Analisis Determinan Penerimaan pajak di Indonesia

(1)

ANALISIS DETERMINAN PENERIMAAN PAJAK

DI INDONESIA

TESIS

Oleh:

HERU KUSMONO

097018029 / EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

ANALISIS DETERMINAN PENERIMAAN PAJAK

DI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HERU KUSMONO

097018029 / EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : ANALISIS DETERMINAN PENERIMAAN PAJAK DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Heru Kusmono Nomor Pokok : 097018029

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, S.E) (Dr.H.B.Tarmizi,SU Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi Direktur,

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E., M.Ec) (Prof. Dr. Ir. A.Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 22 Nopember 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, S.E. Anggota : 1. Dr. H.B.Tarmizi,SU

2. Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E., M.Ec 3. Dr. Rahmanta,M.Si.


(5)

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Heru Kusmono NIM : 097018029

menyatakan Tesis yang berjudul : “ANALISIS DETERMINAN PENERIMAAN PAJAK DI INDONESIA”.

Adalah benar hasil kerja saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, Nopember 2011 Yang membuat pernyataan


(6)

ANALISIS DETERMINAN PENERIMAAN PAJAK DI INDONESIA

Heru Kusmono, Prof.Dr.Lic.Rer.Reg.Sirojuzilam,S.E. dan Dr.H.B.tarmizi,SU

ABSTRAK

Dalam struktur penerimaan Negara perpajakan masih merupakan primadona dan komponen terbesar dalam negeri untuk menopang pembiayaan operasional pemerintahan dan pembangunan. Disamping mampu menyediakan sumber dana bagi pembiayaan berbagai proyek penanggulangan dampak krisis ekonomi, penerimaan perpajakan juga dapat mencegah terjadinya pembengkakan defisit anggaran . Pajak tidak hanya dinikmati oleh pembayar pajak saja tapi untuk kepentingan negara demi tercapainya kesejahteraan di Indonesia.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan penerimaan pajak di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu PDB, Inflasi, suku bunga SBI dan deltaWP. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari 1981 sampai dengan 2010 menggunakan regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS).

Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel PDB, Inflasi, suku bunga SBI dan deltaWP secara bersama-sama mampu mempengaruhi penerimaan pajak Indonesia .

PDB dan pertambahan wajib pajak mempunyai pengaruh yang positif terhadap penerimaan pajak, sedangkan inflasi dan suku bunga SBI mempunyai pengaruh yang negatif terhadap penerimaan pajak Indonesia. Semua variabel bebas signifikan secara statistik dan sesuai hipotesis.

Kata kunci: PDB, Inflasi, Suku bunga SBI, Wajib Pajak


(7)

TAX REVENUE ANALYSIS DETERMINANTS IN INDONESIA

Heru Kusmono, Prof.Dr.Lic.Rer.Reg.Sirojuzilam,S.E. dan Dr.H.B.tarmizi,SU

ABSTRACT

In the structure of the State tax revenue is still the favorite and the largest component in the country to support the operational funding, governance and development. Besides able to provide a source of funds for financing various projects overcoming the economic crisis, tax receipts can also prevent the occurrence of swelling budget deficit. Taxes are not only enjoyed by the taxpayer alone but for the sake of the welfare state for the achievement in Indonesia

The main objective of this study was to analyze the determinants of tax revenue in Indonesia. Variables used in this study namely GDP, inflation, interest rates and deltaWP SBI. The data used in this study is time series data from 1981 to 2010 using multiple linear regression with the method of Ordinary Least Square (OLS).

Estimation results indicate that the variable GDP, inflation, interest rates and deltaWP SBI jointly able to affect tax revenues Indonesia.

GDP and increase taxpayers have a positive influence on tax revenue, while inflation and interest rates SBI has a negative effect on tax revenues Indonesia. All independent variables are statistically significant and the corresponding hypothesis Keywords:GDP, Inflation, SBI rate and Tax payer.


(8)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan karuni-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini yang berjudul “Analisis Determinan Penerimaan pajak di Indonesia”.

Selama mengikuti pendidikan dan penyelesaian penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak berupa materi maupun dorongan moril baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SpA(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E., M.Ec., selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof.Dr.Ramli,S.E.,M.S., selaku Sekretaris Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Lic. Rer. Reg. Sirojuzilam, S.E., selaku Ketua Pembimbing yang telah banyak membantu dalam mengarahkan, membimbing dan memberikan saran kepada penulis dalam penulisan tesis ini.


(9)

6. Bapak Dr.H.B. Tarmizi,SU., selaku Pembimbing yang telah banyak membantu dalam mengarahkan, membimbing dan memberikan saran kepada penulis dalam penulisan tesis ini.

7. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, S.E., M.Ec., Dr. Rahmanta, M.Si., Drs. Rahmat Sumanjaya, M.Si., selaku dosen Pembanding yang telah banyak memberikan saran dan masukan atas penyempurnaan tesis ini.

8. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

10. Penghargaan tertinggi penulis sampaikan kepada orang tua, Bapak Tugimin dan Ibu Sawini yang telah mendidik dan memberikan kasih sayang yang tulus serta Bapak mertua Raskita Aliman Pinem dan Hj.Nangani Sembiring yang selalu memberi dorongan moril.

11. Khusus bagi istri tercinta Yuni Estrin Br.Pinem,Amd yang selalu memberikan dukungan dan doa, dan kepada anak-anakku tersayang Rifqi Ahmad Faris dan Nadine Sabitah .

12. Rekan-rekan mahasisiwa Pascasarjana (S-2) Magister Ekonomi Pembangunan (MEP) Universitas Sumatera Utara khususnya Angkatan XVIII terutama Mohammad Ismail Yusuf dan seluruh alumni serta semua pihak yang tidak dapat


(10)

penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberikan saran, pendapat serta pandangannya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas segala bantuan yang diberikan dan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Nopember 2011 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Heru Kusmono

Agama : Islam

Tempat/Tanggal Lahir : Sukamulia / 08 Januari 1977 Jenis Kelamin : Laki-laki

Warga Negara : Indonesia

Alamat : Jl. Pasar I Komp.Puri 3 Tj.Sari Blok.B.10 Medan

E-mail

Status Perkawinan : Menikah

Nama Istri : Yuni Estrin Br Pinem, Amd

Nama Anak : Rifqi Ahmad Faris, Nadine Sabitah Pendidikan : 1. SD Negeri No. 091701 Sukamulia

2. SMP Swasta Gunung Bayu 3. SMA Negeri 1 Perdagangan 4. STAN Prodip I Keuangan

5. S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

6. S2 Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang………...………..………...1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teoritis 2.1.1 Keuangan Negara ... 8

2.1.2 Penerimaan Pajak ... 9

2.1.3 Produk Domestik Bruto ... 16

2.1.4 Inflasi ... 22

2.1.5 Tingkat Suku Bunga SBI ... 25


(13)

2.2. Penelitian Sebelumnya ... 28

2.2.1 Kerangka Konseptual Penelitian ... 31

2.2.2 Hipotesis ... 31

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... 33

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 33

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.4 Model Analisis Data ... 34

3.5 Metode Analisis ... 34

3.6 Definisi Operasional ... 35

3.7 Test of Goodness of Fit (Uji Kesesuaian) ... 35

3.7.1. Koefisien Determinasi (R2 3.7.2. Uji t-statistik ... 35

) ... 35

3.7.3. Uji F-statistik ... 36

3.8 Uji Asumsi Klasik ... 36

3.8.1 Multikolinearitas ... 36

3.8.2 Autokorelasi ... 37

3.8.3 Normalitas ... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 40

4.1.1 Penerimaan Pajak ... 40

4.1.2 Perkembangan Produk Domestik Bruto... 45

4.1.3 Perkembangan Inflasi ... 47

4.1.4 Perkembangan Suku Bunga SBI ... 48

4.1.5 Perkembangan Jumlah Wajib Pajak ... 49


(14)

4.1.7 Uji Kesesuaian ... 52

4.1.8 Uji Asumsi Klasik ... 53

4.1.8.1 Multikolinearitas ... 53

4.1.8.2 Autokorelasi ... 54

4.1.8.3 Normalitas... 54

4.2 Pembahasan ... 54

4.2.1 Produk Domestik Bruto... 54

4.2.2 Inflasi ... 55

4.2.3 Tingkat suku bunga SBI ... 56

4.2.4 Pertambahan wajib pajak ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 59


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1.1 Perbandingan Tax Ratio ... 2

1.2 Penerimaan pajak ... 4

2.1 Penyederhanaan Pajak dalam reformasi perpajakan 1983 ... 12

4.6 Hasil Estimasi Model Penelitian ... 51

4.7 Nilai Koefisien Determinasi (R2 4.8 Hasil Uji LM-Test ... 54


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.3 Kerangka Konseptual Penelitian ... 31

4.1 Perkembangan Penerimaan Pajak ... 45

4.2 Perkembangan Produk Domestik Bruto ... 46

4.3 Perkembangan Inflasi ... 47

4.4 Perkembangan suku bunga SBI ... 49


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1 Hasil Estimasi OLS ... 64

2 Hasil Estimasi Uji Multikolinearitas ... 65

3 Hasil Estimasi Uji Autokorelasi dengan LM Test ... 67


(18)

DAFTAR SINGKATAN

APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BI : Bank Indonesia

BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan KUP : Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan PBB : Pajak Bumi dan Bangunan

PPh : Pajak Penghasilan PPN : Pajak Pertambahan Nilai

PPn BM : pajak Penjualan atas Barang Mewah SBI : Sertifikat Bank Indonesia


(19)

ANALISIS DETERMINAN PENERIMAAN PAJAK DI INDONESIA

Heru Kusmono, Prof.Dr.Lic.Rer.Reg.Sirojuzilam,S.E. dan Dr.H.B.tarmizi,SU

ABSTRAK

Dalam struktur penerimaan Negara perpajakan masih merupakan primadona dan komponen terbesar dalam negeri untuk menopang pembiayaan operasional pemerintahan dan pembangunan. Disamping mampu menyediakan sumber dana bagi pembiayaan berbagai proyek penanggulangan dampak krisis ekonomi, penerimaan perpajakan juga dapat mencegah terjadinya pembengkakan defisit anggaran . Pajak tidak hanya dinikmati oleh pembayar pajak saja tapi untuk kepentingan negara demi tercapainya kesejahteraan di Indonesia.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan penerimaan pajak di Indonesia. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu PDB, Inflasi, suku bunga SBI dan deltaWP. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari 1981 sampai dengan 2010 menggunakan regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS).

Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel PDB, Inflasi, suku bunga SBI dan deltaWP secara bersama-sama mampu mempengaruhi penerimaan pajak Indonesia .

PDB dan pertambahan wajib pajak mempunyai pengaruh yang positif terhadap penerimaan pajak, sedangkan inflasi dan suku bunga SBI mempunyai pengaruh yang negatif terhadap penerimaan pajak Indonesia. Semua variabel bebas signifikan secara statistik dan sesuai hipotesis.

Kata kunci: PDB, Inflasi, Suku bunga SBI, Wajib Pajak


(20)

TAX REVENUE ANALYSIS DETERMINANTS IN INDONESIA

Heru Kusmono, Prof.Dr.Lic.Rer.Reg.Sirojuzilam,S.E. dan Dr.H.B.tarmizi,SU

ABSTRACT

In the structure of the State tax revenue is still the favorite and the largest component in the country to support the operational funding, governance and development. Besides able to provide a source of funds for financing various projects overcoming the economic crisis, tax receipts can also prevent the occurrence of swelling budget deficit. Taxes are not only enjoyed by the taxpayer alone but for the sake of the welfare state for the achievement in Indonesia

The main objective of this study was to analyze the determinants of tax revenue in Indonesia. Variables used in this study namely GDP, inflation, interest rates and deltaWP SBI. The data used in this study is time series data from 1981 to 2010 using multiple linear regression with the method of Ordinary Least Square (OLS).

Estimation results indicate that the variable GDP, inflation, interest rates and deltaWP SBI jointly able to affect tax revenues Indonesia.

GDP and increase taxpayers have a positive influence on tax revenue, while inflation and interest rates SBI has a negative effect on tax revenues Indonesia. All independent variables are statistically significant and the corresponding hypothesis Keywords:GDP, Inflation, SBI rate and Tax payer.


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah.

Dalam struktur penerimaan Negara perpajakan masih merupakan primadona dan komponen terbesar dalam negeri untuk menopang pembiayaan operasional pemerintahan dan pembangunan. Disamping mampu menyediakan sumber dana bagi pembiayaan berbagai proyek penanggulangan dampak krisis ekonomi, penerimaan perpajakan juga dapat mencegah terjadinya pembengkakan defisit anggaran . Pajak tidak hanya dinikmati oleh pembayar pajak saja tapi untuk kepentingan negara demi tercapainya kesejahteraan di Indonesia.

Penerimaan perpajakan selalu mengalami peningkatan setiap tahun begitu juga dengan pengeluran pemerintah yang meningkat lebih cepat yang menyebabkan fiscal gap dan defisit anggaran. Peningkatan penerimaan perpajakan jika dibandingkan dengan PDB ternyata tax ratio kita masih rendah dibandingkan dengan beberapa negara Asia dan ASEAN .

Penerimaan perpajakan terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri dan penerimaan pajak perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara di dunia tidak


(22)

terlepas dari dunia internasional yang menyebabkan aspek perpajakan yang lebih kompleks yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah untuk mengatur kebijakan dan harmonisasi dengan dunia internasional.

Sebagai perbandingan penerimaan pajak terhadap pendapatan nasional (tax ratio) dari di beberapa negara Asia menunjukkan urutan sebagai berikut :

Tabel 1.1.Perbandingan penerimaan pajak terhadap pendapatan nasional (Tax

Ratio ) di beberapa Negara Asia

No.

Urut

Negara Tax Ratio

1 Jepang 27,40 %

2 Korea 26,80 %

3 India 17,70 %

4 Thailand 17,00 %

5 Malaysia 15,50 %

6 Srilanka 15,30 %

7 Philipina 14,40 %

8 Singapura 13,00 %

9 Indonesia 12,40 %

10 Pakistan 10,20 %

11 Myanmar 4,9 %


(23)

Penggunaan tax ratio sebagai ukuran kinerja penerimaan pajak juga diperdebatkan

karena kadang-kadang kontradiktif dengan data dan fakta ekonomi lainnya. Misalnya,

penerimaan pajak yang tinggi tetapi berasosiasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang rendah.

Sistem perpajakan di Indonesia juga harus disusun menjadi lebih kondusif agar dapat

meningkatkan wajib pajak, kepercayaan dan produktifitas. Penerimaan pajak juga

dipengaruhi oleh tarif pajak (tax rate) dan basis pajak (tax based). Tarif pajak dan basis

pajak perlu disesuaikan pada tingkat yang rasional sehingga dapat meningkatkan daya saing

dan menggairahkan dunia usaha yang pada akhirnya memberi dampak positif pada

peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam APBN tahun 2010, penerimaan pajak sebesar Rp. 742.7 triliun atau sebesar

78.3 % dari penerimaan dalam negeri. Dari jumlah tesebut, 47.26% berasal dari penerimaan

Pajak Penghasilan ( PPh ) , 36.28% dari Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) , 3.56 % dari Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB) , 0.99% dari BPHTB , 7.7 % dari cukai, 0.52% dari pajak lainnya

dan pajak perdagangan internasioanal sebesar 3.66%. Penerimaan Pajak pada umumnya

diharapkan masih dapat ditingkatkan karena memiliki potensi yang cukup besar dan masih

banyak yang belum tergali seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang memiliki

penghasilan di atas PTKP. Jumlah wajib pajak yang terdaftar masih dapat diperluas lagi dari

berbagai sektor baik pemerintahan ataupun swasta. Terutama dari sektor Bendaharawan dan

pemberi kerja swasta yang akan berujung pada peningkatan Pajak mengingat jumlah


(24)

Tabel 1.2. Penerimaan pajak dalam APBN tahun 2009-2010

URAIAN 2009 2010

APBN % thd PDB APBN-P %thd PDB

APBN %thd PDB

A.PENDAPATAN NEGARA

DAN HIBAH

985.7 18.5 871.0 16.1 949.7 15.9

1.Penerimaan Dalam Negeri 984.8 18.5 870.0 16.1 948.1 15.9

a.Penerimaan Perpajakan 725.8 13.6 652.0 12.1 742.7 12.4

Pajak Dalam Negeri 697.3 13.1 631.9 11.7 715.5 12.0

-Pajak Penghasilan 357.4 6.7 340.2 6.3 351.0 5.9

-Pajak Pertambahan Nilai 249.5 4.7 203.1 3.8 269.5 4.5

-Pajak Bumi dan bangunan 28.9 0.5 23.9 0.4 26.5 0.4

- BPHTB 7.8 0.1 7.0 0.1 7.4 0.1

-Cukai 49.5 0.9 54.5 1.0 57.3 1.0

-Pajak lainnya 4.3 0.1 3.2 0.1 3.9 0.1

Pajak Perdagangan Internasional 28.5 0.5 20.0 0.4 27.2 0.5

- Bea masuk 19.2 0.4 18.6 0.3 19.6 0.3

- Bea Keluar 9.3 0.2 1.4 0.0 7.6 0.1

b.Penerimaan Negara Bukan Pajak 258.9 4.9 218.0 4.0 205.4 3.4

2.Hibah 0.9 0.0 1.0 0.0 1.5 0.0

Sumber : Nota Keuangan dan APBN 2010

Penerimaan perpajakan sebagai salah satu komponen penerimaan pemerintah


(25)

seperti kebijakan di bidang perpajakan. Pengaruh faktor eksternal terhadap penerimaan pajak

dapat dilihat pada pertumbuhan ekonomi yang merupakan persentase kenaikan PDB dalam

nilai riil tahun tertentu dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, tingkat inflasi juga dapat

mempengaruhi penerimaan pajak.

Faktor internal yang mempengaruhi penerimaan pajak berupa kebijakan dalam

menentukan dasar pengenaan pajak (tax base) atau objek pajak. Jika dasar pengenaan pajak

dan objek pajak dapat diperluas berdasarkan undang-undang maka hal ini berpengaruh positif

terhadap penerimaan pajak.

Untuk penentuan penerimaan pajak memerlukan suatu perencanaan yang wajar dan

objektif dalam arti tidak hanya berorientasi pada pencapaian penerimaan semata, tetapi juga

harus melihat faktor-faktor ekonomi eksternal secara makro yang dapat mempengaruhi di

dalam penentuan suatu target penerimaan pajak. Oleh karena itu perlu dikaji faktor-faktor

manakah yang dapat mempengaruhi penerimaanpajak sehingga target yang dialokasikannya

tersebut dapat terealisir secara wajar dan realistis sesuai dengan potensi yang ada, tingkat

inflasi yang berlaku, tingkat suku bunga dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Dari uraian tersebut penulis berusaha untuk membahas masalah ini menjadi sebuah

penelitian yang diberi judul "ANALISIS DETERMINAN PENERIMAAN PAJAK DI


(26)

1.2. Rumusan Masalah.

Dengan memperhatikan latar belakang dan uraian yang telah diungkapkan maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaruh PDB terhadap penerimaan pajak di Indonesia. 2. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap penerimaan pajak di Indonesia. 3. Bagaimana pengaruh tingkat suku bunga SBI terhadap penerimaan pajak

di Indonesia.

4. Bagaimana pengaruh jumlah pertambahan wajib pajak terhadap penerimaan pajak di Indonesia.

1.3. Tujuan Penelitian .

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis pengaruh PDB terhadap penerimaan pajak di Indonesia.

2. Untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap penerimaan pajak di Indonesia.

3. Untuk menganalisis pengaruh tingkat suku bunga SBI terhadap penerimaan pajak di Indonesia.

4. Untuk menganalisis pengaruh jumlah pertambahan wajib pajak terhadap penerimaan pajak di Indonesia.


(27)

1.4. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah (khususnya Direktorat Jenderal Pajak) agar dapat mengetahui variabel – variabel yang berpengaruh di dalam penentuan target penerimaan pajak di Indonesia secara wajar dan realistis sehingga dapat terealiasir.

2. Untuk menambah wawasan, baik penulis sendiri, maupun pemerhati pajak lainnya terutama di dalam menganalisa variabel-variabel yang mempengaruh pajak.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1. Keuangan Negara

Secara umum keuangan negara diartikan sebagai semua hal yang yang bertalian dengan masalah penerimaan dan pengeluaran Negara. Suparmoko (1992), pakar keuangan negara Indonesia, menyatakan bahwa keuangan Negara merupakan studi tentang pengaruh-pengaruh dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) terhadap perekonomian, terutama pengaruh-pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan-tujuan kegiatan ekonomi, stabilitas harga-harga, distribusi penghasilan yang merata dan peningkatan efisiensi serta penciptaan kesempatan kerja.

Dalam pengelolaan APBN tidak terlepas dari peranan pajak sebagai penyumbang terbesar dalam penerimaan Negara. Kebijakan fiskal dalam kerangka ekonomi makro mempunyai dua instrument pokok, yaitu kebijakan perpajakan (sisi penerimaan pemerintah) dan kebijakan pengeluaran. Walaupun kebijakan fiskal diambil untuk mencapai tujuan ekonomi, kebijakan ini juga dapat dipakai untuk peningkatan aspek sosial, seperti pemerataan, pendidikan dan kesehatan.


(29)

Sebagai instrumen kebijakan fiskal dan implementasi perencanaan pembangunan setiap tahun, strategi dan pengelolaan APBN memegang peranan penting bagi Pemerintah untuk mencapai sasaran pembangunan nasional. APBN menjadi salah satu alat perekonomian dalam menyelenggarakan pemerintahan, mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, mendistribusikan barang dan jasa, serta menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi.

2.1.2 Penerimaan Pajak

Penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri Pemerintah, dan hibah. Penerimaan dalam negeri Pemerintah terdiri atas (Dumairy,1997):

Penerimaan Perpajakan: • Pajak dalam negeri a) Pajak Penghasilan (PPh)

b) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

c) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

d) Bea perolehan Hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) e) Pajak lainnya


(30)

Definisi pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah dimana pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang dan pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak dimana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya (Mangkoesoebroto, 2001). Dalam menerapkan kebijakan anggaran baik anggaran defisit maupun anggaran surplus, tidak terlepas dari peran pajak sebagai sumber pendapatan utama. Dalam penerapan anggaran surplus, pemerintah dapat meningkatkan pajak, khususnya pajak penghasilan atau pajak tidak dinaikkan tetapi pengeluaran pemerintah dikurangi. Begitu juga dalam penerapan anggaran defisit, pemerintah dapat menurunkan tingkat pajak sehingga konsumsi masyarakat dapat menigkat dan gairah usaha juga meningkat.

Peranan penerimaan perpajakan sebagai salah satu sumber penting dalam pembiayaan negara akan terus ditingkatkan dengan melakukan berbagai evaluasi dan kebijakan penyempurnaan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan system perpajakan dapat lebih efektif dan efesien sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Dengan demikian, diharapkan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan, kesederhanaan dan keadilan dapat tercapai sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro.

Langkah-langkah reformasi perpajakan selama ini dilakukan telah berhasil mendorong peningkatan penerimaan perpajakan secara cukup signifikan, meskipun


(31)

masih banyak menghadapi kendala terutama berkaitan dengan kapasitas administrasi pemungutan pajak. Langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain meliputi langkah-langkah pembaharuan kebijakan (tax policy reform) dan langkah-langkah pembaharuan adminstrasi kebijakan (tax administrative reform). Langkah-langkah pembaharuan kebijakan perpajakan ini dilaksanakan antara lain melalui perubahan UU KUP, UU PPh, perubahan UU PPN dan PPnBM, perubahan UU PBB, perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU Cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang perpajakan ini lebih dititikberatkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan.

Supramono dan Damayanti (2005) menguraikan fungsi-fungsi pajak sebagai berikut:

1. Fungsi penerimaan (budgetair) yaitu fungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran.

2. Fungsi mengatur (regulator) yaitu fungsi untuk mengatur atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan pemerintah dari sudut social dan ekonomi.

Berdasarkan kewenangan dalam pemungutannya, pajak dapat digolongkan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah jenis-jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, diantaranya pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan


(32)

bangunan, bea materai, bea masuk, cukai dan pungutan ekspor. Sedangkan Pajak Daerah dipungut oleh pemerintah daerah, baik pemerintah daerah provinsi dan pajak daerah kabupaten/kota, diantaranya pajak kenderaan bermotor, bea balik nama kenderaan bermotor, pajak pembangunan I dan pajak hiburan.

Dari kedua jenis pajak tersebut, yang akan diuraikan berikut ini hanyalah jenis-jenis pajak pusat karena hanya pajak pusat yang merupakan penerimaan pemerintah pusat yang menjadi bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun pajak pusat tersebut berbeda jenisnya atau namanya antara sebelum reformasi perpajakan 1983 dan sesudah reformasi. Hal ini tampak dari tabel 2.1 berikut ini :


(33)

Tabel 2.1 Penyederhanaan Pajak dalam Reformasi Perpajakan 1983

Sebelum 1983 Sesudah 1983

Pajak Perseroan Pajak Pendapatan Pajak Kekayaan

Pajak Bunga, Dividen, dan Royalti

Pajak Penghasilan

Pajak Penjualan Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Bea Materai 1922 Bea Materai

Pajak atas Tanah Verponding

Verponding Indonesia Iuran Pembangunan Daerah

Pajak Bumi dan Bangunan


(34)

Jenis pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat sesudah reformasi perpajakan 1983 adalah sebagai berikut :

1. Pajak Penghasilan (PPh)

Menurut Mansury (2002), PPh sesuai undang-undang tentang pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Supramono dan Damayanti (2005) menambahkan bahwa pajak pernghasilan adalah pungutan resmi oleh pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)

Menurut Supramono dan Damayanti (2005) Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan terhadap setiap pertambahan nilai dari suatu produk atau jasa yang dihasilkan oleh pengusaha kena pajak. Sedangkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan terhadap barang-barang yang tergolong mewah. 3. Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan menurut Supramono dan Damayanti (2005) adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan tubuh bumi serta bangunan yang terletak di


(35)

atas bumi tersebut. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau bangunan.

4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Supramono dan Damayanti (2005) berpendapat bahwa BPHTB adalah penyerahan sebagian dari nilai ekonomis dari perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

5. Bea Materai

Dalam The Indonesian Tax in Brief disebutkan bahwa Bea Materai adalah pajak atas dokumen yang dipakai masyarakat dalam lalulintas hukum. Yang dimaksud dengan dokumen disini adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Surat perjanjian, surat kuasa,


(36)

surat pernyataan dan akte adalah sebagian contoh dari dokumen yang dikenakan bea materai.

6. Bea Masuk

Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang kepabeanan, yang dimaksud bea masuk adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang-barang yang diimpor. Dengan adanya pungutan tersebut, maka bea masuk selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara juga sebagai pengatur arus impor, baik untuk barang konsumsi maupun barang yang diperlukan industi dalam negeri. Dengan demikian, penerimaan bea masuk tidak semata-mata ditujukan sebagai penerimaan untuk mengisi kas negara, tetapi juga berfungsi sebagai alat pengaturan (regulator).

7. Cukai

Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, yang dimaksud cukai adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik perlu untuk dibatasi, diawasi produksinya dan peredarannya, karena akan berpengaruh langsung terhadap kesehatan dan ketertiban social. Dengan demikian, peranan cukai tidak saja berorientasi pada penerimaan negara, melainkan mempertimbangkan pula aspek pembatasan produksi dan konsumsi. Oleh karena itu, dasar pertimbangan besarnya penerimaan cukai tergantung dari jumlah barang yang kena cukai, tarif cukai dan harga dasar barang kena cukai.


(37)

8. Pajak Ekspor

Yang dimaksud dengan pungutan ekspor adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang akan diekspor. Pengaturan tarif pajak ekspor ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan memperhatikan harga patokan ekspor dan jumlah wajib pajak valuta asing. Kebijakan yang ditempuh dalam pungutan pajak ekspor ini bertujuan untuk mengendalikan harga pasar di dalam negeri.

2.1.3. Produk Domestik Bruto (PDB)

Produk domestik bruto (PDB) merupakan variabel paling penting dalam makroekonomi. PDB mengukur total output barang dan jasa suatu negara dan pendapatan totalnya. Suatu negara dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif apabila kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan negara tersebut mengalami kenaikan. Namun demikian dalam kenyataannya sangat sulit untuk mengetahui berapa jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu untuk mengukur pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan output dilakukan dengan menggunakan perubahan nilai moneternya (uang) yang tercermin dalam PDB. Perubahan PDB menunjukkan adanya perubahan barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (Rahardja dan Manurung, 2004).


(38)

Di negara-negara yang sedang berkembang sebagian besar penerimaan pajaknya berasal dan sumber pajak tak langsung. Menurut Nafziger (1990) dan dalam Yuzrat and Makhfatih (Nasution, 2003) menyebutkan bahwa proporsi PDB terhadap pajak langsung pada negara sedang berkembang lebih rendah daripada pajak langsung dari negara-negara maju. Hal ini dikarenakan pada negara-negara yang sedang berkembang lebih rendah golongan berpenghasilan tingginya. Dalam perkembangannya akan terjadi proses pergeseran dari dominasi pajak tidak langsung menjadi pajak langsung sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diiringi dengan peningkatan pendapatan perkapita penduduknya.

Dalam jangka panjang peranan pajak langsung akan semakin penting seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat dan ditunjang pula dengan teknologi canggih menuju era globalisasi. Selain berfungsi sebagai pemerataan karena struktur tarifnya bersifat progresif, perkembangan hubungan internasional yang semakin maju kearah liberal dan global mengharuskan pemerintah untuk menurunkan tarif impornya dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi domestik di ekonomi dunia. Konsekuensinya penerimaan pajak tidak langsung akan menjadi turun. Alternatifnya adalah memobilisasi penerimaan pajak yang bertumpu pada pajak langsung seperti pajak penghasilan.


(39)

Menurut Blanchard (2000) dalam sistem perekonomian terbuka, komponen PDB terdiri dari konsumsi, investasi, belanja negara, ekspor dan impor yang dirumuskan sebagai berikut :

Y = C + I + G + (X - M) (2.1) Dimana :

Y = Produk Domestik Bruto Riil C = Konsumsi Rumah Tangga Riil G = Konsumsi Pemerintah Riil I = Pengeluaran Investasi Riil X-M = Ekspor Netto Riil

X = Ekspor Riil M = Impor Riil

Masing-masing variabel yang mempengaruhi PDB dijelaskan oleh Rahardja dan Manurung (2004) sebagai berikut:

1) Konsumsi rumah tangga riil adalah pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi akhir barang dan jasa baik barang dan jasa yang habis dipakai dalam waktu setahun maupun lebih.


(40)

2) Konsumsi Pemerintah riil adalah pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang dikeluarkan hanya untuk mendapatkan barang dan jasa akhir, sedangkan pengeluaran pemerintah untuk tunjangan sosial tidak termasuk dalam definisi konsumsi pemerintah.

3) Pengeluaran investasi riil adalah pengeluaran-pengeluaran dunia usaha untuk meningkatkan atau menciptakan nilai tambah.

4) Ekspor netto adalah selisih antara ekspor dan impor barang dan jasa.

Rumah tangga menerima pendapatan dan menggunakannya untuk membayar pajak penghasilan (PPh), mengkonsumsi barang dan jasa yang didalamnya telah termasuk Pajak pertambahan Nilai (PPN) dan menabung melalui pasar uang. Semakin tinggi pendapatan seseorang semakin besar pula pajak penghasilan yang harus dibayar. Sedangkan untuk konsumsi atas barang dan jasa yang meningkat akan meningkatkan pajak Pertambahan Nilai.

Penggalian sumber-sumber keuangan khususnya yang berasal dari pajak dapat dilakukan dengan terlebih dahulu meningkatkan pengeluaran Pemerintah (Government Expenditures) untuk merangsang meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam hal ini pemerintah dapat melakukannya melalui :

a. Belanja Pegawai.

Belanja Pegawai merupakan salah satu pos yang penting dari APBN karena jika pos ini tidak ada, maka roda pemerintahan tidak dapat digerakkan. Belanja Pegawai dalam hal ini kita sederhanakan sebagai bayar Gaji ( W ). Apakah yang


(41)

terjadi dari perubahan W ? Pembayaran atau peningkatan gaji pegawai negeri ( PNS ) akan berpengaruh pada pendapatan dan seterusnya permintaan permintaan PNS untuk membeli barang barang atau jasa- jasa. Gaji PNS berubah atau naik, maka pendapatan disposable income sektor rumah tangga bertambah ( Yd ). Pertambahan Yd dapat menaikkan ∆ AD melalui pengeluaran konsumsi ( ∆C ). Tambahan konsumsi, akibat dari tambahan pendapatan itu tergantung pada kecenderungan konsumsi atau pada MPC. Jadi konsumsi meningkat dengan ∆C = c Yd = c ∆W, c ad alah MPC, selanjutnya efek pengganda atau proses pelipat ( proses multiplier ) akan meningkat AD sebesar :

1

∆ AD = --- ∆ C 1 – c

1 c

∆ AD = --- c ∆ Yd = --- ∆ W 1 - c 1 - c

MPC atau c dinegara kita dapat dikatakan masih tinggi, karena pendapatannya masih rendah. Sebagian besar dari tambahan pendapatan digunakan untuk tambahan konsumsi. Misal diasumsi MPC = c = 0,80 , maka dengan ∆ belanja pegawai sebesar


(42)

Rp. x ,- maka dapat menaikkan ∆AD sebesar 500%. Seterusnya perubahan AD sebesar ini akan meningkatkan PDB dan meningkatkan pajak.

b. Belanja Barang / Jasa atau Pengeluaran Pembangunan.

Belanja Barang atau Pengeluaran Pembangunan pada putaran pertama akan menaikkan AD sebesar :

1

∆ AD = --- ∆ G 1 - c

Kalau kita asumsi MPC = c = 0,8 , maka pengeluaran pembangunan akan meningkatkan AD sebesar 500%. Dengan tingginya multiplier effect yang tercipta maka akan juga menigkatkan PDB dan meningkatkan pajak.

Dalam sistem ekonomi tertutup, identitas output agregat merupakan penjumlahan konsumsi rumahtangga, konsumsi perusahaan dan konsumsi pemerintah, yaitu:

g i c

y= + + (2.2)

dimana:


(43)

c = konsumsi riil rumahtangga, i = konsumsi riil perusahaan, dan g = konsumsi riil pemerintah

Fungsi konsumsi riil rumah tangga dan konsumsi riil perusahaan masing-masing adalah

] ), [(y tr R C

c= −τ + (2.3) ]

, [y R I

i = (2.4) dimana:

y - τ+tr = pendapatan disposable riil, dan

R = tingkat bunga nominal.

Hubungan persamaan (2.2), (2.3) dan (2.4) menjelaskan output riil agregat, yaitu: g R y I R tr y C

y= [( −τ + ), ]+ [ , ]+ (2.5) Misalkan fungsi konsumsi riil rumah tangga dalam bentuk linier dari pendapatan disposable dan tingkat bunga nominal: c = α0 + α1 [y-τ+tr] - α2 R. Demikian juga fungsi konsumsi riil perusahaan adalah dalam bentuk linier dari


(44)

pendapatan disposable dan tingkat bunga nominal: i = β0 + β1 y - β2 g R y R tr y

y01( −τ + )−α201 −β2 +

R. Oleh sebab itu output riil agregat ekonomi tertutup berubah menjadi:

] ) ( [ 1 1 2 2 1 1 0 0 1 1 R tr g

y α β ατ α α β

β

α − + + − + − +

− = ] , , , [R g tr

y =φ τ (2.6) Dari persamaan ini (2.6) ditunjukkan bahwa peningkatan belanja pemerintah (g) dan transfer pemerintah (tr) akan meningkatkan output riil agregat (y), sebaliknya peningkatan pajak (t) akan menurunkan output riil agregat (y).

2.1.4. Inflasi

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus Sadono Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. (Boediono : 2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama. Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan harga yang terajadi pada seluruh kelompok barang dan jasa Pohan (2008:158).


(45)

Inflasi akan mengurangi daya beli uang yang telah diperoleh masyarakat dengan susah payah. Apabila harga naik, tiap lembar uang yang dihasilkannya hanya akan mampu membeli barang dan jasa dalam jumlah yang sedikit. Jadi , kelihatannya inflasi secara langsung telah menurunkan standar hidup. Namun dipihak lain, ketika harga naik, pembeli barang dan jasa akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk apa yang mereka beli, pada saat yang sama penjual barang dan jasa mendapatkan lebih banyak uang dari penjualan mereka. Karena kebanyakan orang mendapatkan penghasilan dengan menjual jasa mereka, seperti para tenaga kerja, penghasilan juga semakin meningkat sejalan kenaikan harga. Jadi, inflasi sendiri tidak mengurangi daya beli riil masyarakat. Ketika laju inflasi sebesar 6 % mengurangi nilai riil dari kenaikan sebesar 4 %, pekerja mungkin merasa dirinya telah diperdaya. Sebenarnya pendapatan riil ditentukan oleh variable- variable riil seperti modal fisik, SDM, SDA dan ketersediaan tehnologi produksi. Pendapatan nominal ditentukan oleh faktor-faktor tersebut dan tingkat harga keseluruhan. Bila pendapatan nominal cenderung sama dengan kenaikan harga, berarti inflasi bukan merupakan suatu masalah. Namun para ekonom telah mengidentifikasi beberapa kerugian akibat inflasi. Masing-masing kerugian menunjukkan bahwa pertumbuhan terus menerus pada jumlah uang yang beredar sesungguhnya memiliki dampak pada variable-variabel riil tersebut.

Hampir semua pajak mengganggu insentif, menyebabkan masyarakat mengubah sikap mereka dan alokasi sumber – sumber daya dalam perekonomian menjadi kurang efisien. Akan tetapi banyaknya pajak menimbulkan lebih banyak


(46)

masalah karena adanya inflasi, karena pembuat hukum sering kali gagal memperhitungkan inflasi ketika merumuskan undang-undang perpajakan. Para ekonom yang telah mempelajari undang-undang pajak menyimpulkan bahwa inflasi cenderung menaikkan beban pajak pendapatan yang berasal dari tabungan, tidak melihat keuntungan riil dari penjualan sejumlah aktiva. Pajak pendapatan dari suku bunga.

Salah satu solusi bagi masalah ini adalah, dari pada menghilangkan inflasi adalah menyusun daftar sistem pajak, artinya hukum pajak dapat ditulis ulang untuk memperhitungkan dampak inflasi. Pada dunia yang ideal, hukum pajak akan ditulis dalam rangka mencegah inflasi mengubah tanggungan pajak riil seseorang.

Walaupun secara eksplisit inflasi tidak dimasukkan kedalam penentuan target pajak. Namun secara implisi variabel inflasi dimasukkan kedalam variabel Produk Domestik Bruto (PDB) nominal karena didalam perhitungan PDB nominal memasukkan perubahan harga.

Collin Clark (Mangkoesubroto, 1993) mengemukakan hipoteisis tentang batas kritis perpajakan. Dikatakan bahwa jika kegiatan sektor pemerintah, yang diukur dengan pajak dan penerimaan-penerimaan lain, melebihi 25% dari total kegiatan ekonomi, maka yang terjadi adalah inflasi. Dasar yang dikemukakan adalah bahwa pajak yang tinggi akan mengurangi gairah kerja. Akibatnya produktivitas akan turun dengan sendirinya dan ini akan mengurangi penawaran agregate. Di lain pihak,


(47)

pengeluaran pemerintah yang tinggi akan berakibat pada naiknya permintaan agregate. Inflasi terjadi karena adanya keseimbangan baru yang timbul sebagai akibat adanya kesenjangan antara permintaan agregate dan penawaran agregate.

Hubungan Pajak Penghasilan dengan inflasi dapat dilihat dari tulisan Beth Kern, seorang Assistant Professor di indiana University South Bend, yang berjudul : Inflation and The Individual Alternative Minimum Tax (AMT), dia menyatakan bahwa : ”The relationship between inflation and the AMT is complex. David Hulse gives some insight into current individual AMT issues with his AMT boundary calculations. These boundaries derive the breakeven points to determine how much in preferences and adjustments taxpayers at varying taxable incomes may have before being subject to the individual AMT under current law. Overtime, inflation causes these breakeven points to decline. Inflation combined with reguler income tax (RIT) bracket and exemption indexing has eroded the value of this exemption. As each year passes, the AMT is shifting from a tax burden for hight-income taxpayers to one for moderate income taxpayers”.

Dari hubungan di atas dapat disimpulkan bahwa inflasi dapat mengikis Pajak Penghasilan.


(48)

2.1.5. Tingkat Suku Bunga

SBI menurut Noprin (2000) suku bunga adalah biaya yang harus di bayar oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dengan masa depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran (Suhedi: 2000).

Godam (2007) menyebutkan penyebab perubahan konsumsi, yaitu : Penyebab Faktor Ekonomi

a. Pendapatan

Pendapatan yang meningkat tentu saja biasanya otomatis diikuti dengan peningkatan pengeluaran konsumsi. Contoh : seseorang yang tadinya makan nasi aking ketika mendapat pekerjaan yang menghasilkan gaji yang besar akan meninggalkan nasi aking menjadi nasi beras rajalele. Orang yang tadinya makan sehari dua kali bisa jadi 3 kali ketika dapat tunjangan tambahan dari pabrik.

b. Kekayaan

Orang kaya yang punya banyak aset riil biasanya memiliki pengeluaran konsumsi yang besar. Contohnya seperti seseorang yang memiliki


(49)

banyak rumah kontrakan dan rumah kost biasanya akan memiliki banyak uang tanpa harus banyak bekerja. Dengan demikian orang tersebut dapat membeli banyak barang dan jasa karena punya banyak pemasukan dari hartanya.

c. Tingkat Bunga

Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi yang tinggi karena orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga tetap tabungan atau deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan banyak uang.

d. Perkiraan Masa Depan

Orang yang was-was tentang nasibnya di masa yang akan datang akan menekan konsumsi. Biasanya seperti orang yang mau pensiun, punya anak yang butuh biaya sekolah, ada yang sakit butuh banyak biaya perobatan, dan lain sebagainya.

Keynes membedakan permintaan uang menurut motivasi masyarakat untuk memegang uang menjadi tiga yaitu untuk berjaga-jaga, transaksi dan motif spekulasi, yakni mencari uang dari perbedaan tingkat bunga. Konsumsi mempunyai hubungan yang erat dengan tingkat tabungan, tabungan merupakan bagian dari pendapatan yang tidak dikonsumsi atau dibelanjakan. Suku bunga mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat melalui tabungan. Semakin tinggi tingkat bunga, semakin besar


(50)

pula jumlah uang yang ditabung sehingga semakin kecil uang yang dibelanjakan untuk konsumsi. Sebaliknya semakin rendah tingkat bunga, maka jumlah uang yang ditabung semakin rendah yang berarti semakin besar uang digunakan untuk konsumsi. Jadi hubungan antara konsumsi dan suku bunga mempunyai arah yang bertentangan, dimana suku bunga yang meningkat akan mengurangi pola konsumsi masyarakat (Sukirno, 2001). Dari hubungan di atas dapat kita simpulkan semakin menurun suku bunga maka akan semakin bertambah penerimaan pajak karena konsumsi masyarakat juga meningkat karena barang barang yang dibelanjakan tersebut dikenakan Pajak begitu juga sebaliknya.

2.1.6. Pertambahan wajib pajak

Di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang telah diperbaharui terakhir dengan Undang-undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pada pasal 1 angka 2 terdapat pengertian Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Program kebijakan ekstensifikasi dalam tahun 2010 dilaksanakan melalui dua kegiatan utama yaitu pengenaan pajak atas surplus bank Indonesia dan penambahan subjek pajak orang pribadi. Penambahan wajib pajak akan terus dilakukan melalui


(51)

tiga pendekatan utama yaitu pendekatan berbasis pemberi kerja dan bendahara pemerintah, pendekatan berbasis property dan pendekatan berbasis profesi. Kegiatan ekstensifikasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh direktorat jenderal pajak untuk memperluas atau menambah jumlah wajib pajak yang nantinya diharapkan akan menambah penerimaan Negara dari sektor perpajakan.

2.2. Landasan Penelitian terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Yogi Rahmayanti (2006) mengenai analisis potensi pajak menyatakan bahwa yang menentukan penerimaan pajak yaitu Tax Rate, Tax Base (PDB) don Collection System. Dalam penelitian ini ditekankan pada dua jenis pajak yang mempunyai peran yang signifikan terhadap penerimaan pajak di Indonesia yaitu PPh dan PPN. Salah satu hasil estimasi yang dilakukan menunjukkan bahwa Tax Base (PDB) dan time trend (trend waktu) mempunyai hubungan yang positif terhadap penerimaan PPh. Hasil regresi menunjukkan bahwa tax base mempunyai hubungan positif terhadap penerimaan PPh dengan koefisien sebesar 0,78 dan terhadap PPN dengan koefisien sebesar 1,156. ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan Tax Base (PDB) sebesar satu persen akan meningkatkan penerimaan PPh sebesar 0,78 persen dan penerimaan PPn sebesar 1,156 persen. Time trend (trend waktu) mempunyai hubungan yang positif dengan dengan penerimaan PPh dengan


(52)

koefisien sebesar 0,53 persen dan terhadap PPN dengan koefisien sebesar 0,37 persen.

Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2003) yang merupakan penelitian ex post facto yang merupakan penelitian dari peristiwa yang telah terjadi dan kemudian dirunut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi dari berbagai sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi dan pertumbuhan penerimaan pajak penghasilan selama dasawarsa 1990-2000 di antaranya dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh faktor-faktor Produk Domestik Bruto, Jumlah Wajib Pajak, dan Jumlah Kantor Pelayanan Pajak yang tersebar di seluruh Indonesia

Immervoll (2005), Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh inflasi terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Kontribusi Sekuriti Sosial di Eropa, dengan memakai variable inflasi sebagai variable bebas dan pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Kontribusi Sekuriti Sosial sebagai variable terikat. Hasil penelitian menunjukkan Inflasi berpengaruh negative terhadap Pajak Penghasilan Orang Pribadi.

Dalam penelitiannya Teera (2000) menganalisis determinan penerimaan pajak di Uganda, estimasi model dimana penerimaan pajak merupakan fungsi dari pembangunan ekonomi dan struktur ekonomi.

Ty = f (Y,M,A,P,Ag,Mf,D,TR,T) Dimana :


(53)

Ty = Rasio Pajak terhadap PDB Y = PDB per kapita

M = Rasio impor terhadap PDB A = Rasio Aid terhadap GNP P = Kepadatan Penduduk

Ag = Rasio Pertanian terhadap PDB Mf = Rasio Manufaktur terhadap PDB

D = Rasio Hutang Luar Negeri terhadap PDB TR = Variabel Bayang diproxy ke tax ratio T = Time Trend

Oktivani (2007), Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah jumlah wajib pajak dan jumlah pemeriksaan pajak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di kantor Pelayanan Pajak madiun, dengan memekai variable jumlah wajib pajak dan jumlah pemeriksaan pajak sebagai variable bebas dan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi sebagai variable terikat. Penelitian ini membuktikan bahwa jumlah wajib pajak lebih dominan


(54)

mempengaruhi penerimaan PPh Orang Pribadi bila dibandingkan dengan jumlah pemeriksaan pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Madiun.

2.2.1. Kerangka Konseptual Penelitian

Dengan demikian maka kerangka konseptual penelitian ini adalah penerimaan pajak di Indonesia dipengaruhi oleh PDB, Inflasi, tingkat suku bunga SBI dan pertambahan wajib pajak.

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Analisis Determinan Penerimaan Pajak di Indonesia

PDB (X1)

Penerimaan Pajak (Y) Inflasi (X2)

Suku Bunga SBI (X3)


(55)

2.2.2. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. PDB berpengaruh positip terhadap penerimaan pajak (Tax) di Indonesia 2. Inflasi berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak (Tax) di Indonesia 3. Tingkat Suku Bunga SBI berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak

(Tax) di Indonesia.

4. Jumlah pertambahan wajib pajak berpengaruh positip terhadap penerimaan pajak (Tax) di Indonesia


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian dan Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Indonesia dimulai 1981 sampai dengan 2010. Penelitian ini dilakukan untuk melihat determinan penerimaan pajak di Indonesia.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data time series tahunan (runtun waktu), yang bersumber dari Departemen Keuangan ( Direktorat Jenderal Pajak), Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, dan sumber-sumber data lainnya seperti buku-buku pajak, bulletin pajak, jurnal-jurnal ekonomi / Pajak, dan hasil penelitian sebelumnya. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data penerimaan pajak, PDB harga berlaku, Inflasi, tingkat suku bunga SBI, Pertambahan Wajib Pajak selama kurun waktu 1981 sampai dengan 2010.

3.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan melakukan pencatatan secara langsung berupa data time series dari tahun 1981-2010 dan juga dengan cara menelaah berbagai bahan pustaka seperti buku, jurnal serta laporan-laporan ilmiah yang ada hubungannya dengan topik yang diteliti.


(57)

3.4. Model Analisis

Untuk dapat mengetahui hubungan antara PDB, Inflasi, tingkat suku bunga SBI, Pertambahan Wajib Pajak terhadap penerimaan pajak, maka penelitian ini menggunakan model regresi linier bergandaadalah sebagai berikut:

Tt = α0 + α1 PDBt + α2 INFt + α3 SBIt + α4 DeltaWPt + ε dimana :

T = Penerimaan Pajak PDB = Produk Domestik Bruto INF = Inflasi

SBI = Tingkat suku bunga SBI DeltaWP = Pertambahan Wajib Pajak α0

α

= Intercept

1,2,3,4

ε

= coeficient

= Disturbance term error


(58)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Ordianry Least Square (OLS). Hal ini dikarenakan untuk mengetahui besarnya pengaruh PDB, Inflasi, tingkat suku bunga SBI, Pertambahan Wajib Pajak terhadap penerimaan pajak di Indonesia. Untuk mengolah data, digunakan bantuan program Eviews versi 7.1.

3.6. Definisi Operasional Variabel Penelitian

a. Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah dimana pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang dan pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak dimana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya dalam satuan Milyar rupiah.

b. PDB adalah produk domestik bruto Indonesia berdasarkan harga berlaku diukur dalam milyar rupiah dengan tahun data mulai 1981 s/d 2010.

c. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus diukur dengan persen (%) , tahun data mulai 1981 s/d 2010. d. Tingkat suku bunga SBI adalah suku bunga surat berharga yang dikeluarkan

Bank Indonesia yang diukur dalam persen (%) dengan tahun data mulai 1981 s/d 2010

e. Pertambahan WP adalah Jumlah pertambahan Wajib Pajak yang terdaftar di Indonesia diukur dengan wajib pajak (WP).


(59)

3.7. Uji Kesesuaian

3.7.1. Uji Koefisien determinasi (R2

3.7.2. Uji parsial (t-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial. Jika t

) dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan variabel bebas (independent variable) menjelaskan variabel terikat (dependent variable).

hit > ttabel, maka H0 ditolak dan H1

3.7.3. Uji serempak (F-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara serempak. Jika F

diterima.

hit > Ftabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima.

3.8. Pelanggaran Asumsi Klasik

Dalam suatu model regresi ada beberapa permasalahan yang biasa terjadi dan secara statistik dapat menganggu model yang telah ditentukan, bahkan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang dibentuk. Untuk itu maka perlu melakukan uji penyimpangan asumsi klasik, yang terdiri dari (Gujarati, 2010) :

3.8.1. Multikolinieritas

Multikolinieritas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linear diantara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Interpretasi dari persamaan


(60)

regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tidak saling berkorelasi. Bila variabel-variabel bebas berkorelasi dengan sempurna, maka disebut multikolinieritas sempurna.

Multikolinieritas dapat dideteksi dengan besaran-besaran regresi yang didapat, yaitu :

1) Variasi besar (dari taksiran OLS)

2) Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar, maka standar error besar sehingga interval kepercayaan lebar).

3) Uji-t tidak signifikan. Suatu variabel bebas secara substansi maupun secara statistik jika dibuat regresi sederhana bias tidak signifikan karena variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar error terlalu besar, maka besar pula kemungkinan taksiran koefisien regresi tidak signifikan.

4) R2

Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak sesuai dengan substansi sehingga dapat menyesatkan interpretasi.

tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari t-test.

3.8.2. Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi. Dengan menggunakan lambang µ secara sederhana dapat dikatakan


(61)

model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun. Untuk mengestimasi model persamaan ekonometrika (3.3) dengan OLS, harus dipastikan bahwa faktor kesalahan µ dan variabel terlambat SAV(-1) tidak berkorelasi. Jika sebaliknya, seperti bisa dilihat, estimator OLS tidak hanya bias tetapi juga tidak konsisten (Gujarati, 2010).

Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian ini dilakukan uji Lagrange Multiplier (LM Test). LM Test adalah suatu cara yang dapat digunakan untuk menguji autokorelasi dengan keberadaan variabel dependen yang diperlamban dengan menganalisis seberapa baik residu-residu yang diperlamban menjelaskan residu-residu pada persamaan awal (Sarwoko, 2005). LM Test dilakukan dengan membandingkan nilai X2hitung dengan X2tabel

1) Jika nilai X

dengan kriteria sebagai berikut : 2

hitung > X2 tabel

2) Jika nilai X

, maka hipotesis yang menyatakan tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan ditolak.

2

hitung < X2 tabel , maka hipotesis yang menyatakan tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan tidak dapat ditolak.

3.8.3. Normalitas

Asumsi model regresi linier klasik adalah bahwa faktor pengganggu µi mempunyai nilai rata-rata yang sama dengan nol, tidak berkorelasi dan mempunyai varian konstan. Dengan asumsi ini, OLS estimator atau penaksir akan memenuhi


(62)

sifat-sifat statistik yang diinginkan, seperti ketidakbiasan dan mempunyai varian yang minimum. Untuk dapat mengetahui normal atau tidaknya faktor pengganggu µi dilakukan dengan J-B Test (Jarque-Bera Test).

Menurut Manurung (2005), Uji Jarque-Bera Test adalah asimptosis untuk sampel besar. Uji ini juga didasarkan pada residual OLS estimator dengan cara menguji Skweness dan Kurtosis yaitu :

JB=N [ S2 / 6 + (k-3)2 / 24 ]

di mana S dan K adalah koefisien Skewness dan Kurtosis serta N adalah jumlah data. Di bawah hipotesis (H0) dinyatakan bahwa residual terdistribusi secara normal dengan derajat bebas atau df=2. Jika nilai penghitungan ρ (probability) dari statistik JB cukup rendah atau nilai statistik JB berbeda dengan nol maka hipotesis yang menyatakan residual terdistribusi secara normal ditolak. Akan tetapi jika nilai

penghitungan ρ (probability) dari statistik JB cukup tinggi atau nilai statistik JB nol maka hipotesis yang menyatakan residual terdistribusi secara normal tidak ditolak.


(63)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1 Penerimaan Pajak

Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah dimana pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang dan pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak dimana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya.Pendapatan negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 terdiri dari penerimaan pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah. Dalam struktur APBN, penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri dan hibah. Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan perpajakan dan PNBP. Penerimaan perpajakan meliputi pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri berupa Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (PBB dan BPHTB), Cukai, dan Pajak lainnya.

Ketentuan yang mengatur pemungutan pajak dalam negeri (pajak-pajak pusat) adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Kemudian Undang-Undang Nomor 7 Tahun


(64)

1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, dan sekarang sedang dalam pembahasan atas usulan perubahannya di DPR. Disamping itu, ketentuan lainnya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.

Ketentuan yang mengatur pemungutan cukai diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Saat ini amandemen terhadap Undang-Undang Cukai telah disahkan oleh DPR. Pajak lainnya adalah Bea Materai yang ketentuan pemungutannya menggunakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar. Ketentuan yang mengatur pemungutan pajak perdagangan internasional adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.


(65)

Rangkaian kebijaksanaan fiskal yang sangat mendukung APBN adalah pembaharuan sistem perpajakan yang mulai diberlakukan sejak Tahun Anggaran 1984/1985, yang telah berhasil menempatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan utama di luar migas. Perbandingan penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto (tax ratio) sejak adanya reformasi perpajakan tersebut telah semakin meningkat, yaitu dari 6,8 persen dalam tahun 1984/85 diperkirakan menjadi sekitar 12.4 persen dalam Tahun Anggaran 2010.

Meningkatnya peranan sektor perpajakan merupakan suatu langkah kemajuan dalam pengelolaan APBN, mengingat sumber penerimaan tersebut tidak secara langsung dipengaruhi oleh gejolak perekonomian dunia. Dengan tetap dilandasi pada prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis, peningkatan peranan penerimaan di luar migas tersebut telah memperkuat ketahanan ekonomi dan mempertinggi kemampuan untuk membangun. Sejalan dengan hal itu, pelaksanaan proyek-proyek pembangunan tetap diselaraskan dengan kemampuan penyediaan sumber dana terutama di luar migas, dan dengan pemilihan prioritas yang lebih dipertajam. Kesemua hal ini tetap mengacu pada Trilogi Pembangunan, yaitu untuk mencapai tingkat kemajuan pembangunan yang merata ke seluruh wilayah tanah air.

Melalui langkah-langkah kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi di bidang perpajakan, maka penerimaan perpajakan meningkat dari tahun ke tahun. Dalam lima tahun terakhir penerimaan perpajakan mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu mencapai rata-rata 16.7 persen per tahun. Bila dalam tahun 2006 meningkat


(66)

menjadi Rp425,053 triliun, atau meningkat sebesar 17,9 persen. Dalam tahun 2007, penerimaan perpajakan mencapai sebesar Rp 509,462 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 19,7 persen. Dalam tahun 2008, penerimaan perpajakan mencapai sebesar Rp 633,8 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 24,4 persen. Dalam tahun 2009, penerimaan perpajakan mencapai sebesar Rp 725.8 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 14.5 persen. Dalam tahun 2010, penerimaan perpajakan mencapai sebesar Rp 742.7 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 23.3 persen.

Komponen perpajakan dalam suatu perekonomian merupakan penyumbang pendapatan negara yang terpenting. Secara keseluruhan, dalam tahun terakhir total penerimaan perpajakan menyumbang rata-rata 78,3 persen dari total penerimaan negara. Adapun komponen terbesar dalam total penerimaan perpajakan berasal dari pajak dalam negeri yang menyumbang sekitar 96,34 persen, selebihnya berasal dari pajak perdagangan internasional.

Penerimaan pajak Pusat (Pajak Penghasilan, pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan) di Indonesia diawasi dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak yang berkantor pusat di Jakarta di jalan Jend.Gatot Subroto No.40-42 Jakarta.

Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak membawahi 31 Kantor Wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia antara lain Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kanwil DJP Jakarta Khusus, Kanwil DJP Nangroe Aceh Darussalam, Kanwil DJP Sumatera utara I, Kanwil DJPSumatera Utara II, Kanwil DJP Riau dan Kep.Riau, Kanwil DJP


(67)

Sumatera Barat dan Jambi, Kanwil DJP Sumatera Selatan dan Kep Bangka Belitung, kanwil DJP Bengkulu dan Lampung, Kanwil DJP Jakarta Pusat, Kanwil DJP Jakarta Barat, Kanwil DJP Jakarta Selatan, kanwil DJP Jakarta Timur, Kanwil DJP Jakarta Utara, Kanwil DJP Banten, Kanwil DJP Jawa Barat I, Kanwil DJP Jawa Barat II, Kanwil DJP Jawa Tengah I, Kanwil DJP Jawa Tengah II, Kanwil DJP Daerah Istimewa Yogyakarta, Kanwil DJP jawa Timur I, Kanwil DJP Jawa Timur II, Kanwil DJP Jawa Timur III, Kanwil DJP Kalimantan Barat, Kanwil DJP Kalsel dan Kalteng, Kanwil DJP Kalimantan Timur, Kanwil DJP Selatan Barat dan Tenggara, Kanwil DJP Suluttenngo dan Malut, Kanwil DJP Bali, Kanwil DJP Nusa Tenggara, Kanwil DJP papua dan Maluku.

Potensi pengumpulan pajak dari wajib pajak di Indonesia masih terbuka lebar karena dari 241 Juta Penduduk Indonesia baru 21 Juta yang memiliki NPWP dan sisanya masih banyak yang belum tergarap. Penerimaan pajak dari wajib pajak yang telah terdaftar diharapkan masih dapat ditingkatkan lagi begitu juga dengan penambahan jumlah wajib pajak baru yang potensial masih dapat dimaksimalkan di masa mendatang.

Pencapaian target pajak akan ditempuh melalui rangkaian kegiatan dari mapping, profiling, benchmarking dan kegiatan extra effort. Beberapa sektor unggulan yang menjadi sasaran antara lain perkebunan kelapa sawit, property, bendahara dan lainnya. Di samping itu Direktorat Jenderal Pajak saat ini sedang


(68)

membangun Bank Data yang dapat digunakan untuk optimalisasi penerimaan pajak agar tidak ada lagi alasan wajib pajak untuk tidak mau membayar pajak.

Untuk mengetahui perkembangan jumlah penerimaan pajak di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut di bawah ini :

Gambarl 4.1.Perkembangan Penerimaan Pajak 1981 – 2010 (Milyar Rupiah)

Dari gambar di atas dapat dilihat penerimaan pajak di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun begitu juga dengan target yang diberikan pemerintah yang selalu meningkat setiap tahunnya.


(69)

4.1. 2 Produk Domestik Bruto (PDB)

PDB merupakan pendapatan yang dihasilkan oleh suatu negara dalam kurun waktu tertentu. Dengan Produk Domestik Bruto bisa diketahui tingkat keberhasilan pembangunan daerah yang telah dilaksanankan sekaligus berguna untuk menentukan arah pembangunan di masa yang akan datang juga dapat dipergunakan untuk menilai kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya alam sesuai dengan prioritas dan potensi yang ada didaerah. Berikut perkembangan PDB di Indonesia :

. Gambar 4.2. Perkembangan PDB Indonesia 1981 – 2010 (Milyar Rupiah)

Berdasarkan Gambar 4.2. di atas diketahui bahwa nilai PDB pada tahun 1986 merupakan titik terendah berada pada kisaran Rp 92,492 milyar kemudian


(70)

berdasarkan waktunya terus mengalami peningkatan sampai tahun 2010. Setelah tahun 2008 PDB Indonesia cenderung mengalami penurunan pertumbuhan. Turunnya pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2008 disebabkan adanya pengaruh krisis ekonomi global yang melanda Amerika Serikat akhir tahun 2007. Krisis tersebut menyebabkan berbagai penurunan indikator ekonomi seperti ekspor dan impor yang mempengaruhi permintaan akan suatu barang sehingga berbagai produksi barang juga akan menurun.

4.1.3 Perkembangan Inflasi

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. Inflasi diukur dalam persen (%).


(71)

Berikut data perkembangan inflasi dari tahun 1981 sampai dengan 2010 :

Gambar 4.3 : Perkembangan Inflasi di Indonesia 1981-2010 (%)

Berdasarkan Gambar 4.3. diketahui bahwa terjadi inflasi yang fluktuatif dari tahun 1981 sampai dengan tahun 2010. Pada periode tersebut inflasi terendah terjadi pada tahun 2000 sedangkan inflasi tertinggi terjadi pada tahun 1998 akibat krisis moneter yang terjadi di Indonesia. Naiknya inflasi disebabkan adanya kenaikkan jumlah uang beredar, turunnya suku bunga dan permintaan masyarakat akan barang juga meningkat.


(72)

4.1.4. Perkembangan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

Selama krisis suku bunga yang lebih tinggi banyak dipengaruhi oleh kalangan likuiditas yang dialami oleh bank-bank yang kurang sehat atau tidak sehat yang secara struktural mengandalkan sumber dana pada pasar uang antar bank.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sektor perbankan telah mengidap berbagai kelemahan tercermin pada besarnya jumlah kredit macet pada sejumlah bank dengan terjadinya krisis yang telah mengakibatkan pemerintah mengambil kebijkan ketat, disamping serbuan rush berulang-ulang sektor perbankan menjadi semakin terpuruk karena disintermediasi perbankan sudah terjadi sejak akhir 1997 dan kualitas aktiva produktif juga semakin buruk. Berikut perkembangan SBI tahun 1981 sampai tahun 2010.


(73)

Berdasarkan Gambar 4.4 di atas diketahui bahwa nilai SBI pada tahun 2009 merupakan titik terendah berada pada kisaran dibawah 4.5% sedangkan pada akhir tahun 1999 SBI mencapai level tertinggi mencapai di atas 25%, kemudian menurun kembali pada akhir tahun 2005 dan kembali meningkat di awal tahun 2007. Peningkatan SBI disebabkan pemerintah mengendalikan jumlah uang beredar dan inflasi yang terjadi sedangkan penurunan SBI dimaksudkan untuk menumbuhkan sektor riil melalui pinjaman investasi dengan bunga yang rendah.


(74)

4.1.5. Perkembangan Jumlah Wajib Pajak

Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ga mbar 4.5. Grafik Delta WP di Indonesia periode 1981- 2010

Dari gambar di atas dapat kita lihat bahwa terus terjadi peningkatan jumlah wajib pajak setiap tahun.Pertambahan wajib pajak terkecil terjadi tahun 1987 sedangkan pertambahan yang paling besar terjadi pada tahun 2008 sebanyak 6,348,369 wajib pajak baru. Hal ini dikarenakan pada tahun 2008 Direktorat Jenderal pajak selaku lembaga di bawah Departemen Keuangan Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan yang dinamakan sunset policy. Wajib pajak orang pribadi


(75)

yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP pada tahun 2008 diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang bayar. Dengan adanya kebijakan sunset policy ini antusia warga Negara Indonesia yang belum mempunyai NPWP untuk memiliki NPWP sangat besar.

4.1.6 Uji Statistik Hasil Estimasi Model

Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (PDB, Inflasi, SBI dan Pertambahan wajib pajak) terhadap variabel terikat (Penerimaan Pajak) dilakukan dengan menggunakan model regresi linear berganda. Hasil estimasi tersebut ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 4.6. Hasil Estimasi Model Penelitian

Sumber: Hasil pengolahan Eviews Lampiran 1

Variabel Koefisien Std. Error t-Statistic Prob. C

16648.72 8486.282 1.961839 0.0610 PDB

0.115502 0.002078 55.59475 0.0000 INF

-676.5267 235.8273 -2.868738 0.0083 SBI

-1001.265 469.5607 -2.132344 0.0430 DELTAWP

0.012277 0.002470 4.969456 0.0000 R-squared F-statistic Prob(F- statistic) Durbin-Watson stat 0.997485 2478.891 0.000000 1.789935


(76)

Berdasarkan hasil estimasi yang ditunjukkan pada tabel di atas, maka hasilnya dapat diperoleh:

TAX = 16648.72 + 0.115 PDB – 676.526 INF - 1001.265SBI + 0.0122DELTAWP (55.594)*** ( -2.868)*** (-2.132)** (4.969)***

R2

Prob = 0,000

= 0,997 F-Stat = 2478.891

Catatan : Angka dalam kurung adalah nilai t-statistik * Signifikan pada α 10 %

** Signifikan pada α 5 % *** Signifikan pada α 1 %

4.1.7 Uji Kesesuaian (Test Goodness of Fit)

Berdasarkan hasil estimasi di atas, diperoleh nilai koefisien determinasi R2

Hasil uji simultan (serempak) dilakukan untuk melihat signifikansi secara bersama-sama variabel bebas dalam mempengaruhi variabel terikat. Dari estimasi tersebut diperoleh nilai F – statistik sebesar 2478.891 yang lebih besar dari F – tabel sebesar 0,997 yang bermakna bahwa variabel PDB,Inflasi, suku bunga SBI dan Pertambahan wajib pajak mampu menjelaskan variasi terhadap Penerimaan Pajak untuk kurun waktu Januari 1980 sampai 2010 adalah sebesar 99,7 persen. Sedangkan sisanya sebesar 0,3 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model persamaan tersebut.


(77)

sebesar 2,92 pada tingkat α= 5 persen, dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05. Artinya secara bersama-sama variabel PDB,Inflasi, SBI, dan pertambahan wajib pajak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Penerimaan pajak.

4.1.8 Uji Asumsi Klasik

4.1.8.1 Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi yang cukup besar antar sesama variabel bebas. Korelasi yang terlalu tinggi antar sesama variabel bebas akan berpengaruh pada menurunnya korelasi secara simultan terhadap variabel terikat. Untuk mendeteksi terjadinya multikolinearitas digunakan dengan perbandingan nilai R2 model, dengan nilai R2

Tabel 4.7. Nilai koefisien determinasi R

regresi dari masing-masing variabel independen.

2

Variabel

R2 Kesimpulan Tax 0,997

PDB 0,986

Inf 0,016

SBI 0,246 Bebas

DELTAWP 0,016 Multikolinearitas Sumber : Hasil Pengolahan Eviews Lampiran 2


(78)

Kriteria yang digunakan adalah jika nilai R2 variabel-variabel independen lebih kecil dari nilai R2 model, maka data bebas dari masalah multikolinearitas. Dari tabel diatas terlihat bahwa R2 lebih kecil dari nilai R2 model. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa data penelitian bebas dari masalah multikolinearitas.

4.1.8.2 Uji Autokorelasi

Hasil uji autokorelasi dengan menggunakan serial correlation LM test menunjukkan bahwa nilai Probabilitas lebih besar dari 0,05 sehingga hipotesis nol ditolak, yaitu tidak ada autokorelasi.

Tabel 4.8. Hasil Uji LM – Test Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.858524 Probability 0.4369 Obs*R-squared 2.084044 Probability 0.3527 Sumber : Hasil Pengolahan Eviews Lampiran 3

4.1.8.3 Uji Normalitas

Dari hasil pengujian normalitas dengan menggunakan Jarque – Berra Test (J-B test), didapat bahwa nilai probabilitas adalah 0,0764 lebih besar dari 0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data berdistribusi normal.


(79)

4.2.Pembahasan

4.2.1 Produk Domestik Bruto (PDB)

Nilai koefisien variabel PDB bertanda positif sesuai dengan hipotesis yaitu sebesar 0,115 yang mengandung arti bahwa setiap peningkatan terhadap 1 milyar PDB, maka penerimaan pajak akan mengalami peningkatan sebesar 0,115 milyar rupiah, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa hubungan antara PDB dengan Penerimaan pajak adalah positip. Semakin besar PDB, maka Penerimaan Pajak akan semakin besar. Dengan nilai probabilitas sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05, maka variabel PDB signifikan pada tingkat α = 5%. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa PDB merupakan variabel yang dapat meningkatkan Penerimaan Pajak di Indonesia. PDB terdiri dari konsumsi, investasi, belanja negara, ekspor dan impor yang dirumuskan dengan Y = C + I + G + (X - M). Semakin tinggi pendapatan maka akan meningkatkan pajak langsung seperti Pajak Penghasilan, begitu juga dengan peningkatan konsumsi atas barang dan jasa maka akan meningkatkan pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yogi Rahmayanti (2006) mengenai potensi dan pertumbuhan penerimaan pajak penghasilan, menemukan bahwa PDB berpengaruh positif terhadap PPh sebesar 0,78 persen dan PPN sebesar 1,156 persen.


(80)

4.2.2 Inflasi

Nilai koefisien variabel inflasi bertanda negatif sesuai dengan hipotesis. Nilai koefisiennya sebesar -676.526 yang mengandung arti bahwa setiap peningkatan terhadap 1 persen inflasi, maka penerimaan pajak di Indonesia akan mengalami penurunan sebesar 676.526 milyar rupiah, ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa hubungan antara Inflasi dengan Penerimaan pajak adalah negatif. Semakin besar Inflasi semakin rendah Penerimaan pajak. Dengan nilai probabilitas sebesar 0,0083 lebih kecil dari 0,05, maka variabel inflasi signifikan

pada tingkat α = 5%. Inflasi akan mengurangi daya beli uang yang telah diperoleh masyarakat dengan susah payah. Apabila haga naik, tiap lembar uang yang dihasilkannya hanya akan mampu membeli barang dan jasa dalam jumlah yang sedikit. Jadi , kelihatannya inflasi secara langsung telah menurunkan standar hidup. Namun dipihak lain, ketika harga naik, pembeli barang dan jasa akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk apa yang mereka beli.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Immervoll (2005) mengenai pengaruh inflasi terhadap pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Kontribusi Sekuriti Sosial di Eropa, menemukan bahwa Inflasi berpengaruh negatif terhadap pajak penghasilan


(1)

Dependent Variable: INF Method: Least Squares Date: 10/17/11 Time: 16:09 Sample: 1981 2010

Included observations: 30

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 9.294993 6.817778 1.363346 0.1845 PDB 2.33E-07 1.73E-06 0.134717 0.8939 SBI 0.109327 0.389902 0.280396 0.7814 DELTAWP -8.18E-07 2.05E-06 -0.399328 0.6929

R-squared 0.016377 Mean dependent var 10.57400 Adjusted R-squared -0.097118 S.D. dependent var 9.644278 S.E. of regression 10.10175 Akaike info criterion 7.586860 Sum squared resid 2653.178 Schwarz criterion 7.773686 Log likelihood -109.8029 Hannan-Quinn criter. 7.646627 F-statistic 0.144294 Durbin-Watson stat 1.849559 Prob(F-statistic) 0.932406


(2)

Dependent Variable: SBI Method: Least Squares Date: 10/17/11 Time: 16:09 Sample: 1981 2010

Included observations: 30

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 16.08224 1.617073 9.945278 0.0000 PDB -1.44E-06 8.20E-07 -1.758339 0.0905 INF 0.027576 0.098347 0.280396 0.7814 DELTAWP -2.65E-07 1.03E-06 -0.256719 0.7994

R-squared 0.270392 Mean dependent var 14.14733 Adjusted R-squared 0.186207 S.D. dependent var 5.623954 S.E. of regression 5.073397 Akaike info criterion 6.209464 Sum squared resid 669.2232 Schwarz criterion 6.396290 Log likelihood -89.14196 Hannan-Quinn criter. 6.269231 F-statistic 3.211863 Durbin-Watson stat 0.878058 Prob(F-statistic) 0.039351


(3)

Dependent Variable: DELTAWP Method: Least Squares

Date: 10/17/11 Time: 16:10 Sample: 1981 2010

Included observations: 30

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 103901.6 673362.9 0.154302 0.8786 SBI -9557.181 37228.24 -0.256719 0.7994 INF -7452.931 18663.66 -0.399328 0.6929 PDB 0.594669 0.116615 5.099446 0.0000

R-squared 0.593758 Mean dependent var 728385.2 Adjusted R-squared 0.546883 S.D. dependent var 1432527. S.E. of regression 964290.1 Akaike info criterion 30.51974 Sum squared resid 2.42E+13 Schwarz criterion 30.70656 Log likelihood -453.7961 Hannan-Quinn criter. 30.57951 F-statistic 12.66707 Durbin-Watson stat 1.085999 Prob(F-statistic) 0.000027


(4)

Lampiran 3.Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 0.858524 Prob. F(2,23) 0.4369 Obs*R-squared 2.084044 Prob. Chi-Square(2) 0.3527

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 10/17/11 Time: 16:07 Sample: 1981 2010

Included observations: 30

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -452.0592 8583.915 -0.052664 0.9585 PDB 0.001467 0.002462 0.595681 0.5572 INF -6.205883 237.5010 -0.026130 0.9794 SBI 17.32767 474.0959 0.036549 0.9712 DELTAWP -0.002349 0.003105 -0.756371 0.4571 RESID(-1) -0.032045 0.230651 -0.138931 0.8907 RESID(-2) 0.385904 0.301095 1.281668 0.2127


(5)

R-squared 0.069468 Mean dependent var -1.43E-11 Adjusted R-squared -0.173279 S.D. dependent var 11278.42 S.E. of regression 12216.56 Akaike info criterion 21.85994 Sum squared resid 3.43E+09 Schwarz criterion 22.18688 Log likelihood -320.8990 Hannan-Quinn criter. 21.96453 F-statistic 0.286175 Durbin-Watson stat 1.742887 Prob(F-statistic) 0.937533


(6)

Lampiran 4.Uji Normalitas

0 2 4 6 8 10 12 14

-30000 -20000 -10000 0 10000 20000 30000

Series: Residuals Sample 1981 2010 Observations 30

Mean -1.43e-11

Median 682.0505

Maximum 28817.44

Minimum -31507.85

Std. Dev. 11278.42

Skewness -0.084990

Kurtosis 5.021029

Jarque-Bera 5.141813