Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc.
2. Dr. Satyanto Krido Saptomo, S.TP. M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Muhrizal Sarwani M.Sc.
2. Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber daya air menjadi isu penting dalam dua dekade terakhir di Indonesia, dan pengelolaannya untuk kelangsungan sumber daya air tersebut masih
menghadapi banyak kendala dan bahkan memunculkan masalah baru yaitu kelangkaan air, kekeringan dan banjir dan banyak persoalan air lain yang terkait
seperti konflik penggunaan air. Persoalan yang semakin berat ditinjau dari sisi permintaan adalah terjadinya peningkatan yang semakin besar karena
meningkatnya jumlah penduduk dan meluasnya diversifikasi penggunaan air di berbagai sektor. Konsumen terbesar yang semula dari sektor pertanian, sekarang
mengalami diversifikasi ke industri, domestik, penggelontoran kota untuk keperluan taman, toilet, menyiram tanaman, dan pemadam kebakaran, dan lain-
lain. Ditinjau dari pemerataan konsumsinya, sumber daya air juga masih mengalami ketimpangan antara konsumsi kelompok yang memiliki pendapatan
tinggi dengan yang berpendapatan rendah. Dari sisi suplai, sumber daya air mengalami penyusutan akibat kerusakan lingkungan di wilayah tangkapan air
akibat alih fungsi lahan dan pencemaran. Sehingga mengakibatkan menurunnya kapasitas tampung DAS baik secara kuantitas maupun kontinyuitas sehingga
pasokan air semakin terbatas. Dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap air terutama air tawar
untuk keperluan rumah tangga di perkotaan dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan adanya persaingan di antara pengguna air,
maka suplai air menjadi masalah yang krusial di suatu wilayah. Karena air telah memiliki nilai ekonomi dalam semua persaingan penggunaannya sehingga trend
permintaan terhadap air menjadi lebih cepat dibandingkan pertumbuhan suplainya Seragelgin, 1994.
Berdasarkan data survei sosial ekonomi melalui wawancara mendalam dengan masyarakat menunjukkan bahwa walaupun sumber daya air berlimpah,
tetapi ketika musim kemarau sumber daya air berkurang tidak tersedia sepanjang tahun sehingga sumur-sumur dan sawah menjadi kering. Puluhan perusahaan air
minum mulai dari yang relatif besar seperti Aqua, Ades, dan 2Tang, sampai pada industri skala lebih kecil banyak mengeksplorasi air di daerah ini dimana pada
2 musim kemarau produksinya meningkat sehingga penggunaan airnya semakin
intensif. Survei di lapangan juga menunjukkan bahwa banyak warga di DAS Cicatih khususnya di Kecamatan Cicurug dan Cidahu yang terpaksa menggunakan
limpahan air irigasi sawah untuk keperluan hidup sehari-hari karena kekurangan air bersih.
Data menunjukkan bahwa perusahaan air tidak hanya memanfaatkan mata air dan air permukaan, tetapi juga mengebor airbumi ground water sehingga terjadi
penurunan muka air tanah. Sumur- sumur menjadi semakin dalam dibandingkan sepuluh tahun lalu dengan debit yang cenderung menurun. Survei kedalaman
sumur berdasarkan data sekunder dan pengukuran menunjukkan bahwa sepuluh tahun yang lalu kedalaman sumur kurang dari 5 m, tetapi pengukuran tahun 2009
menunjukkan kedalaman sumur sudah lebih dari 8 m, bahkan di beberapa tempat sudah lebih dari 10 m. Selain perusahaan AMDK, di wilayah ini juga terdapat
puluhan perusahaan yang produksinya berbasis air, misalnya teh botol dan susu cair. Sehingga semakin banyak perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan potensi
air yang ada. Survei menunjukkan bahwa sejak sepuluh tahun terakhir, saluran irigasi
selalu kering saat musim kemarau sehingga penduduk hanya bisa menanam padi sekali setahun. Sebelumnya dengan adanya saluran irigasi masyarakat di wilayah
ini pasokan air masih terjamin walaupun musim kemarau sehingga masih bisa menanam padi dua kali atau bahkan tiga kali setahun. Ironisnya kendati jutaan
meter kubik air tanah telah di eksplorasi oleh industri-industri air, pemerintah setempat hanya mendapat pemasukan yang kecil dari pajak penggunaan air. Uang
hasil pajak penggunaan air ini yang seharusnya diperuntukan untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan infrastruktur, tidak digunakan sesuai peruntukakan.
Hal ini terlihat dari masyarakat sekitar perusahaan AMDK tersebut tetap hidup miskin dan infrastruktur lingkungan seperti jalan desa yang juga rusak parah.
Survei lapangan menunjukkan bahwa usaha ikan air tawar di kolam-kolam yang dulu marak, sekarang sudah banyak yang menutup usaha perikanannya karena
kekurangan air setiap kali musim kemarau. Sedangkan di sisi lain pada musim kemarau, perusahaan-perusahaan pengguna air justru meningkatkan produksinya
karena peningkatan permintaan pasar.
3 Terjadinya persaingan dalam penggunaan air antar pengguna air baik
domestik, pertanian, maupun industri berpotensi memunculkan konflik antar pengguna air. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian tentang pengembangan
model optimasi alokasi air yang berkaitan dengan kebutuhan, potensi dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya air, terutama dalam mendukung pertanian
berkelanjutan di masa datang. Pendekatan model ketersediaan dan kebutuhan air telah banyak
dikembangkan. Sutoyo 2005 membuat model ketersediaan dan kebutuhan air berbasis Daerah Aliran Sungai DAS menggunakan model STELLA untuk
mengevaluasi antara ketersediaan air permukaan dan kebutuhan air dalam suatu kawasan DAS. Wallingford 2003 melakukan pendekatan melalui penilaian dan
peramalan assessment and forecast kebutuhan air permukaan untuk lingkungan, pertanian, domestik pedesaan, perkotaan, dan industri di Sahara Afrika dalam
upaya pengelolaan sumber daya air di Sub DAS dan DAS. Amarasinghe 2005 menghitung prakiraan pasokan air permukaan dan permintaan air yang kemudian
digunakan untuk membuat akuntansi account total sumber daya air terbarukan di DAS di Srilangka. Hasil parameter akuntansi air digunakan untuk menentukan
indikator tingkatan perkembangan air, fraksi deplesipenipisan air yang dikembangkan, tingkat abstraksi air tanah dan produksi biji-bijian dan non biji-
bijian surplus atau defisit. Sehingga indikator ini dapat digunakan untuk mengklasifikasikan DAS menjadi salah satu dari empat kategori yaitu: 1 air
langkamakanan kurang, 2 air langkasurplus makanan, 3 surplus air defisit makanan, dan surplus airsurplus makanan. Sedangkan yang secara komprehensif
mengembangkan program tentang optimasi ketersediaan air air permukaan, air tanah, dan mata air dan kebutuhan air di DAS belum banyak dilakukan.
Program komputer untuk optimasi kebutuhan air yang dikembangkan
dikemas dalam perangkat lunak OptiWaSh Optimal Water Sharing untuk
menghitung alokasi kebutuhan air optimal antara stakeholders domestik, pertanian, industri. Hasil optimasi akan mampu menjawab apakah tren
ketersediaan air saat ini dan akan datang mampu untuk memenuhi kebutuhan air domestik, pertanian, dan industri secara optimal berdasarkan perkembangan
penduduk dan perkembangan industri. Selain itu apakah optimasi ketiga kebutuhan tersebut masih menyisakan air untuk AMDK, sampai kapan?. Apakah pertanian
4 dapat menghemat penggunaan air apabila diaplikasikan irigasi intermittent di lahan
sawah?. Bagaimana kondisi neraca ketersediaan dan kebutuhan air pada saat terjadi tren perubahan iklim?. Sampai kapan ketersediaan air masih mencukupi kebutuhan
air untuk masing-masing pengguna?.
1.2 Perumusan Masalah
Penyebab utama dari permasalahan sumber daya air di DAS Cicatih adalah: 1 Berkurangnya pasokan sumber daya air terutama pada musim kemarau,
mengakibatkan persaingan penggunaan air pada musim kemarau semakin tinggi, 2 Adanya peningkatan kebutuhan air berbagai sektor rumah tanggadomestik,
pertanian, dan industri dengan peningkatan jumlah penduduk, 3 Penguasaan absolut mata air oleh sektor industri AMDK, memunculkan keterbatasan akses bagi
pengguna air lain yang menafaatkan mata air domestik, pertanian, kolam ikan, industri non AMDK, dan pariwisata, dan 4 Belum berjalannya institusi pengelola
alokasi air di daerah mengakibatkan masing-masing pengguna air menggunakan air melebihi kebutuhan khususnya sektor industri.
Inti permasalahan adalah pada kondisi business as usual timbul permasalahan yang krusial di wilayah DAS Cicatih yaitu kebutuhan air melebihi ketersediaan air
sehingga terkadi krisis air. Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, maka perlu mengetahui kondisi sumber daya air secara komprehensif dengan
mengidentifikasi air permukaan, mata air, dan air tanah. Ketersediaan air dihitung berdasarkan kesetimbangan komponen neraca air curah hujan, evapotranspirasi,
dan aliran permukaan. Seperti diketahui bahwa tren perubahan iklim sangat berpengaruh pada sumber daya air, maka perlu dilakukan analisis tren perubahan
iklim yang berdampak pada ketersediaan air, sehingga diketahui kondisi ketersediaan air pada saat terjadi tren perubahan iklim. Selanjutnya perlu
mengidentifikasi kebutuhan air untuk domestik, pertanian, dan industri berdasarkan data perkembangan penduduk, perkembangan luas sawah, dan perkembangan
industri. Dengan mengetahui potensi ketersediaan air dan kebutuhan air, maka diketahui kapan terjadi kelebihan dan kapan terjadi krisis air. Apabila terjadi krisis
air, maka perlu diupayakan dengan optimasi kebutuhan air untuk mendapatkan alokasi kebutuhan air optimal untuk masing-masing sektor.
5 Faktor yang perlu diperhatikan dalam menganalisis ketersediaan dan
kebutuhan air di suatu wilayah adalah: a. Ketersediaan air tidak selalu stabil, yang dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal, seperti kondisi curah hujan, kondisi lingkungan DAS, penggunaan lahan, dan penggunaan lainnya.
b. Kecukupan air untuk domestik dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: jumlah dan komposisi penduduk, jenis kelamin, dan umur.
c. Kecukupan air industri dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: jumlah dan jenis industri, jumlah tenaga kerja, dan kebutuhan air per unit industri.
d. Kebutuhan air untuk pertanian dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: luas lahan sawah, pola tanam, intensitas tanam, dan kebutuhan air tanaman.
e. Status air di suatu wilayah ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: ketersediaan, kebutuhan, dan kecukupan air.
1.3 Kerangka Pemikiran
Peningkatan kebutuhan berbagai sektor rumah tanggadomestik, pertanian, dan industri terhadap air yang semakin meningkat di DAS Cicatih mengakibatkan
tekanan dan persaingan pemanfaatan sumber daya air semakin tinggi. Persaingan dalam penggunaan air telah memunculkan konflik terbuka antara penduduk dan
pengelola industri air. Konflik umumnya terjadi bilamana ada pihak yang merasa haknya diambil secara tidak adil, sehingga batas penggunaan air oleh para pihak
perlu diketahui secara transparan. Dalam meminimalisir terjadinya konflik penggunaan air diperlukan
pembagian air yang optimal antar pengguna, dengan menerapkan optimal water sharing. Dengan optimal water sharing diharapkan semua stakeholder pengguna
air dapat terpenuhi kebutuhan airnya untuk jangka waktu yang panjang tetapi tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini bisa dicapai dengan melakukan
optimasi dengan tujuan memaksimalkan dampak terhadap nilai tambah ekonomi dan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Dalam optimal water sharing terjadi alokasi yang optimal terhadap semua stakeholder pengguna air dan setiap stakeholder mendapatkan keuntungan tidak
boleh ada yang mendapatkan kerugian. Sehingga untuk mewujudkan optimal water sharing diperlukan model alokasi air yang berkaitan dengan kebutuhan, potensi dan
6 optimalisasi pemanfaatan sumber daya air, terutama dalam mendukung
pemanfaatan air yang berkelanjutan di masa yang akan datang. Model optimal water sharing harus mempunyai tujuan untuk memaksimalkan nilai tambah
penggunaan air dengan kendala bahwa kebutuhan untuk domestik harus terpenuhi karena berhubungan dengan kelangsungan hidup masyarakat. Air untuk industri
merupakan potensi karena apabila air sedikit tidak bisa berproduksi, dan untuk pertanian, air merupakan ketersediaan karena managable dapat diatur dimana
apabila air tidak tersedia bisa dilakukan efisiensi penggunaan air misalnya dengan irigasi intermittent, irigasi tetes, mengintroduksi varietas padi hemat air, dan lain-
lain. Model optimal water sharing yang dikembangkan memberikan gambaran
secara lengkap mengenai kemampuan setiap wilayah dalam menyediakan sumber daya air. Hasil studi ini dapat digunakan untuk mendukung upaya optimalisasi
sumber daya air suatu wilayah serta mendukung pembagian air secara adil dan optimal.
Berdasarkan pada kerangka pemikiran di atas, diperoleh komponen- komponen hasil sebagai berikut: 1 Ketersediaan air pada kondisi normal dan saat
terjadi tren perubahan iklim dan proyeksi ketersediaan air sampai dengan tahun 2030, dan 2 Kebutuhan air untuk domestik, kebutuhan air untuk pertanian,
kebutuhan air untuk industri non AMDK, kebutuhan air untuk AMDK dan proyeksi kebutuhan sampai dengan tahun 2030, 3 Sisa air yang merupakan selisih
antara ketersediaan dan total kebutuhan air pada business as usual, dan 4 Sisa air setelah semua kebutuhan dioptimasi business as unusual. Pola pemikiran ini
diharapkan dapat mewujudkan optimal water sharing di suatu wilayah. Pola pikir pendekatan optimasi pemanfaatan sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan air
dalam mendukung optimal water sharing disajikan pada Gambar 1.
7
Gambar 1. Kerangka pemikiran model alokasi air dalam mendukung optimal water sharing
TOTAL KEBUTUHAN AIR
Business as usual
Jumlah penduduk, trend kebutuhan
airorang
Penggunaan air untuk industri
non AMDK Penggunaan air
untuk pertanian 1,2,3 kali
tanam
Business as unusual
Tidak Optimasi
Optimal Water Sharing
Terpenuhi Ya
Penggunaan air untuk domestik
KETERSEDIAAN
Jumlah industri, jenis industri, kebutuhan
airunit industri Luas lahan sawah,
intensitas tanam, pola tnm, kebutuhan air tan
KEBUTUHAN
Potensi air yang dapat dimanfaatkan
Kebutuhan air untuk
lingkungan -
Data iklim, debit -
Citra landuse -
Peta-peta stasiun hujan, rupabumi,
satuan lahan
Identifikasi Mata Air
Survei geolistrik
Ketersediaan air Saat Kondisi Normal
kondisi normal Ketersediaan air saat
terjadi tren perubahan iklim
TOTAL KETERSEDIAAN AIR
Air permukaan Mata Air
Air Tanah
8
1.4 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menentukan alokasi air optimal untuk memenuhi kebutuhan air untuk domestik, pertanian, dan industri di DAS
Cicatih untuk mendukung keberkelanjutan ketersediaan sumber daya air. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Karakterisasi dan analisis ketersediaan air dan identifikasi pengaruh perubahan penutupan lahan serta pengaruh pola cuaca tren perubahan iklim terhadap
ketersediaan air. 2. Karakterisasi dan analisis kebutuhan air pertanian, domestik, dan industri
pada berbagai skenario model penggunaan air.
3. Pengembangan perangkat lunak OptiWaSh sebagai model optimasi untuk
menyusun rekomendasi optimal water sharing antar sektor untuk meminimalisir konflik penggunaan air.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai: 1. Dasar bagi penyusunan peraturan tentang penetapan alokasi air optimal untuk
kebutuhan riil antar sektor dan subsektor untuk saat ini dan perencanaan jangka panjang.
2. Dasar bagi penyusunan kebijakan, peraturan, dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan air yang berkelanjutan.
3. Dasar bagi penerbitan SIPPA Surat Ijin Pengambilan dan Pemanfaatan Air untuk industri.
4. Dapat dijadikan sebagai tolok ukur data benchmarking data bagi penelitian selanjutnya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya
yang terkait dengan optimal water sharing.
1.6 Novelty Kebaruan Penelitian
Beberapa kebaruan penelitian antara lain adalah: 1. Obyek penelitian dilakukan secara komprehensif dengan melakukan
identifikasi ketersediaan sumber daya air secara keseluruhan air permukaan, air tanah, dan mata air untuk menentukan alokasi kebutuhan air optimal untuk
kebutuhan domestik, pertanian, dan industri.
9 2. Penggunaan model verhults untuk memprediksi ketersediaan air dan kebutuhan
air lingkungan, domestik, pertanian, dan industri. 3. Dihasilkannya peta satuan lahan DAS Cicatih sebagai peta dasar dalam
pengelolaan DAS Cicatih. 4. Dihasilkannya peta potensi airbumi groundwater DAS Cicatih yang
memberikan gambaran tentang karakteristik dan potensi debit airbumi.
5. Dihasilkannya software OptiWaSh sebagai program komputer untuk
menghitung alokasi kebutuhan air optimal pada berbagai skenario penggunaan air.
1.7 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mempunyai keterbatasan berkaitan dengan ketersediaan data untuk analisis, sehingga memerlukan asumsi-asumsi yang digunakan dalam
pengembangan model optimasi alokasi air, yaitu: 1. Kebutuhan air digunakan untuk memenuhi konsumsi di wilayah tersebut,
sehingga mengabaikan distribusi masuk dan keluar. 2. Kebutuhan air untuk perikanan dan peternakan tidak diperhitungkan karena
dianggap relatif kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan lainnya. 3. Model proyeksi pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan industri tidak
memasukkan faktor sosial dan ekonomi seperti perubahan harga bahan baku industri, bencana alam, konflik, dan peperangan.
4. Dalam menyusun model optimasi belum mengintegrasikan teori ekonomi sumber daya.
10
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Water Supply and Demand Pasokan dan Permintaan Air
Water supply pasokan air adalah proses atau kegiatan oleh air yang disediakan untuk beberapa penggunaan, misalnya, ke sebuah rumah, pabrik, atau
bisnis. Istilah ini juga berarti pasokan air yang disediakan dengan cara tertentu. Sumber dasar air adalah curah hujan, yang mengumpul di sungai dan danau, di
bawah tanah, dan di waduk buatan. Air dari bawah tanah disebut airbumi groundwater dan tersedia sebagai sumur. Paling sering air diambil dari sumur
dengan pompa. Dalam beberapa kasus sumur akan menarik air dari lapisan batuan permeabel yang disebut akifer di mana air berada di bawah tekanan; seperti sumur
butuh sedikit atau tanpa pemompaan lihat sumur artesis. Air yang terkumpul di sungai, danau, atau waduk disebut air permukaan. Sebagian besar sistem pasokan
air permukaan menarik air melalui pipa-pipa masuk khusus atau terowongan dan transportasi ke wilayah pengguna melalui kanal, terowongan, atau pipa, yang
dikenal sebagai pipa saluran air.
www.answers.comtopicwater-supply .
Istilah penggunaan air water use dan permintaan air water demand sering digunakan secara bergantian. Namun, istilah ini mempunyai arti yang berbeda.
Penggunaan air water use dapat dibedakan dalam tiga jenis yang berbeda, yaitu:1 Withdrawals penarikan merupakan air yang diambil dari permukaan
atau airbumi, dan setelah digunakan dikembalikan ke badan air alami, misalnya air yang digunakan untuk pendinginan dalam proses industri yang akan dikembalikan
ke sungai. Aliran baliknya sangat penting untuk pengguna di hilir yang menggunakan air dari sungai, 2 Consumptive water use or water consumption
penggunaan air konsumtif atau konsumsi air adalah dimulai dengan penarikan atau pemindahan, namun tanpa aliran kembali. Konsumsi air adalah air yang tidak
bisa digunakan karena evaporasi, transpirasi, atau telah menjadi bagian tanaman, dikonsumsi oleh manusia atau ternak atau hilang dari sumber-sumber air tawar.
Kehilangan air selama pengangkutan air antara titik-titik penarikan dan titik penggunaan, misalnya akibat kebocoran dari pipa distribusi, tidak termasuk
dalam penggunaan air konsumtif. Contoh penggunaan air konsumtif termasuk uap yang menguap ke atmosfer dan air yang terkandung dalam produk akhir yaitu air
yang tidak tersedia langsung untuk penggunaan selanjutnya; dan 3 Non-
11 consumptive water use penggunaan air non-konsumtif yaitu penggunaan in situ
tubuh air untuk navigasi, aliran instream untuk ikan, rekreasi, pembuangan limbah cair dan pembangkit listrik hidroelektrik Wallingford, 2003
Permintaan air
water demand
didefinisikan sebagai volume air yang diminta oleh pengguna untuk memenuhi kebutuhan mereka. Istilah sederhana ini sering
dianggap sama dengan konsumsi air, meskipun secara konseptual kedua istilah tidak memiliki arti yang sama. Permintaan air mencakup: kepemilikan air,
penggunaan air, penggunaan air primer, keadilan, efisiensi, dan hak dan kewajiban yang tepat yang dibuat melalui perijinan air.
2.1 1 Ketersediaan dan Kebutuhan Air Dunia
Planet bumi kita ini diperkirakan menyimpan sekitar 1.400 juta km
3
air, namun hanya 35 juta km
3
di antaranya yang tersedia dalam bentuk air tawar freshwater yang dapat langsung dikonsumsi manusia. Itupun, sebagian besar dari
air segar tersebut tidak dapat diakses langsung oleh manusia karena terperangkap dalam bentuk bongkahan dan gunung-gunung es di kutub, glasier, dan air tanah
sangat dalam. Air segar yang langsung dapat dikonsumsi manusia adalah berupa air hujan yang tercipta dari siklus hidrologi global yang jumlah rata-rata per tahunnya
hanya sekitar 119.000 km
3
, namun 74.000 km
3
di antaranya menguap kembali ke atmosfir. Sisa air hujan sebesar 45.000 km
3
mengalir ke danau-danau, waduk dan sungai-sungai, atau meresap kembali ke tanah untuk menggantikan air tanah yang
hilang. Dengan demikian, tidak semua sumber air sebanyak 45.000 km
3
dapat dikonsumsi oleh manusia oleh karena sebagian air tersebut mengalir selama musim
hujan atau berupa banjir ke sungai-sungai yang terpencil jauh di pedalaman dan di pelosok hutan belantara. Diperkirakan dalam setahun hanya sekitar 9.000 sampai
14.000 km
3
saja air segar yang akhirnya tersedia dan dapat dikonsumsi oleh manusia, suatu jumlah yang sangat kecil 0,26-0,40 apabila dibandingkan
dengan potensi air segar di bumi. Sementara itu penarikan withdrawals air segar dari alam diperkirakan mencapai 5.950 km
3
setahun terdiri dari penggunaan air segar oleh manusia sebanyak 3.600 km
3
dan jumlah air segar yang masih harus dipertahankan untuk kesinambungan ekologi sungai dan konservasi ekosistem air
yang mencapai sekitar 2.350 kilometer kubik per 2 tahun FAO, 2002 .
12 Sementara itu World Bank 2001 menyatakan bahwa secara global hanya
3 dari total air di bumi adalah air tawar freshwater. Sisanya adalah air laut atau lautan. Dari 3 tersebut 79 merupakan es dan gletser, dan hanya 1 yang
merupakan air permukaan. Dari air permukaan ini 52 terdapat di danau, 1 di sungai, 38 di dalam tanah soil moisture, 8 adalah uap air dan sisanya air yang
ada dalam kehidupan organisme. Tiap tahun, 40.000 km
3
tersedia untuk keperluan manusia, kira-kira sekitar 4.000 km
3
yang benar-benar di ambil kembali water withdrawal. Untuk keperluan pertanian 70, industri 22, domestik keperluan
rumah tangga 8. Dari total 40.000 km
3
tercatat 60 nya tersebar di 9 negara yang disajikan pada Tabel 1. Terlihat bahwa terdapat Negara yang mempunyai sumber daya air
yang berlimpah dan yang langka air. Tabel 1 Potensi sumber daya air di 9 negara di dunia
No Negara
Potensi sumber daya air
1 Brasil
5.670 km
3
2 Rusia
3.904 km
3
3 China
2.880 km
3
4 Kanada
2.850 km
3
5 Indonesia
2.530 km
3
6 USA
2.478 km
3
7 India
1.550 km
3
8 Kolumbia
1.112 km
3
9 Kongo
1.020 km
3
Total
23.994 km
3
Penggunaan air untuk berbagai sektor di dunia cenderung meningkat dari tahun 1900-2025. Pada Gambar 2 disajikan fluktuasi penggunaan air untuk
berbagai sektor periode 1900-2025. Studi oleh IFPRI International Food Policy Research Institute dan IWMI
International Water Management Institute bahwa terjadi tren yang berkelanjutan, tahun 2025 kompetisi dari pertumbuhan kota dan industri akan membatasi
sejumlah ketersediaan air untuk irigasi. Hal ini menyebabkan produksi tanaman pangan hilang 350 juta metrik ton per tahun. Lingkungan juga akan semakin rusak
secara terus-menerus, sehingga ketersediaan air untuk tiga sektor pertanian, perumahan, dan industri semakin menurun padahal pemanfaatannya selalu
meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Jika tingkat investasi dalam kebijakan air berlanjut dan pengelolaan menurun lebih dari 20 tahun lagi,
13 maka akan terjadi penurunan produksi tanaman pangan. Penelitian yang lalu
menunjukkan bahwa peningkatan produksi air di lahan beririgasi dan tadah hujan akan membuat kita cukup air untuk keperluan domestik, industri, dan alami. Tetapi
ini memerlukan suatu komitmen kelembagaan dan perubahan pengelolaan, dan investasi yang besar di penelitian tanaman, teknologi, dan infrastruktur Carriger,
2003.
Gambar 2 Fluktuasi penggunaan air untuk berbagai sektor periode 1900-2025
Selanjutnya dengan memperhitungkan pertumbuhan penduduk dunia dan kebutuhan akan air yang mengiringinya, masa depan neraca air global, ketersediaan
infrastruktur dan pelayanan sumber daya air nampaknya akan menjadi sangat timpang dan sensitif. Sementara itu, penyebaran penduduk dan ketersediaan
sumber daya air segar yang tidak merata di permukaan bumi menambah intensitas permasalahan kelangkaan air. Amerika dan Australia, misalnya, mempunyai
potensi air segar per kapita 100 kali lebih besar dari Ethiopia. Di Eropa dan Amerika Utara, 70 persen dari potensi sumber daya air telah dimanfaatkan untuk
membangun pembangkit listrik tenaga air PLTA, sementara di Asia hanya 30 persen. Di Afrika hanya menggunakan sekitar tiga persen dari potensi air yang
dapat diperbaruinya, hanya sekitar enam persen dari lahannya yang beririgasi, dan hanya lima persen dari potensi airnya yang dibangun untuk PLTA. Sementara itu
15 persen dari penduduk Amerika Latin dan Karibia, 20 persen dari penduduk Asia, dan 40 persen dari penduduk Afrika tidak mempunyai akses terhadap air
bersih dan sanitasi yang sehat. Disparitas air dan penduduk dunia tersebut telah
14 menyebabkan beberapa negara dan bagian dunia telah berada dalam kondisi krisis
air yang mendalam diiringi dengan meningkatnya kompetisi dan konflik untuk memperebutkan sumber-sumber air Winpenny, 2003.
2.1.2 Ketersediaan dan Kebutuhan Air di Indonesia
Secara nasional, ketersediaan air di Indonesia mencapai 1.957 milyar meter kubik per tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa, potensi tersebut
mencapai 8.800 meter kubik perkapita per tahun, masih di atas rata-rata dunia yang hanya 8.000 meter kubik per kapita per tahun. Namun, jika ditinjau ketersediaan air
menurut wilayah dan waktu maka kondisi yang terjadi akan bervariasi. Lebih dari 83 persen dari aliran permukaan terkosentrasi di Sumatera, Kalimantan dan Papua,
17 persen lainnya di Jawa-Bali, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Pulau Jawa dengan luas 7 persen dari total daratan wilayah Indonesia hanya memiliki potensi air tawar
4,5 persen dari total nasional. Dalam pada itu, pulau ini dihuni oleh sekitar 65 persen total penduduk Indonesia. Kondisi di atas menggambarkan bahwa potensi
kelangkaan air yang sangat besar akan terjadi di Jawa dengan daya dukung sumbedaya air yang telah mencapai titik krisis BAPPENAS, 2006.
Jika dilihat ketersediaan air per kapita per tahun, di Jawa hanya tersedia 1.750 meter kubik, masih di bawah standar kecukupan yaitu 2000 meter kubik.
Hingga tahun 2020 di Pulau Jawa diperkirakan hanya akan tersedia sebesar 1.200 meter kubik per kapita per tahun. Potensi krisis air ini juga terjadi wilayah lain
seperti Nusa Tenggara Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Apabila kondisi tersebut terus berlanjut, maka akan terjadi keterbatasan
pengembangan dan pelaksanaan pembangunan di daerah-daerah tersebut karena daya dukung sumber daya air yang telah terlampaui.
Dari total ketersediaan air per tahun, sekitar 80 persen tersedia pada musim hujan yang berdurasi selama 5 bulan, sedangkan 20 persen lainnya tersedia pada
musim kemarau dengan durasi selama 7 bulan. Pada musim hujan banyak air yang terlimpas langsung ke daerah hilir antara lain akibat bentuk topografi,
berkurangnya tutupan vegetasi lahan, dan juga berkurangnya daerah resapan akibat laju penggunaan lahan, Air yang mengalir langsung ini telah banyak menyimpang
dari daur hidrologi asal yang bisa disebut sebagai kombinasi dari ‗sub-surface flow’ dan ‗surface flow’ menjadi ‗surface flow dominant’ tanpa pemanfaatan berarti.
15 Perubahan ini bahkan telah menjadi ancaman banjir rutin di beberapa wilayah serta
ancaman kekeringan pada musim kemarau yang telah dirasakan di pulau Jawa BAPPENAS, 1991.
Kebutuhan air secara nasional saat ini terkonsentrasi pada Jawa dan Bali, dengan penggunaan terutama untuk minum, rumah tangga, perkotaan, industri,
pertanian dan lainnya. Dari data neraca air tahun 2003, kondisi Jawa dan Bali dengan kebutuhan air sebesar 38.4 milyar meter kubik pada musim kemarau, yang
dapat dipenuhi hanya sekitar 25.3 milyar kubik. Defisit ini diperkirakan akan semakin tinggi pada tahun 2020, dimana jumlah penduduk dan aktifitas
perekonomian meningkat secara signifikan BAPPENAS, 2006. Penanganan kebutuhan air di pulau Jawa telah ditempuh melalui
pembangunan waduk besar dan sedang. Dari pemantauan yang dilakukan terhadap 14 waduk utama di Jawa, seluruhnya mengalami kondisi di bawah normal pola
kering pada saat musim kemarau. Untuk itu dilakukan penentuan prioritas pemanfaatan waduk-waduk tersebut, yaitu Prioritas pertama untuk air minum, air
rumah tangga dan perkotaan semua waduk utama menjamin terpenuhinya air, Prioritas 2 untuk irigasi tanaman pangan, dan Prioritas 3 untuk industri dan
kebutuhan lainnya. Pada tahun 2003 rendahnya daya dukung waduk tersebut mengakibatkan terjadinya kekeringan pada areal sawah di daerah produksi beras
seluas 430.295 hektar termasuk yang mengalami puso 82.696 ha. Di samping itu, terdapat beberapa PLTA yang terpaksa beroperasi secara intermitten. Kekeringan
ini telah berdampak pada menurunnya pendapatan, kekurangan pangan, dan kesulitan lapangan kerja bagi lebih dari 250.000 KK, serta kesulitan memperoleh
air bersih di wilayah perkotaan. Rawannya ketersediaan air antar waktu temporal dan antar wilayah
spatial pada musim kemarau menyebabkan pasokan air untuk keperluan pertanian, domestik dan munisipal terganggu. Sebaliknya pada musim hujan,
tingginya curah hujan dan rusaknya DAS menyebabkan hanya sebagian kecil saja volume air hujan yang dapat ditampung melalui infiltrasi dan intersepsi, sedangkan
sisanya ditransfer menjadi aliran permukaan. Secara kuantitatif fenomena ini ditandai dengan semakin tingginya debit puncak dan semakin singkatnya waktu
respon DAS. Kondisi distribusi air yang fluktuatif akan kurang menguntungkan institusi yang bergerak dalam bisnis air seperti Perum Jasa Tirta II, karena pasokan
16 untuk keperluan domestik dan industri secara teoritis tetap untuk suatu periode dan
bahkan cenderung meningkat. Pada Tabel 2 disajikan pasokanketersediaan air per pulau di Indonesia Departemen Kimpraswil, 2000.
Tabel 2 Ketersediaan sumber daya air di pulau-pulau di Indonesia
Sumber: Departemen Kimpraswil 2000 Ket: NA: tidak tersedia
DMI: Domestic, Municipal and Industri
Banyak negara dan wilayah di dunia yang sudah mencapai titik kritis. Dari 180 negara yang diberi rankingperingkat dalam laporan tersebut menurut
ketersediaan sumber daya air yang dapat diperbaharui renewable water resources pernegara perkapita, negarawilayah yang paling parah ketersediaan airnya berada
pada peringkat terbawah, 176-180 adalah Kuwait, Jalur Gaza, Emirat Arab, Bahamas, dan Qatar. Sedangkan Indonesia berada pada peringkat 58, dimana
tersedia 13.381 m
3
air pertahunnya, perkapita penduduk Indonesia. Tetapi, meskipun Indonesia berada pada peringkat yang “lumayan” dalam hal
ketersediaan airnya, dibandingkan dengan Kuwait hanya 10 m
3
atau Emirat Arab 58 m
3
misalnya, namun jika dilihat dari kualitas airnya, ternyata Indonesia berada pada peringkat yang cukup mengkhawatirkan, yaitu urutan ke 110 dari 122 negara
yang terdata. Berarti, tingkat polusi, sistem pembuangan dan sanitasi berada pada tingkat yang cukup parah sehingga jaminan agar rakyat bisa mendapatkan air
bersih yang layak, kecil sekali Hadad, 2003.
2.1.3 Proyeksi Ketersediaan dan Kebutuhan Air
Menurut proyeksi International Food Policy Research Institute IFPRI 1997 kebutuhan air Indonesia tahun 2020 untuk keperluan pertanian, industri dan
domestik dibandingkan tahun 1995 meningkat berturut-turut 25, 400 dan
Pulau Luas
Wilayah Potensi air
permukaan m
3
dt Potensi
air bumi m
3
dt Low
flow tersedia
m
3
dt Permintaan
m
3
dt Irigasi
DMI Total
JawaBali 139
6199 95
786 950
124 1074
Nusa Tenggara 81
1777 21
90 70
3 73
Sumatera 470
23660 NA
4704 271
26 297
Kalimantan 535
32279 NA
6956 19
7 26
Sulawesi 187
2488 44
561 120
6 126
Maluku 78
3373 9
391 5
1 6
Papua Barat 414
28061 NA
4140 2
1 1
Total 1904
97837 17628
1437 1168
1603
17 300. Sementara itu, secara kuantitas volume air yang ada relatif konstan bahkan
yang dapat digunakan utilizable cenderung menurun antara lain akibat pencemaran, rusaknya kondisi biofisik DAS. Salah satu indikatornya adalah
tingginya fluktuasi debit pada musim hujan dan kemarau serta rentannya susceptible pasokan air akibat deraan anomali iklim seperti El-Niño dan La-Niña.
Masalah air di Indonesia cukup kritis. Untuk menjamin keberlanjutan ketersedian air perlu upaya-upaya pengelolaan air yang baik, terpadu dan
profesional. Masalah utama pengelolaan sumber daya air di Indonesia antara lain: 1 Kelangkaan lokal dalam alokasi air di beberapa sektor karena peningkatan
jumlah penduduk dan peningkatan permintaan air bersih, khususnya di perkotaan. Meskipun total ketersediaan air bersih di Indonesia masih cukup
tinggi sekitar 13000 m
3
kapitatahun, tetapi ketersediaan di beberapa wilayah tidak sama. Misalnya di Jawa, dengan hanya 4,5 dari total potensial air
bersih nasional, harus menyokong 65 penduduk Indonesia dari total 210 juta orang. Akibatnya terjadi krisis air selama musim kemarau. Di sisi lain,
permintaan air bersih terutama di Jawa meningkat setiap tahun. Menurut data dari Kimpraswil permintaan air bersih meningkat 220 antara 1990 dan 2020
Sarwoko dan Anshori, 2003. 2 Kemampuan akses untuk air bersih dari institusi pengelola dan kemampuan
infrastruktur air bersih di perkotaan untuk menyediakan cepatnya permintaan air bersih. Penelitian WATSAL menyebutkan bahwa di perkotaan, hanya
sekitar 40 dari seluruh wilayah perkotaan yang mendapatkan akses dari air PAM. Sehingga, masyarakat mengandalkan air tanah untuk memenuhi
keperluan sehari-hari dan untuk industri. Diperkirakan 80 keperluan air bersih penduduk perkotaan dan pedesaan disuplai dari air tanah dan 90 industri juga
menggunakan air bersih Yousana OP Siagian, 2003. 3 Kecerobohan perencanaan dengan tidak adanya perhatian pada kelangsungan
lingkungan dan budaya lokal menyebabkan stres pada lingkungan. Sedangkan industrialisasi dan urbanisasi akan menambah stres.
Rata-rata tahunan curah hujan atau ketersediaan air di Indonesia cukup berlimpah, tetapi terdapat variasi antar wilayah dan antar waktu, sehingga sering
terjadi kekurangan air di wilayah rawan kekeringan, dan banjir di tempat lain atau
18 waktu lain. Hal ini jelas mengganggu keberlanjutan sistem produksi pertanian
nasional, termasuk bahan pangan. Kebutuhan air pertanian relatif terpenuhi di wilayah irigasi teknis yang telah
dilengkapi dengan bendungan dan saluran-saluran irigasinya. Itupun pada akhir- akhir ini mengalami kekurangan air apabila terjadi anomali iklim, yang sering tidak
dapat diramalkan sebelumnya. Sedangkan pertanian tadah hujan, terutama di wilayah beriklim kering seperti Indonesia Bagian Timur, selalu terancam oleh
risiko kekurangan air. Dewasa ini, masalah meningkatnya tekanan terhadap sumber daya air di
beberapa tempat sudah semakin besar, disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan permintaan akibat pertumbuhan ekonomi dan proses urbanisasi
Pasandaran, 1996. Karena ketersediaan air secara kualitas cenderung menurun, maka akan
mempengaruhi pemenuhan air untuk kebutuhan rumah tangga, sektor pertanian, industri, dan lingkungan. Pada saat ini, permintaan air tersebut masih dapat
dipenuhi karena ketersediaan air jauh lebih besar dari permintaannya Tabel 3. Bahkan kebutuhan air sampai tahun 2020 masih dapat dipenuhi dari air yang
tersedia saat ini. Neraca kebutuhan air tahun 2003 dan 2020 disajikan pada Tabel 4 dan 5.
Secara global sampai dengan tahun 2020 diperkirakan kebutuhan produksi padi nasional meningkat hingga 71,55 juta ton dengan peningkatan kebutuhan
pengembangan sumber daya air sebesar 45-57,5 dibanding tahun 1998 Pasandaran dan Sugiharto, 1999. Selanjutnya menurut Napitupulu 1999
kebutuhan air irigasi sawah di Indonesia pada tahun 1998 diperkirakan ± 71,676 juta meter kubik MMCtahun, sementara itu untuk memenuhi kebutuhan pangan
dalam 10 tahun mendatang dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk nasional 1,6tahun diperlukan air 90-100 MMCtahun. Sebagai gambaran kapasitas
waduk Jatiluhur hanya 2 juta MMC, sehingga paling tidak perlu dibangun 45-50 buah waduk sejenis untuk memenuhi kebutuhan air tersebut, apalagi dengan
kondisi pendanaan yang tampaknya semakin sulit. Disisi lain pada saat ini persaingan penggunaan air antar sektor sedemikian meningkat akibat peningkatan
pertumbuhan penduduk. Apalagi ada indikasi bahwa gejala anomali iklim, baik El- Nino maupun La-Nina semakin kerap terjadi.
19 Tabel 3 Ketersediaan dan permintaan air aktual untuk keperluan rumah tangga,
perkotaan, industri dan irigasi
No Propinsi
Ketersediaan Permintaan Saat Ini 2002 dalam m
3
dt Rata-rata
R.Tangga Perkotaan
Industri Irigasi
Total 1
N. Aceh D. 3,042.21
9.34 3.98
- 126.54
139.86 2
Sumatra Utara 2,948.79
87.46 37.32
9.42 166.51
300.71 3
Sumatra Barat 1,670.69
8.00 3.41
93.01 -
104.42 4
Riau 5,020.67
15.76 6.73
- 74.42
96.91 5
Jambi 2,680.65
6.17 2.63
- 31.14
39.94 6
Sumsel BangkaBelitung
4,793.82 26.96
11.50 -
62.67 101.13
7 Bengkulu
1,662.20 2.97
1.27 -
41.96 46.20
8 Lampung
1,528.41 17.82
7.60 -
94.67 120.09
SUMATRA 23,347.44
174.48 74.44
102.43 597.91
949.26
9 DKI Jakarta
317.45 31.41
13.77 14.14
75.85 135.17
10 Banten
252.38 1.11
0.49 1.59
29.05 32.24
11 Jawa Barat
2,171.14 24.00
9.00 20.00
372.00 425.00
12 Jawa Tengah
1,665.18 17.95
7.87 -
337.28 363.10
13 DI Yogyakarta
175.23 3.89
1.71 -
50.01 55.61
14 Jawa Timur
1,354.95 24.99
10.96 11.55
419.26 466.76
JAWA 5,936.33
103.35 43.80
47.28 1,283.45
1,477.88 JAWA+BALI
6,109.24 105.25
44.59 47.28
1,374.40 1,571.52
15 Kalbar
10,154.14 3.51
1.47 -
5.17 10.15
16 Kalsel
5,668.41 5.69
2.38 -
7.18 15.25
17 Kalteng
5,824.04 8.96
3.75 -
0.38 13.09
18 Kaltim
10,318.37 14.41
6.03 -
3.26 23.70
KALIMANTAN 31,964.96
32.57 13.63
0.00 15.99
62.19
19 Bali
172.91 1.90
0.79 90.95
93.64 20
NTB 404.90
1.90 0.79
- 164.65
167.34 21
NTT 907.98
1.52 0.64
- 23.70
25.86
BALI+ N.TENGGARA 1,485.79
5.32 2.22
0.00 279.30
286.84 N.TENGGARA
1,312.88 3.42
1.43 0.00
188.35 193.20
22 Sulawesi Utara
1,003.93 2.13
0.89 -
42.69 45.71
23 Gorontalo
221.91 0.81
0.34 -
11.22 12.37
24 Sulteng
3,683.12 8.92
3.74 -
71.97 84.63
25 Sultra
217.69 0.71
0.30 -
6.04 7.05
26 Sulsel
2,698.76 9.05
3.79 1.10
232.03 245.97
SULAWESI 7,825.41
21.62 9.06
1.10 363.95
395.73
27 Maluku Utara
1,324.00 0.28
0.12 -
0.80 1.20
28 Maluku
1,994.17 5.78
2.42 -
10.02 18.22
29 Papua
27,786.00 13.41
5.62 -
2.32 21.35
MALUKU dan PAPUA 31,104.17
19.47 8.16
0.00 13.14
40.77 INDONESIA
101,664.10 356.81
151.31 150.81
2,553.74 3,212.67
Sumber: Sub Direktorat Hidrologi, Direktorat Pemanfaatan Sumber daya Air, Dep.Kimpraswil 2003
Tabel 4 Neraca air pada MK tahun 2003
No. Pulau
Tahun 2003 Kebutuhan kemarau
Ketersediaan kemarau Neraca
Milyar m
3
Milyar m
3
1. Sumatera
11.6 17.5
96.2 19.9
surplus 2.
Jawa Bali 38.4
57.8 25.3
5.2 defisit
3. Kalimantan
2.9 4.3
167.0 34.6
surplus 4.
Nusa Tenggara 4.3
6.5 4.2
0.9 defisit
5. Sulawesi
9.0 13.6
14.4 3.0
surplus 6.
Maluku 0.1
0.2 12.4
2.6 surplus
7. Papua
0.1 0.1
163.6 33.9
surplus : terhadap total nasional
20
Tabel 5 Proyeksi keadaan neraca air pada MK tahun 2020
No. Pulau
Tahun 2020 Kebutuhan kemarau
Ketersediaan kemarau Neraca
Milyar m
3
Milyar m
3
1. Sumatera
13.3 17.6
96.2 19.9
Surplus 2.
Jawa Bali 44.1
58.4 25.3
5.2 Defisit
3. Kalimantan
3.5 4.6
167.0 34.6
Surplus 4.
Nusa Tenggara 4.7
6.2 4.2
0.9 defisit
5. Sulawesi
9.7 12.8
14.4 3.0
surplus 6.
Maluku 0.1
0.2 12.4
2.6 surplus
7. Papua
0.2 0.2
163.6 33.9
surplus Sumber: Sub Direktorat Hidrologi, Dep.Kimpraswil, 2000
. Ketersediaan sumber daya air nasional annual water resources, AWR
memang masih sangat besar, terutama di wilayah barat, akan tetapi tidak semuanya utilizable. Sebaiknya di sebagian besar wilayah timur yang radiasi suryanya
melimpah, curah hujannya rendah 1500 mmtahuin yang terdistribusi selama 3- 4 bulan saja. Kondisi sumber daya air yang berbeda akan memerlukan strategi
pengelolaan dan sistem usahatani yang berlainan pula. Total pasokan atau ketersediaan air wilayah air permukaan dan air bumi di seluruh Indonesia adalah
2110 mmtahun setara dengan 127.775 m
3
detik Tabel 6 Pawitan, et al, 1996; Las, Pawitan, Sarnita,1998.
B erdasarkan analisis “water-demand-supply 2020” oleh International Water
Management Institute IWMI, Indonesia dikategorikan sebagai negara kelompok 3 berdasarkan kebutuhan dan potensi sumber daya airnya yang membutuhkan
pengembangan sumber daya 25-100 dibanding saat ini Seckler, et al., 1998. Tabel 6 Total air tersedia menurut wilayahkepulauan di Indonesia
Wilayah Pulau Luas
Km
2
Curah Hujan mmth
Total Air Tersedia Keb. air
irigasi MCM mmth
m
3
det MCM
Sumatera 477.379
2.801 2.128
32.198 1015.396
19.417 Jawa
121.304 2.555
1.915 7.360
232.105 32.255
Bali NT 87.939
1.695 1.167
3.251 102.525
3.808 Kalimantan
534.847 2.956
2.264 38.369
1210.004 8.123
Sulawesi 190.375
2.156 1.568
9.458 298.267
7.855 MalukuPapua
499.300 30.221
2.221 37.139
1171.215 218
Indonesia 1911.144
2.779 2.110
127.775 4029.512
71.676
Sumber : Pawitan et al 1996 dan Napitupulu1999 data diolah, dengan asumsi air hanya digunakan 1satu kali
21 Sementara itu secara hidrologis masih terdapat peluang yang cukup besar
untuk meningkatkan ketersediaan air melalui pemanfaatan air limpasan direct runoff sebesar kurang lebih 45 dari total hujan, sedangkan sisanya yaitu 55
akan dievapotranspirasikan Seckler et al, 1998. Di Indonesia pada beberapa DAS yang kritis prosentase air limpasannya lebih dari 50, sehingga proporsi air yang
disimpan sebagai cadangan air tanah sangat rendah dan sering menyebabkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Sementara itu potensi sumber
daya air tanah cukup besar, yaitu dengan debit 4,7 x 109 m
3
tahun dari 224 cekungan yang tersebar diseluruh Indonesia. Sumber daya air tersebut pada musim
kemarau sangat potensial untuk suplemen air permukaan irigasi dan curah hujan bagi kebutuhan pertanian Soetjipto, 1997.
Hasil penelitian teknologi panen hujan dan aliran permukaan di Sub DAS Kripik menunjukkan bahwa teras sawah dapat menurunkan debit puncak dari 14,42
menjadi 11.40 m
3
detik, dan memperpanjang waktu terjadinya debit puncak selama 42 menit Irianto, 1999. Debit puncak pada lahan yang diteras lebih rendah 3,02
m
3
detik dibandingkan dengan lahan tidak diteras, sedangkan waktu respon lahan berteras lebih lama 42 menit. Artinya DAS yang diteras menyimpan air hujan dan
aliran permukaan lebih besar dari pada yang tidak diteras. Dalam penelitiannya Irianto 1999 juga mengemukakan bahwa apabila
kapasitas menahan air pada lahan tanpa teras dibandingkan dengan lahan yang diteras untuk luasan yang sama, maka teras dapat menyimpan 1,2 kali lebih besar
dibandingkan lahan tidak diteras. Bahkan secara potensial teras mampu menampung volume air 2-3 kali lebih besar dari yang ada apabila genangan air di
teras dapat mencapai ketinggian 6-10 cm. Berdasarkan sebaran luas baku lahan dan sebaran jumlah penduduk
Indonesia, terlihat adanya kesenjangan gap ketersediaan air antar pulau wilayah yang cukup besar Tabel 7. Menurut Ditjen Pengairan 1997, batas kritis yang
“aman” persediaan air wilayah berdasarkan jumlah penduduk adalah 2000 MCCT meter cubic per capita per year. Jika berada di bawah nilai tersebut maka
diperkirakan bahwa pengembangan sumber daya air untuk mengikuti laju peningkatan kebutuhan di masa datang sulit dilakukan.
22 Tabel 7 Rasio ketersediaan air dan luas lahan pertanian dan ketersediaannya per
kapita
Wilayah Luas
Wilayah Total Air
Tersedia Luas
Lahan Airluas
lahan Penduduk
Airkapita GMC
Rb. Ha MCHY
Jt. Jiwa MCCY
Sumatera 24,7
1015 14.833
68.429 42,6
23.826 Jawa
6,9 232
7.052 32.898
121,3 1.896
Bali NT 4,6
103 1.574
65.438 10,8
9.537 Kalimantan
28,1 1210
6.229 194.252
10,6 114.151
Sulawesi 9,9
298 5.063
58.858 14,2
20.986 MalukuPapua
25,9 1171
tad -
4,1 285.610
Indonesia 100,0
4030 34.763
115.928 203,6
19.793
tad = tidak ada data
Penerapan rekayasa teknologi irigasi dan pengelolaan sumber daya air dimungkinkan untuk mentransfer air dari satu ke lain DAS, namun belum mungkin
dilakukan antar pulau. Peningkatan apresiasi masyarakat terhadap air dalam bentuk investasi air oleh
swasta atau privatisasi air untuk irigasi misalnya sprinkler irrigation, drip irrigation merupakan salah satu indikator berkembangnya sektor agribisnis.
Melalui penerapan teknik rekayasa irigasi yang memadai, maka efisiensi irigasi dan air dan pengembangan komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi pada petani
yang pemilikan lahannya sempit dapat ditingkatkan dan mampu membiayai investasi yang ditanamkan sekaligus memberikan keuntungan yang mamadai
Dahigaonkar, 1993. Pengembangan teknik irigasi tersebut juga sangat tepat untuk pengembangan lahan kering, mengingat pada saat ini lahan kering semakin
strategis dalam ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis Las et al., 2000.
Dari hasil penelitian peningkatan intensitas pertanaman mengenai palawija utama menunjukkan bahwa tanaman kedelai dan jagung merupakan tanaman yang
relatif tidak boros air dan merupakan tanaman palawija utama di Indonesia, dapat dipilih menjadi tanaman alternatif yang dapat digunakan untuk mengganti padi.
Peningkatan IP pada dasarnya adalah pemanfaatan sumber daya air dan lahan secara optimal. Potensi ketersediaan air sangat menentukan jenis tanaman yang
ditanam. Jika potensi air relatif besar, jenis tanaman yang sebaiknya ditanam adalah padi. Sedangkan pada daerah yang mempunyai ketersediaan air terbatas,
lahan sebaiknya ditanami palawija kedelai dan jagung.
23 Selanjutnya masalah air di Indonesia ditandai juga dengan kondisi
lingkungan yang makin tidak kondusif sehingga makin mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan antara lain disebabkan oleh terjadinya degradasi daya
dukung daerah aliran sungai DAS hulu akibat kerusakan hutan yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis sudah mencapai 18,5 juta hektar. Di samping
itu jumlah DAS kritis yang berjumlah 22 buah pada tahun 1984 telah meningkat menjadi 59 buah pada tahun 1998. Fenomena ini telah menyebabkan turunnya
kemampuan DAS untuk menyimpan air di musim kemarau sehingga frekuensi dan besaran banjir makin meningkat, demikian juga sedimentasi makin tinggi yang
menyakibatkan pendangkalan di waduk dan sungai sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya. Pada tahun 1999 terdeteksi bahwa dari 470 DAS di
Indonesia, 62 di antaranya dalam kondisi kritis, yang diprediksi dari perbandingan aliran maksimum dan minimum sungai-sungai yang sudah jauh melampaui batas
normalnya. Keadaan ini diperparah oleh degradasi dasar sungai akibat penambangan bahan galian golongan C di berbagai sungai di Jawa, Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Sumatera Barat yang telah menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi prasarana dan sarana di sepanjang sungai.
Sementara itu penyedotan air tanah terutama di beberapa kota besar di Indonesia yang melebihi kemampuan alami untuk mengisinya kembali makin tidak
terkendali sejalan dengan perkembangan permukiman dan pertumbuhan kegiatan ekonomi penduduk yang pada akhirnya menyebabkan permukaan tanah turun,
muka air tanah menurun, dan terjadinya intrusi air laut. Sebagai contoh, di wilayah Leuwigajah Bandung telah terjadi penurunan muka air tanah yang mencapai 60
meter sedangkan di Jakarta muka air tanah turun rata-rata antara setengah sampai dengan tiga meter per tahun dan intrusi air laut telah sampai di wilayah Jakarta
Pusat yaitu di daerah Monumen Nasional Santoso, 2000. Penurunan muka air tanah tersebut telah menyebabkan turunnya permukaan tanah dengan laju 2,3
sampai dengan 34 sentimeter per tahun sehingga meningkatkan kerentanan wilayah-wilayah tersebut terhadap banjir.
Salah satu implikasi terbesar dari kelangkaan air global dan lokal adalah jaminan kesinambungan ketahanan pangan food security. Sebagian besar dari
sekitar 800 juta penduduk dunia yang masih mengalami kekurangan pangan dan kelaparan hidup di wilayah-wilayah yang mengalami kekurangan air yang laten.
24 Dari sekitar 3.600 kilometer kubik air yang dikonsumsi manusia per tahun
ekivalen dengan 580 meter kubik per kapita per tahun, sekitar 69 persen di antaranya dipergunakan untuk sektor pertanian, bahkan di Asia mencapai rata-rata
sekitar 83 persen, sedangkan sisanya sebesar 21 persen untuk industri, dan 10 persen untuk sektor perkotaan. Ancaman kelangkaan air untuk kehidupan manusia
ini menjadi lebih kita pahami bila menyadari bahwa untuk memproduksi satu kilogram beras diperlukan sekitar satu sampai tiga ton air FAO, 2002 . Di
Indonesia, pada tahun 2020 kebutuhan air untuk keperluan irigasi masih mencapai 74,1 persen dari total kebutuhan sedangkan lainnya digunakan untuk keperluan
domestik, perkotaan, dan industri domestic,municipal and industries - DMI sebanyak 11,34 persen, pemeliharaan sungai 7 11,53 persen, dan sisanya untuk
keperluan tambak dan peternakan Kimpraswil, 2003. Kekurangan air pada suatu kawasan juga akan memicu terjadinya konflik di
kawasan tersebut, baik konflik antar wilayah, antar sektor, maupun konflik antar petani dan pengguna air lainnya. Dalam skala tertentu, konflik penggunaan air
secara horizontal sudah terjadi di Indonesia terutama antara daerah hulu dan hilir. 2.1.4
Kelangkaan Air
Salah satu implikasi terbesar dari kelangkaan air global dan lokal adalah jaminan kesinambungan ketahanan pangan food security. Sebagian besar dari
sekitar 800 juta penduduk dunia yang masih mengalami kekurangan pangan dan kelaparan hidup di wilayah-wilayah yang mengalami kekurangan air yang laten.
Dari sekitar 3.600 kilometer kubik air yang dikonsumsi manusia per tahun ekivalen dengan 580 meter kubik per kapita per tahun, sekitar 69 persen di
antaranya dipergunakan untuk sektor pertanian --bahkan di Asia mencapai rata-rata sekitar 83 persen-- sedangkan sisanya sebesar 21 persen untuk industri, dan 10
persen untuk sektor perkotaan. Ancaman kelangkaan air untuk kehidupan manusia ini menjadi lebih kita pahami bila menyadari bahwa untuk memproduksi satu
kilogram beras diperlukan sekitar satu sampai tiga ton air FAO, 2002 . Di Indonesia, pada tahun 2020 kebutuhan air untuk keperluan irigasi masih mencapai
74,1 persen dari total kebutuhan sedangkan lainnya digunakan untuk keperluan domestik, perkotaan, dan industri domestic,municipal and industries - DMI
25 sebanyak 11,34 persen, pemeliharaan sungai 7 11,53 persen, dan sisanya untuk
keperluan tambak dan peternakan Kimpraswil, 2003. Kelangkaan air yang terjadi, terutama di musim kemarau, semakin terasa
akibat kompetisi pemanfaatannya untuk berbagai kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Untuk itu dalam pengelolaan air, perlu mempertimbangkan kebutuhan
air untuk komponen usaha tani lain selain dari tanaman. Kekurangan air pada suatu kawasan juga akan memicu terjadinya konflik di
kawasan tersebut, baik konflik antar wilayah, antar sektor, maupun konflik antar petani dan pengguna air lainnya. Dalam skala tertentu, konflik penggunaan air
secara horizontal sudah terjadi di Indonesia terutama antara daerah hulu dan hilir. Pakar hidrologi mengembangkan konsep model untuk menentukan
kelangkaan air water scarcity di dunia. Pengalaman beberapa Negara menunjukkan bahwa kelangkaan air terjadi saat kurang dari 1.000 m
3
air tawar renewable freshwater tersedia per orang per tahun. Jika air bersih tersedia antara
1.000 -1.700 m
3
per orang per tahun dinyatakan stress air water stress. Dan jika lebih dari 1.700 m
3
per orang per tahun relatif cukup air water sufficient Falkenmark et al., 1999.
2.2 Water Allocation Alokasi Air
Alokasi memungkinkan sumber daya yang terbatas untuk dibagi. Dalam kasus air, alokasi saat ini dibuat berdasarkan sumber daya apakah sedang diakses
saat ini di simpanan permukaan air permukaan atau simpanan bawah permukaan airbumi. Alokasi air ini didasarkan pada perkiraan hasil yang berkelanjutan dari
sumber daya yang ditetapkan, berasal dari pemahaman tentang kapasitas penyimpanan, tingkat pengisian dan dampak ekstraksi. Kerangka alokasi air
cenderung tidak mempertimbangkan nilai hubungan. Oleh karena itu, hubungan sumber daya air dinilai tidak berlebihan dialokasikan atau berlebihan digunakan
dalam suatu pemisahan, mungkin dalam kenyataannya adalah bilamana dipertimbangkan secara bersama-sama.
2.2.1 Konflik dan Dampak Penggunaan Air antar Sektor
Walaupun sejarah konflik permasalahan sumber daya air sudah ada sejak ribuan tahun lalu di negara-negara Timur Tengah akan tetapi gagasan water
26 sharing di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa pada umumnya dan
Australia baru dirintis pada awal 1970-an Gleick, 2003. Di Asia konflik water sharing di Gangga dimulai sesaat setelah pemisahan
India menjadi dua pada tahun 1947. Dimulai dengan liputan media India atas rencana India membangun Farakka Barrage di Gangga. Konflik dapat diantisipasi
dengan ditandatanganinya antara India- Pakistan yaitu Indus Water Sharing Treaty bulan April tahun 1960, Ganges Water Sharing Treaty antara India dan
Bangladesh 12 Desember 1996, Mahakali Integrated Development Treaty tahun 1996 antara India-Nepal Parajuli et al., 2003.
Konflik mungkin berakar dari rangsangan untuk memiliki atau menguasai sumber daya air negara lain, sehingga membuat sumber daya dan sistem air sebagai
suatu tujuan politis atau militer. Distribusi yang tidak adil dan penggunaan sumber daya air, kadang-kadang timbul dari suatu pembangunan air, barangkali
menimbulkan berkembangnya perselisihan, menambah pentingnya air sebagai tujuan strategis atau menimbulkan degradasipenurunan sumber air yang lainnya.
Konflik mungkin juga timbul ketika sistem air digunakan sebagai instrumenalat perang, baik sebagai target atau alat bantu tools. Pada tahun 2001, lembaga-
lembaga mulai memasukkan peristiwa-peristiwa keterlibatan air dan terorisme. Gleick, 2003.
Di Indonesia terdapat dua fenomena besar yang sangat meresahkan petani dan masyarakat kelas menengah bawah dalam hal penggunaan air, yaitu 1
penguasaan absolut atas sumber mata air spring water resources oleh sektor tertentu yang tidak terkendali, serta 2 belum tersedianya pola, sistem, dan
mekanisme dalam: penetapan water sharing, implementasi, pemantauan, dan penyelesaian konfliknya, sehingga masing-masing pemangku kepentingan stake
holder mendapat perlakuan yang adil. Kedua isu tersebut saat ini terus mengemuka, karena selain air menguasai hajat hidup orang banyak, ia juga menjadi
komponen utama penyusun makhluk hidup. Sementara itu, secara kuantitas ketersediaannya yang utilizable terus menurun akibat rusaknya daur hidrologi,
pencemaran Irianto, 2004. Dalam konferensi pembangunan berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002,
Indonesia sebagai salah satu negara yang terlibat terikat oleh kesepakatan tentang pembangunan berkelanjutan di bidang sumber daya air. Kesepakatan tersebut
27 hendaknya bisa dijadikan peluang untuk membuat peraturan pengalokasian sumber
daya air agar adil dan optimal antar sektor. Sebenarnya tujuan penting pengelolaan air adalah untuk menyeimbangkan
permintaan dengan ketersediaan air, melalui pengaturan alokasi air yang sesuai. Umumnya di DAS dan sub DAS terdapat sejumlah besar konflik penggunaan air
termasuk untuk irigasi, penggunaan domestik di perkotaan, penggunaan domestik di pedesaan, peternakan, penggunaan industri, penggunan komersial, untuk
lingkungan kebutuhan air untuk kehidupan air dan satwa liar, penggunaan air untuk institusi sekolah, rumah sakit dll, PLTA, pendinginan pembangkit tenaga
panas, perikanan, rekreasi, dan navigasi menurut Wallingford, 2003. Di banyak negara Afrika selatan ada reformasi yang signifikan dalam cara
pengelolaan air. Salah satu aspek dari reformasi air ini di Afrika Selatan adalah meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan air melalui
organisasi pengelola DAS. Beberapa jenis penggunaan air memberi nilai lebih daripada jenis lainnya.
Kasus klasik adalah nilai yang berbeda dicapai dalam sektor pertanian dan perkotaan: nilai yang dicapai dalam sektor perkotaan biasanya besarnya lebih tinggi
daripada di bidang pertanian. Jika air saat ini digunakan di sektor pertanian, biaya kesempatan
opportunity cost
, yaitu nilai dari penggunaan alternatif terbaik, mungkin sepuluh kali lebih tinggi, tentu saja subyek dari lokasi dan sambungan
hidrolik memungkinkan di antara pengguna. Dengan demikian pergeseran nilai yang lebih tinggi terhadap penggunaan sering dinaikkan Wallingford, 2003.
Sedangkan biaya kesempatan air untuk penggunaan air domestik mungkin tertinggi, saat ketersediaan lebih tinggi daripada permintaan, biaya kesempatan dari
air akan jatuh ke jenis terbaik berikutnya yang digunakan. Hal ini tidak mungkin untuk mengkonsumsi semua air pada nilai penggunaan tertinggi. Biaya kesempatan
yang tepat untuk air irigasi mungkin hanya setengah, atau kurang, daripada penggunaan alternatif terbaik. Bahkan, kemudian keandalan pasokan untuk irigasi
pertanian dapat diterima jauh lebih rendah dari ketersediaan air perkotaan: bendungan penyimpanan menghasilkan x m
3
air untuk irigasi sejumlah 80, dapat menghasilkan hanya 0.5x m
3
atau kurang, tergantung pada hidrologi untuk air perkotaan yang tersedia pada 95 reliabilitas. Biaya kesempatan yang efektif
untuk penggunaan air irigasi karena itu harus setidaknya bisa dibagi dua. Biaya
28 kesempatan yang dihasilkan dengan demikian hanya sebagian kecil dari beberapa
tuntutan ekonomi neo-klasik yang terjadi.
2.2.2 Rekomendasi Alokasi Air
Tujuan penting pengelolaan air adalah untuk mencocokkan atau menyeimbangkan permintaan dengan ketersediaan air, melalui pengaturan alokasi
air yang sesuai. Keseimbangan kebutuhan air dengan ketersediaan air adalah daerah tangkapan spesifik dan karenanya tidak ada satu metode tertentu yang dapat
direkomendasikan. Keseimbangan penawaran dengan permintaan akan sering melibatkan proses pengambilan keputusan di mana kompromi yang sulit harus
dibuat. Dalam semua kasus, proses alokasi air memerlukan pemahaman kuantitatif baik ketersediaan air dan permintaan air. Selain itu, aspek-aspek berikut harus
mendapatkan perhatian yang cermat, dan kemungkinan kombinasi terbaik win win solution yaitu:
kewajiban konstitusional untuk memberikan jumlah dasar air tawar untuk penduduk;
hukum atau perjanjian kewajiban untuk mempertimbangkan persyaratan
hilir di luar daerah yang sedang dipertimbangkan untuk alokasi air; kewajiban hukum untuk menyediakan kebutuhan air lingkungan hidup;
Kehilangan air harus dianalisis dengan mempertimbangkan skala spasial yang
berbeda, dan fungsi-fungsi yang tidak disengaja dimana kerugian ini dapat
melayani;
Prinsip alokasi harus mencakup ketentuan-ketentuan yang jelas untuk
ekstrim saat kekeringan;
Prinsip alokasi air yang harus meningkatkan pengguna air serta minat untuk
berinvestasi dalam infrastruktur air dan untuk meningkatkan efisiensi.
2.3 Water Sharing Berbagi Air
2.3.1 Permasalahan dalam Water Sharing
Berbagi Air
Permasalahan yang tidak bisa dipisahkan dari upaya untuk menyediakan akses masyarakat terhadap air bersih adalah kompetisi, alokasi dan distribusi
penggunaan air untuk keperluan pertanian, industri dan kebutuhan domestik, yang
29 semakin diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi
sementara pasokan dan ketersediaan air yang utilizable cenderung menurun. Permasalahannya semakin kompleks dengan adanya keragaman ketersediaan air
antar waktu dan antar wilayah pada musim kemarau yang mengakibatkan penurunan kemampuan waduk dalam memasok air untuk keperluan pertanian,
domestik dan industri. Permasalahan alokasi dan distribusi air sering muncul meskipun alokasi dan
distribusi air antar sektorpengguna sudah ditetapkan, namun dalam implementasi di lapangan sangat beragam terutama pada musim kemarau. Hal ini terjadi akibat
alokasi yang sudah direncanakan tidak selalu tepat sasaran dalam hal kuantitas dan waktu pendistribusian, sehingga sangat merugikan sektor pertanian. Sebagai contoh
Perum Jasa Tirta II sudah memperkirakan bahwa tidak akan terjadi defisit air sampai dengan musim kemarau 2004, tetapi Kompas 2004 mengungkapkan
bahwa sebagian besar kawasan pertanian di pantura Jawa Barat mengalami keterlambatan tanam sekitar satu hingga satu setengah bulan pada awal musim
tanam I 20032004. Dari total lahan seluas 240.000 ha yang mendapat air irigasi terdapat sekitar 30.738 ha yang belum ditanami padi hingga akhir Januari 2004.
Daerah yang mengalami keterlambatan paling parah adalah Karawang, bahkan ada beberapa petani yang tidak bisa menanam selama setahun akibat keterlambatan
tanam tahun lalu. Penyalahgunaan air untuk kepentingan satu pihak terlihat di mata air Desa
Pager Rejo, Daerah Aliran Sungai DAS Kali Garang Hulu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, telah terjadi pengambilan air yang berlebihan untuk keperluan
industri dan air minum mulai tahun 1997 sampai sekarang. Hal itu berdampak terhadap penurunan intensitas tanam dan luas areal tanam serta produktivitas
pertanian. Informasi ini dapat dengan jelas divalidasi dengan menggunakan citra dengan resolusi spatial dan temporal yang memadai seperti spot image
multitemporal. Kasus serupa terjadi di DAS yang sama, yaitu di mata air Desa Nyatnyono, akibat pengambilan air yang berlebihan oleh produsen air kemasan.
Fenomena yang identik juga terjadi di DAS Kali Kuning, Kaliurang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan mata air Cokrotulung, Klaten, Jawa Tengah,
yang mulai mengeksploitasi sumber mata air mulai tahun 2002 dan beroperasi penuh tahun 2004 Irianto, 2004.
30 Tingginya kebutuhan air untuk irigasi dengan tingkat efisiensi rata-rata
nasional yang masih di bawah 50 menyebabkan world water forum menuding bahwa sektor pertanian yang boros air perlu diprivatisasi. Pemikiran tersebut sangat
kurang tepat dan membahayakan, karena sektor pertanian sebenarnya hanya memerlukan air irigasi pada musim kemarau, sementara pada musim hujan
sepenuhnya tergantung pada air hujan. Produksi tanaman musim kemarau secara faktual kualitas dan produktivitasnya tinggi dengan pasar yang relatif bagus, karena
pasokan terbatas sementara permintaan tetap.
2.3.2 Konsep Water Sharing
Berbagi Air
Di negara-negara bagian state yang saling berbatasan konsep water sharing adalah bagaimana menggunakan sumber daya air yang ada terutama dari sungai
yang melintasi negara-negara tersebut secara proposional baik dalam hal kuantitas, kualitas dan aspek pengelolaanya. Gagasan water sharing antar negaranegara
bagian menjadi sangat penting dan krusial manakala setiap negaranegara bagian mulai menghadapi pertambahan jumlah penduduk dan industri yang menuntut
penyediaan air yang cukup baik dalam kuantitas dan kualitas. Hal tersebut seringkali memicu konflik politik antar negara yang berkepentingan seperti yang
terjadi antara Meksiko dengan Amerika sempat mengganggu hubungan sosial dan ekonomi kedua belah pihak dalam mengelola ”transboundary water sharing
resources ” sebelum konsep water sharing antar negara diperbaharui dan disepakati
yang mencakup aspek pengelolaan dan pembiayaan sumber daya air konvensional snowmelt, ground water and surface water dan sumber daya air non konvensional
desilinated water and recycled water Bradley and Fluente, 2002. Permasalahan tersebut dapat dipahami karena dampak ekonomi dari water sharing yang tidak
optimal economic impact of water sharing yang ditimbulkan sangat signifikan baik pada tingkat regional maupun nasional.
Di dalam hukum Islam konsep water sharing yang melibatkan banyak pemangku kepentingan pada dasarnya menggunakan asas urutan prioritas yaitu :
1 hak untuk memuaskan kedahaga
an
Haq al shafa, 2 domestik termasuk di dalamnya adalah untuk binatang 3 irigasi pertanian, dan 4 komersial dan
industri Hussein and Al-Jayyousi dalam Faruqui et al., 2001.
31 Undang Undang UU nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air yang
sudah disyahkan DPR merupakan salah satu bentuk manifestasi dari konsep water sharing. Namun sayangnya mekanisme yang digunakan untuk memecahkan
permasalahan tersebut di dalam UU nomor 7 tahun 2004 dilakukan melalui hak guna yang terdiri dari hak guna pakai dan hak guna usaha. Hak guna usaha akan
menempatkan posisi negara dan pemegang hak dalam posisi yang sejajar sehingga jika terjadi konflik diantaranya maka mekanismenya harus melalui pengadilan.
Selain itu jika pada prakteknya terjadi perubahan alokasi air akibat meningkatnya kebutuhan maupun musim kemarau maka tidak serta merta negara dapat
mengurangi alokasi air bagi pemegang hak guna usaha. Hal ini akan menyebabkan penguasaan absolut atas sumber-sumber air oleh sektor atau kelompok tertentu.
Sehingga ke depan UU nomor 7 tahun 2004 perlu ditinjau ulang agar konsep water sharing dapat diatur lebih jelas dan transparan.
Dalam menghadapi masalah sumber daya air yang semakin terbatas, alokasi sumber daya air menjadi perhatian penting dalam pengelolaan sumber daya air.
Alokasi air yang adil dan optimal ke semua sektor pengguna air menjadi sangat penting guna mencapai kesejahteraan semua pihak. Kriteria kesejahteraan yang
dapat dipakai dalam mengalokasikan sumber daya yang efisien, antara lain adalah: 1 kriteria kesejahteraan sosial, 2 kriteria pemerataan, 3 kriteria manfaat, dan
4 kriteria maksimin. Kriteria kesejahteraan mengasumsikan bahwa selera maupun kesejahteraan
individu dapat dihitung. Individu memiliki preferensi yang bersaing satu sama lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh salah satu pihak hanya mungkin
tercapai atas pengorbanan pihak lainnya. Kondisi kesejahteraan sosial yang optimum di mana alokasi optimum merupakan kondisi
“Pareto Optimum” dan disebut alokasi Pareto optimum. Kriteria pemerataan, merupakan suatu kriteria
berdasarkan pada tingkat kepuasaan individu yang terlibat dan bukan jumlah barang yang diberikan sama jumlahnya. Jumlah barang bukan merupakan ukuran
tetapi tingkat kepuasan yang optimum masing-masing individu menjadi tolok ukur utama. Dan kriteria manfaat hampir sama dengan kriteria pemerataan dimana
alokasi optimum yang dipilih pada saat tingkat utilitas bersamanya mencapai maksimum. Ketiga kriteria ini sulit untuk dikuantifikasikan dan sangat normatif.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan kriteria maksimin yang dikemukakan oleh
32 John Rawls 1971 dalam Dinar et al. 1997, memandang masyarakat pada posisi
awal, dimana tidak ada yang tahu dimana posisi dan kepuasan akhirnya. Kriteria Rawls pada dasarnya memaksimalkan posisi paling lemah, atau dikatakan
memaksimalkan mereka yang utilitasnya minimum. Khusus yang menyangkut penggunaan air konsumtif rumah tangga, industri,
pertanian, kehutanan, alokasi sumber daya air ditujukan dengan tujuan suplai air yang terbatas tersebut dapat dialokasikan kepada pengguna, untuk generasi
sekarang maupun generasi mendatang, dengan biaya rendah. Dengan kata lain, alokasi sumber daya air harus memenuhi tiga kriteria yaitu: 1. Eficiency
efisiensi, 2 Equity keadilan, dan 3 Sustainability keberlanjutan. Kriteria efisiensi memiliki tujuan biaya penyediaan air yang rendah, penerimaan per unit
sumber daya yang tinggi, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kriteria keadilan memiliki tujuan akses terhadap air bersih untuk
semua masyarakat, dan kriteria keberlanjutan bertujuan untuk menghindari terjadinya deplesi air bawah tanah groundwater depletion, menyediakan
cadangan air cukup untuk memelihara ekosistem, dan meminimalkan pencemaran air.
Selain kriteria di atas, arti yang sesuai dari alokasi sumber daya diperlukan untuk mencapai alokasi secara optimal atas sumber daya. Ada beberapa kriteria
yang digunakan untuk membandingkan bentuk-bentuk alokasi air Howe et al., 1986 dalam Dinar et al., 1997: 1 Flexibility fleksibilitas dalam penyediaan air,
sehingga sumber daya dapat digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan, sehingga
memungkinkan untuk menyamakan nilai marjinal melebihi banyak penggunaan dengan biaya rendah, 2 Security keterjaminan bagi pengguna yang haknya
sudah terkukuhkan sehingga mereka dapat memanfaatkan sumber daya air seefisien mungkin; keterjaminan tidak bertentangan dengan fleksibilitas selama ada
cadangan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi permintaan tak terduga, 3 Real opportunity cost biaya kesempatan yang riil penyediaan sumber daya yang
dibayarkan oleh pengguna, sehingga permintaan lain atau efek eksternalitas diinternalisasikan, 4 Predictability kemungkinan meramalkan hasil proses
alokasi, sehingga alokasi terbaik dapat terwujud, dan ketidakpastian khususnya untuk biaya transaksi diminimalkan, 5 Equity proses alokasi harus dirasakan oleh
33 calon pengguna, memberikan kesempatan bagi setiap pengguna potensial untuk
mendapatkan keuntungan yang sama dalam memanfaatkan sumber daya, 6 Political and public acceptability akseptabilitas politik dan publik sehingga
tujuan alokasi bisa diterima oleh masyarakat. Beberapa kriteria tambahan berikut sering digunakan dalam debat kebijakan
air dalam mewujudkan ekuitas atau keadilan dalam alokasi air. Paket tambahan kriteria meliputi: 1 Efficacy keampuhan, sehingga bentuk alokasi bisa berubah
mengikuti situasi yang tidak diinginkan seperti berkurangnya air tanah, dan pencemaran air untuk mencapai tujuan kebijakan yang diinginkan, dan 2
Administrative feasibility and sustainibility kelayakan dan keberlanjutan administrasi, untuk bisa menerapkan mekanisme alokasi, dan untuk terus
melanjutkan dan mengembangkan dampak kebijakan tersebut Winpenny, 1994 dalam Dinar et al., 1997.
Lebih lanjut menurut Wallace et al. 2003, untuk meminimalkan kekurangan air di masa mendatang dan dampak lingkungan yang tidak diinginkan, diperlukan
pembagian sumber daya air yang lebih adil antara masyarakat dan alam. Hal ini akan membutuhkan jumlah fisik dan nilai-nilai sosial antara manusia dan
ekosistem. Sistem valuasi air saat ini didominasi oleh nilai-nilai ekonomi sehingga perlu kuantifikasi baru dan metode penilaian yang lebih mempertimbangkan
kesejahteraan manusia dan lingkungan. Gambar 3 menunjukkan masalah secara konseptual antara sistem alam dan
sistem dengan pengelolaan yang tinggi. Apabila sistem alam telah diubah, maka manfaat dari sistem alam menurun; misalnya fungsi hidrologi, produk dan
keanekaragaman hayati akan hilang. Pada saat yang sama, keuntungan dari sistem dengan pengelolaan yang tinggi akan meningkat, misalnya produksi makanan
meningkat. Disarankan bahwa manfaat dari sistem dengan pengelolaan yang tinggi mencapai titik tertinggi, sedangkan manfaat dari sistem alam akan turun ke nol di
beberapa titik. Total manfaat jangka panjang dapat dihitung dengan menambahkan manfaat dari sistem alam dan sistem dengan pengelolaan yang tinggi. Sehingga
totalnya akan naik ke maksimum sebelum menurun. Pada titik tersebut keseimbangan level pengelolaan menjadi optimal. Hal ini jelas, bahwa masyarakat
ditempatkan sebagai barang dan jasa dan pertimbangan etika akan menentukan ketepatan bentuk kurva. Memang, manfaat yang dirasakan akan berbeda antara
34 kelompok dan individu yang berbeda. Hal ini penting karena biaya dan manfaat
alokasi air untuk masyarakat dalam menjaga ekosistem air dan mendukung penggunaan langsung dalam pertanian, industri dan domestik telah terukur.
Keadilan equity telah menjadi konsep penting dalam alokasi air pada dekade terakhir. Sebagai tekanan terhadap peningkatan penggunaan sumber daya
air, keadilan dan keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan akan menjadi tantangan utama. Selama 100 tahun terakhir, pembangunan ekonomi telah
didominasi oleh infrastruktur, dengan alokasi air terfokus pada pertanian intensif, pembangkit tenaga listrik, industri, dan domestik. Ada kecenderungan yang selalu
berulang untuk mengabaikan kebutuhan masyarakat miskin di pedesaan, melebihi kebutuhan yang lain, tergantung pada sumber daya alam dan fungsi ekosistem.
Alokasi air untuk kebutuhan masyarakat miskin yang lebih adil harus dipenuhi oleh redistribusi dari sektor lain, meskipun jumlah yang terlibat relatif kecil. Pada saat
yang sama, konservasi ekosistem dan spesies langka sering menjadi prioritas terendah. Kini menjadi jelas bahwa kelangsungan hidup jangka panjang dari
keragaman manusia dan biologis di Bumi akan bergantung pada paradigma baru alokasi yang adil antara kebutuhan ekonomi, sosial dan ekologi. Pembagian sumber
daya air yang adil antara masyarakat dan alam akan membutuhkan nilai untuk ditempatkan pada kebutuhan keduanya. Nilai-nilai ini perlu dimasukkan ke dalam
kebijakan makro-ekonomi yang lebih rasional sehingga pengambilan keputusan tentang alokasi air dapat dibuat, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk
kita saat ini tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang Wallace et al., 2003.
Gambar 3 Peningkatan manfaat ekosistem air tawar Kunci untuk pelaksanaan metode alokasi air yang lebih adil adalah penerapan
pengelolaan sumber daya air terpadu berbasis DAS. Kerangka holistik ini
35 memungkinkan kebutuhan air untuk manusia dan ekosistem dan interaksi di antara
mereka dapat dipahami dengan lebih baik. Pengetahuan ini memberikan dasar untuk menggabungkan faktor-faktor sosial yang relevan sehingga kebijakan dan
undang-undang air dapat dikembangkan untuk penggunaan terbaik dalam sumber daya air yang terbatas. DAS berbasis co-management dapat membantu untuk
memastikan pembagian air antara manusia dan alam menjadi lebih efektif Wallace et al, 2003.
Jadi kriteria terpenting dalam konsep water sharing kedepan adalah keadilan dan keberlanjutan. Keadilan mengandung makna bakwa semua stakeholder
pengguna air memiliki akses terhadap sumber daya air atau mendapatkan alokasi yang optimal sesuai kebutuhannya. Sedangkan keberlanjutan mengandung makna
bahwa penggunaan sumber daya air tidak hanya memenuhi kebutuhan saat ini tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang sehingga penggunaan
sumber daya air harus diupayakan untuk penyediaan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem dan meminimalkan pencemaran lingkungan.
2.3.3 Implementasi Water Sharing Berbagi Air
1. Water Sharing di Asia
Contoh implementasi water sharing di Asia terlihat pada Indus Water Treaty
memberikan rencana untuk water sharing sungai Indus dan anak –anak sungainya
yang mengalir melalui India dan Pakistan. Indus Water Treaty menjadi perlu setelah pemisahan India dengan Pakistan pada tahun 1947. Antara kedua negara
mengeluarkan suatu kerangka tentang water sharing treaty. Ciri-ciri utama Indus Water Treaty meliputi:
Semua air dari sungai-sungai bagian timur Sutlej, Ravi, dan Beas akan tersedia untuk penggunaan yang tidak terbatas untuk India
Pakistan mengambil air dari anak sungai Basantsar dari sungai Ravi untuk keperluan irigasi kurang lebih 100 acre 40 ha lahan per tahun
Pakistan akan mengambil air dari anak sungai yang mengikuti Ravi yang di perlukan untuk irigasi yang telah ditentukan batas minimumnya Tabel 8.
36 Tabel 8 Penggunaan minimum air sungai untuk irigasi
Anak Sungai Penggunaan minimum untuk irigasi
tahunan acre
Basantar 14.000
Bein 26.600
Tamah 1.800
Ijh 3.000
Ket: 1 acre = 0,4646 ha
Aliran air di Pakistan yang menghubungkan sungai utama Sutlej atau Ravi, tersedia untuk penggunaan yang tidak terbatas untuk Pakistan. India
tidak membuat syaratketentuan, hal ini sebagai pemberian kepada Pakistan atas beberapa hak yang diberikan untuk beberapa wilayah.
Pakistan bebas menggunakan semua air dari sungai di bagian barat Indus, Jhelum, dan Chenab dimana India berkewajiban untuk mengalirkannya.
Air ini digunakan untuk: a Domestik, b Penggunaan yang tidak konsumtif, c India akan mengalirkan air dari sungai utama Chenab untuk
pertanian di Pakistan dengan mengikuti ketentuan aliran maksimum yang bisa digunakan seperti yang disajikan pada Tabel 9 berikut:
Tabel 9 Ketentuan aliran maksimum bagi Pakistan yang digunakan untuk pertanian
Nama kanal Aliran maksimum untuk pertanian
Kanal Ranbir 100 cusec dari 15 April sampai 14 Oktober, dan
350 cusec dari 15 Oktober sampai 14 April Kanal Pratap
400 cusec dari 15 April sampai 14 Oktober, dan 100 cusec dari 15 Oktober sampai 14 April
d India bisa melanjutkan untuk mengairi pertaniannya dari sungai di sebelah barat pada hari yang ditetapkan misalnya 1 April 1960, e India bisa juga
menggunakan aliran lanjutan dari basin berikut: Tabel 10 Ketentuan aliran maksimum bagi India untuk pertanian
Aliran sungai Wilayah maksimum yang ditanami
acre
Dari Indus dalam drainage basin 70.000
Dari Jhelum dalam drainage basin 400.000
Dari Chenab dalam drainage basin 225.000 acre, tidak lebih dari 100.000
acre ada di wilayah Jammu Sisi luar drainase pada wilayah
barat Dag Nadi, jumlah daya tampung saluran irigasi yang keluar
drainage basin Chenab ke daerah ini tidak lebih dari 120 cusecs
6.000
37 f Pembangkit tenaga hiro-elektrik dari hidro-elektrik yang dibangun yang
beroperasi atau dibangun pada hari yang ditetapkan 1 April 1960, g India bisa membangun runoff river baru atau menyimpan air pokok untuk
kriteria khusus sebagai uraian dalam perjanjian Annexure D dan E. Setiap kelompok di kedua negara setuju bahwa beberapa penggunaan non
konsumtif disepakati melalui perjanjian bersama, sedangkan aliran yang digunakan untuk kepentingan yang konsumtif melalui syarat dari
perjanjian Kedua negara setuju untuk membentuk panitia bersama, yang dinamakan
Permanent Indus Commission. Sedangkan pemerintah akan memutuskan untuk mengadakan beberapa pernyataan tidak resmi secara langsung
dengan pelaksanaan perjanjian tersebut.
2. Water Sharing di Australia