Konstruksi Identitas Diri Murid pada Lembaga Pendidikan Non Formal (Studi Kasus pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan).

(1)

KONSTRUKSI IDENTITAS DIRI MURID DI LEMBAGA PENDIDIKAN NON FORMAL

(Studi Kasus pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan)

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan oleh :

ROSELINA SANTI SIAHAAN 070904078

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Konstruksi Identitas Diri Murid pada lembaga Pendidikan Non Formal (Studi kasus pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perubahan identitas informan sebelum dan sesudah bergabung di lembaga PKBM Emphaty Medan, dan juga mengenai proses interaksi keempat informan pada saat berada di PKBM Emphaty Medan.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus merupakan studi yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dimana data kualitatif yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat-kalimat, atau narasi-narasi yang diperleh dari wawancara mendalam dan observasi. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum kemudian disajikan dalam bentuk narasi. Subjek penelitian adalah murid PKBM Emphaty Medan yang masih aktif sekolah dan sudah bergabung di PKBM Emphaty Medan selama kurang lebih 1 tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa murid PKBM Emphaty memiliki konstruksi identitas diri yang baru. Perubahan identitas diri keempat informan terjadi melalui konsep pikiran (mind) yang mereka peroleh dari interaksi sosial mereka dengan orang lain yang membentuk diri (self). Kemudian pikiran (mind) dan diri (self) mereka gunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society). Perubahan identitas diri para informan juga dipengaruhi oleh cara pandang orang lain terhadap mereka yang digunakan informan sebagai kritik dan pengendalian terhadap diri melalui proses refleksi. Orang lain dalam hal ini adalah particular others (keluarga, teman, orang lain yang dekat dengan mereka) dan generalized others (orang lain secara umum). Perubahan identitas diri informan setelah bersekolah di PKBM Emphaty memiliki dampak yang positif dan negatif. Dampak positifnya mereka dapat lebih menghargai teman-temannya yang berasal dari jalanan dan yang kurang mampu, mereka juga menjadi pribadi yang lebih baik dengan konseling yang didapat di PKBM Emphaty. Sementara dampak negatifnya adalah mereka menjadi kurang disiplin, terutama dalam masalah waktu masuk sekolah karena waktu masuk sekolah yang sering tidak tepat waktu. Selain itu cara mereka berbicara juga menjadi lebih kasar dibanding dulu, karena latar belakang murid lain yang berbeda dengan mereka, seperti anak Punk, dan anak jalanan yang memiliki bahasa yang sedikit kasar dan pasaran. Selain itu, bahasa yang mereka gunakan di PKBM Emphaty bukan bahasa formal seperti di sekolah-sekolah pada umumnya.


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus, atas cintaNya yang tiada terukur dalam segenap hidup penulis, terkususnya sampai pada saat ini saat dimana penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semua ini adalah bukti nyata kasih Tuhan kepada penulis.

Skripsi ini berjudul “Konstruksi Identitas Diri Murid pada Lembaga Pendidikan Non Formal (Studi Kasus pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan)”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dengan maksud untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih kepada mama tercinta Timoria Karolina Ambarita, dan abang-abangku terkasih Anthony Victor Siahaan dan Mohan Alexander Siahaan. Terima kasih yang tak terbatas untuk semua cinta dan kasih saying, serta dukungan yang kalian berikan dalam mengisi hari-hari penulis terutama dalam penyelesaian skripsi ini. Tanpa kalian kehidupan penulis tidak akan lengkap sampai pada saat ini. Banyak tantangan yang kita lalui bersama yang menjadikannya sebuah pengalaman indah yang mendewasakan kita.


(4)

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin,M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi serta Dra. Dayana,M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas segala bantuan yang diberikan.

3. Ibu Yovita Sitepu, S.sos, M.Si selaku Dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, bimbingan dan segala bantuannya selama pengerjaan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen dan staf Pengajar yang telah mengajari dan membimbing penulis selama menjadi mahasiswi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

5. PKBM Emphaty Medan, terkusus murid yang telah menjadi informan penulis yaitu Mui, Sandy, Lilik, dan Rina yang sudah berkenan untuk membantu penulis, menyediakan waktunya serta semua yang penulis butuhkan.

6. Sahabat-sahabatku tercinta Yohana Yulianti Simbolon, Setia Witaria, Kartika SLP, Ira Simbolon, Jeng Karona, Astri Kristina, Hepi New Year, Natasia, terima kasih atas dukungan dan bantuannya, serta doa yang kalian berikan. Terima kasih juga karena telah memberi warna dalam studi penulis di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

7. Kepada teman-teman Kost,kak Sere, Hilda, kak Tethy, Kak Geth, Nani, Essy, Dita, Ruth, Yola, City Beruank, Onci terima kasih atas dukungan, motivasi, dan doa kalian semua.


(5)

8. Terima kasih juga kepada Kak Ros, Kak Icut, Kak Maya yang telah membantu penulis dalam hal surat menyurat.

9. Buat Papa yang sudah tenang disurga, ini adalah karya yang penulis persembahkan untuk Papa. Terima kasih telah menjadi Papa yang baik, semua kerinduan penulis untuk Papa.

Semoga Tuhan membalas segala bantuan, dukungan, dan doa yang telah penulis terima dari kalian semua. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Sehingga diharapkan saran dan kritik guna menyempurnakannya. Akhir kata Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2011

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 8

I.3 Pembatasan Masalah ... 9

I.4 Tujuan Penelitian ... 9

I.5 Manfaat Penelitian ... 10

I.6 Asumsi ………... 10

I.7 Kerangka Konsep ... 13

I.8 Operasionalisasi Konsep ... 18

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Teori Interaksionisme Simbolik ... 20

II.2 Tentang Diri ... 33

II.3 Pendidikan Non Formal ... 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 41

III.1.1) Gambaran Umum PKBM ... 41

III.1.2) Sejarah Berdiri PKBM Emphaty ... 61

III.1.3) Visi dan Misi Lembaga ... 63

III.1.4) Lokasi Penelitian ... 71

III.1.5) Subjek Penelitian ... 71

III.2 Paradigma dan Metodologi Penelitian ... 73

III.2.1) Paradigma Konstruktivisme ... 73

III.2.2) Metode Penelitian Kualitatif ... 73

III.2.3) Studi Kasus ... 74

III.2.4) Teknik Pemilihan Informan ... 78

III.2.5) Teknik Pengumpulan Data ... 79

III.2.6) Teknik Analisis Data ... 80

BAB IV PEMBAHASAN IV.1 Latar Belakang Informan ... 68


(7)

IV.2.1)Proses Pembentukan Identitas Diri Sebelum Masuk PKBM

Emphaty ... 91

IV.2.2)Proses Pembentukan Identitas Diri Setelah Masuk PKBM Emphaty ... 100

IV.2.3)Proses Interaksi Antara Murid dan Guru... 110

IV.2.4)Proses Interaksi Antara Murid dengan Murid... 114

IV.2.5)Interpretasi... 118

IV.2.5)Diskusi... 121

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan ... 133

V.2 Saran ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 137


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Daftar Nama Staff Pengajar Di Yayasan Emphaty ... 68 2 Rekap Peserta Didik PKBM EMPATHY... 72 3 Data Murid PKBM Emphaty yang Menjadi Informan ... 85


(9)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Konstruksi Identitas Diri Murid pada lembaga Pendidikan Non Formal (Studi kasus pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perubahan identitas informan sebelum dan sesudah bergabung di lembaga PKBM Emphaty Medan, dan juga mengenai proses interaksi keempat informan pada saat berada di PKBM Emphaty Medan.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah studi kasus. Studi kasus merupakan studi yang memusatkan diri secara intensif terhadap suatu objek tertentu dengan mempelajarinya sebagai suatu kasus. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dimana data kualitatif yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat-kalimat, atau narasi-narasi yang diperleh dari wawancara mendalam dan observasi. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum kemudian disajikan dalam bentuk narasi. Subjek penelitian adalah murid PKBM Emphaty Medan yang masih aktif sekolah dan sudah bergabung di PKBM Emphaty Medan selama kurang lebih 1 tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa murid PKBM Emphaty memiliki konstruksi identitas diri yang baru. Perubahan identitas diri keempat informan terjadi melalui konsep pikiran (mind) yang mereka peroleh dari interaksi sosial mereka dengan orang lain yang membentuk diri (self). Kemudian pikiran (mind) dan diri (self) mereka gunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society). Perubahan identitas diri para informan juga dipengaruhi oleh cara pandang orang lain terhadap mereka yang digunakan informan sebagai kritik dan pengendalian terhadap diri melalui proses refleksi. Orang lain dalam hal ini adalah particular others (keluarga, teman, orang lain yang dekat dengan mereka) dan generalized others (orang lain secara umum). Perubahan identitas diri informan setelah bersekolah di PKBM Emphaty memiliki dampak yang positif dan negatif. Dampak positifnya mereka dapat lebih menghargai teman-temannya yang berasal dari jalanan dan yang kurang mampu, mereka juga menjadi pribadi yang lebih baik dengan konseling yang didapat di PKBM Emphaty. Sementara dampak negatifnya adalah mereka menjadi kurang disiplin, terutama dalam masalah waktu masuk sekolah karena waktu masuk sekolah yang sering tidak tepat waktu. Selain itu cara mereka berbicara juga menjadi lebih kasar dibanding dulu, karena latar belakang murid lain yang berbeda dengan mereka, seperti anak Punk, dan anak jalanan yang memiliki bahasa yang sedikit kasar dan pasaran. Selain itu, bahasa yang mereka gunakan di PKBM Emphaty bukan bahasa formal seperti di sekolah-sekolah pada umumnya.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Setiap individu pada dasarnya dihadapkan pada suatu keadaan yang krisis. Keadaan krisis itulah yang menjadi tugas bagi seseorang untuk dapat dilaluinya dengan baik. Menurut Erik Erikson (Hall, Lindzey dan Champbell, 1998) pada diri remaja yang mengalami krisis, berarti menunjukkan bahwa dirinya sedang berusaha mencari jati dirinya. Yang dimaksud dengan krisis dalam hal ini adalah suatu masalah yang berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus dilalui oleh setiap individu, yang dalam kategori penelitian ini adalah remaja. Keberhasilan seorang individu dalam menghadapi krisis akan meningkatkan dan mengembangkan kepercayaan dirinya. Keberhasilan ini berarti individu tersebut mampu mewujudkan jati dirinya (self-identity) sehingga ia merasa siap untuk menghadapi tugas perkembangan. Tugas perkembangan dalam hal ini adalah tugas yang harus dilaljui oleh seorang individu sesuai dengan tahap perkembangan individu itu sendiri. Tugas perkembangan tersebut yakni, menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis, belajar bersosialisasi sebagai seseorang laki-laki maupun wanita, memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lain, remaja bertugas untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, serta memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomis (Dariyo, 2004).


(11)

Perubahan peran dan status pada diri remaja yang pada akhirnya membuka perspektif kesadaran tentang diri dan lingkungannya dipengaruhi oleh kapasitas intelektual, faktor biologis, dan faktor sosial ( dalam Steinberg, 2002, www.pdf-

finder.com/PROSES-PENCARIAN-IDENTITAS-REMAJA-MUALLAF-STUDI...html). Perkembangan identitas diri pada remaja menjadi hal yang penting karena adanya kesadaran atas interaksi, dan beberapa perubahan signifikan secara biologis, kognitif, dan sosial. Perubahan biologis selama masa pubertas membawa perubahan nyata secara fisik yang membuat remaja mendefinisikan kembali konsep diri dan hubungan sosialnya dengan orang lain. Bertambahnya kapasitas intelektual menyediakan berbagai cara pandang baru bagi remaja dalam memandang perubahan diri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Perubahan cara pandang ini juga termasuk penilaian terhadap berbagai masalah, nilai-nilai, aturan dan pilihan yang ditawarkan padanya.

Interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas memungkinkan remaja untuk memainkan berbagai peran dan status baru dalam masyarakat. Masa remaja merupakan masa dimana banyak keputusan penting menyangkut masa depan harus ditentukan, misalnya tentang pekerjaan, sekolah dan pernikahan (Steinberg, 2002:257, www.pdf-finder.com/PROSES-PENCARIAN-IDENTITAS-REMAJA-MUALLAF-STUDI...html). Para remaja diharapkan mampu membuat pilihan yang tepat tentang berbagai pilihan yang menyangkut dirinya dan orang lain. Tampaknya remaja semakin sering memikirkan pertanyaan tentang “siapakah saya sebenarnya?”, “apa yang sebenarnya saya inginkan dalam hidup?”, “kemanakah saya akan pergi?” dan berbagai pertanyaan lain yang membuka kesadaran yang lebih luas tentang dirinya (self awareness).


(12)

Pertanyaan semacam ini tampaknya tidak begitu penting dan signifikan pada masa anak-anak, namun menjadi kian umum pada masa remaja. Karena itu Santrock (2002) menganggap salah satu tugas penting yang dihadapi para remaja adalah mencari solusi atas pertanyaan yang menyangkut identitas dan mengembangkan identitas diri yang mantap/sense of individual identity. Karena itu identitas diri biasanya juga berisi harga diri seseorang/ self esteem. Konsep ini menunjukkan bahwa identitas diri merupakan sesuatu yang berperan sebagai motivator perilaku dan menyebabkan keterlibatan emosional yang mendalam dengan individu tentang apa yang dianggapnya sebagai identitas diri. Terbentuknya identitas diri pada dasarnya dipengaruhi secara intensif oleh interaksi seseorang dengan lingkungan sosialnya. Interaksi yang dilakukan oleh individu ini tidak lain adalah interaksi yang dilakukannya melalui proses komunikasi.

Dalam menciptakan identitas diri yang kuat pada diri murid maka pendidikan yang tepat adalah pendidikan yang bersifat menyeluruh dan memperhatikan berbagai segi kepribadian secara seimbang. Hal itu jelas mengindikasikan bahwa peserta didik tidak dipahami hanya sebagai objek dalam pendidikan tetapi sebagai subjek. Untuk itu, diperlukan pemahaman dari kalangan pendidik bahwa eksploitasi murid yang menjurus pada pemaksaan, intimidasi atau pemasungan ide harus segera diakhiri. Pendekatan yang digunakan pun harus bersifat multikultural dan multidimensional. Perlakuan murid sebagai pribadi yang unik dan menarik juga menjadi perhatian khusus dan keharusan untuk dipahami oleh seluruh komponen pendidik.


(13)

Tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan perubahan-perubahan yang positif di dalam diri peserta didik sehingga mereka mampu tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang memiliki identitas diri dan warga masyarakat yang efektif. Dengan memperhatikan kenyataan tersebut maka pendidikan sangat penting demi menumbuh kembangkan kemampuan murid yang lebih komplek dan mempunyai kecakapan hidup yang lebih baik. Peserta didik harus mampu menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya menunju pada pendewasaan diri.

Masa remaja menjadi perhatian khusus bagi orang tua maupun guru-guru di sekolah. Perlu diingat bahwa pada masa ini remaja akan merasa dirinya ingin bebas berbuat sesuatu sesuai dengan kehendak sendiri dan teman sebayanya. Pada masa ini tidak jarang remaja akan melanggar norma atau etika yang sudah lama terbentuk dan terkadang mereka tidak mau menerima saran dan masukan dari guru atau orang tua. Disinilah sebenarnya letak peran pendidikan untuk membantu pencarian identitas diri murid yang terkadang mulai “ hilang “ oleh arus mode atau gaya hidup.

Menurut Anita Lie (2004) dalam bukunya Cara menumbuhkan kecerdasan Anak, pada masa ini murid diberi kesempatan untuk belajar membedakan yang baik dan buruk, sehingga dikemudian hari secara bertahap dia tidak lagi membutuhkan peraturan dari orang tua karena sudah bisa menentukan yang terbaik untuk dirinya. Ini berarti murid dilatih dan disiapkan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri sejak dini agar tidak selalu tergantung dari orang tua maupun lingkungan keluarga. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran untuk membantu proses penemuan dan penyadaran murid, bukan dengan ancaman,


(14)

hujatan atau intimidasi yang dibungkus dengan kata “ wajib “ dan atau “ harus”. Setiap anak remaja tentunya juga ingin menemukan jati dirinya dengan dibantu orang sekitarnya termasuk guru agar mereka bisa menemukan konsep diri (self concept) yang akan menuntun mereka pada keberhasilan. Konsep diri (self concept) akan menjadikan pribadi lebih menarik dan sukses (http://petakonsepanakbangsa.org/2008/04/29/pembelajaran-ppkn-smp/).

Dalam buku Gunawan (2003) Born to be a Genius dikatakan bahwa untuk memahami keberadaan konsep diri (self concept) yang baik maka seseorang perlu men-set ulang atau memprogram ulang mentalnya sehingga dia akan tahu cara menggunakan atau membuat konsep diri yang akan digunakan dalam menuntun atau memenejemen dirinya. Dalam hal ini sekolah harus berani memfasilitasi segala bentuk aktifitas murid dalam rangka mencari atau menemukan dirinya sendiri sebagai makluk yang sempurna. Murid akan merasa bangga dan senang seandainya ternyata dirinya manusia yang bermartabat. Untuk itu diperlukan pendampingan dari para pendidik sehingga dalam penemuan jati dirinya murid tidak merasa digurui, penuh dengan keterpaksaan. Mereka akan merasa bangga seandainya dalam pendampingan dan penemuan jati dirinya mereka tidak tercerabut dari akar masa periodenya sebagai seorang remaja (http://petakonsepanakbangsa.org/2008/04/29/pembelajaran-ppkn-smp/).

Melihat kondisi pendidikan yang semakin lama semakin jauh dari masyarakat, maka saat ini semakin banyak pula lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi masalah pendidikan tersebut, seperti PKBM ( Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ) salah satunya.


(15)

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sebuah kasus pada lembaga pendidikan non formal, yakni Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). PKBM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan Pendidikan Non formal di Indonesia. Perkembangan dan pertumbuhan PKBM di lapisan masyarakat dewasa ini telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. PKBM secara hierarkis struktural berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Non formal dan Informal (PNFI) Kementerian Pendidikan Nasional.

Hal yang menjadi pemicu berdiri dan berkembangnya PKBM yaitu kekhawatiran terhadap tingginya angka putus sekolah yang salah satu imbas dari pelaksanaan Ujian Nasional dan rendahnya minat masyarakat awam untuk melanjutkan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga dengan keberadaannya PKBM dapat menjembatani masyarakat awam yang hendak melanjutkan pendidikan (kesetaraan) ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Saat ini angka putus sekolah setingkat SD pada 2010 sekitar 0,09 persen, sementara angka putus sekolah untuk setingkat SMP diperkirakan mencapai 0,34 persen, sedangkan angka putus sekolah tingkat SMA sebanyak 0,83 persen (www.waspadaonline.com).

PKBM adalah suatu wadah berbagai kegiatan pembelajaran masyarakat diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan budaya. PKBM merupakan salah satu lembaga pendidikan non formal yang saat ini sedang berkembang pesat dalam menjalankan peranan dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan non formal yang ada di Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Pusat_Kegiatan_Belajar_Masyarakat).


(16)

Sampai saat ini tercatat bahwa terdapat sebanyak 4690 lembaga PKBM yang ada di Indonesia (http://nilem-pkbm.dikmas.net/index.php?pg=2). Sementara itu untuk di daerah kawasan Sumatera Utara sendiri ada terdapat sebanyak 117 lembaga PKBM (http://nilem-pkbm.dikmas.net/index.php?pg=13). Salah satunya adalah PKBM Emphaty. PKBM Emphaty mendapat sambutan yang baik dari pemerintah dan instansi terkait untuk bergandengan tangan memikul harapan masyarakat guna mengantisipasi kondisi yang ada. Dengan adanya program Pendidikan Luar Sekolah (PLS) harapan sebagian masyarakat kurang mampu dapat terpenuhi baik di dalam jalur pendidikan maupun keterampilan yang kelak bisa dijadikan bekal oleh warga belajar untuk lebih mandiri, yang akhirnya tercipta manusia yang handal, kreatif, terampil dan siap bersaing dengan mereka dari jalur pendidikan formal.

Dalam penelitian ini, peneliti memilih PKBM Emphaty Medan sebagai subjek penelitian. PKBM Emphaty Medan ini adalah salah satu cabang dari PKBM yang ada di Indonesia. Peneliti memilih PKBM Emphaty Medan sebagai subjek penelitian karena berbagai alasan tertentu, diantaranya karena PKBM Emphaty Medan memiliki tujuan untuk meningkatkan pendidikan, pengetahuan/keterampilan masyarakat bidang pendidikan non formal seperti pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan, pendidikan anak-anak, dan kursus. Selain itu murid binaannya merupakan orang-orang yang berasal dari latar belakang yang bervariasi, yakni dari anak jalanan, anak-anak yang putus sekolah formal, orang-orang yang berasal dari ekonomi yang kurang mampu yang datang dari berbagai daerah di Kota Medan (http://pkbmemphaty.ads4blog.net/about/).


(17)

Dengan latar belakang yang berbeda ini, maka konstruksi identitas diri individu ataupun murid yang ada di PKBM tentu berbeda-beda pula.

Dengan demikian, dari berbagai variasi latar belakang murid-murid yang ada di PKBM Emphaty peneliti ingin melihat bagaimana konstruksi identitas diri yang ada dalam diri murid-murid tersebut. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di PKBM Emphaty sekaligus melihat sejauh mana para murid tersebut dapat menerima program-program pendidikan yang dilakukan PKBM Emphaty Medan Sumatera Utara. Dimana mereka kebanyakan dari yang putus sekolah dan bahkan kurang mendapat pendidikan karena diharuskan untuk bekerja. Yayasan ini mewujudkan keinginan masyarakat yang tidak sempat memperoleh pendidikan atau putus sekolah karena perekonomian keluarga.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konstruksi identitas diri murid di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan?

2. Bagaimana perubahan identitas diri yang terjadi pada murid yang ada pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan?

3. Bagaimana proses interaksi antara murid dengan guru di PKBM Emphaty khususnya dalam proses belajar mengajar?


(18)

I.3 Pembatasan Masalah

Agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih jelas, terarah dan tidak terlalu luas maka dilakukan pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi kasus. Peneliti menggunakan studi kasus karena studi kasus banyak mengungkapkan hal-hal yang amat detail, melihat hal-hal apa yang tidak bisa diungkapkan oleh metode lain, dan dapat menangkap makna yang ada di belakang kasus dalam kondisi objek secara natural.

b. Subjek penelitian dikhususkan pada murid di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan.

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menggambarkan konstruksi identitas diri murid di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Medan.

2. Untuk menggambarkan perubahan identitas diri yang terjadi pada murid yang ada pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Medan.

3. Untuk menggambarkan proses interaksi antara murid dengan guru di PKBM Emphaty khususnya dalam proses belajar mengajar.


(19)

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan serta memperkaya khasanah penelitian ilmu komunikasi dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan juga menambah wawasan bagi para pembaca mengenai konstruksi identitas diri pada murid.

3. Secara sosial, penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pihak guru (pengajar) dan seluruh staff lembaga pendidikan non formal Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Emphaty Medan.

I.6 Asumsi

Dalam penelitian ini, teori yang dipakai adalah teori interaksi simbolik. Ide-ide yang yang ada pada teori interaksi simbolik sangat berpengaruh dalam kajian bidang ilmu komunikasi.Teori interaksi simbolik merupakan suatu teori yang menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi. Teori yang dikemukakan oleh Mead ini merupakan teori yang menjelaskan tentang bagaimana manusia mampu untuk menggunakan simbol. Dengan kata lain, Mead menyatakan bahwa orang bertindak berdasarkan makna simbolik ( West & Turner, 2008 : 96).

Sementara itu Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa interaksi simbolik pada intinya adalah sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lainnya, menciptakan


(20)

dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, sebaliknya membentuk perilaku manusia.

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai pereceiver. Fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).

Untuk lebih jelas dalam memahami teori interaksi simbolik yang dikemukakan oleh Mead pada bukunya yang berjudul Mind, Self, and Society, perlu untuk diketahui terlebih dahulu mengenai tema dan asumsi dari teori interaksi simbolik. Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa ada tiga tema besar yang mendasari asumsi dalam teori interaksi simbolik (West & Turner, 2008 : 98-104) :

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia

Teori interaksi simbolik berpendapat bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apa pun. Tujuan dari interaksi ini adalah untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini penting karena tanpa makna yang sama, proses komunikasi akan menjadi sangat sulit.


(21)

2. Pentingnya konsep mengenai diri

Pentingnya konsep diri (self concept) menjadi tema kedua yang difokuskan pada teori interaksi simbolik. Konsep diri adalah seperangkat persepsi yang relatif stabil yang dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. Sementara itu Anita Taylor et al. (1977) mendefenisikan konsep diri sebagai “all you think and fell about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold abaut your self” (Rakhmat, 2005 : 100). Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita tentang diri kita. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah apa yang kita pandangan dan apa yang kita rasakan tentang diri kita. Dalam tema ini, teori interaksi simbolik menggambarkan individu dengan diri yang aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lain. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut Larossan dan Reitzes (1993) :

a. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.

Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. Alicia Cast (2003) menyatakan bahwa konteks sosial dan interaksi adalah suatu yang penting ketika akan membahas tentang diri.

b. Konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku.

Seperti yang dikatakan oleh Mead bahwa karena manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap. Memiliki


(22)

diri tidak sekedar hanya mengekspresikannya, tetapi juga memaksa orang untuk mengkonstruksi tindakan dan responsnya.

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat

Tema yang terakhir ini akan berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan batasan sosial. Dalam tema ini Mead dan Blumer mencoba untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah :

a. Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial.

Asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku individu.

b. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Setiap murid pada PKBM Emphaty memiliki makna tersendiri tentang keseluruhan PKBM Emphaty, baik itu guru (staf pengajar), sistem belajar, dan yg lainnya. Saat mereka berinteraksi satu sama lain, mereka mulai memiliki makna yang sama terhadap PKBM Emphaty.

I.7 Kerangka Konsep

Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak yang dibentuk dengan mengeneralisasikan objek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan (Kriyantono, 2008: 17). Selain itu konsep juga merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin, 2005: 73). Jadi, konsep merupakan sejumlah cirri atau standar umum suatu objek.


(23)

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

1.7.1) Identitas Diri

Siapakah aku? Apakah aku? Apa yang aku lakukan dalam hidup? Apa yang berbeda padaku? Bagaimana aku melakukan semuanya sendiri? Seluruh pertanyaan ini mencerminkan pencarian identitas. Identitas adalah potret diri. Pada level yang paling minimum, identitas terdiri dari komitmen terhadap arah karir, ideologis, dan orientasi seksual.

Kita merangkai bagian ini untuk membentuk kedirian kita selama kita berada di dunia sosial. Menyatukan komponen identitas ini bisa menjadi proses yang panjang dan sulit, dengan melibatkan penolakan atau penerimaan berbagai “peran” dan “wajah”. Perkembangan identitas terjadi bertahap dan sedikit demi sedikit. Keputusan yang diambil tidak hanya sekali dan bersifat final, tetapi harus diambil berulang kali. Perkembangan identitas tidak berlangsung dengan rapi, dan juga tidak berlangsung dengan tiba-tiba (Santrock, 2007 : 68-69).

Pertanyaan mengenai identitas muncul sebagai kekhawatiran yang umum dan hampir universal pada masa remaja. Erik Erikson adalah orang yang pertama kali memahami seberapa sentralnya pertanyaan ini dalam memahami perkembangan remaja. Anggapan bahwa identitas adalah aspek kunci dari perkembangan remaja merupakan hasil dari analisis dan pemikiran Erikson. Idenya memunculkan berbagai insight tentang pemikiran dan perasaan yang dialami para remaja. Pertanyaan mengenai identitas ini akan muncul selama rentang kehidupan, tetapi akan menjadi sangat penting pada remaja. Menurut Erikson, remaja dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sangat banyak. Ketika mereka mulai menyadari mereka akan bertanggung jawab terhadap diri mereka


(24)

sendiri dan kehidupan mereka, remaja mulai mencari hidup macam apakah yang akan mereka jalani (Santrock, 2007 : 69-71)

Remaja akan mencari identitas diri, mencoba berbagai peran dan kepribadian dalam lingkungan dan kebudayaan mereka. Sangat penting bagi orang dewasa untuk memberikan waktu dan kesempatan pada remaja untuk mengeksplorasi berbagai peran dan kepribadian yang berbeda. Kebanyakan remaja kemudian akan membuang peran-peran yang tidak diinginkan. Anak muda yang sukses dalam menghadapi konflik identitas ini akan muncul dengan diri yang baru yang fresh dan dapat diterima. Remaja yang belum sukses dalam menghadapi krisis ini akan mengalami apa yang disebut identity confusion. Kebingungan ini bisa mengakibatkan dua kemungkinan, individu menarik diri dan mengisolasi diri mereka dari teman dan keluarga, atau menenggelamkan diri mereka di lingkungan pergaulan sehingga kehilangan identitas mereka dalam keramaian.

Meskipun pertanyaan mengenai identitas ini menjadi sangat penting selama masa remaja, pembentukan identitas tidak dimulai atau berhenti pada masa ini saja. Yang penting dari perkembangan identitas pada masa remaja, terutama masa remaja akhir, adalah untuk pertama kalinya perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan perkembangan sosioemosional sampai pada satu titik dimana individu dapat memilah-milah dan mensintesiskan identitas dan identifikasi kanak-kanak untuk mengkonstruksi jalur yang dapat digunakan untuk mencapai kedewasaan. Beberapa keputusan pada amasa remaja mungkin terlihat membingungkan. Meskipun begitu, selama masa remaja ini, keputusan-keputusan


(25)

tersebut akan membentuk inti dari arti individu tersebut sebagai manusia yang biasa disebut dengan identitasnya.

Bagaimana individu pada masa remaja melalui proses pembentukan identitas? Apakah yang menentukan status identitas seseorang? Berikut ada empat status identitas :

1. Identity diffusion, individu yang belum mengalami krisis, dan belum membuat komitmen. Tidak saja mereka belum memutuskan mengenai pilihan pekerjaan atau ideologis, tetapi mereka juga tidak menunjukkan minat terhadap masalah tersebut.

2. Identity foreclosure, individu yang sudah membuat komitmen, tetapi belum mengalami krisis. Hal ini paling sering terjadi ketika orang tua memaksa komitmen tertentu pada anak remaja mereka, biasanya dengan cara otoriter, sebelum remaja memiliki kesempatan mengeksplorasi berbagai pendekatan, ideologi, dan karir.

3. Identity moratorium, individu yang tengah berada pada masa krisis tetapi belum memiliki komitmen atau kalaupun ada masih sangat kabur.

4. Identity achievement, individu yang sudah melalui krisis dan sudah sampai pada sebuah komitmen (Santrock, 2007 : 69-71).


(26)

1.7.2) Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal adalah pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis. Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan non formal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan non formal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan perhatian terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain.

Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat


(27)

adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi (http://pendidikan.radensomad.com/pengertian-pendidikan-non formal.html).

I.8 Operasionalisasi Konsep

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa terdapat tiga konsep kunci dalam interaksi simbolik yang dikemukakan oleh George Herbert Mead : 1. Mind : Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang

dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran.

2. Self : Untuk mempunyai diri, individu harus mampu mencapai keadaan “di luar dirinya sendiri” sehingga mampu mengevaluasi diri sendiri, mampu menjadi objek bagi dirinya sendiri. Untuk berbuat demikian, individu pada dasarnya harus menempatkan dirinya sendiri dalam bidang pengalaman yang sama dengan orang lain. Tiap orang adalah bagian penting dari situasi yang dialami bersama dan tiap orang harus memperhatikan diri sendiri agar mampu bertindak rasional dalam situasi tertentu. Dalam bertindak rasional ini mereka mencoba memeriksa diri sendiri secara impersonal, objektif, dan tanpa emosi. Dalam diri informan akan dijabarkan konsep I dan Me.


(28)

3. Society : Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengeruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri.


(29)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II. 1 Teori Interaksionisme Simbolik

Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik, diantaranya James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, William I.Thomas, dan George Herbert Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling populer sebagai perintis dasar teori tersebut. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi professor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni : Mind, Self , and Society (1934) yang diterbitkan tak lama setelah Mead meninggal dunia. Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para mahasiswanya, terutama Herbert Blumer. Justru Blumer-lah yang menciptakan istilah “interaksi simbolik” pada tahun (1937) dan mempopulerkannya di kalangan komunitas akademis (Mulyana, 2001 : 68)

Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang merupakan cirri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer menyatukan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, dan juga diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey, William I. Thomas, dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001 : 68).


(30)

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah yang merujuk pada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut Natanson, pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjekif terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Ia mengakui bahwa George Herbet Mead, William I.Thomas, dan Charles H. Cooley, selain mazhaberopa yang dipengaruhi Max Weber adalah representasi perspektif fenomenologis ini. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksi simbolik dan etnometodologi (Mulyana, 2001:59).

Selama awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fenomenologisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dan 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke [ermukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun 1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik sperti Howard S.Becker dan Erving Goffman menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dan menawarkan pandangan alternatif yang sangat memilkat mengenai sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat (Mulyana, 2001:59).

Menurut Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relative homogen, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mahzab berdasarkan akar historis dan intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme


(31)

simbolik tersebut adalah mahzab Chicago, Mahzab Iowa, Pendekatan Dramaturgis, dan Etnometodologi. Mazhab Chicago dan Dramaturgis tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji. Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi mereka (Mulyana, 2001:59-60).

Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme simbolik, khususnya dari George Herbert Mead, seperti teori etnometodologi dari Harold Garfinkel yang juga berpengaruh di Amerika, serta teori fenomenologi dari Alfred Schutz yang berpengaruh di eropa, sebenarnya berada di bawah teori tindakan sosial yang dikemukakan filsuf dan sosiolog Jerman, Max Weber (Mulyana, 2001:59-60).

Sebagaimana diakui Paul Rock, interaksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di eropa abad ke-19, meskipun interaksionisme simbolik tidak punya hak waris atasnya atau dianggap sebagai tadisi ilmiah tersendiri. Dengan kata lain, George Herbert Maead tidaklah secara harfiah mengembangkan teori Weber atau bahwa teori Mead diilhami oleh teori Weber. Hanya memang ada kemiripan dalam pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai tindakan manusia. Pemikiran Mead sendiri diilhami beberapa pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme. Ada kemiripan antara pandangan Mead dengan pandangan Schutz. Sejumlah interaksionis memang menekankan dimensi fenomenologis dengan mensintesiskan karya mereka dengan gagasan Alfred Schutz dan para pengikutnya (Mulyana, 2001:59-60).


(32)

Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan disini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut. Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya (Mulyana, 2001:61).

Sedangkan interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada diluar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksi lah yang dianggap sebagai variable penting yang menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat.

Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Senada dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz, pemahaman atas tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain (Mulyana, 2001:61-62).


(33)

Interaksionisme simbolik Mazhab Iowa menggunakan metode saintifik (positivistik) dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukum-hukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat diuju secara empiris, sementara Mazhab Chicaga menggunakan pendekatan humanistik. Dan Mazhab yang populer digunakan adalah Mazhab Chicago (Mulyana, 2001:69).

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orag lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanyalah berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase “definisi situasi” , “realitas terletak pada mata yang melihat” dan “bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik (Mulyana, 2001:70).

Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society (Mulyana, 2001: 68).


(34)

Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu, pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama “pikiran” dan “diri” timbul dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi interaksionisme simbolik (Elvinaro, 2007: 136)

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual, fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44).

Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Oleh karena individu akan terus berubah maka masyarakat pun akan


(35)

berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59). Jadi, pada intinya, bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap sebagai variabel penting dalam menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan dengan orang lain, kita lebih dapat memahami diri kita sendiri dan juga pengertian yang lebih baik akan pesan-pesan yang kita dan orang lain kirim dan terima (West, 2008: 93)

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 68-70).


(36)

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu sama lain. Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi.

Mead adalah pemikir yang sangat penting dalam sejarah interaksionisme simbolik. Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) mengatakan bahwa ada tiga tema besar yang mendasari asumsi dalam teori interaksi simbolik (West & Turner, 2008 : 98-104) :

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia

a. Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain terhadap mereka.

b. Makan yang diciptakan dalam interaksi antar manusia. c. Makna dimodofikasi melalui proses interpretif.


(37)

2. Pentingnya konsep mengenai diri

a. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.

b. Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku. 3. Hubungan antara individu dan masyarakat

a. Orang dan kelompok- kelompk dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial. b. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Karya tunggal Mead yang amat penting dalam hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Mind, Self dan Society. Mead megambil tiga konsep kritis yang diperlukan dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menyusun sebuah teori interaksionisme simbolik. Dengan demikian, pikiran manusia (mind), dan interaksi sosial (diri/self) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) (Elvinaro, 2007:136).

1. Pikiran (Mind)

Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Jadi pikiran juga didefinisikan secara fungsional ketimbang secara substantif. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran.


(38)

Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir tertentu, dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa yang kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah (Ritzer & Goodman, 2004:280).

2. Diri (Self)

Banyak pemikiran Mead pada umumnya, dan khususnya tentang pikiran, melibatkan gagasannya mengenai konsep diri. Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Diri mensyaratkan proses sosial yakni komunikasi antar manusia. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas dan antara hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah diri berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak sosial.

Diri berhubungan secara dialektis dengan pikiran. Artinya, di satu pihak Mead menyatakan bahwa tubuh bukanlah diri dan baru akan menjadi diri bila pikiran telah berkembang. Di lain pihak, diri dan refleksitas adalah penting bagi perkembangan pikiran. Memang mustahil untuk memisahkan pikiran dan diri karena diri adalah proses mental. Tetapi, meskipun kita membayangkannya sebagai proses mental, diri adalah sebuah proses sosial. Dalam pembahasan


(39)

mengenai diri, Mead menolak gagasan yang meletakkannya dalam kesadaran dan sebaliknya meletakkannya dalam pengalaman sosial dan proses sosial.

Dengan cara ini Mead mencoba memberikan arti behavioristis tentang diri. Diri adalah di mana orang memberikan tanggapan terhadap apa yang ia tujukan kepada orang lain dan dimana tanggapannya sendiri menjadi bagian dari tindakannya, di mana ia tidak hanya mendengarkan dirinya sendiri, tetapi juga merespon dirinya sendiri, berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana orang lain menjawab kepada dirinya, sehingga kita mempunyai perilaku di mana individu menjadi objek untuk dirinya sendiri. Karena itu diri adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh di mana individu adalah bagiannya.

Mekanisme umum untuk mengembangkan diri adalah refleksivitas atau kemampuan menempatkan diri secara tak sadar ke dalam tempat orang lain dan bertindak seperti mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain memeriksa diri mereka sendiri. Seperti dikatakan Mead :

“Dengan cara merefleksikan, dengan mengembalikan pengalaman individu pada dirinya sendiri keseluruhan proses sosial menghasilkan pengalaman individu yang terlibat di dalamnya; dengan cara demikian, individu bisa menerima sikap orang lain terhadap dirinya, individu secara sadar mampu menyesuaikan dirinya sendiri terhadap proses sosial dan mampu mengubah proses yang dihasilkan dalam tindakan sosial tertentu dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial itu”

Diri juga memungkinkan orang berperan dalam percakapan dengan orang lain. Artinya, seseorang menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya mampu menyimak apa yang sedang dikatakan dan menentukan apa yang akan dikatakan selanjutnya.


(40)

Untuk mempunyai diri, individu harus mampu mencapai keadaan “di luar dirinya sendiri” sehingga mampu mengevaluasi diri sendiri, mampu menjadi objek bagi dirinya sendiri. Untuk berbuat demikian, individu pada dasarnya harus menempatkan dirinya sendiri dalam bidang pengalaman yang sama dengan orang lain. Tiap orang adalah bagian penting dari situasi yang dialami bersama dan tiap orang harus memperhatikan diri sendiri agar mampu bertindak rasional dalam situasi tertentu. Dalam bertindak rasional ini mereka mencoba memeriksa diri sendiri secara impersonal, objektif, dan tanpa emosi.

Tetapi, orang tidak dapat mengalami diri sendiri secara langsung. Mereka hanya dapat melakukannya secara tak langsung melalui penempatan diri mereka sendiri dari sudut pandang orang lain itu. Dari sudut pandang demikian orang memandang dirinya sendiri dapat menjadi individu khusus atau menjadi kelompok sosial sebagai satu kesatuan. Seperti dikatakan Mead, hanya dengan mengambil peran orang lainlah kita mampu kembali ke diri kita sendiri (Ritzer & Goodman, 2004:280-282).

3. Masyarakat (Society)

Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri. Sumbangan


(41)

terpenting Mead tentang masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri.

Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata sosial (social institutions). Secara luas, Mead mendefinisikan pranata sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas” atau “kebiasaan hidup komunitas”. Secara lebih khusus, ia mengatakan bahwa, keseluruhan tindakan komunitas tertuju pada individu berdasarkan keadaan tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu pula, terdapat respon yang sama dipihak komunitas. Proses ini disebut “pembentukan pranata”.

Pendidikan adalah proses internalisasi kebiasaan bersama komunitas ke dalam diri aktor. Pendidikan adalah proses yang esensial karena menurut pandangan Mead, aktor tidak mempunyai diri dan belum menjadi anggota komunitas sesungguhnya sehingga mereka tidak mampu menanggapi diri mereka sendiri seperti yang dilakukan komunitas yang lebih luas. Untuk berbuat demikian, aktor harus menginternalisasikan sikap bersama komunitas.

Namun, Mead dengan hati-hati mengemukakan bahwa pranata tak selalu menghancurkan individualitas atau melumpuhkan kreativitas. Mead mengakui adanya pranata sosial yang “menindas, stereotip, ultrakonservatif” yakni, yang dengan kekakuan, ketidaklenturan, dan ketidakprogesifannya menghancurkan atau melenyapkan individualitas. Menurut Mead, pranata sosial seharusnya hanya menetapkan apa yang sebaiknya dilakukan individu dalam pengertian yang sangat luas dan umum saja, dan seharusnya menyediakan ruang yang cukup bagi individualitas dan kreativitas. Di sini Mead menunjukkan konsep pranata sosial yang sangat modern, baik sebagai pemaksa individu maupun sebagai yang


(42)

memungkinkan mereka untuk menjadi individu yang kreatif (Ritzer & Goodman, 2004:287-288).

II.2 Tentang Diri

Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang lain, kita juga mempersepsi diri kita. Diri kita bukan lagi personal penanggap, tetapi personal stimuli sekaligus. Bagaimana bisa terjadi, kita menjadi subjek dan objek persepsi sekaligus? Diri (self) atau kedirian adalah konsep yang sangat penting bagi teoritisi interaksionisme simbolik. Rock menyatakan bahwa “diri merupakan skema intelektual interaksionis simbolik yang sangat penting. Seluruh proses sosiologis lainnya, dan perubahan di sekitar diri itu, diambil dari hasil analisis mereka mengenai arti dan organisasi (Ritzer & Goodman, 2004: 295).

Dalam upaya memahami konsep diri ini di luar formulasi Mead aslinya, pertama-tama kita harus memahami pemikiran tentang cermin diri yang dikembangkan oleh Charles h. Cooley. Cooley mendefinisikan konsep cermin diri (looking glass self) sebagai :

“Imajinasi yang agak defenitif mengenai bagaimana diri seseorang yakni, gagasan yang ia sediakan yang muncul dalam pikiran tertentu dan semacam perasaan diri seseorang yang ditentukan oleh sikap terhadap hubungan pikiran dan perasaan dengan pikiran orang lain. Jadi, dalam imajinasi, kita merasakan dalam pikiran orang lain beberapa pemikiran tentang penampilan kita, sikap kita, tujuan kita, perbuatan kita, karakter kita, teman-teman kita, dan lain-lain, dan berbagai hal yang dipengaruhi olehnya”

Menurut Charles Horton Cooley, kita melakukannya dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain, dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking glass self ( cermin diri), seakan-akan kita menaruh cermin di


(43)

depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain, kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya, kita merasa wajah kita jelek. Kedua, ita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa, orang mungkin merasa sedih atau malu (Rakhmat, 2007:99).

Konsep cermin diri Cooley dan konsep diri Mead sangat berpengaruh terhadap pengembangan konsep diri teoritis interaksionisme simbolik modern. Blumer mendefinisikan diri dalam pengertian yang sangat sederhana: “ apa saja yang diketahui orang lain”. Itu berarti bahwa hanya manusia yang dapat menjadikan tindakannya sendiri sebagai objek. Ia bertindak terhadap dirinya sendiri dan membimbing dirinya sendiri dalam tindakannya terhadap orang lain atas dasar pemikiran dia menjadi objek bagi dirinya sendiri. Diri adalah sebuah proses, bukan benda. Blumer menjelaskan, diri membantu manusia bertindak tak hanya sekedar memberikan tanggapan semata atas stimuli dari luar.

Proses penafsiran terdiri dari dua langkah berbeda. Pertama, aktor menunjukkan ke dirinya sendiri sesuatu yang akan ia lakukan. Ia menunjukkan kepada dirinya sendiri sesuatu yang telah mempunyai arti. Interaksi dengan diri sendiri ini adalah sesuatu yang lain dari elemen-elemen psikologis saling mempengaruhi. Ini adalah sebuah contoh keterlibatan seseorang dalam proses komunikasi dengan dirinya sendiri. Kedua, berdasarkan proses komunikasi dengan diri sendiri ini, penafsiran menjadi persoalan pengelolaan makna. Aktor memilih, memeriksa, menunda, mengelompokkan ulang dan mengubah arti dilihat dari situasi di mana ia ditempatkan dan arah tindakannya.


(44)

II.2 Identitas Diri

Perkembangan identitas diri pada remaja menjadi hal yang penting karena adanya kesadaran atas interaksi beberapa perubahan signifikan secara biologis, kognitif, dan sosial. Perubahan biologis selama masa pubertas membawa perubahan nyata secara fisik yang membuat remaja mendefinisikan kembali konsep diri dan hubungan sosialnya dengan orang lain. Bertambahnya kapasitas intelektual menyediakan berbagai cara pandang baru bagi remaja dalam memandang perubahan diri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya. Perubahan cara pandang ini juga termasuk penilaian terhadap berbagai masalah, nilai-nilai, aturan dan pilihan yang ditawarkan padanya. Interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas memungkinkan remaja untuk memainkan berbagai peran dan status baru dalam masyarakat.

Masa remaja merupakan masa di mana banyak keputusan penting menyangkut masa depan harus ditentukan, misalnya tentang pekerjaan, sekolah dan pernikahan (Steinberg, 2002 : 257). Para remaja diharapkan mampu membuat pilihan yang tepat tentang berbagai pilihan yang menyangkut dirinya dan orang lain. Di saat masa remaja akan sering timbul pemikirkan tentang “siapakah saya sebenarnya?”, “apa yang sebenarnya saya inginkan dalam hidup?”, “kemanakah saya akan pergi?” dan berbagai pertanyaan lain yang membuka kesadaran yang lebih luas tentang dirinya (self awareness). Pertanyaan semacam ini tampaknya menjadi kian umum dan intens pada masa remaja. Karena itu Santrock menganggap salah satu tugas penting yang dihadapi para remaja adalah mencari solusi atas pertanyaan yang menyangkut identitas dan mengembangkan identitas diri mereka (sense of individual identity) (Santrock, 2002:340).


(45)

Istilah identitas diri dipakai secara beragam oleh orang awam maupun para ahli. Berikut merupakan rangkuman berbagai pengertian identitas diri dari para ahli, antara lain :

a. Identitas diri adalah konsep yang digunakan oleh orang-orang untuk menyatakan tentang siapakah mereka, orang macam apa mereka dan bagaimana mereka berhubungan dengan orang lain (Hogg & Abraham).

b. Identitas diri merujuk pada cara yang digunakan oleh individu dan kelompok dilihat dari hubungan sosial mereka dengan kelompok lain (Jenkis).

c. Identitas diri adalah pengertian dan harapan yang relative spesifik dan stabil tentang diri (Wendt).

d. Identitas diri didefinisikan sebagai komitmen dan identifikasi yang menyediakan kerangka yang memungkinkan seseorang untuk mencoba memilih, mengevaluasi apa yang baik, penting, memungkinkan dilakaukan atau apa yang pantas dan tepat atau sebaliknya (Taylor).

e. Identitas diri adalah cara yang digunakan seseorang dalam menampilkan dirinya sebagai individu yang berbeda atau khas dibandingkan orang lain.

Fearon menyimpulkan tiga pengertian dasar yang sering digunakan oleh para ahli dalam mendefinisikan identitas diri, yaitu :

a. Keanggotaan dalam sebuah komunitas yang menyebabkan seseorang merasa terlibat, termotivasi, berkomitmen dan menjadikannya rujukan atau pertimbangan dalam memilih dan memutuskan sesuatu berdasarkan hal yang normatif. Terbentuknya identitas diri pada dasarnya dipengaruhi secara intensif oleh interaksi seseorang dengan lingkungan sosial. Identitas diri yang


(46)

digunakan seseorang untuk menjelaskan tentang diri biasanya juga berisikan identitas sosial.

b. Identitas diri juga merujuk pada konsep abstrak, relatif dan jangka panjang yang ada dalam pikiran seseorang tentang siapa dirinya, menunjukkan eksistensi dan keberhargaan serta membuat dirinya menjadi “seseorang”. Karena itu identitas diri biasanya juga berisi harga diri seseorang (self esteem). Konsep ini menunjukkan bahwa identitas diri merupakan sesuatu yang berperan sebagai motivator perilaku dan menyebabkan keterlibatan emosional yang mendalam dengan individu tentang apa yang dianggapnya sebagai identitas diri.

c. Identitas diri bukan hanya terdiri sesuatu yang ‘terbentuk’ tetapi juga termasuk juga potensi dan status bawaan sejak lahir, misalnya jenis kelamin dan keturunan. Berdasarkan beberapa pengertian identitas diri atas, dapat disimpulkan bahwa identitas diri merupakan sebuah terminologi yang cukup luas yang dipakai seseorang untuk menjelaskan siapakah dirinya. Identitas diri dapat berisi atribut fisik, keanggotaan dalam suatu komunitas, keyakinan, tujuan, harapan, prinsip moral atau gaya sosial. Meski seringkali terbentuk secara tidak sadar, namun identitas diri merupakan sesuatu yang disadari dan diakui individu sebagai sesuatu yang menjelaskan tentang dirinya dan membuatnya berbeda dari orang lain.

Erikson menyebutkan istilah pencarian identitas diri sebagai sebuah upaya untuk meneguhkan suatu konsep diri yang bermakna, merangkum semua pengalaman berharga di masa lalu, realitas yang terjadi termasuk juga aktivitas yang dilakukan sekarang serta harapan di masa yang akan datang menjadi sebuah


(47)

kesatuan gambaran tentang ‘diri’ yang utuh, berkesinambungan dan unik. Dalam istilah Erikson, identitas diri merupakan sebuah kondisi psikologis secara keseluruhan yang membuat individu menerima dirinya, memiliki orientasi dan tujuan dalam mengarahkan hidupnya serta keyakinan internal dalam mempertimbangkan berbagai hal.

it’s a sense of well being, a feeling of ‘being at home’ in one’s body a sense of knowing where one is going and an inner assuredness of recognition from those who count. It’s sense of sameness trough the time and continuity between the past and future

Sedangkan menurut Atkinson upaya mencari identitas diri mencakup proses menentukan keputusan apa yang penting dan patut dikerjakan serta merumuskan standar tindakan dalam mengevaluasi perilaku dirinya dan perilaku orang lain, termasuk di dalamnya perasaan harga diri dan kompetensi diri. Menurut definisi ini identitas diri merupakan suatu mekanisme internal yang mampu menyediakan kerangka pikir untuk mengarahkan seseorang dalam menilai dirinya sendiri dan orang lain serta menunjukkan perilaku yang perlu dilakukan atau tidak dilakukan dalam kehidupan.

Istilah identitas diri dalam lingkup psikologi perkembangan menurut Grotevant biasanya merujuk pada dua pengertian utama. Pertama, identitas diri digunakan untuk menjelaskan perpaduan antara karakteristik kepribadian dan gaya sosial yang digunakan seseorang untuk menjelaskan dirinya serta bagaimana orang lain mengakui dirinya. Identitas diri menghubungkan antara kepribadian dalam konteks rentang waktu, pengalaman dan situasional. Kedua, identitas diri merujuk pada perasaan subjektif dari kepribadian seseorang secara keseluruhan dan kesinambungan sepanjang kehidupan. Jadi pengertian identitas diri terdiri dari


(48)

beberapa konsep yang mencakup interaksi antara kepribadian individu, hubungan sosial, kesadaran subjektif, dan konteks eksternal.

II.3 Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal adalah sebuah yang dijadikan sebagai jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis. Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan non formal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan non formal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan perhatian


(49)

terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain.

Pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja. Pendidikan kesetaraan meliputi Paket A, Paket B dan Paket C, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti:Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembaga kursus lembaga pelatihan,kelompok belajar, majelis taklim, sanggar, dan lain sebagainya, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan pesertadidik. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_non formal).


(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian III.1.1 Gambaran Umum PKBM a. Lahirnya PKBM di Indonesia

Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) hadir di Indonesia di tengah-tengah kondisi krisis sosial ekonomi nasional pada tahun 1998. Kehadiran PKBM sebenarnya memiliki latar belakang yang cukup panjang. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan formal dan sistem persekolahan ternyata tidak cukup untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, tingginya tingkat buta aksara bagi orang dewasa, tingginya tingkat pengangguran, tingginya tingkat kemiskinan dan sebagainya.

Di pihak lain, kebijakan pemerintah dalam pembangunan pendidikan sangat menitikberatkan pada pendidikan formal dan sistem persekolahan. Adapun perhatian pada pendidikan non formal masih sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran dan fasilitas maupun berbagai sumberdaya lainnya yang jauh lebih besar dicurahkan bagi pendidikan formal dan sistem persekolahan.

Sesungguhnya pendidikan non formal telah dikenal dalam peradaban manusia jauh sebelum adanya pendidikan formal dan sistem persekolahan. Namun pembinaan pendidikan nasional selama ini masih didominasi oleh pendidikan formal. Pembinaan pendidikan non formal dilakukan oleh pemerintah hanya melalui berbagai pendekatan proyek yang bersifat sementara dan kadangkala tidak


(51)

berkelanjutan. Cakupannyapun masih sangat terbatas pada beberapa jenis kebutuhan pendidikan yang bersifat nasional. Sementara pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat masih bertumpu pada jenis-jenis pendidikan yang memiliki nilai komersial sehingga dapat ditarik pembayaran dari masyarakat untuk membiayai kegiatan pendidikan tersebut.

Untuk meningkatkan efektivitas keberhasilan pendidikan non formal telah dilakukan berbagai evaluasi terhadap kiprah pendidikan non formal selama ini. Negara-negara yang tergabung dalam UNESCO menyimpulkan bahwa pembangunan pendidikan non formal haruslah semaksimal mungkin bersifat partisipatif, dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri dan peran pemerintah sebaiknya diposisikan lebih sebagai fasilitator. Hal ini terlihat dari berbagai naskah deklarasi antara lain deklarasi Jomtien, Dakar, dan sebagainya.

Salah satu upaya konkrit untuk mengimplementasikan gagasan tersebut adalah dengan mendorong dan memotivasi terwujudnya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau Community Learning Centre. PKBM bukanlah sepenuhnya merupakan suatu konsep yang baru sama sekali. Sebagai contoh di Jepang PKBM dikenal sejak tahun 1949 dengan nama Kominkan. Kominkan telah turut memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pembangunan kemajuan masyarakat Jepang. Sampai dengan tahun 2004 diperkirakan ada sekitar 18.000 Kominkan terdapat di seluruh Jepang.

Untuk menggerakkan masyarakat agar terwujud PKBM di Indonesia, Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional merumuskan berbagai kebijakan dan program untuk mengidentifikasi dan memotivasi agar masyarakat dengan kesadarannya sendiri membentuk dan mengelola berbagai kegiatan


(52)

pembelajaran bagi masyarakat sesuai kebutuhan dan potensi masing-masing. Gagasan ini mendapatkan sambutan cukup baik oleh masyarakat sehingga pada awal tahun 1998 mulai dikukuhkan keberadaan berbagai PKBM di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Sebagai contoh PKBM ALPA dan PKBM Buana Mekar di Bandung, PKBM RCC Garuda di Yogyakarta, PKBM Gajah Mada di Cirebon, PKBM Pionir di Solo, PKBM Giri Mukti di Balikpapan, PKBM Dahlia di Mataram, dan sebagainya. Sejak itu, PKBM semakin dikenal luas dan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi dari sisi kuantitas. Pada tahun 2004 sudah terdapat lebih dari 3.000 PKBM di seluruh Indonesia. Pada tahun 2006 terdapat hampir dari 5.000 PKBM di seluruh Indonesia.

b. Konsep PKBM

Sebagai suatu institusi baru yang bergerak dalam berbagai kegiatan pendidikan non formal di tingkat akar rumput, PKBM berkembang secara dinamis dan belum didukung oleh berbagai pijakan kerangka teoritik dan akademik yang memadai. Pengembangan PKBM sepenuhnya didasarkan atas pengalaman di lapangan yang situasi kondisinya sangat beragam. Dengan sendirinya Konsep PKBM yang berkembangpun sangat bervariasi dari suatu PKBM ke PKBM lainnya. Konsep PKBM yang berkembang sangat umum dan kurang tajam mengungkap secara menyeluruh eksistensi dan karakteristik PKBM itu sendiri.

Longgarnya konsep tentang PKBM ini di satu sisi memberikan fleksibilitas yang tinggi bagi inovasi pengembangan PKBM pada tahap awal pengembangannya namun konsep yang terlalu umum ini tidak memadai untuk menjadi pijakan bagi pengembangan PKBM lebih lanjut. Di samping itu, ketidakjelasan konsep tentang PKBM dapat menimbulkan adanya


(53)

kesimpangsiuran pemahaman tentang PKBM yang dapat mengakibatkan kontra produktif bagi pengembangan PKBM selanjutnya.

Adapun konsep tentang PKBM yang tertulis masih sangat terbatas, dan itupun masih sangat kental dipengaruhi perspektif birokratik belum menggambarkan konsep yang lebih utuh. Dengan diakuinya secara eksplisit PKBM sebagai salah satu satuan pendidikan non formal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat luas untuk mengembangkan PKBM dalam rangka mensukseskan tujuan pendidikan nasional.

Dengan demikian keberadaan konsep PKBM yang lebih jelas dan lebih memadai bagi pengembangan PKBM lebih lanjut sangat dibutuhkan. Tanpa adanya konsep PKBM yang jelas dan memadai akan sulit dibangun rencana strategis yang baik dalam pengembangan PKBM selanjutnya baik di tingkat institusi, di tingkat lokal, regional, maupun nasional. Hal ini tentunya akan mengakibatkan tidak adanya sinergi, rendahnya efektivitas dan inefisiensi dalam pengembangan PKBM lebih lanjut.Konsep PKBM menjelaskan secara utuh jati diri PKBM, siapa atau apakah PKBM itu, bagaimana PKBM itu berkiprah dan ke arah mana PKBM itu berjalan/berkembang.

Konsep PKBM dapat dijelaskan dalam 6 (enam) aspek yang meliputi : 1. Filosofi PKBM,

2. Tujuan PKBM,

3. Bidang Kegiatan PKBM, 4. Komponen PKBM,


(54)

5. Parameter PKBM dan 6. Karakter PKBM.

Keenam aspek tersebut harus ada dalam konsep PKBM secara utuh. Tanpa salah satu aspek tersebut maka PKBM akan kehilangan jati dirinya. Dengan demikian perencanan, pembangunan, pengembangan dan evaluasi PKBM haruslah mencakup seluruh aspek tersebut secara utuh.

Yang dimaksud dengan Filosofi PKBM adalah suatu formulasi singkat yang menggambarkan idealisasi PKBM itu secara menyeluruh. Sedangkan Tujuan PKBM merupakan formulasi yang menjelaskan arah yang harus dicapai atau visi dari PKBM itu sendiri. Bidang Kegiatan PKBM menggambarkan ruang lingkup kegiatan dan pemasalahan yang digarap oleh PKBM. Komponen PKBM adalah berbagai pihak yang terlibat dalam PKBM. Parameter PKBM adalah ukuran yang digunakan untuk menilai tingkat kemajuan ataupun tingkat keberhasilan suatu PKBM. Sedangkan Karakter PKBM menjelaskan nilai-nilai positif yang harus menjiwai suatu PKBM agar PKBM tersebut dapat mencapai tujuannya secara sehat dan berkelanjutan.

1. Filosofi PKBM

Filosofi PKBM secara ringkas adalah dari, oleh dan untuk masyarakat. Ini berarti bahwa PKBM adalah suatu institusi yang berbasis masyarakat

(Community based Institution). Hal ini dapat diuraikan secara lebih rinci sebagai berikut :

a. Dari masayarakat berarti bahwa pendirian PKBM haruslah selalu merupakan inisiatif dari masyarakat itu sendiri yang datang dari suatu kesadaran akan


(55)

pentingnya peningkatan mutu kehidupannya melalui suatu proses-proses transformasional dan pembelajaran. Inisiatif ini dapat saja dihasilkan oleh suatu proses sosialisasi akan pentingnya PKBM dan hal-hal lainnya tentang PKBM kepada beberapa anggota atau tokoh masyarakat setempat oleh pihak pemerintah ataupun oleh pihak lain di luar komunitas tersebut.

Dalam hal pendirian suatu PKBM peran pemerintah ataupun pihak lain di luar komunitas tersebut hanyalah berupa proses sosialisasi, motivasi, stimulasi dan pelatihan untuk memperkenalkan PKBM secara utuh dan membuka perspektif serta wawasan dan langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam membentuk PKBM serta dalam pengembangan selanjutnya. Proses sosialisasi ini hendaknya tidak mengambil alih inisiatif pendirian yang harus murni datang dari kesadaran, kemauan dan komitmen anggota masyarakat itu sendiri. Hal ini sangat penting demi menjaga kelahiran PKBM itu secara sehat yang di kemudian hari akan sangat menentukan kemandirian dan keberlanjutan PKBM tersebut.

b. Oleh masyarakat berarti bahwa penyelenggaraan dan pengembangan serta keberlanjutan PKBM sepenuhnya menjadi tanggungjawab masyarakat itu sendiri. Ini juga bermakna adanya semangat kemandirian dan kegotongroyongan dalam penyelenggaraan PKBM. Dengan kata lain, penyelenggaraan PKBM tidak harus menunggu kelengkapan ataupun kecanggihan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu masyarakat dan tidak harus menunggu ada atau tidaknya ijin legal dari pemerintah setempat. PKBM dapat saja berlangsung dalam kesederhanaan apapun yang dimiliki


(56)

oleh suatu masyarakat. Penyelenggaraan PKBM harus didasarkan dan memperhatikan potensi yang dimiliki oleh suatu masyarakat.

Penyelenggaraan oleh masyarakat tentunya tidak berarti menutup kemungkinan partisipasi dan kontribusi berbagai pihak lain di luar masyarakat tersebut. Pemerintah, perorangan, lembaga-lembaga usaha, lembaga-lembaga sosial, keagamaan dan sebagainya bahkan perorangan yang berasal dari luar masyarakat itu pun dapat saja turut berpartisipasi dan berkontribusi. Namun semua bentuk dukungan itu hendaknya harus tetap disertai semangat kemandirian dan komitmen masyarakat itu sendiri untuk membangun dan mengembangkan PKBM tersebut.

c. Untuk Masyarakat berarti bahwa keberadaan PKBM haruslah sepenuhnya demi kemajuan kehidupan masyarakat dimana PKBM tersebut berada. Itu berarti juga bahwa pemilihan program-program yang diselenggarakan di PKBM harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini tentunya juga tidak berarti menutup kemungkinan anggota masyarakat di luar masyarakat tersebut untuk dapat turut serta mengikuti berbagai program dan kegiatan yang diselenggarakan oleh PKBM. Kemungkinan tersebut dapat saja diwujudkan sepanjang tidak menghambat pemberian manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Prioritas dan fokus pemberdayaan tentunya haruslah tetap tertuju kepada masyarakat sasaran PKBM itu sendiri. Masyarakat bertindak sekaligus sebagai subyek dan obyek dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh PKBM.


(1)

LAMPIRAN


(2)

Jadwal Mata Pelajaran Paket B

No Hari Waktu Mt. pelajaran Tutor / Guru

1 Senin 08.00-08.15

08.15-09.30 09.30-09.45 09.45-11.30 Pengarahan PKN Istirahat Bahasa Indonesia Ketua Kelas Ervi

R. Tarigan, S.pd

2 Selasa 08.00-08.15

08.15-09.30 09.30-09.45 09.45-11.30 Konseling Matematika Istirahat Ekonomi B. Damanik B. Damanik Lukas, S.sos

3 Rabu 08.00-08.15

08.15-09.30 09.30-09.45 09.45-11.30 Pengarahan Fisika Istirahat PKN

Tiur MN, S.sos R. Sagala, S.pd

Ervi

4 Kamis 08.00-08.15

08.15-09.30 09.30-09.45 09.45-11.30 Konseling Sejarah Istirahat Biologi

Tiur, S.sos & B. Damanik

B. Panjaitan, BA

Tiur MN, S.sos

5 Jumat 10.00-12.00 Pengajian Ustad Dedi

6 Sabtu 15.00-17.00 Pendalaman

Alkitab

Pdt. B. Saragih


(3)

Jadwal Mata Pelajaran Paket C

No Hari Waktu Mt. pelajaran Tutor / Guru

1 Senin 08.00-08.15

08.15-09.30 09.30-09.45 09.45-11.30 Pengarahan Bahasa Inggris Istirahat Matematika Ketua Kelas B. Damanik

R. Sagala, S.pd

2 Selasa 08.00-08.15

08.15-09.30 09.30-09.45 09.45-11.30 Konseling Sosiologi Istirahat Ekonomi B. Damanik Alexander, S.sos Lukas, S.sos

3 Rabu 08.00-08.15

08.15-09.30 09.30-09.45 09.45-11.30 Pengarahan Bahasa Indonesia Istirahat PKN

Tiur MN, S.sos R. Tarigan, S.pd

Ervi

4 Kamis 08.00-08.15

08.15-09.30 09.30-09.45 09.45-11.30 Konseling Sejarah Istirahat Geografi

Tiur, S.sos & B. Damanik

Tiur MN, S.sos

B. Panjaitan, BA

5 Jumat 10.00-12.00 Pengajian Ustad Dedi

6 Sabtu 15.00-17.00 Pendalaman

Alkitab

Pdt. B. Saragih


(4)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Agustiani, Hendriati. 2006. Psikologi Perkembangan.Bandung :Refika Aditama Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

--- 2007. Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. --- 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus

Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

--- 2007. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Elvarino, Ardianto dan Bambang Q. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: simbiosa rekatama Media.

Kriyantono, Rachmat. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Moleong, Rexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Morissan & Andy Lorry Wardhany. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.


(5)

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

___________ 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi Dengan Orang – Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Raharjo, Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultural. Jakarta : PT.Ripteka. Rakhmat, Jalaludin. 2007. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Ritzer & Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Santrock, john w. 2007. Perkembangan Anak Edisi Kesebelas Jilid Dua. Jakarta : Erlangga.

Steinberg,

Tubbs, L. Stewart & Sylvia Moss. 2005. Human Communication; Konteks-Konteks Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Vardiansyah, Dani. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi; Pendekatan Taksonomi Konseptual. Bogor: Ghalia Indonesia

West, Richard & Lynn H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi; Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.


(6)

Non Buku

Imy Ferica, dkk, Thesis, Jurnal Penelitian Komunikasi, vol. 5, no. 3, 2006.

Situs

(http://id.wikipedia.org/wiki/Pusat_Kegiatan_Belajar_Masyarakat) diakses pada tanggal 14 Januari 2011

(http://www.psb-psma.org/content/blog/peran-guru-sebagai-fasilitator) diakses pada tanggal 14 Januari 2011

(http://petakonsepanakbangsa.org/2008/04/29/pembelajaran-ppkn-smp/) diakses pada tanggal 14 Januari 2011

www.fkpkbm.or.id diakses pada tanggal 11 Maret 2011

www.pdf-finder.com/PROSES-PENCARIAN-IDENTITAS-REMAJA-MUALLAF-STUDI...html) diakses pada Februari 2011