarakan pendidikan nonformal seperti halnya dengan membicarakan salah satu bagian dunia yang terbagi dua secara dikotomis. Salah satu bagian tentang pendidikan formal dan pada bagian lainnya adalah pendidikan nonformal. Namun ketika membicarakan pendidikan nonformal harus sangat


(23)

hati-hati, karena ada sebagian Negara yang menerjemahkan pendidikan nonformal sesuai dengan kebijakannya masing-masing. Seperti halnya di Jepang secara implementatif pendidikan nonformal tidak terlalu dikenal secara utuh, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Masyarakat dan pemerintah Jepang menganggap bahwa pendidikan sosial (social education) itu adalah pendidikan nonformal, karena program-program yang dikembangkan social education sama dengan program-program yang dikembangkan pendidikan nonformal, seperti pendidikan untuk orang dewasa, pendidikan keterampilan dan pendidikan untuk masyarakat pada umumnya melalui Citizens’ public halls atau dikenal dengan Kominkan (community cultural learning centre).

Pada negara-negara lainpun program-program pendidikan, seperti halnya pengembangan sekolah dan perguruan tinggi, dilakukan oleh menteri pendidikan termasuk di dalamnya program (kelas) pendidikan keaksaraan bagi orang dewasa. Ada negara yang mengembangkan pendidikan nonformal oleh lembaga non pemerintah (NGOs), ada yang mengembangkan pendidikan nonformal melalui penyatuan antara pendidikan sekolah dan kegiatan-kegiatan pelatihan di masyarakat yang secara langsung dibina oleh kementrian (pemberdayaan perempuan, kesehatan, tenaga kerja, pemuda dan olah raga serta kebudayaan).

Ada juga sebagian negara yang mengembangkan pendidikan nonformal, dalam bentuk pembelajaran individual, kelompok belajar, kelompok belajar khusus perempuan, dan kelompok-kelompok bimbingan khusus, dimana kegiatan-kegiatan tersebut dikembangkan oleh lembaga-lembaga swasta, LSM, lembaga


(24)

komersial, serta berbagai lembaga sosial lainnya seperti (keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan gerakan sosial lainnya).

Sejak tahun 1986 diskusi dan debat tentang masalah pendidikan nonformal dikategorikan sebagai bagian dari sejarah panjang tentang pendidikan. Akan tetapi mulai penghujung abad 20 pembicaraan tentang dikotomi pendidikan nonformal sudah mulai berkurang baik dalam jurnal-jurnal, surat kabar maupun majalah pendidikan lainnya, sejalan dengan sudah meningkatnya pemahaman dan kebutuhan akan pendidikan nonformal di tengah-tengah masyarakat. Terutama sejak pesatnya penyelenggaraan program pendidikan nonformal bagi Negara-negara berkembang.

Sejak Jumtien Conference tahun 1990 diskusi tentang pendidikan nonformal lebih diarahkan pada masalah pendidikan untuk semua (education for all), terutama menyangkut kebijakan dan rencana pengembangan education for all bagi negara-negara berkembang, khususnya mengenai pelayanan pendidikan bagi anak-anak. Melalui konsep education for all pendidikan nonformal diharapkan mampu melayani pendidikan mulai tingkat dasar termasuk pendidikan untuk anak-anak usia sekolah sampai pada program-program alternatif untuk melayani pendidikan para pemuda, terutama dikonsentrasikan bagi para pemuda yang tidak sekolah (drop out/putus sekolah) dan tidak berada pada usia sekolah formal. Dengan digulirkannya education for all pendidikan nonformal memiliki program yang sangat luas, tidak hanya melayani pendidikan orang dewasa akan tetapi juga pemuda dan anak-anak yang tidak terlayani pendidikan formal.


(25)

Pendidikan nonformal lahir dari pemikiran tentang konsep learning society dan konsep lifelong learning. Learning society lahir dan berkembang sejalan dengan lahirnya peradaban dan pemahaman tentang nilai-nilai pengalaman (pendidikan), nilai-nilai pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan sebagai landasan hidup dan kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Pada proses itulah masyarakat saling mengenal saling belajar saling berkomunikasi dan saling menghargai diantara sesamanya. Djudju Sudjana menjelaskan dalam bukunya Pendidikan Luar Sekolah: ”….istilah pendidikan luar sekolah” telah hadir di dunia ini sama tuanya dengan kehadiran manusia yang berinteraksi dengan lingkungan di muka bumi ini. Setelah jumlah manusia makin berkembang, situasi pendidikan ini muncul dalam kehidupan kelompok dan masyarakat. Kegiatan pendidikan dalam kelompok dan masyarakat telah dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum pendidikan sekolah lahir di dalam kehidupan masyarakat. Djudju Sudjana (2000:63).

Pada konteks pemikiran bagaimana pengorganisasian dan pengelolaan pengetahuan, pengalaman sebagai sebuah standar kehidupan bermasyarakat yang lebih indigenous dan dapat diikuti serta menjadi nilai dan norma seluruh lapisan masyarakat, maka disitulah pendidikan nonformal diperlukan. Karena pendidikan nonformal mampu menyatukan proses learning society dan lifelong learning kedalam sebuah sistem yang terstruktur terorganisir dan menjadi standar dalam pemahaman dan penyampaian pengetahuan, keterampilan atau pengalaman dari individu yang satu ke individu yang lain atau dari masyarakat yang satu ke masyarakat lainnya di luar konteks pendidikan formal. Sehingga learning society dan lifelong learning dalam konsep sejarah pendidikan nonformal dijadikan


(26)

prinsip dasar dan landasan dalam proses pembelajaran dan pengembangannya. Sebagai sebuah contoh tentang lahirnya pondok pesantren, sebagai sebuah lembaga yang berdasar kepada pemikiran regenerasi Islam, bagaimana pengetahuan tentang keIslaman diturunkan dan disebarluaskan ke seluruh lapisan masyarakat melalui media da’wah atau media lainnya. Begitu pula dengan lahirnya konsep social education atau lahirnya Kominkan di masyarakat Jepang.

Berikut ini daftar para pemikir dan pencetus lahirnya konsep pendidikan nonformal baik perorangan maupun lembaga

Tabel 2. Daftar Pemikir dan Pencetus Gerakan Pendidikan Nonformal

Nama Konsep dan Pemikiran yang dikembangkan

Paulo Freire

1921-1997

Pendidikan nonformal adalah obat mujarab bagi seluruh penyakit pendidikan di masyarakat. Pemikiran dan konsep-konsepnya memberikan keleluasaan kepada pendidikan nonformal untuk tumbuh dan berkembang dalam melayani masyarakat, dan sebagai pendidikan alternatif di luar pendidikan formal.

Konsep pemikiran yang paling terkenal dilahirkan Freire adalah tentang penyadaran, dikenal dengan istilah” conscientization”. Konsep ini menggambarkan tentang penyadaran diri masyarakat terhadap lingkungannya, kesadaran diri menurutnya hanya bisa dilakukan melalui pendidikan ”pembebesan”.


(27)

currently one of the most quoted educational texts. Ivan Illich

Deschooling Society (1971), pemikirannya telah memberikan jalan bagi pembaharuan pendidikan khususnya terhadap perubahan belajar (learning revolution) di lingkungan masyarakat agar terjadi perubahan budaya. Salah satu konsepnya tentang jaringan belajar (creation of learning web) dapat dilakukan melalui peer-matching system (pengelompokkan teman sejawat). Dengan konsep- konsepnya sehingga membangkitkan pemikiran untuk melahirkan pendidikan yang lebih inovatif, kreatif, partisipatif dan demokratis.

UNESCO

1972

Dalam laporannya telah melahirkan gagasan tentang Learning To be, dimana konsepnya diambil dari pemahaman tentang lifelong learning dan learning society, sehingga lifelong learning menjadi master konsep dalam pengembangan sistem pendidikan dan khususnya pengembangan konsep pendidikan nonformal.

Phillip Coombs dan Manzoor Ahmed (1974)

Pemikiran dan konsepnya telah melahirkan strategi-strategi baru dalam meningkatkan keterampilan dan pemahaman bagi masyarakat miskin di pedesaan dalam meningkatkan kehidupan (khususnya dalam bidang ekonomi). Konsep dasar pemikiran Coombs telah melahirkan konsep tentang pendidikan nonformal, informal dan formal, yang sampai saat ini menjadi acuan utama para ahli pendidikan khususnya ahli pendidikan nonformal. Salah satu buku yang terkenal berjudul Memberantas kemiskinan melalui pendidikan nonformal. Juga beberapa tulisan lain yang berhubugan dengan peran pendidikan nonformal di masyarakat. Simkins (1976) Tipe ideal pendidikan nonformal. Pemikiran Simkins melahirkan konsep


(28)

ideal tentang bagaimana membangun dan menyiapkan pendidikan nonformal sesuai dengan kebutuhan warga belajar, mulai dari penyiapan kurikulum, tujuan pembelajaran, waktu, materi pembelajaran, sistem pembelajaran dan kontrol (pengawasan) bagi penyelenggaraan pendidikan nonformal yang lebih maju. Disamping itu pula simkins melahirkan tentang negotiated curriculum (fleksible kurikulum) antara formal dan nonformal (continuum)

ICED (The

International Council of Educational Development) 1977

Dalam laporannya telah melahirkan gagasan tentang kelompok program pendidikan nonformal yang diarahkan bagi daerah pedesaan ”Education for rural Development”. Kelompok program tersebut diarahkan sesuai dengan; tujuan belajar, warga belajar, dan jenis program: 1) pendidikan pemberantasan buta aksara, 2) pendidikan berorientasi dunia kerja, 3) pendidikan keluarga, 4) latihan usaha tani bagi pemuda dan orang dewasa, 5) latihan produktif di luar sektor pertanian, 6) latihan kewirausaan, 7) latihan kepemimpinan bagi kepala daerah dll.

Suzanne Kindervatter

(1983)

Proses Pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan pendidikan. Suzanne melahirkan 4 pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat.

1) Community organization, ialah karakteristik yang mengarah pada tujuan untuk mengaktifkan masyarakat dalam usaha meningkatkan dan mengubah keadaan sosial ekonomi mereka.

2) Self management and collaboration, yaitu, pendekatan dengan sistem penyamarataan atau pembagian wewenang di dalam hubungan kerja atau di dalam kegiatan. Karena itu perlu ada struktur organisasi yang


(29)

mendukung dan memperkecil adanya perbedaan status, serta perlu adanya pembagian peranan.

3) Participatory Approaches, yaitu pendekatan yang menekankan pada keterlibatan setiap anggota (warga belajar) dalam keseluruhan kegiatan, perlunya melibatkan para pemimpin serta tenaga-tenaga ahli setempat.

4) Education for justice, yaitu pendekatan yang menekankan pada terciptanya situasi yang memungkinkan warga belajar tumbuh dan berkembang analisisnya serta memiliki motivasi untuk ikut berperan.

Dengan melebarnya pelaksanaan pendidikan non-formal sesuai dengan kondisi dan konsep pendidikan sepanjang hayat, serta menjaga mutu dan sensitivitas pendidikan non-formal di tengah-tengah masyarakat, maka lima strategi dasar yang perlu dikembangkan melalui pendidikan nonformal adalah :

1. Pendekatan kemanusiaan (humanistic approach), masyarakat dipandang sebagai subjek pembangunan. Masyarakat diakui memiliki potensi untuk berkembang dan sedemikian rupa ditumbuhkan agar mampu membangun dirinya.

2. Pendekatan partisipatif (participatory approach), mengandung arti, bahwa masyarakat, lembaga-lembaga terkait, dan atau komunitas

dilibatkan dalam pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan masyarakat. 3. Pendekatan kolaboratif (collaborative approach), dalam pembangunan

masyarakat perlu adanya kerjasama dengan pihak lain (terintegrasi) dan terkoordinasi dan sinergi.


(30)

4. Pendekatan berkelanjutan (continuation approach) pembangunan

masyarakat dilakukan secara berkesinambungan, untuk itulah pembinaan kader yang berasal dari masyarakat adalah hal yang paling pokok.

5. Pendekatan budaya (cultural approach) penghargaan budaya dan

kebiasaan, adat istiadat yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat dalam pembangunan masyarakat adalah hal yang perlu diperhatikan. (Djudju Sudjana, 2000)

Dengan kelima strategi tersebut, maka pendidikan non-formal seperti apa yang dibutuhkan masyarakat dalam arti program pendidikan non-formal yang mampu menyentuh dan mengangkat masyarakat menjadi lebih baik dalam kehidupannya (better living) yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan (ekonomi), kesadaran akan lingkungan sosialnya, atau masyarakat yang mengerti dan memahami bagaimana membangun dirinya.

Mengacu pada prinsip dan strategi dasar yang perlu diperhatikan pendidikan non-formal dalam rangka perannya di masyarakat adalah:

1. Mengembangkan program-program pendidikan non-formal yang mampu mengembangkan masyarakat, sehingga mereka memilki daya suai (adaptability), daya lentur (flexibility), inovatif dan entrepreneurial attitudes and aptitudes.

2. Mengembangkan program-program pendidikan yang mampu mengangkat kemiskinan masyarakat pedesaan dan perkotaan (rural and urban community development), baik melalui program pendidikan keterampilan


(31)

maupun jenis program pendidikan lain yang mampu menyentuh kebutuhan nyata dalam kehidupan masyarakat (felt needs).

3. Menemukenali permasalahan-permasalahan masyarakat yang dapat dijadikan atau disentuh melalui peran-peran dan tugas-tugas pendidikan non-formal secara nyata dengan tetap menjaga orisinalitas asas pembangunan masyarakat oleh dan untuk masyarakat itu sendiri (community itself)

4. Mengembangkan program-program pendidikan non-formal dengan tetap mengacu pada teknologi pendidikan non-formal yang serba baru dan inovatif serta berbiaya murah.

Salah satu lembaga satuan pendidikan nonformal yang saat ini memberikan layanan pendidikan nonformal kepada masyarakat adalah PKBM (Cummnunity Learning Center). Jumlah PKBM di Indonesia sampai tahun 2006 mencapai 3.064, pada tahun 2010 PKBM meningkat jumlahnya mencapai 4014, dari jumlah tersebut PKBM yang terakreditasi baru sekitar 93 (2,32%) lembaga, PKBM negeri sekitar 95 (2,37%) Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Jumlah dan Kepemilikan PKBM

No. Kepemilikan/Pendiri Akreditasi Jumlah %

1 PKBM Negeri 95 2,37

2 Yayasan/Ormas 2226 55,46


(32)

4 Lembaga keagamaan/pesantran 873 21,75

5 Kerjasama lembaga asing 13 0,32

6 Perorangan 625 15,57

7 Lainnya 153 3,81

Jumlah 4014 100,00

Dirjen PNFI Direktorat Pendidikan Masyarakat 2010

Jepang memiliki Kominkan (PKBM) mandiri (independent) atau autonomous Kominkan (Kominkan yang didirikan masyarakat) mencapai 76.883, sedangkan jumlah legal kominkan atau kominkan yang dibayai pemerintah atau didirikan pemerintah kota mencapai 18.000. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan jumlah PKBM yang ada di Indonesia, begitu pula dengan fasilitas yang dimiliki di dalamnya. Kenyataan ini menunjukkan betapa kurangnya jumlah dan kualitas PKBM dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang perlu dilayani dan membutuhkan program pendidikan nonformal. Oleh Karena itu perlu terobosan baru bagi peningkatan jumlah dan kualitas PKBM ke depan, baik itu pendataan jumlah PKBM, mendorong masyarakat untuk mendirikan PKBM, melakukan akreditasi lembaga dan akreditasi program-program yang dikembangkan PKBM. Akreditasi dilakukan agar reputasi dan pencitraan PKBM ke depan lebih baik lagi. Di samping itu pula perlu adanya keseriusan pemerintah dalam mengembangkan dan membina PKBM serta lembaga satuan penyelenggaran pendidikan nonformal lainnya, terutama melalui penetepan peraturan khusus (perundangan) dalam rangka memberikan penguatan kepada lembaga-lembaga tersebut. Hal itu seperti


(33)

telah dilakukan Pemerintah Jepang terhadap Kominkan melalui shakai kyoiku atau aturan tentang life long learning promotion low tahun 1990.

Seperti dijelaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa kehadiran pendidikan nonformal (pendidikan luar sekolah), tentu saja dimaksudkan dan diharapkan untuk dapat memberikan layanan terbaik yang bermutu sehingga benar-benar bisa menjawab kebutuhan belajar masyarakat (peserta didik) yang menghajatkannya (Sanafiah Faisal, 2007). Untuk itu, diperlukan kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan yang dapat diandalkan. Karena, keberlangsungan beserta kinerja bermutu pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal akan sangat bergantung pada kemampuan dan profesionalisme mereka, lebih-lebih dalam pengorganisasian program pembelajaran di luar sistem persekolahan yang menuntut lebih banyak terobosan dan keluwesan di dalam memenuhi kebutuhan, kesempatan, dan aspirasi masyarakat sebagai peserta didik (Smith dan Offerman, 1989, 249-257; Elting, 1975: 21-22).

Tuntutan kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dalam membina dan mengembangkan pembelajaran di luar sistem persekolahan juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan pendayagunaan sumber-sumber dan peluang belajar yang memungkinkan, tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan, kesempatan, dan aspirasi peserta didik (warga belajar). Hal demikian itu mengharuskan (standar) kemampuan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal (tutor, pamong, trainers, laboran, pengelola program, penilik dikmas) yang memiliki extraordinary knowledge atau bertingkat tenaga


(34)

profesional (Wilson dan Hayes, 2000: 18). Itu menunjukkan betapa pentingnya standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal yang sejalan dengan tuntutan profesionalisasi program layanan pendidikan di luar sistem persekolahan. Hal tersebut sesuai dengan gagasan utama yang melahirkan ”spesialisasi pendidikan di luar sistem persekolahan” sebagai suatu bidang kajian ilmiah (field of study) dan bidang profesi (field of practice) tersendiri; kehadiran bidang spesialisasi ini semenjak awal memang dimaksudkan untuk memperbaiki praktik pendidikan yang berlangsung di luar sistem persekolahan, apa pun tujuannya, serta siapapun penyelenggara dan peserta didiknya (Wilson dan Hayes, 2000: 6; Courtney, 1989: 18-19).

Alasan ketertarikan penulis mengangkat judul penelitian ini disebabkan banyaknya warga belajar dari Program Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) khususnya anak-anak usia sekolah (usia antara 13- 18 tahun), program tersebut antara lain adalah Kejar Paket A atau setara SD/MI, Kejar Paket B atau setara SMP/MTsn, Kejar Paket C atau setara SMA, dan bagaimana implementasi rogram yang dijalankan oleh PKBM EMPHATY, di PKBM EMPHATY Medan yang terletak di Jl. Letjend. Jamin Ginting No.807 Medan.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang menyatakan pertanyaan-pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau dicari jalan pemecahannya. Atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan


(35)

pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah :

“ Bagaimana implementasi program yang diterapkan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMHATY Medan? .”

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah

“Untuk mengetahui implementasi program pendidikan kesetaraan yang dilakukan PKBM EMPHATY Medan”.

I.3.2. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, dapat memberikan konstribusi positif terhadap khasanah keilmuan bagi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial. 2. Secara teoritis, dapat menabah litratur sehingga dapat

mempertajam kemampuan dalam penulisan karya ilmiah, khususnya mengenai pedidikan kesetaraan

3. Secara Praktis, dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Yayasan EMPHATY dalam menjalankan program pendidikan kesetaraan kedepan.

4. Menjadi bahan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pendidikan kesetaraan


(36)

I.4. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang pengertian implementasi, program, implementasi program, Pendidikan Kesetaraan, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat EMPHATY Medan, teori-teori yang berkaitan dengan masalah dan objek yang akan diteliti

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan Tipe Penelitian, Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel, Teknik

Pengumpulan Data serta Teknik Analisa Data BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan Gambaran Umum mengenai lokasi dimana peneliti melakukan penelitian

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data dan fakta yang diperoleh dilapangan serta menganalisanya dalam penelitian.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan Kesimpulan dan Saran yang diberikan penulis setelah melakukan penelitian.


(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1.PENDIDIKAN NONFORMAL BERBASIS MASYARAKAT

Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.

Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya


(38)

kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.

Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.

Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya.

Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah. Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk


(39)

mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat

Pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.

Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.

Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah. Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.


(40)

Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutuhan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.

Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.

Sementara itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis


(41)

masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut: … as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities, determined by their personal, social, econornic and political need.” Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka.

Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi


(42)

masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.

Dalam UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan sebagai berikut :

1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.

4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dari kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta dasar dari


(43)

pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya.

Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat. Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .

Pendidikan Nonformal Berbasis Masyarakat Model pendidikan berbasis masyarakat untuk konteks Indonesia kini semakin diakui keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang digunakan bisa formal dan atau nonformal. Dalam hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan


(44)

potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis. Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.

Pinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat Menurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:


(45)

1. Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.

2. Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.

3. Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.

4. Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.

5. Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.


(46)

6. Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.

7. Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.

8. Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.

9. Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.

Dalam perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkemang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Dengan sendirinya, manajemen penndidikan


(47)

yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan lima hal (Sudjana. 1984). pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat.

Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata.

Keempat, program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan. Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan


(48)

organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.

Pendidikan Berbasis Masyarakat untuk pembangunan masyarakat Dalam upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan. Pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan

. Pengembangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila dibandingkan dengan daerah perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan, sehingga memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencoba lebih seimbang diantara keduanya. pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat tersebut menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan diorganisasi untuk memajukan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya yang dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah. Kesatuan wilayah itu bisa terdiri dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan.


(49)

Upaya pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa, daerah ataupun di tingkat nasional.Dengan demikian maka isi, kegiatan dan tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional. TR Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961).

Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka, menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan, kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka.

Tahap kedua, mereka menjajaki kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah


(50)

sesuai dengan sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama.

Tahap ketiga, mereka menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima, penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan terhadap pengaruh kegiatan itu.

Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur yang terjadi pada masyarakat.


(51)

Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat.

Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan keterlibatannya dalam pembangunan. Dengan kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975).

Dalam makna yang lebih luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pengembangan demokratisasi, dinamisasi dan modernisasi (Suryadi, 1971). Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan, berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip


(52)

keserasian diterapkan pada program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah.

Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri. Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka

Dalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.

II.2. KONSEP TENTANG IMPLEMENTASI PROGAM II.2.1. Pengertian Implementasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI edisi ketiga 2002) Implementasi sama dengan pelaksanaan atau penerapan. Pengertian implementasi secara sederhana adalah: to implent (mengimplementasikan) berarti to provide the


(53)

means for carrying out; (menyediakan sarana untuk sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu), maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai sesuatu proses melaksanakan keputusan kebijakan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit persiden. ( Wahab 1990: 50 )

Sedangkan Implementasi dalam pengertian luas, implementasi maksudnya adalah pelaksanaan dan melakukan suatu suatu program kebijaksanaan. Dan dijelaskan bahwa suatu proses interaksi diantara merancang dan menentukan sasaran yang diinginkan Cheema dan Rondinelli dalam Wibawa (1994:19)

Makna implementasi adalah:“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku dan dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”. Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Wahab (1990:51)

Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan dengan tegas mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan (Udoji dalam Wahab (1990:45))

Lebih jauh lagi proses implementasi adalah: tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok


(54)

pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan (Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (1990:51)

Proses kebijakan negara ini dengan lebih rinci, yaitu: “Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, tersebut mengindentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijaksanaan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh intansi pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata – baik yang dikehendaki atau yang tidak – dari output tersebut, dampak keputusan dipersepsikan sebagi oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting terhadap undang-undang/peraturan yang bersangkutan”. (Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (1990:54))

II.2.2. Program

Program merupakan peyelesaian dalam rangkaian kegiatan yang berisi langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai tujuan dan merupakan unsur pertama yang harus ada demi tercapainya kegiatan implementasi. Program


(55)

akan menunjang implementasi, karena dalam program tersebut telah dimuat berbagai aspek antara lain:

1. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

2. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan diambil dalam mencapai tujuan itu.

3. Adanya aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.

4. Adanya perkiran anggaran yang dibutuhkan.

5. Adanya strategi dalam pelaksanaan. (Manila, 1996:43,)

II.2.3. Implementasi Program

Unsur kedua yang harus dipenuhi dalam proses implementasi program yaitu adanya kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program, sehingga masyarakat merasa ikut dilibatkan dan membawa hasil dari program yang dijalankan, adanya perubahan dan peningkatan dalam kehidupanya. Tanpa memberikan manfaat kepada masyarakat maka program tersebut telah gagal dilaksanakan.

Berhasil atau tidaknya suatu program diimplementasikan tergantung dari unsur pelaksanaannya. Unsur pelaksanaan ini merupakan unsur ketiga. Pelaksanaan yang penting artinya, karena pelaksanaan, baik organisasi maupun perorangan bertanggung jawab dalam pengelolaan maupun pengawasan dalam proses implementasi.


(56)

Dalam tahap implementasi, eksekutif melaksanakan rencana yang tercantum dalam anggaran dalam bentuk kegiatan nyata. Setiap program yang dijalankan tentunya membutuhkan anggaran agar program berjalan dengan lancar. Anggaran merupakan kegiatan bagian dari program, dan program merupakan penjabaran dari strategic objectives dan strategic initiatives. Oleh karena itu, eksekutif harus menyadari keterkaitan erat antara implementasi, anggaran, program, strategic objectives dan stratgic intatives dan startegi mewujudkan visi organisasi.

Dengan kata lain, dalam implementasi progam, khususnya yang banyak melibatkan banyak organisasi dan instansi pemerintah atau berbagai tingkatan struktur organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yakni:

1. Pemrakarsa kebijakan atau pembuat kebijakan (the center atau pusat). 2. Pejabat-pejabat pelaksana di lapangan (the periphery).

3. Aktor-aktor perorangan di luar badan-badan pemerintahan kepada siapa program itu ditujukan, yakni kelompok sasaran (target group) Wahab (1990:49).

Dilihat dari sudut pandang pusat, maka fokus analisis implementasi kebijakasanaan itu mencakup usaha-usaha yang dilakukan oleh pejabat-pejabat atasan atau lembaga-lembaga di tingkat pusat untuk mendapat kepatuhan dari lembaga-lembaga atau pejabat-pejabat ditingkat yang lebih rendah atau daerah dalam upaya mereka untuk memberikan pelayanan atau untuk mengubah perilaku kelompok sasaran dari progam bersangkutan.


(1)

1 1 Lbg Lbg 330.000 600.000 330.000 600.000

Total biaya 01 + 02 + 03 Rp. 19.480.000

Sumber : PKBM EMPHATY Medan

Tabel 12. REKAPITULASI ANGGARAN DANA UNPK PAKET C SETARA SMU PERIODE I TAHUN 2007 KECAMATAN MEDAN

SELAYANG

NO URAIAN VOL. JUMLAH

(Rp)

TOTAL (Rp)

01 Pengisian pengiriman data calon peserta UN ke penyelenggara UN Tk. Kab/Kota

104 orang 350 36.400

02 Pengambilan Bahan UN ke Penyelnggara UN Tingkat Kab/Kota

1 kec 50.000 50.000

03 Pengiriman LJUN ke kab/Kota 1 kec 50.000 50.000 04 Operasional Penyelenggara UN 1 kec 100.000 100.000 05 Pengadaan bahan pendukung UN 1 kec 10.000 10.000 06 Pengisian kartu Peserta UN 104 orang 240 24.960 07 Pelaksanaan sosialisasi dan koordinasi

penyenggara UN

1 kec 100.000 100.000

08 Pengawasan Pelaksanaan UN di Kec. Medan Selayang

1 orang 50.000 50.000

09 Honor Pengawas UNPK Paket C IPS 10 orang 3 hari 25.000 750.000 10 Honor Panitia Kecamatan 7 orang 35.000 245.000 11 Penyusunan dan pengiriman laporan 1 lbg 50.000 50.000 12 Pengambilan blanko ijasah & SKHUN 1 lbg 50.000 50.000


(2)

1.516.360 Sumber : PKBM EMPHATY Medan

Tabel 13 REKAPITULASI ANGGARAN DANA UNPK PAKET B SETARA SMP PERIODE I TAHUN 2007 KECAMATAN MEDAN SELAYANG

NO URAIAN VOL. JUMLAH

(Rp)

TOTAL (Rp)

01 Pengisian pengiriman data calon peserta UN ke penyelenggara UN Tk. Kab/Kota

75 orang 150 11.250

02 Pengambilan Bahan UN ke Penyelnggara UN Tingkat Kab/Kota

1 kec 50.000 50.000

03 Pengiriman LJUN ke kab/Kota 1 kec 50.000 50.000 04 Operasional Penyelenggara UN 1 kec 75.000 75.000 05 Pengadaan bahan pendukung UN 1 lbg 10.650 10.650 06 Pengisian kartu Peserta UN 75 orang 100 7.500 07 Pelaksanaan sosialisasi dan koordinasi

penyenggara UN

1 kec 100.000 100.000

08 Pengawasan Pelaksanaan UN di Kec. Medan Selayang

1 orang 75.000 75.000

09 Honor Pengawas UNPK Paket C IPS 6 orang 3 hari 25.000 450.000 10 Honor Panitia Kecamatan 7 orang 20.000 140.000 11 Penyusunan dan pengiriman laporan 1 lbg 50.000 50.000 12 Pengambilan blanko ijasah & SKHUN 1 lbg 50.000 50.000

Total Rp.

1.069.400


(3)

BAB VI

PENUTUP

VI.1 KESIMPULAN

1. Implementasi program pendidikan kesetaraan oleh PKBM EMPHATY berjalan dengan benar, dengan adanya warga belajar, tenaga pengajar (tutor) dan melakukan proses belajar.

2. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat EMPAHATY Medan kurang dapat perhatian terutama masalah dana dari pemerintah atau dinas terkait. Berdampak kepada kurang maksimalnya implementasi program pendidikan kesetaraan.

3. Tenaga Pengajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat EMPHATY Medan memiliki loyalitas yang tinggi kepada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat EMPHATY Medan. Dan kualifikasi akademik sesuai standar dinas pendidikan. Namun kuantitas tutor masih kurang dilihat dari jumlah warga belajar yang ada di PKBM EMPHATY Medan.

VI.2 SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka Penulis memberikan berapa saran yang berguna bagi Pusat kegiatan belajar masyarakat EMPHATY Medan.

Adapun saran tersebut:

1. Pihak Pengelola Pusat Kegiatan belajar masyarakat EMPHATY Medan harus menambah kuantitas tutor.Memberikan gaji tutor tepat waktu dan harus lebih memperhatikan tutor.


(4)

2. Pihak pengelola harus lebih mengutamakan calon peserta didik yang menjadi pioritas sasaran pendidikan kesetaraan baik dari segi umur dan ekonomi.

3. Pihak Yayasan EMPHATY harus menambah ruangan belajar, karena ruangan sudah melebihi kapasitas dilihat dari jumlah warga belajar yang bertambah tiap tahunnya.

4. Sarana dan prasarana Yayasan demi kelancaran proses pembelajaran, seperti bangku dan buku paket untuk warga belajar.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arifin E. Zainal, Dasar-Dasar Penulisan Karangan Ilmiah, PT Grasindo : Jakarta, 2004.

Dapertemen Pendidikan, Acuan Proses Pelakasanaan Dan Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Paket B Dan Paket C, Jakarta, 2006.

Darmaningtyas, Pendidikan Yang Memiskinkan, Galang Press, Yoyakarta, 2004. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sukseskan Wajib Belajar 9 Tahun,

Jakarta, 1993.

Dewantoro, Ki Hajar. 1962. Buku Panduan Bantuan Operasional Sekolah, Yogyakarta: Taman Siswa.

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Rineka Cipta, Jakarta, 1999. Edward Willis. 2006. Total Quality Management In Education (Alih Bahasa

Ahmad Ali Riyadi). Yogyakarta: IRCiSoD.

Eti Rochaety, dkk. 2005. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertidas, LP3ES, Jakarta,1985.

Faisal, Sanapiah, (1998). Sosiologi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Kloang Klede Putra Timur.

Kartono, Kartini, Sistim Pendidikan Nasional, PT Pradanya Paramita, Jakarta, 1997

Macpherson, Stewart, Kebijaksanaan Sosial Di Dunia Ketiga, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1987

Murtinisi, Siti, Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Pauolo Freire, Resist Book, Yokyakarta, 2006.

Nasution, S. (1983). Sosiologi Pendidikan,Jemmars, Bandung


(6)

Sinaga, Roslina Et Al, Acuan Pelaksanaan Pendidikan Kesetaraan Program Paket A B C, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004.

Singarimbun, Masri, Metodologi enelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1990. Sudjana, Metode Statistika, Tarsito, Bandung, 1993.

Sudjana SF, Djudju. (1983). Pendidikan Nonformal (Wawasan-Sejarah-Azas), Theme, Bandung.

Soelaiman Joesoef dan Slamet Santosa, (1981). Pendidikan Sosial, Usaha Nasional,Surabaya

Tilaar, H.A.R (1997) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama.

Undang-undang no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Nawawi, Hardi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada Universitas Press, Yokyakarta,1991.

Sumber-sumber lain Harian global, 07 Juni 2006 Kompas, 27 Juni 2007 Kompas, 24 Agustus, 2007 Tempo Interaktif, 12 Juni 2006