Definisi Operasional Variabel Penelitian Uji Kesesuaian Hasil

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Ordianry Least Square OLS. Hal ini dikarenakan untuk mengetahui besarnya pengaruh PDB, Inflasi, tingkat suku bunga SBI, Pertambahan Wajib Pajak terhadap penerimaan pajak di Indonesia. Untuk mengolah data, digunakan bantuan program Eviews versi 7.1.

3.6. Definisi Operasional Variabel Penelitian

a. Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah dimana pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang dan pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak dimana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya dalam satuan Milyar rupiah. b. PDB adalah produk domestik bruto Indonesia berdasarkan harga berlaku diukur dalam milyar rupiah dengan tahun data mulai 1981 sd 2010. c. Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus diukur dengan persen , tahun data mulai 1981 sd 2010. d. Tingkat suku bunga SBI adalah suku bunga surat berharga yang dikeluarkan Bank Indonesia yang diukur dalam persen dengan tahun data mulai 1981 sd 2010 e. Pertambahan WP adalah Jumlah pertambahan Wajib Pajak yang terdaftar di Indonesia diukur dengan wajib pajak WP .

3.7. Uji Kesesuaian

3.7.1. Uji Koefisien determinasi R 2 3.7.2. Uji parsial t-test, dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara parsial. Jika t dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan variabel bebas independent variable menjelaskan variabel terikat dependent variable. hit t tabel , maka H ditolak dan H 1 3.7.3. Uji serempak F-test, dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara serempak. Jika F diterima. hit F tabel , maka H ditolak dan H 1 diterima.

3.8. Pelanggaran Asumsi Klasik

Dalam suatu model regresi ada beberapa permasalahan yang biasa terjadi dan secara statistik dapat menganggu model yang telah ditentukan, bahkan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang dibentuk. Untuk itu maka perlu melakukan uji penyimpangan asumsi klasik, yang terdiri dari Gujarati, 2010 : 3.8.1. Multikolinieritas Multikolinieritas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linear diantara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Interpretasi dari persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tidak saling berkorelasi. Bila variabel-variabel bebas berkorelasi dengan sempurna, maka disebut multikolinieritas sempurna. Multikolinieritas dapat dideteksi dengan besaran-besaran regresi yang didapat, yaitu : 1 Variasi besar dari taksiran OLS 2 Interval kepercayaan lebar karena variasi besar, maka standar error besar sehingga interval kepercayaan lebar. 3 Uji-t tidak signifikan. Suatu variabel bebas secara substansi maupun secara statistik jika dibuat regresi sederhana bias tidak signifikan karena variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar error terlalu besar, maka besar pula kemungkinan taksiran koefisien regresi tidak signifikan. 4 R 2 Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai yang tidak sesuai dengan substansi sehingga dapat menyesatkan interpretasi. tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari t-test.

3.8.2. Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi. Dengan menggunakan lambang µ secara sederhana dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun. Untuk mengestimasi model persamaan ekonometrika 3.3 dengan OLS, harus dipastikan bahwa faktor kesalahan µ dan variabel terlambat SAV-1 tidak berkorelasi. Jika sebaliknya, seperti bisa dilihat, estimator OLS tidak hanya bias tetapi juga tidak konsisten Gujarati, 2010. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dalam model penelitian ini dilakukan uji Lagrange Multiplier LM Test. LM Test adalah suatu cara yang dapat digunakan untuk menguji autokorelasi dengan keberadaan variabel dependen yang diperlamban dengan menganalisis seberapa baik residu-residu yang diperlamban menjelaskan residu-residu pada persamaan awal Sarwoko, 2005. LM Test dilakukan dengan membandingkan nilai X 2 hitung dengan X 2 tabel 1 Jika nilai X dengan kriteria sebagai berikut : 2 hitung X 2 tabel 2 Jika nilai X , maka hipotesis yang menyatakan tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan ditolak. 2 hitung X 2 tabel , maka hipotesis yang menyatakan tidak ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan tidak dapat ditolak.

3.8.3. Normalitas

Asumsi model regresi linier klasik adalah bahwa faktor pengganggu µi mempunyai nilai rata-rata yang sama dengan nol, tidak berkorelasi dan mempunyai varian konstan. Dengan asumsi ini, OLS estimator atau penaksir akan memenuhi sifat-sifat statistik yang diinginkan, seperti ketidakbiasan dan mempunyai varian yang minimum. Untuk dapat mengetahui normal atau tidaknya faktor pengganggu µi dilakukan dengan J-B Test Jarque-Bera Test. Menurut Manurung 2005, Uji Jarque-Bera Test adalah asimptosis untuk sampel besar. Uji ini juga didasarkan pada residual OLS estimator dengan cara menguji Skweness dan Kurtosis yaitu : JB=N [ S 2 6 + k-3 2 24 ] di mana S dan K adalah koefisien Skewness dan Kurtosis serta N adalah jumlah data. Di bawah hipotesis H0 dinyatakan bahwa residual terdistribusi secara normal dengan derajat bebas atau df=2. J ika nilai penghitungan ρ probability dari statistik JB cukup rendah atau nilai statistik JB berbeda dengan nol maka hipotesis yang menyatakan residual terdistribusi secara normal ditolak. Akan tetapi jika nilai penghitungan ρ probability dari statistik JB cukup tinggi atau nilai statistik JB nol maka hipotesis yang menyatakan residual terdistribusi secara normal tidak ditolak.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1 Penerimaan Pajak

Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah dimana pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang dan pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak dimana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya.Pendapatan negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 terdiri dari penerimaan pajak, penerimaan negara bukan pajak PNBP, dan hibah. Dalam struktur APBN, penerimaan negara terdiri dari penerimaan dalam negeri dan hibah. Penerimaan dalam negeri terdiri dari penerimaan perpajakan dan PNBP. Penerimaan perpajakan meliputi pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri berupa Pajak Penghasilan PPh, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah PPN dan PPnBM, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan PBB dan BPHTB, Cukai, dan Pajak lainnya. Ketentuan yang mengatur pemungutan pajak dalam negeri pajak-pajak pusat adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan KUP sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Kemudian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, dan sekarang sedang dalam pembahasan atas usulan perubahannya di DPR. Disamping itu, ketentuan lainnya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan PBB sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Ketentuan yang mengatur pemungutan cukai diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Saat ini amandemen terhadap Undang-Undang Cukai telah disahkan oleh DPR. Pajak lainnya adalah Bea Materai yang ketentuan pemungutannya menggunakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Pajak perdagangan internasional terdiri atas bea masuk dan bea keluar. Ketentuan yang mengatur pemungutan pajak perdagangan internasional adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006. Rangkaian kebijaksanaan fiskal yang sangat mendukung APBN adalah pembaharuan sistem perpajakan yang mulai diberlakukan sejak Tahun Anggaran 19841985, yang telah berhasil menempatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan utama di luar migas. Perbandingan penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto tax ratio sejak adanya reformasi perpajakan tersebut telah semakin meningkat, yaitu dari 6,8 persen dalam tahun 198485 diperkirakan menjadi sekitar 12.4 persen dalam Tahun Anggaran 2010. Meningkatnya peranan sektor perpajakan merupakan suatu langkah kemajuan dalam pengelolaan APBN, mengingat sumber penerimaan tersebut tidak secara langsung dipengaruhi oleh gejolak perekonomian dunia. Dengan tetap dilandasi pada prinsip anggaran yang berimbang dan dinamis, peningkatan peranan penerimaan di luar migas tersebut telah memperkuat ketahanan ekonomi dan mempertinggi kemampuan untuk membangun. Sejalan dengan hal itu, pelaksanaan proyek-proyek pembangunan tetap diselaraskan dengan kemampuan penyediaan sumber dana terutama di luar migas, dan dengan pemilihan prioritas yang lebih dipertajam. Kesemua hal ini tetap mengacu pada Trilogi Pembangunan, yaitu untuk mencapai tingkat kemajuan pembangunan yang merata ke seluruh wilayah tanah air. Melalui langkah-langkah kebijakan ekstensifikasi dan intensifikasi di bidang perpajakan, maka penerimaan perpajakan meningkat dari tahun ke tahun. Dalam lima tahun terakhir penerimaan perpajakan mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu mencapai rata-rata 16.7 persen per tahun. Bila dalam tahun 2006 meningkat menjadi Rp425,053 triliun, atau meningkat sebesar 17,9 persen. Dalam tahun 2007, penerimaan perpajakan mencapai sebesar Rp 509,462 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 19,7 persen. Dalam tahun 2008, penerimaan perpajakan mencapai sebesar Rp 633,8 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 24,4 persen. Dalam tahun 2009, penerimaan perpajakan mencapai sebesar Rp 725.8 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 14.5 persen. Dalam tahun 2010, penerimaan perpajakan mencapai sebesar Rp 742.7 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 23.3 persen. Komponen perpajakan dalam suatu perekonomian merupakan penyumbang pendapatan negara yang terpenting. Secara keseluruhan, dalam tahun terakhir total penerimaan perpajakan menyumbang rata-rata 78,3 persen dari total penerimaan negara. Adapun komponen terbesar dalam total penerimaan perpajakan berasal dari pajak dalam negeri yang menyumbang sekitar 96,34 persen, selebihnya berasal dari pajak perdagangan internasional. Penerimaan pajak Pusat Pajak Penghasilan, pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia diawasi dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak yang berkantor pusat di Jakarta di jalan Jend.Gatot Subroto No.40-42 Jakarta. Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak membawahi 31 Kantor Wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia antara lain Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kanwil DJP Jakarta Khusus, Kanwil DJP Nangroe Aceh Darussalam, Kanwil DJP Sumatera utara I, Kanwil DJPSumatera Utara II, Kanwil DJP Riau dan Kep.Riau, Kanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi, Kanwil DJP Sumatera Selatan dan Kep Bangka Belitung, kanwil DJP Bengkulu dan Lampung, Kanwil DJP Jakarta Pusat, Kanwil DJP Jakarta Barat, Kanwil DJP Jakarta Selatan, kanwil DJP Jakarta Timur, Kanwil DJP Jakarta Utara, Kanwil DJP Banten, Kanwil DJP Jawa Barat I, Kanwil DJP Jawa Barat II, Kanwil DJP Jawa Tengah I, Kanwil DJP Jawa Tengah II, Kanwil DJP Daerah Istimewa Yogyakarta, Kanwil DJP jawa Timur I, Kanwil DJP Jawa Timur II, Kanwil DJP Jawa Timur III, Kanwil DJP Kalimantan Barat, Kanwil DJP Kalsel dan Kalteng, Kanwil DJP Kalimantan Timur, Kanwil DJP Selatan Barat dan Tenggara, Kanwil DJP Suluttenngo dan Malut, Kanwil DJP Bali, Kanwil DJP Nusa Tenggara, Kanwil DJP papua dan Maluku. Potensi pengumpulan pajak dari wajib pajak di Indonesia masih terbuka lebar karena dari 241 Juta Penduduk Indonesia baru 21 Juta yang memiliki NPWP dan sisanya masih banyak yang belum tergarap. Penerimaan pajak dari wajib pajak yang telah terdaftar diharapkan masih dapat ditingkatkan lagi begitu juga dengan penambahan jumlah wajib pajak baru yang potensial masih dapat dimaksimalkan di masa mendatang. Pencapaian target pajak akan ditempuh melalui rangkaian kegiatan dari mapping, profiling, benchmarking dan kegiatan extra effort. Beberapa sektor unggulan yang menjadi sasaran antara lain perkebunan kelapa sawit, property, bendahara dan lainnya. Di samping itu Direktorat Jenderal Pajak saat ini sedang membangun Bank Data yang dapat digunakan untuk optimalisasi penerimaan pajak agar tidak ada lagi alasan wajib pajak untuk tidak mau membayar pajak. Untuk mengetahui perkembangan jumlah penerimaan pajak di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut di bawah ini : Gambarl 4.1.Perkembangan Penerimaan Pajak 1981 – 2010 Milyar Rupiah Dari gambar di atas dapat dilihat penerimaan pajak di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun begitu juga dengan target yang diberikan pemerintah yang selalu meningkat setiap tahunnya.

4.1. 2 Produk Domestik Bruto PDB