1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Fenomena kenakalan remaja yang sering dilansir media massa baik surat kabar maupun televisi tanah air merupakan bukti telah terjadi kecenderungan
pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusian, terlebih kenyataan ini dilakukan oleh anak-anak usia sekolah. Semakin maraknya penyimpangan perilaku di kalangan
remaja, seperti minum keras, mengkonsumsi narkoba, mengakses film porno, pergaulan bebas dan tindakan penyimpangan amoral lainnya. Potret tersebut tentu
menjadi bagian dari keprihatinan bersama, terutama oleh para pelaku pendidikan. Selanjutnya sebagai suatu bentuk refleksi, apa mungkin masalah tersebut disebabkan
karena adanya kesalahan dalam mendesain pendidikan. Apa mungkin dewasa ini pada praktiknya pendidikan masih berorientasi kepada ratio atau pencapaian kemampuan
intelektual sementara kemampuan lain diabaikan bahkan dianggap kurang penting. Dewasa ini para remaja khususnya, gaya pacarannya sudah melanggar
norma agama, moral, etika, dan nilai budaya. mereka melakukan hubungan seksual di luar nikah berzina. Padahal zina menurut agama merupakan dosa besar, dan
bertentangan dengan nilai moral, etika dan budaya. Yusuf.LN, dkk 2010 : 41-42 menyebutkan di Indonesia beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan antara lain:
1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Biran Afandi di Jakarta, tentang remaja
melakukan seks bebas, dimana 83 remaja dari 285 responden mengakui telah
2
melakukan hubungan sek bebas di rumah, sisanya di hotel, disekolah, di mobil, di taman dan di tempat parkir.
2. Berdasarkan data dari pusat data informasi kesejahtraan sosial DEPSOS RI tahun
2000 populasi WTS di seluruh Indoesia berjumlah 73.037 orang. Kemudian tehun 2003 meningkat menjadi 81.893 orang, mereka tersebar tidak sebatas kota
besar tetapi meluas ke kota-kota kecil, mereka rata berusia 17 sampai 25 tahun, notabennya dalah remaja.
3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional BKKBN, Jawa Pos, 21 Desember 2008 sebesar 63 remaja Indonesia pada usia antara SMP dan SMA sudah melakukan hubungan
seksual di luar nikah. Hasil survei dilakukan di 33 provinsi sepanjang 2008. Angka sebesar itu meningkat cukup tajam dari tahun 2005-2006 yang “hanya”
berada pada kisaran 47,54 . Prihatin dan miris rasanya melihat hasil penelitian tersebut. Namun, sekedar merasa miris dan prihatin saja tidak akan pernah
memberikan solusi. Maka, cara yang terbaik adalah menelusuri sebab-sebab yang menimbulkan kerusakan moral remaja, lalu memberikan solusi yang solutif.
Dalam satu dasawarsa terakhir ini tidak dapat di pungkiri bahwa perkembangan media masa serta teknologi informasi begitu cepat. Sekat-sekat batas
negara menjadi hampir tidak ada karena kemajuan teknologi. Hanya dengan mengakses internet ataupun menonton media televisi, setiap orang dengan mudah
mendapatkan informasi dari belahan dunia dalam hitungan detik. Namun, kemajuan media informasi tersebut ibarat pisau bermata dua. Bisa menguntungkan dan juga
3
merugikan. Salah satu dampak kerugian yang kita rasakan saat ini salah satunya fakta yang dirilis di atas. Krisis moral diatas tidak hanya terjadi di perkotaan, bahkan
di daerah-daerah juga terjadi hal yang sama.
Kemerosotan moral dan jati diri bangsa, sedikit banyak ada hubungannya dengan penyelenggaraan pendidikan yang kurang bermakna bagi kehidupan yang
utuh dan asasi. Berbagai upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional terus di lakukan. misalnya, adanya peningkatan anggaran pendidikan, pembudayaan
informasi dan teknologi IT, adanya sekolah berstandar internasional, dilaksanakannya ujian nasional sekalipun ada pro dan kontra, program sertifikasi
guru yang juga belum sepenuhnya memenuhi sasaran sebagai upaya peningkatan kualitas, juga adanya revisi kurikulum terkait dengan di keluarkannya Permen No.
22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, dan Permen No. 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan SKL, yang kemudian dimunculkan pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan KTSP, termasuk sudah barang tentu untuk mata pelajaran IPS. Namun kenyataannya, perbaikan Standar Isi untuk bidang IPS belum begitu
memuaskan bila dikaitkan dengan pengertian dan tujuan pembelajaran IPS. Rumusannya baru, tetapi esensi substansinya tidak jauh berbeda. Kurikulum itu
masih tetap menitik beratkan pada penguasaan materi. Kritik pun kembali terdengar bahwa pelajaran IPS terlalu sarat materi, bersifat kognitif, dan hafalan. Karena
berorientasi pada materi ajar, pembelajaran IPS akan terjebak pada proses mengumpulkan informasi dan mengakumulasi fakta. Ada fihak yang memandang
bahwa pelajaran IPS tidak penting, apalagi mata pelajaran tersebut tidak masuk
4
dalam Ujian Nasional UN . Uraian tersebut di atas memberikan isyarat bahwa pembelajaran sebagai reali-
sasi dari penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada materi ajar, menjadi kurang bermakna bagi hidup dan kehidupan warga belajar. Pembelajaran yang
mengutamakan penguasaan materi ajar seperti yang selama ini terjadi, cenderung mengabaikan nilai-nilai moral dan pengembangan karakter peserta didik. Pembelajaran
yang mengabaikan pengembangan karakter telah kehilangan ruh dan esensinya sebagai proses pendidikan yang sesungguhnya, yakni sebuah proses untuk
mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat agar menjadi bangsa yang lebih bermartabat.
Demikian halnya pembelajaran IPS telah kehilangan ruhnya dalam proses pendidikan yang dapat memberikan sumbangsih terhadap pendidikan karakter
bangsa, yakni untuk membentuk warga negara yang baik, warga negara yang memiliki kearifan dan keterampilan sosial, serta warga negara yang sadar akan
jati dirinya. Maraknya perilaku menyimpang ini mendorong para pengamat sosial berfikir dan mencari penyebabnya, mengapa hal tersebut terjadi, pada hal bangsa
Indonesia di kenal sebagai bangsa yang santun, berbudaya, beradab dan religius.
Di Aceh Tengah, maraknya perilaku menyimpang seperti pergaulan bebas,
hamil di luar nikah, dan menipisnya budaya malu, serta rendahnya antusias para remaja menjalankan syari’at agama. Kenyataan tersebut merupakan suatu indikator,
bahwa pendidikan belum maksimal dapat membentuk karakter peserta didik, dan hal ini merupakan suatu penomena yang harus dijawab oleh dunia pendidikan.
5
Sauri dan Firmansyah 2010 : 30 mengungkapkan, “Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang dapat menghasilkan perubahan dalam segala aspek,
termasuk perilaku, sikap dan perubahan intlektualnya”. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membantu mencapai tingkat kedewasaan, pola pikir dan kemampuan
berinteraksi dengan lingkungannya dan menanamkan nilai-nilai, sikap dan keterampilan agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai kemampuan dan
kedudukannya masing-masing sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Melalui pendidikan akan terbentuk tatanan kehidupan masyarakat yang
maju, tentram damai, dan sejahtra berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Jiwa pendidikan perlu di fungsikan sebagai wahana pembelajaran yang dapat mewariskan
dan menanamkan nilai budaya kepada peserta didik. Undang Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
SPN pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Penegasan yang menyebutkan bahwa pendidikan berfungsi untuk
mengembangkan pembinaan watak sebagai tujuan output penyelenggaraan pendidikan tentu akan berkaitan dengan seperangkat acuan nilai dan norma yang
6
berkembang dan dijadikan pegangan oleh dan dalam masyarakat. Nilai sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan norma yang berfungsi
mengatur hak dan kewajiban secara benar dan bertanggung jawab tentu harus menjadi panduan bagi pembinaan peserta didik. Muara dari usaha tersebut ditegaskan dengan
kalimat bahwa tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tilaar 2004: 17 menjelaskan dalam upaya memperkuat jati diri dapat di lakukan melalui nilai-nilai budaya, dalam hal ini tugas pendidikan nasional ialah
mengembangkan identitas peserta didik agar supaya dia bangga menjadi bangsa Indonesia dengan penuh percaya diri memasuki kehidupan global sebagai bagsa
Indonesia yang berbudaya. Somantri 2001: 101 “Pembelajaran IPS yang secara formal mulai
diberlakukan dari jenjang sekolah dasar sampai SMA”, dituntut untuk mampu memediasi pengembangan dan pelatihan potensi siswa secara optimal, khususnya
yang bertalian dengan transformasi nilai-nilai budaya dan norma sosial. Namun realitas yang ada di lapangan, ternyata masih jauh dari harapan sebagaimana
ditegaskan dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003. Sekolah sebagai salah satu wahana terjadinya proses transformasi nilai-nilai
budaya dan norma-norma sosial sebagai bagian dari pembentukan kepribadian siswa belum menjadi kenyataan. Salah satu program persekolahan yang memikul beban
7
dalam kaitannya dengan pembentukan dan pembekalan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan moral siswa sebagai warga negara potensial adalah mata pelajaran IPS.
Bersandar pada kondisi di atas, masih dipertanyakan peranan dan esensi dari pembelajaran IPS sebagai salah satu program pendidikan yang diperuntukkan untuk
membangun dan membentuk karakter kebangsaan siswa secara dini. Pendidikan IPS sebagai salah satu bagian pendidikan dalam sistem pendidikan nasional diibaratkan
sebagai gerbong untuk membawa misi menuju tujuan diatas. Gagalnya pendidikan IPS terutama dalam pembinaan sikapnilai diyakini akan berdampak sistemik
terhadap pendidikan nasional. Orientasi penyelenggaraan pendidikan IPS sangat menekankan pada pembinaan kepribadian, watak dan karakter peserta didik. Karena
itu, integrasi pendidikan yang sarat dengan nilai dan pembentukan karakter sangat diperlukan untuk membekali peserta didik dalam mengantisipasi tantangan ke depan
yang dipastikan akan semakin berat dan kompleks. Guru sebagai pengembang kurikulum selanjutnya dituntut untuk mampu secara terampil menghadirkan suasana
dan aktivitas pembelajaran yang berorietansi pada penanaman dan pembinaan kepribadian, dan karakter. Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003, tentang
Sistem Pendidikan Nasioanal Pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan pendidikan adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara .
8
Berdasarkan dari pengertian pendidikan diatas dapat difahami bahwa dalam pendidikan, praktisi, guru, peserta didik, dan nilai-nilai dalam belajar merupakan
faktor yang sangat penting untuk berlangsungnya proses belajar mengajar. Praktisi dan guru sebagai fihak yang mengemban tugas untuk mengemudikan tugas
pendidikan guna membawa peserta didik untuk mewujudkan arah dan tujuan pendidikan tersebut. Peserta didik adalah fihak yang menjadi subyek dalam proses
pembelajaran harus dapat memperoleh sesuatu yang berfaedah untuk memenuhi segala kebutuhan yang di perlukan sebagai bekal dalam kehidupannya. Sedangkan
nilai-nilai sebagai hal yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada peserta didik. Dalam hal ini guru merupakan
fasilitator harus sadar dan memahami apa yang harus di berikan dan peroleh peserta didik dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik dapat mengembangkan
segala potensinya menjadi manusia yang memiliki sumberdaya yang berkualitas. Sauri dan Firmansyah 2010:63 menyatakan bahwa”sebagai institusi
sosial, sekolah memiliki peranan dan fungsi berperan membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk mengenal, memahami dan mengaktualisasikan pola hidup yang
berlaku dalam masyarakat”. Dengan demikian sekolah pada hakekatnya adalah institusi yang mewariskan dan melestarikan nilai-nilai yang dipegang oleh
masyarakat. Pendidikan yang merupakan harapan semua fihak untuk menata kehidupan yang lebih baik harus mampu menjadi mediasi pengembang dan
mentranspormasi nilai budaya dari lingkungan masyarakat kedalam lembaga
9
pendidikan, sehingga melalui media pendidikan nilai-nilai budaya tersebut dapat diwariskan dan diinternalisasikan kepada generasi berikutnya.
Mulyasa 2008:101 menjelaskan” bahwa dalam pembelajaran pendekatan lingkungan merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang berusaha meningkatkan
keterlibatan peserta didik melalui pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar”. Pendekatan ini berasumsi bahwa kegiatan pembelajaran akan menarik
perhatian peserta didik jika apa yang dipelajari diangkat dari lingkungannya. Belajar dengan pendekatan lingkungan berarti peserta didik mendapat pengetahuan dan
pemahaman dengan cara mengamati sendiri apa yang ada dilingkungan sekitar , baik lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah.
Kegiatan pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan lingkungannya. Lingkungan bukan hanya sebagai akomodasi tetapi juga merupakan
sumber belajar bagi peserta didik. Menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar bagi peserta didik merupakan tuntutan masayarakat, sehingga peserta didik dapat
memahami arti dan fungsi lingkungannya dalam kehidupannya. Kenyataan yang di hadapi selama di sekolah adalah siswa hanya menerima
pelajaran yang diberikan oleh guru. Selama proses belajar mengajar berlangsung keaktifan siswa sangat kurang sekali. Hal ini menggambarkan belajar secara
tradisional dimana siswa hanya mendengar penjelasan dari guru sebagai satu-satunya sumber. Sedangkan kita ketahui kemampuan guru terbatas baik dari segi
keterampilan maupun dari pengetahuan. Walaupun di gunakan sumber buku teks,
10
namun sumber belajar tidak terbatas pada buku saja masih banyak sumber belajar lain yang dapat membantu dalam proses belajar mengajar.
Fenomena yang terlihat dewasa ini, sumber-sumber belajar yang tersedia di lingkungan kita masih kurang di manfaatkan sehingga pelaksanaan proses belajar
mengajar juga kurang optimal yang lebih jauh mengakibatkan mutu pendidikan yang kita harapkan belum tecapai. Hal senada diungkapkan oleh Almuchtar 2006 :
69 “bahwa sumber daya belajar yang terdapat dalam masyarakat lingkungan peserta didik belum banyak dipergunakan sebagai sumber belajar dalam pendidikan IPS”.
Implikasinya bahan pelajaran tidak diperkaya dengan nilai-nilai dan budaya, sehingga peserta didik tidak akrab dengan lingkungan sosial budayanya.
Salah satu nilai budaya yang dapat diangkat sebagai sumber belajar IPS di Kabupaten Aceh Tengah ialah budaya Sumang. Sumang adalah perbuatan yang tabu
dan sangat dilarang dilakukan oleh individu dalam masyarakat. Budaya Sumang adalah budaya yang sarat dengan nilai-nilai dan sangat bermanfaat untuk
mewujudkan keteraturan dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat di Aceh Tengah. Budaya sumang merupakan media untuk mensosialisasikan ajaran agama
tentang larangan bermaksiat berzinapergaulan bebas dan perilaku tidak relevan dengan nilai etika, moral dan norma susila. Budaya Sumang sebagai metode
mensosialisasikan ajaran Islam dijadikan media dalam masyarakat sehingga menjadi delik hukum adat yang disebut Adat Sumang. Pentingnya masalah budaya Sumang ini
untuk diangkat dalam penelitian ini ada beberapa alasan, sebagai berikut:
11
Pertama, Budaya Sumang merupakan budaya yang mengandung nilai dan norma relevan dengan SK- KD pada pokok bahasan tentang penerapan nilai dan
norma dalam pembentukan kepribadian pada IPS Sosiologi pada kelas X pada Madrasah Aliyah. Di samping itu materi nilai dan norma yang terdapat dalam buku
paket sosiologi masih terlalu umum sehingga nilai-nilai dan norma tersebut bagi peserta didik kurang dapat memahaminya nilai secara riil dalam kehidupan sehari-
hari. Kedua, Materi nilai Budaya Sumang belum pernah diterapakan dalam
pembelajaran IPS Sosiologi pada kelas X pada Madrasah Aliyah di Kabupaten Aceh Tengah, sehingga nilai budaya masyarakat belum terintegrasi dalam pendidikan IPS
sebagai sumber nilai dan norma. Penerapan budaya Sumang ini dalam pembelajaran IPS pada MA di Aceh Tengah, 1 relevan dengan kebutuhan masyarakat dan siswa,
2 dapat menumbuhkan keterampilan sosial siswa, 3 sumber belajar berbasis nilai budaya masyarakat, 4 pelanggaran Sumang adalah salah satu bentuk penyimpangan
sosial dalam masyarakat yang sering di lakukan oleh pelajar. Ketiga, Budaya Sumang sebagai budaya lokal yang memiliki nilai-nilai
positif, harus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda sebagai penerus kehidupan masyarakat. Di samping itu budaya Sumang dapat berkontribusi sebagai
penunjang tegaknya syari’at agama Islam di Aceh Tengah. Pelestarian nilai budaya merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan
oleh anggota masyarakat. Hal ini dalam pepatah Aceh di ungkapkan “ Meunyo gadeuh ma meupat jeurat, meunyo gadeuh adat ho tamita”, maksudnya, kalau ibu
12
meninggal ada kuburannya, kalau adat hilang kemana di cari”. Salah satu upaya pelestarian dan pewarisan budaya tersebut dilakukan melalui pendidikan. Dalam hal
ini pendidikan IPS sebagai bagian dari pendidikan nasional memiliki andil, peran dan tanggung jawab untuk membudayakan nilai-nilai sosial budaya kepada generasi
penerus melalui pembelajaran. Keempat, kerisis moral remaja khususnya di kalangan pelajar sebagaimana
yang tersebut pada awal latar belakang masalah ini, maka sangat relevan nilai budaya Sumang diangkat kedalam dunia pendidikan IPS di Aceh Tengah untuk
meminimalisir dan sebagai usaha pereventif terhadap kenakalan remaja dari kalangan pelajar khususnya dalam hal pergaulan bebas atau pelanggaran Sumang. Sebagai
tujuan dari penelitian ini kiranya nilai-nilai budaya yang terdapat dalam lingkungan masyarakat di Aceh Tengah dapat di reaktualisasi kembali sebagai pengetahuan dan
keterampilan serta dapat diaplikasikan menjadi suatu solusi untuk membentuk karakter peserta didik sebagaimana yang sedang gencarnya dicanangkan oleh
pemerintah dan akdemisi tentang pendidikan nilai atau pendidikan karakter di seluruh tanah air.
Kelima , dalam sejarah perkembangan kehidupam masyarakat suku Gayo di Kabupaten Aceh Tengah, budaya Sumang mengalami degradasi lambat laun
kekuatan nilai dari norma ini akan hilang, sehingga kurang efektif sebagai nilai dan norma untuk membentuk dan mengatur hubungan dalam pergaulan masyarakat
khusunya kaum remaja. Melihat fenomena ini dalam perkembangannya batas-batas dan rambu-rambu pergaulan masyarakat semakin hari semakin kabur dari ketentuan-
13
ketentuan Adat dan Agama. Hal ini menimbulkan suatu kekhawatiran dan kegelisahan dari pihak orang tua, masyarakat, ulama dan pemerintah daerah, sehingga
timbul suatu inisiatif untuk mengaktualisasikan kembali adat istiadat termasuk budaya Sumang dalam beberapa kebijakan pemerintaha Daerah.
Adapun realisasi kebijakan pemerintah Daerah Aceh Tengah sejak tahun 2000 ialah melaksanakan program Pilot Projek pelaksanaan syari’at dan
pemberantasan Sumang. Namun pada kenyataannya Program ini kurang membuahkan hasil yang maksimal dan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Hal ini dapat dilihat dari seringya pasangan muda mudi berkhalwat, hamil diluar nikah, dan perselingkuhan dan menipisnya rasa malu, serta hilangnya rasa takut dan
hormat para remaja yang berkhalwat terhadap masyarakat lingkungan. Sehubungan dengan uraian permasalah di atas, maka penelitian ini
menawarkan salah satu solusi untuk mengaktualisasikan nilai budaya Sumang dengan menerapkan nilai budaya Sumang sebagai sumber belajar IPS. Menerapkan
Nilai Budaya Sumang kedalam pembelajaran secara formal diasumsikan bahwa nilai budaya ini akan dapat difahami secara nyata oleh peserta didik sebagai remaja.
Budaya Sumang perlu dilesatrikan, karena disamping nilainya cukup urgen sebagai tata kelakuan dalam pergaulan masyarakat, juga merupakan identitas diri sebagai
bangsa yang beradab, berbudaya dan religius. Di samping itu potensi nilai budaya Sumang dapat menunjang proses pembangunan Daerah dalam bidang mental spritual
serta menopang penegakkan Syari’at Islam. Melalui pendidikan IPS, di harapkan proses transformasi dan enkulturasi nilai budaya Sumang tersebut dapat
14
dikembangkan dengan mengintegrasikannya kedalam kegiatan pembelajaran di sekolah sebagai salah satu sumber nilai dalam pembelajaran IPS.
Untuk meningkatkan kualitas dan tujuan pembelajaran pendidikan IPS sebagaimana yang diamanahkan UU SISDIKNAS serta memenuhi tuntutan
pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran KTSP sebagai wahana yang memberi ruang untuk mengimplementasikan kebutuhan masyarakat lingkungan dan
tujuan pendidikan IPS. Maka hal ini merupakan bahan kajian yang perlu untuk di teliti.
Dari latar belakang masalah tersebut diatas peneliti akan mengungkap, nilai budaya Sumang melalui tulisan ini dalam bentuk tesis, maka penelitian ini berjudul
” Nilai budaya Sumang sebagai sumber nilai dalam pembelajaran IPS pada Madrasah Aliyah di Kabupaten Aceh Tengah”.
B. Rumusan Masalah