Harmful Algal Blooms HABs
kemungkinan terjadinya salah satu kombinasi dari keempat hal tersebut. Menurut Pasaribu 2004 in Makmur 2009, keberadaan marak alge secara umum
sebenarnya dapat diklasifikasikan dalam 2 kelompok penyebab, antara lain 1 organisme fitoplankton yang dapat mengeluarkan zat racun spesifik NSP, DPS,
ASP, CSP, dan PSP sehingga mengakibatkan kematian ikan, meskipun densitas fitoplanktonnya rendah dan 2 organisme yang tidak mengeluarkan zat
beracun, namun karena jumlahnya densitas yang sangat tinggi dapat mengakibatkan penurunan kandungan oksigen terlarut karena proses
pembusukan, penyumbatan insang oleh sel-sel fitoplankton dan pengeluaran gasuap yang mematikan aerosol.
Di Indonesia sendiri telah ada laporan mengenai terjadinya fenomena HABs di beberapa tempat Gambar 2, walaupun kasus yang sebenarnya terjadi
mungkin lebih banyak namun luput dari perhatian karena tidak dilaporkan. Salah satu jenis biota HABs yang sempat menyerang beberapa tempat di Indonesia
adalah jenis Pyrodinium bahamense var. Compressum. Jenis ini bahkan sempat menimbulkan kematian manusia seperti yang terjadi di Lewotobi, NTT tahun
1983. Serangan yang mematikan dari jenis ini juga pernah terjadi di Teluk Ambon pada tahun 1994 yang mengakibatkan beberapa orang meninggal dan masuk
rumah sakit setelah orang tersebut memakan kerang yang berasal dari teluk tersebut. Jenis ini juga di ketahui beberapa kali menyerang Teluk Kau di
Halmahera. Jenis ini terdapat pula di Teluk Hurun, Lampung Nontji, 2008. Menurut Nontji 2008, selain ledakan fitoplankton yang menghasilkan
racun, terdapat pula ledakan fitoplankton nontoksik, misalnya Trichodesmium erythraeum
yang pernah terjadi di Teluk Jakarta dan perairan Lampung. Ledakan populasi jenis ini dapat sangat hebat sehingga membuat air laut pekat berwarna
kehijauan atau kecoklatan. Kematian fitoplankton ini kemudian menguras oksigen di perairan hingga mengakibatkan kematian pada berbagai biota
perairan. Kejadian semacam ini pernah menimbulkan kerugian besar pada usaha budidaya udang di Lampung tahun 1991 dengan kerugian diperkirakan sekitar
US 1,75 juta. Selain itu, Noctiluca scintillans yang sering ditemukan blooming di perairan pantai, jenis plankton ini akan mengeluarkan amonia pada saat vakuola
yang terdapat dalam sel tubuhnya pecah. Kasus kematian massal ikan, terutama ikan demersal di Teluk Jakarta
untuk pertama kalinya dilaporkan oleh nelayan pada tanggal 31 Juli 1986. Beberapa sumber menduga penyebab kematian ikan tersebut adalah akibat
pembuangan bahan kimia, sedangkan sumber lain menduga penyebabnya adalah marak alge atau HABs Sutomo, 1993. Sutomo 1993 juga
menambahkan, dalam periode Agustus 1992 sampai Januari 1993 telah tiga kali terjadi blooming fitoplankton. Pertama terjadi pada tanggal 19 Agustus 1992
tetapi tidak disertai warna merah redtide dan kematian massal udang, ke dua terjadi pada tanggal 24 Oktober sampai 8 November 1992 dan ketiga terjadi
pada tanggal 5 sampai 6 Januari 1993. Kejadian ke dua dan ke tiga tersebut diikuti dengan warna merah pada perairan dan kematian massal udang.
Keterangan : Lokasi fenomena HABs Gambar 2
. Lokasi terjadinya HABs yang telah dilaporkan kejadiannya di Indonesia Nontji, 2008
Ratusan kilogram ikan ditemukan mati secara mendadak di sepanjang perairan Marina sampai Pantai Karnival, Ancol pada tanggal 16 sampai 17
September 2010 Tempo, 2010. Tercatat 10 spesies ikan yang mati secara mendadak, yaitu sembilang, barakuda, kerapu, cumi, selar, baronang, petek,
serinding, belanak, dan ikan kacang-kacang Media Indonesia, 2010. Harian Kompas tanggal 18 September 2010 memberitakan bahwa, ikan-ikan tersebut
mati akibat tingginya debit air sungai yang masuk ke laut. Air sungai yang membawa banyak zat hara tersebut membuat pertumbuhan plankton meningkat,
sehingga persediaan oksigen di laut sangat kritis yang menyebabkan ikan-ikan itu mati kekurangan oksigen.
2.3 Klorofil-a
Pigmen fotosintesis yang selalu ada pada fitoplankton laut adalah klorofil- a, yang untuk proses fotosintesanya menurut Valiela, 1984 in Nuchsin, 2007
menggunakan panjang gelombang antara 400 dan 700 nm. Klorofil-a menyerap cahaya matahari sebagai sumber energi untuk fotosintesis. Dikenal ada tiga
macam klorofil yaitu: klorofil-a, b dan c. Diantara ketiga macam klorofil tersebut, klorofil-a merupakan bagian terpenting dalam proses fotosintesis dan dikandung
oleh semua dari jenis fitoplankton yang masih hidup di laut Strickland, 1960 in Prasasti et al., 2005.
Menurut Parson et al. 1984 in Prasasti et al. 2005, dilihat dari segi fisiologis tumbuhan fitoplankton, spektrum cahaya terpenting untuk tumbuhan
laut terdapat pada kisaran panjang gelombang 400-720 nm atau yang dikenal sebagai PAR Photosyntetically Available Radiation. Spektrum ini hampir sama
dengan spektrum sinar tampak yakni 360-780 nm, untuk lebih jelasnya di bawah ini tampak kurva karakteristik absorbansi klorofil-a Gambar 3. Teluk Jakarta
merupakan tempat bermuaranya banyak sungai, sehingga Teluk Jakarta
digolongkan ke dalam tipe perairan kasus-2. Sifat optik perairan ini tidak didominasi oleh fitoplankton tetapi juga oleh zat-zat organik maupun anorganik
lain yang melayang sedimen yang melayang di badan air Yayla, 2004 sehingga untuk mendeteksi klorofil-a diperlukan algoritma yang kompleks dan
tidak sesederhana seperti pada perairan kasus-1 laut lepas.
Gambar 3 . Kurva karakteristik absorbansi klorofil-a Maul, 1985 in Prasasti et
al ., 2005
Penyerapan maksimum klorofil-a pada kisaran panjang gelombang biru 400
–500 nm dengan puncak di sekitar 440-450 nm dan pada kisaran panjang gelombang merah 600-700 nm dengan puncak di sekitar 660-675 nm,
sedangkan pemantulan maksimum oleh klorofil-a berada pada panjang gelombang hijau 500-600 nm dengan puncak di sekitar 560-565 nm Maul,
1985 in Prasasti et al,. 2005; Curran, 1985 in Prasasti et al., 2005. Berdasarkan sifat optik tersebut maka kelimpahan fitoplankton konsentrasi klorofill-a dapat
diukur menggunakan sebuah sensor. Meskipun demikian, sifat optik suatu
lingkungan perairan sering berubah, sehingga menyebabkan pengukuran menjadi sulit. Hal ini disebabkan adanya ribuan spesies fitoplankton dengan
ukuran, bentuk, dan sifat fisiologi yang dapat berubah dalam waktu dan ruang, ditambah adanya organisma mikroskopik seperti zooplankton, hetrotrofik
bakteria, virus dan detritus yang dihasilkan dari degradasi organisme tersebut yang memiliki sifat spektral yang berbeda dan saling tumpang tindih dengan sifat
spektral fitoplankton itu sendiri Sathyendranath et al., 2000. Sehubungan dengan marak alge, pada Gambar 4 ditampilkan nilai spektral beberapa kelas
fitoplankton pada saat blooming.
Gambar 4. Nilai spektral air laut jernih dan ketika marak alge pada SeaWiFS dan
MERIS. a. Air laut jernih; b. Trichodesmium; c. Diatom; d. Cochlodinium
; e. Ceratium dan Pyrodinium bahamense; f. Dinoflagellata terutama Dinophysis caudata; g. Rhizolenia sp.; h.
Skeletonema
; i. Protoperidinium dan Ceratium Liew, 2000.
Pantulan maksimum pada sembilan gambar tersebut terjadi pada panjang gelombang hijau 500-600 nm. Hal ini menunjukan klorofil merupakan pigmen
dominan yang terdeteksi oleh sensor satelit. Sehingga untuk mendeteksi marak alge menggunakan citra satelit, dapat digunakan pendekatan terhadap klorofil-a.
Teluk Jakarta yang merupakan tempat bermuaranya banyak sungai misalnya: Ciliwung, Cisadane, dan Citarum dan 10 sungai kecil lainnya,
sehingga perairan ini dapat digolongkan ke dalam tipe perairan kasus-2 Case-2 waters.
Tipe perairan ini tidak hanya di dominasi oleh fitoplankton tetapi juga zat-zat organik maupun anorganik lain yang melayang di badan air Yayla, 2004,
sehingga membuat perairan menjadi kompleks, dibandingkan dengan perairan kasus-1 case-1 waters yang sifat optiknya hanya didominasi oleh fitoplankton
dan produk turunan lainnya Sathyendranath et al., 2000. Oleh sebab itu, perlu mengembangkan algoritma lokal untuk melihat sebaran kosentrasi klorofil-a
untuk perairan Teluk Jakarta. Kanal pada citra MODIS yang sesuai digunakan untuk mendeteksi
parameter kualitas air seperti klorofil-a dan turbiditas antara lain kanal satu dan dua untuk resolusi spasial 250 m. Resolusi 500 m menggunakan dua kanal,
yaitu : kanal tiga dan empat, dan kanal delapan sampai kanal enam belas dapat digunakan untuk resolusi spasial 1000 m visible
– inframerah dekat O’Reilly et al
., 1998 in Prasasti et al., 2005. Sehubungan fenomena HABs, Wouthuyzen 2006 mengelompokkan konsentrasi klorofil-a menjadi tiga kriteria sebagai
sistem peringatan dini, yaitu: kondisi aman, hati-hati, dan berbahaya Tabel 1. Tabel 1. Kriteria konsentrasi klorofil-a sebagai sistem peringatan dini marak alge
Kriteria Konsentrasi Klorofil-a
Aman 5,0 mgm
3
Hati-hati ≥ 5,0 dan 10 mgm
3
Berbahaya ≥ 10 mgm
3
Sumber: Wouthuyzen 2006 Prasasti et al. 2005 melakukan penelitian untuk menggali potensi dan
sensivitas kanal-kanal data MODIS serta sensitivitas beberapa algoritma
penduga konsentrasi klorofil-a. Penelitian ini menggunakan citra MODIS kanal 8 – 14 tanggal 2 September 2004 dengan menerapkan beberapa algoritma
pendugaan klorofil- a, seperti Algoritma O’Reilly et al. 1998, Morel 4, dan OCV-
V2. Hasil ekstraksi pada masing-masing algoritma dan perbandingan kanal citra MODIS tersebut, dibandingkan dengan citra SeaWiFS pada tanggal yang sama.
Hasil penelitian menunjukan bahwa algoritma O’Reilly et al. 1998 dengan rasio
kanal 9 dan 12, Morel 4 dengan rasio kanal 9 dan 12, serta OCV-V2 dengan rasio kanal 10 dan 11 adalah yang paling mendekati pola sebaran klorofil data
SeaWiFS. Selain itu diperoleh hasil bahwa Morel 4 lebih sensitif untuk menggambarkan pola sebaran klorofil-a
dibandingkan dengan algoritma O’Reilly et al
. 1998 dan OCV-V2. 2.4 Suhu Perairan
Suhu air merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam kajian-kajian kelautan. Data suhu air dapat dimanfaatkan bukan saja untuk
mempelajari gejala fisika dalam laut, tetapi juga dalam kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan. Bahkan dapat juga dimanfaatkan untuk
pengkajian meteorologi Nontji, 2007. Menurut Sediadi 1993, faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap terjadinya HABs, akan tetapi hal ini sangat
tergantung dari jenis fitoplankton penyebab HABs tersebut. Hasil penelitian laboratorium dapat memberikan gambaran akan adanya pengaruh faktor
lingkungan sebagai pemicu. Sebaliknya, kondisi laboratorium akan sangat berbeda dengan kondisi lapangan, salah satu contohnya yaitu kejadian HABs di
Teluk Brunei pada tahun 1976. Saat itu suhu perairan tercatat relatif dingin 24,5
o
C. Akan tetapi pengamatan di laboratorium memperlihatkan hasil yang berbeda, berdasarkan pengamatan laboratorium tercatat suhu lebih panas 28-
29
o
C.
SPL merupakan parameter oseanografi yang dapat diukur secara langsung oleh sensor satelit yang bekerja pada spektrum infra merah termal.
Pengukuran suhu dari data penginderaan jauh didasarkan pada prinsip bahwa tiap benda memancarkan energi elektromagnetik sesuai dengan suhu, panjang
gelombang dan emisivitas. Suhu yang dideteksi oleh sensor termal adalah suhu kecerahan brightness temperature. Pada benda hitam sempurna black body,
nilai suhu kecerahan sama dengan suhu benda tersebut Hartuti, 2008. Pancaran radian spektral antara 8 µm hingga 14 µm merupakan kisaran panjang
gelombang yang perlu diperhatikan, karena tidak saja meliputi jendela atmosfer, tetapi juga mengandung puncak tenaga pancaran bagi sebagian besar
kenampakan permukaan. Artinya, suhu kenampakan permukaan bumi terjadi pada umumnya mendekati 300
o
K. Pancaran suhu puncak akan terjadi kira-kira pada 9,7 µm. Itulah sebabnya penginderaan jauh termal banyak dilakukan pada
spektrum panjang gelombang antara 8-14 µm Lillesand dan Kiefer, 1990. Suwargana et al. 2002 melakukan penelitian untuk menentukan
distribusi SPL dengan menggunakan data MODIS guna mendeteksi adanya up welling
dan front. Penelitian ini menggunakan algoritma Minnet 2001 untuk mengkonversi nilai radiansi kanal 31 dan 32 pada citra MODIS menjadi SPL.
Hasil penelitian menunjukan sebaran spasial SPL citra MODIS secara umum mendekati hasil SPL satelit NOAA-AVHRR.