Pendugaan Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat.

(1)

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID

(TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA

DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

INDAH BUDI LESTARI

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID

(TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA

DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2009

INDAH BUDI LESTARI C54052416


(3)

RINGKASAN

INDAH BUDI LESTARI. Pendugaan Konsentrasi Total Suspended Solid

(TSS) dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat. Dibimbing oleh Vincentius P. Siregar dan Sam Wouthuyzen.

Teluk Jakarta memiliki peranan penting dari segi ekonomi maupun ekologi, dan dilalui oleh 13 sungai yang secara langsung maupun tidak langsung

memasukkan berbagai zat organik dan anorganik kedalamnya. Total Suspended Solid (TSS) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air berupa komponen biotik (fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi,dll), ataupun komponen abiotik (detritus dan partikel-partikel anorganik). Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan dan

bergantung pada warna dan kekeruhan.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan serta memetakan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2009 di perairan Teluk Jakarta. Metode yang digunakan adalah pengembangan model dari

parameter fisik perairan yaitu TSS dan transparansi perairan menggunakan data satelit Landsat TM.

Algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS adalah persamaan regresi model polynomial orde 3 yaitu y = -26390x3 + 35823x2 - 16250x + 2468.4 untuk musim kemarau dan y = 24197x3 - 22050x2 + 6813x - 664.98 untuk musim hujan. Pendugaan transparansi perairan Teluk Jakarta menggunakan persamaan regresi model power untuk musim kemarau yaitu y = 85.63x2.905 dan model polynomial orde 2 untuk musim hujan yaitu y = 378.2x2 - 137.7x + 9.688. Algoritma tersebut dihasilkan dari hubungan antara nilai

reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (x) dengan data in situ TSS dan transparansi perairan (y).

Konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau sangat tinggi yaitu > 100 mg/l dan 50-100 mg/l pada musim hujan. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan rata-rata berkisar antara 0-4 m dan 5-10 m, dengan sebaran transparansi paling rendah pada musim kemarau.

Banyaknya sungai-sungai yang bermuara di perairan Teluk Jakarta membawa masukan partikel-partikel terutama TSS yang dapat dijadikan salah satu indikator pencemaran perairan. Hasil pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi dapat dikatakan bahwa perairan Teluk Jakarta merupakan perairan yang tercemar karena memiliki kisaran konsentrasi TSS dan transparansi melebihi nilai ambang batas perairan yang sesuai untuk bidang perikanan.


(4)

© Hak cipta milik Indah Budi Lestari, tahun 2009

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(5)

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID

(TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA

DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

INDAH BUDI LESTARI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(6)

SKRIPSI

Judul :

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID

(TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA

DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

Nama : Indah Budi Lestari NRP : C54052416

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc NIP. 19561103 198503 1 003 NIP. 320003368

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo,M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada ALLAH SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya kepada Penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi. Skripsi ini di susun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Maret sampai bulan Juli 2009 di Perairan Teluk Jakarta.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc selaku

dosen pembimbing.

2. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si sebagai dosen penguji dan Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen ITK, FPIK, IPB. 3. Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc selaku pembimbing akademik.

4. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas doa dan dukungan yang diberikan dalam berbagai hal.

5. Teman-teman ITK 42 yang selalu memberikan informasi akademik dan memotivasi penulis demi kelancaran penulisan skripsi.

6. Teman-teman Pondok Delima yang selalu memberikan dukungan dan motivasi.

7. Pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penulisan skripsi. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2009


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kondisi umum Teluk Jakarta ... 3

2.2 Total Suspended Solid (TSS) ... 4

2.3 Kecerahan perairan ... 5

2.4 Satelit Landsat ... 7

2.5 Teknologi penginderaan jauh untuk mendeteksi karakteristik spektral TSS ... 9

2.6 Teknologi penginderaan jauh untuk mendeteksi karakteristik spektral transparansi perairan ... 13

3. BAHAN DAN METODE ... 15

3.1 Waktu dan tempat penelitian ... 15

3.2 Alat dan bahan ... 16

3.3 Proses pengolahan data ... 18

3.3.1 Koreksi citra ... 19

3.3.2 Pengembangan model ... 20

3.3.3 Asumsi dan hipotesis ... 22

3.3.4 Pendugaan model ... 22

3.3.5 Validasi data ... 24

3.4 Pemetaan TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta ... 26

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Pengembangan model pendugaan TSS ... 27

4.2 Pengembangan model pendugaan transparansi perairan ... 30

4.3 Pengujian dan validasi data ... 34

4.3.1 Uji-t ... 34


(9)

4.4 Pemetaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan ... 37

4.4.1 Musim kemarau ... 38

4.4.2 Musim hujan ... 49

4.5 Rata-rata konsentrasi TSS ... 55

4.5.1 Rata-rata konsentrasi TSS pada musim kemarau ... 56

4.5.2 Rata-rata konsentrasi TSS pada musim hujan ... 58

4.5.3 Analisis TSS Teluk Jakarta ... 60

4.6 Rata-rata transparansi perairan ... 65

4.6.1 Rata-rata transparansi perairan pada musim kemarau ... 65

4.6.2 Rata-rata transparansi perairan pada musim hujan ... 68

4.6.3 Analisis transparansi perairan Teluk Jakarta ... 70

4. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

5.1 Kesimpulan ... 75

5.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

LAMPIRAN ... 80


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik satelit Landsat ... 8

2. Beberapa algoritma untuk mendeteksi TSS ... 13

3. Beberapa algoritma untuk mendeteksi transparansi perairan ... 15

4. Spesifikasi perolehan data konsentrasi TSS dan transparansi perairan ... 17

5. Bentuk persamaan regresi untuk model hubungan ... 21

6. Analisis sidik ragam regresi untuk uji-F ... 26

7. Algoritma pendugaan TSS pada musim kemarau (Mei - Oktober) ... 29

8. Algoritma pendugaan TSS pada musim hujan (November – April) ... 30

9. Algoritma pendugaan transparansi perairan pada musim kemarau (Mei - Oktober) ... 32

10.Algoritma pendugaan transparansi perairan pada musim hujan (November - April) ... 33

11.Hasil Uji-t masing-masing variabel ... 35

12.Hasil Uji-F antara TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan ... 37

13.Klasifikasi derajat pencemaran berdasarkan kadar TSS ... 63


(11)

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID

(TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA

DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

INDAH BUDI LESTARI

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(12)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID

(TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA

DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2009

INDAH BUDI LESTARI C54052416


(13)

RINGKASAN

INDAH BUDI LESTARI. Pendugaan Konsentrasi Total Suspended Solid

(TSS) dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat. Dibimbing oleh Vincentius P. Siregar dan Sam Wouthuyzen.

Teluk Jakarta memiliki peranan penting dari segi ekonomi maupun ekologi, dan dilalui oleh 13 sungai yang secara langsung maupun tidak langsung

memasukkan berbagai zat organik dan anorganik kedalamnya. Total Suspended Solid (TSS) adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air berupa komponen biotik (fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi,dll), ataupun komponen abiotik (detritus dan partikel-partikel anorganik). Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan dan

bergantung pada warna dan kekeruhan.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan serta memetakan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2009 di perairan Teluk Jakarta. Metode yang digunakan adalah pengembangan model dari

parameter fisik perairan yaitu TSS dan transparansi perairan menggunakan data satelit Landsat TM.

Algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS adalah persamaan regresi model polynomial orde 3 yaitu y = -26390x3 + 35823x2 - 16250x + 2468.4 untuk musim kemarau dan y = 24197x3 - 22050x2 + 6813x - 664.98 untuk musim hujan. Pendugaan transparansi perairan Teluk Jakarta menggunakan persamaan regresi model power untuk musim kemarau yaitu y = 85.63x2.905 dan model polynomial orde 2 untuk musim hujan yaitu y = 378.2x2 - 137.7x + 9.688. Algoritma tersebut dihasilkan dari hubungan antara nilai

reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (x) dengan data in situ TSS dan transparansi perairan (y).

Konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau sangat tinggi yaitu > 100 mg/l dan 50-100 mg/l pada musim hujan. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan rata-rata berkisar antara 0-4 m dan 5-10 m, dengan sebaran transparansi paling rendah pada musim kemarau.

Banyaknya sungai-sungai yang bermuara di perairan Teluk Jakarta membawa masukan partikel-partikel terutama TSS yang dapat dijadikan salah satu indikator pencemaran perairan. Hasil pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi dapat dikatakan bahwa perairan Teluk Jakarta merupakan perairan yang tercemar karena memiliki kisaran konsentrasi TSS dan transparansi melebihi nilai ambang batas perairan yang sesuai untuk bidang perikanan.


(14)

© Hak cipta milik Indah Budi Lestari, tahun 2009

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya


(15)

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID

(TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA

DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

INDAH BUDI LESTARI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(16)

SKRIPSI

Judul :

PENDUGAAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID

(TSS) DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA

DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

Nama : Indah Budi Lestari NRP : C54052416

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc NIP. 19561103 198503 1 003 NIP. 320003368

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo,M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003


(17)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada ALLAH SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya kepada Penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi. Skripsi ini di susun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Maret sampai bulan Juli 2009 di Perairan Teluk Jakarta.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc selaku

dosen pembimbing.

2. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si sebagai dosen penguji dan Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen ITK, FPIK, IPB. 3. Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc selaku pembimbing akademik.

4. Kedua orang tua dan seluruh keluarga atas doa dan dukungan yang diberikan dalam berbagai hal.

5. Teman-teman ITK 42 yang selalu memberikan informasi akademik dan memotivasi penulis demi kelancaran penulisan skripsi.

6. Teman-teman Pondok Delima yang selalu memberikan dukungan dan motivasi.

7. Pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penulisan skripsi. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2009


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kondisi umum Teluk Jakarta ... 3

2.2 Total Suspended Solid (TSS) ... 4

2.3 Kecerahan perairan ... 5

2.4 Satelit Landsat ... 7

2.5 Teknologi penginderaan jauh untuk mendeteksi karakteristik spektral TSS ... 9

2.6 Teknologi penginderaan jauh untuk mendeteksi karakteristik spektral transparansi perairan ... 13

3. BAHAN DAN METODE ... 15

3.1 Waktu dan tempat penelitian ... 15

3.2 Alat dan bahan ... 16

3.3 Proses pengolahan data ... 18

3.3.1 Koreksi citra ... 19

3.3.2 Pengembangan model ... 20

3.3.3 Asumsi dan hipotesis ... 22

3.3.4 Pendugaan model ... 22

3.3.5 Validasi data ... 24

3.4 Pemetaan TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta ... 26

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Pengembangan model pendugaan TSS ... 27

4.2 Pengembangan model pendugaan transparansi perairan ... 30

4.3 Pengujian dan validasi data ... 34

4.3.1 Uji-t ... 34


(19)

4.4 Pemetaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan ... 37

4.4.1 Musim kemarau ... 38

4.4.2 Musim hujan ... 49

4.5 Rata-rata konsentrasi TSS ... 55

4.5.1 Rata-rata konsentrasi TSS pada musim kemarau ... 56

4.5.2 Rata-rata konsentrasi TSS pada musim hujan ... 58

4.5.3 Analisis TSS Teluk Jakarta ... 60

4.6 Rata-rata transparansi perairan ... 65

4.6.1 Rata-rata transparansi perairan pada musim kemarau ... 65

4.6.2 Rata-rata transparansi perairan pada musim hujan ... 68

4.6.3 Analisis transparansi perairan Teluk Jakarta ... 70

4. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

5.1 Kesimpulan ... 75

5.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

LAMPIRAN ... 80


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik satelit Landsat ... 8

2. Beberapa algoritma untuk mendeteksi TSS ... 13

3. Beberapa algoritma untuk mendeteksi transparansi perairan ... 15

4. Spesifikasi perolehan data konsentrasi TSS dan transparansi perairan ... 17

5. Bentuk persamaan regresi untuk model hubungan ... 21

6. Analisis sidik ragam regresi untuk uji-F ... 26

7. Algoritma pendugaan TSS pada musim kemarau (Mei - Oktober) ... 29

8. Algoritma pendugaan TSS pada musim hujan (November – April) ... 30

9. Algoritma pendugaan transparansi perairan pada musim kemarau (Mei - Oktober) ... 32

10.Algoritma pendugaan transparansi perairan pada musim hujan (November - April) ... 33

11.Hasil Uji-t masing-masing variabel ... 35

12.Hasil Uji-F antara TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan ... 37

13.Klasifikasi derajat pencemaran berdasarkan kadar TSS ... 63


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Perairan kasus I dimana c1>c2>c3 ... 10

2. Perairan kasus II dimana c1>c2>c3>c4 ... 10

3. Hubungan antara radiasi matahari pantulan dengan panjang gelombang pada konsentrasi TSS yang berbeda-beda di permukaan air ... 12

4. Kemampuan penetrasi sinar tampak hingga kedalaman 10 m pada perairan jernih ... 14

5. Kurva spektral pada beberapa objek ... 15

6. Lokasi penelitian di perairan Teluk Jakarta ... 16

7. Diagram alir proses pengolahan data ... 18

8. Hubungan antara kromatisiti kanal biru dengan TSS in situ perairan pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) ... 28

9. Hubungan antara kromatisiti kanal biru dengan transparansi in situ perairan pada musim kemarau (a) dan musim hujan (b) ... 34

10.Selang wilayah penerimaan atau penolakan hipotesis ... 36

11.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2004 ... 42

12.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2005 ... 44

13.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2006 ... 46

14.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2007 ... 47

15.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2008 ... 48

16.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim kemarau pada tahun 2009 ... 49

17.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b) musim hujan pada tahun 2004 ... 50


(22)

18.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b)

musim hujan pada tahun 2005 ... 51 19.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b)

musim hujan pada tahun 2006 ... 52 20.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b)

musim hujan pada tahun 2007 ... 53 21.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b)

musim hujan pada tahun 2008 ... 54 22.Sebaran konsentrasi TSS (a) dan transparansi perairan (b)

musim hujan pada tahun 2009 ... 55 23.Sebaran rata-rata konsentrasi TSS musim kemarau 2004-2009:

(a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009 ... 57 24.Sebaran rata-rata konsentrasi TSS musim hujan 2004-2009:

(a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009 ... 59 25.Hubungan antara TSS in situ dengan TSS dugaan pada musim

kemarau dan hujan ... 61 26.Pendugaan konsentrasi TSS secara kuantitatif pada musim

kemarau (a) dan musim hujan (b) ... 62 27.Sebaran rata-rata transparansi perairan musim kemarau 2004-2009:

(a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009 ... 67 28.Sebaran rata-rata transparansi perairan musim hujan 2004-2009:

(a) 2004; (b) 2005; (c) 2006; (d) 2007; (e) 2008; dan (f) 2009 ... 69 29.Hubungan antara transparansi in situ dengan transparansi

dugaan pada musim kemarau dan hujan ... 70 30.Hubungan antara transparansi in situ dengan transparansi dugaan


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Analisis penentuan konsentrasi TSS dengan metode Gravimetrik ... 80 2. Uji-t antara TSS in situ dengan TSS pengembangan model pada

musim kemarau ... 81 3. Uji-t antara TSS in situ dengan TSS pengembangan model pada

musim hujan ... 82 4. Uji-t antara transparansi in situ dengan transparansi pengembangan

model pada musim kemarau ... 83 5. Uji-t antara transparansi in situ dengan transparansi pengembangan

model pada musim hujan ... 84 6. Uji-F antara TSS dan transparansi perairan hasil dugaan pada

musim kemarau ... 85 7. Uji-F antara TSS dan transparansi perairan hasil dugaan pada

musim hujan ... 86 8. Data TSS in situ dan dugaan pada musim kemarau ... 87 9. Data TSS in situ dan dugaan pada musim hujan ... 91 10.Data transparansi in situ dan dugaan pada musim kemarau ... 92 11.Data transparansi in situ dan dugaan pada musim hujan ... 95


(24)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan Teluk Jakarta bermuara 13 sungai besar dan kecil, tiga sungai besar antara lain Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum, sedangkan 10 sungai kecil antara lain Sungai Kamal, Cengkareng, Angke, Karang, Ancol, Sunter, Cakung, Blencong, Grogol, dan Pasanggrahan. Sungai-sungai tersebut melalui berbagai kota besar seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (wilayah

Jabodetabek), yang memiliki penduduk lebih dari 20 juta jiwa (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia et al., 2009). Jadi tidak dapat disangkal bahwa sungai-sungai tersebut membawa berbagai bahan organik maupun anorganik yang membuat kualitas perairan Teluk Jakarta mengalami degradasi dari tahun ke tahun.

Berbagai pencemaran telah terjadi di Teluk Jakarta seperti proses eutrofikasi yang disebabkan pengkayan nutrien kedalam Teluk ini, sehingga menimbulkan kerusakan habitat terumbu karang akibat sedimentasi dan penurunan transparansi, pencemaran tersebut antara lain tumpahan minyak, logam berat, sampah, dan lainnya (Damar, 2004).

Di sisi lain, Teluk Jakarta memiliki potensi ekonomi yang penting di berbagai sektor seperti pariwisata, perikanan (budidaya laut dan perikanan tangkap), perhubungan, cagar alam, pendidikan dan pelatihan (misal Pulau Pari), dan sebagainya. Perairan ini merupakan lahan kehidupan ribuan manusia, mulai dari nelayan, pelaku bisnis, hingga masyarakat umum lainnya (Damar, 2004).

Teluk Jakarta merupakan sebuah ekosistem perairan yang mendapat tekanan ekologis dan ekonomis yang tinggi dari manusia. Perairan ini secara ekologis


(25)

menjadi penting karena menopang kehidupan biota laut di Laut Jawa serta mendapat ancaman serius pencemaran melalui limbah hasil kegiatan seluruh manusia di Kota Jakarta dan sekitarnya melalui 13 sungai yang masuk kedalamnya (Damar, 2004).

Salah satu usaha pengelolaan Teluk Jakarta adalah melakukan pemantauan kualitas perairan secara efektif dan efisien serta terus-menerus. Belakangan ini teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk memantau kualitas perairan.

1.2 Tujuan

Dalam penelitian ini teknologi penginderaan jauh dengan memakai data multitemporal citra satelit Landsat digunakan untuk memonitoring beberapa parameter kualitas perairan, seperti Total Suspended Solid (TSS) dan transparansi perairan. Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengembangkan algoritma empiris yang sesuai untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan.

2. Memetakan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan hujan.

3. Menggunakan peta-peta yang dihasilkan untuk melihat kecenderungan perubahan Total Suspended Solid (TSS) dan transparansi perairan Teluk Jakarta.


(26)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Teluk Jakarta

Secara geografis Teluk Jakarta terletak pada koordinat 5° 48’29.88” LS - 6° 10’ 30” LS dan 106° 33’00” BT - 107° 03’00” BT. Garis pantai Teluk Jakarta ± 80 km dengan kedalaman rata-rata 15 m, dasar perairan yang landai dan semakin ke utara semakin dalam. Di bagian barat terdapat Tanjung Pasir dan di sebelah timur terdapat Tanjung Karawang. Teluk Jakarta memiliki peranan penting baik dari segi ekonomi maupun ekologis. Secara ekologis Teluk ini menjadi penting karena menopang kehidupan biota laut di Laut Jawa serta mendapat ancaman serius berupa pencemaran limbah hasil kegiatan manusia di Jakarta dan sekitarnya yang masuk melalui 13 sungai. Secara ekonomis, perairan ini merupakan lahan

kehidupan ribuan manusia mulai dari nelayan, pelaku bisnis, hingga masyarakat umum lainnya, serta kegiatan pariwisata bahari di Pantai Teluk Jakarta hingga di gugusan Kepulauan Seribu (Damar, 2004).

Di lihat dari iklimnya, Teluk Jakarta dipengaruhi oleh Musim Barat (hujan) terjadi pada bulan November - April dan Musim Timur (kemarau) dari bulan Desember - Februari. Dua musim transisi/peralihan yaitu musim peralihan I (Maret - Mei) dan musim peralihan II (September - November). Pada musim hujan angin berhembus kencang dan arus kuat bergerak dari barat daya sampai barat laut disertai hujan yang cukup deras (curah hujan 100-400 mm). Kecepatan angin mencapai 0,7-20 knot/jam. Arus yang kuat dengan kecepatan mencapai 4-5 knot/jam dan tinggi gelombang dapat mencapai 2 meter mengakibatkan

kejernihan air laut berkurang. Pada musim kemarau angin bertiup dari arah timur sampai tenggara dengan kecepatan 0,7-15 knot/jam dan curah hujan 50-100 mm.


(27)

Pada musim peralihan kondisi laut berubah-ubah namun relatif tenang (Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam DKI Jakarta, 1995).

Distribusi suhu di perairan Teluk Jakarta selalu berubah di setiap musimnya dengan kisaran suhu antara 28o C - 32o C. Pada musim hujan suhu rata-rata permukaan air laut di Teluk Jakarta sebesar 28.31o C dan memasuki musim peralihan I suhu rata-rata naik mencapai 29.31o C. Pada musim kemarau suhu rata-rata turun menjadi 28.29o C dan naik kembali di musim peralihan II menjadi 29.29o C (Arief, 1980).

Salinitas perairan Teluk Jakarta secara umum berkisar antara 28-32o/oo

(Ilahude, 1980). Perairan Teluk Jakarta mengalami variasi tahunan nilai salinitas, dimana terdapat 2 nilai maksimal dan 2 nilai minimal. Bulan November

merupakan nilai salinitas maksimal utama dan bulan Mei adalah nilai salinitas maksimal sekunder. Sedangkan bulan Januari dan Juli merupakan nilai salinitas minimal utama dan sekunder. Perubahan nilai salinitas bergantung dari kondisi lingkungan, seperti pasang surut dan curah hujan (Ilahude, 1980).

2.2 Total Suspended Solid (TSS)

TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan miliopore dengan diameter pori 0.45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab TSS di perairan yang utama adalah kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Konsentrasi TSS apabila terlalu tinggi akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Penyebaran TSS di perairan pantai dan estuari dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik antara lain angin, curah hujan, gelombang, arus, dan pasang surut (Effendi, 2000).


(28)

Sastrawijaya (2000) menyatakan bahwa konsentrasi TSS dalam perairan umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, limbah manusia, limbah hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan, serta limbah industri. Bahan-bahan yang tersuspensi di perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika jumlahnya berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air (Effendi, 2000).

TSS di Teluk Jakarta mengalami fluktuasi tahunan yang hampir sama.

Konsentrasi TSS maksimum dicapai pada bulan Januari (musim hujan) dan bulan Agustus (musim kemarau), sedangkan konsentrasi TSS minimum ditemukan pada bulan Mei (musim peralihan hujan - kemarau) dan bulan November (musim peralihan kemarau - hujan). Konsentrasi TSS tertinggi yang pernah dicapai pada bulan-bulan maksimum tahunan (Januari dan Agustus) adalah 109.7 mg/l dan 42.0 mg/l, sedangkan pada bulan-bulan minimum tahunan (Mei - November) adalah 24.8 mg/l dan 19.0 mg/l (Setiapermana dan Nontji, 1980).

2.3 Kecerahan Perairan

Kecerahan perairan bergantung pada zat-zat tersuspensi didalamnya baik organik maupun anorganik. Kecerahan atau transparansi perairan ditentukan secara visual dengan menggunakan cakram yang disebut secchi disk berdiameter 30 cm yang pertama kali dikembangkan oleh Profesor Secchi sekitar abad 19. Pada penggunaan secchi disk, kekeruhan perairan dikuantitatifkan dalam suatu nilai yang dikenal dengan kedalaman secchi disk (Jeffries dan Mills, 1996 in

Effendi, 2000). Nilai kecerahan yang dinyatakan dengan satuan meter ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan


(29)

tersuspensi serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2000).

Kekeruhan menggambarkan suatu sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik baik

tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik, dan bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis dan Cornwell, 1991 in Effendi, 2000). Satuan kekeruhan adalah unit turbiditas setara dengan 1 mg/l SiO2. Satuan kekeruhan dengan metode Nephelometric

adalah Nephelometric Turbidity Unit (NTU).

Kekeruhan yang tinggi atau kecerahan yang rendah dapat menghambat penetrasi cahaya kedalam air dan mengakibatkan terganggunya proses

fotosintesis. Tingkat kecerahan perairan dapat menunjukkan sampai sejauh mana penetrasi cahaya matahari menembus kolom perairan. Semakin tinggi kekeruhan perairan, maka akan semakin rendah penetrasi cahaya yang menembus kolom air, sehingga tingkat kecerahan semakin rendah (Mujito et. al., 1997).

Kecerahan perairan Teluk Jakarta berkisar antara 1.5-23 m dengan kecerahan terendah berada di daerah pantai dan yang tertinggi di daerah lepas pantai. Perbedaan kecerahan tersebut terutama karena di daerah pantai dipengaruhi oleh masukan bahan organik dan anorganik yang berasal dari sungai sehingga

mengaburkan kecerahan perairan (Ilahude, 1980). Berdasarkan hasil pengamatan pada November 1991, diketahui tingkat kekeruhan dari muara ke arah lepas pantai perairan Teluk Jakarta cenderung menurun dan memiliki kisaran antara 4-6 NTU (Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan, 1992). Pada musim kemarau


(30)

tahun 1993, nilai kekeruhan rata-rata perairan Teluk Jakarta berkisar antara 1.2-1.5 NTU (Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan, 1994).

2.4 Satelit Landsat

Sistem penginderaan jauh satelit secara umum terdiri dari objek permukaan bumi yang diindera atau diamati menggunakan sensor pengamat yang diletakkan pada wahana satelit yang bergerak pada orbitnya dengan pengamatan yang berulang dan liputan yang luas. Banyak satelit yang digunakan untuk memantau objek-objek di permukaan bumi yang disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan pengguna, salah satunya adalah satelit Landsat MSS (Multi Spectral Scanner), TM (Thematic Mapper), dan ETM (Enhanched Thematic Mapper).

Satelit Landsat-7 ETM yang diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 ini, sama seperti satelit-satelit pendahulunya juga berada pada ketinggian 705 km dengan periode edar 99 menit dan orbit polar sun-synchronous yang memotong garis khatulistiwa ke arah selatan pada waktu tetap yaitu pukul 10.00 waktu setempat (lokal) serta mempunyai sudut inklinasi 30°. Satelit yang memiliki cakupan sebesar 185 km ini akan melewati lintasan (daerah) yang sama setiap 16 hari (LAPAN, 2000).

Karakteristik dari sensor satelit Landsat-7 ETM yang dilengkapi oleh 8 kanal spektral disajikan pada Tabel 1. Sistem data yang diperoleh dari sensor Thematic Mapper (TM) diarahkan pada teknik pengenalan pola spektral sehingga dapat dihasilkan suatu citra terklasifikasi atau peta tematik.


(31)

Tabel 1. Karakteristik Satelit Landsat

Kanal Spektral Resolusi Spasial Keterangan Kanal 1 : 0,45 – 0,52 µm 30 m x 30 m Cahaya Tampak (biru) Kanal 2 : 0,52 – 0,60 µm 30 m x 30 m Cahaya Tampak (hijau) Kanal 3 : 0,63 – 0,69 µm 30 m x 30 m Cahaya Tampak (merah) Kanal 4 : 0,76 – 0, 90 µm 30 m x 30 m Infra Merah Dekat Kanal 5 : 1,55 – 1,75 µm 30 m x 30 m Infra Merah Menengah Kanal 6 : 10,40 - 12,40 µm 60 m x 60 m Infra Merah Termal Kanal 7 : 2,08 – 2,35 µm 30 m x 30 m Infra Merah Menengah Kanal 8 : 0,5 – 0,9 µm 15 m x 15 m Pankromatik

Sumber : LAPAN (2000).

Menurut Maeden dan Kapetsky (1991), penerapan untuk setiap kanal pada sensor TM yaitu:

Kanal 1 : penetrasi ke badan air, pemetaan perairan pesisir, serapan klorofil, pembeda tanah dan vegetasi.

Kanal 2 : kesuburan vegetasi, pendugaan konsentrasi sedimen, dan bathimetri. Kanal 3 : daerah penyerapan klorofil dan membedakan jenis tanaman.

Kanal 4 : membedakan badan air dan daratan, daerah pantulan vegetasi yang kuat.

Kanal 5 : pengukuran kelembaban tanah dan vegetasi, daerah pantulan batuan. Kanal 6 : pemetaan termal dan informasi geologi termal.

Kanal 7 : pemetaan hidrotermal dan membedakan tipe batuan (geologi/minyak). Energi pada cahaya biru (0,4-0,5 µm) mampu menembus kedalaman

maksimal ± 25 meter, cahaya hijau (0,5-0,6 µm) ± 15 meter, cahaya merah (0,6-0,7 µm) ± 5 meter, infra merah dekat ((0,6-0,7-0,8 µm) ± 0,5 meter, dan infra merah seluruhnya diserap oleh perairan (Green et al., 2000).


(32)

2.5 Teknologi Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Karakteristik Spektral TSS

Teknologi penginderaan jauh telah banyak diaplikasikan untuk mempelajari kualitas perairan, salah satunya adalah TSS dan kecerahan. Kualitas perairan memiliki penetrasi cahaya yang berbeda pada daerah tertentu, dapat diketahui dengan teknik multispektral (Barret dan Curtis, 1982).

Keberadaan materi-materi organik dan anorganik yang tersuspensi

mempengaruhi nilai pantulan (reflektansi) dari suatu badan air. Informasi tentang nilai pantulan pada cahaya tampak dari badan air dapat digunakan untuk memberi gambaran kondisi dan kualitas perairan. Kekeruhan yang disebabkan oleh TSS adalah salah satu faktor yang mempengaruhi sifat spektral suatu badan air. Air yang keruh mempunyai nilai reflektansi yang lebih tinggi daripada air jernih (Hasyim, 1997).

Keberadaan TSS pada permukan air dapat digolongkan sesuai dengan warnanya ke dalam kelas-kelas tertentu. Menurut Robinson (1985), berdasarkan sifat optiknya perairan dibagi menjadi 2, perairan kasus I yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh fitoplankton dan perairan kasus II yaitu perairan yang sifat optiknya didominasi oleh bahan-bahan tersuspensi selain fitoplankton seperti bahan anorganik atau substansi kuning (yellow substance).

Perairan pada kasus I (Gambar 1), persentase reflektansi spektral pada panjang gelombang 400-500 nm akan semakin rendah apabila konsentrasi klorofil semakin tinggi (arah panah menunjukkan peningkatan konsentrasi klorofil). Hal tersebut menunjukkan bahwa klorofil mempunyai daya absorbsi yang tinggi terhadap panjang gelombang kanal biru. Pada panjang gelombang kanal merah (600-700


(33)

nm), semakin tinggi konsentrasi klorofil maka semakin tinggi pula persentase pantulannya.

Keterangan: R = persentase reflektansi spektral (%) = panjang gelombang (nm)

--- = spektrum air jernih

↓ = peningkatan konsentrasi klorofil

c1, c2, c3 = konsentrasi TSS pada lapisan ke-1, 2, dan 3

Gambar 1. Perairan Kasus I dimana c1>c2>c3 (Robinson, 1985)

Keterangan: R = persentase reflektansi spektral (%) = panjang gelombang (nm)

--- = kurva reflektansi spektral TSS yang didominasi klorofil

↓ = arah perubahan bentuk kurva akibat perubahan konsentrasi TSS c1, c2, c3, c4 = konsentrasi TSS pada lapisan ke-1, 2, 3, dan 4


(34)

Pada perairan kasus II (Gambar 2) yang didominasi selain klorofil

menunjukkan hal yang sebaliknya, yaitu pada panjang gelombang 400 nm hingga 500 nm nilai reflektansi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya

konsentrasi TSS (Robinson, 1985). Keberadaan TSS dapat menyerap dan memantulkan spektrum radiasi cahaya tampak yang menembus ke bawah permukaan air, tetapi pengaruhnya lebih banyak bersifat sebagai pancaran balik (backscattering) sehingga memperlihatkan wujud air yang keruh. Pancaran balik (backscattering) yang disebabkan oleh TSS akan menghasilkan perbedaan reflektansi yang besar pada seluruh kisaran panjang gelombang sinar tampak dan lebih kecil pada panjang gelombang yang lebih pendek karena terjadi penyerapan oleh klorofil (Robinson, 1985).

Reflektansi spektral merupakan persentase perbandingan jumlah energi REM yang meninggalkan objek dan diterima oleh sensor dengan jumlah energi yang mengenai objek tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1990). Pengukuran pada perairan yang mengandung konsentrasi TSS sebesar 100 mg/l pada kedalaman > 30 cm menunjukkan bahwa nilai reflektansi hanya bergantung pada sifat perairan itu sendiri dan bukan merupakan fungsi dari bentuk dasar perairan (Kusumowidagdo, 1987). Menurut Robinson (1985) reflektansi spektral atau perbandingan

reflektansi dapat dipakai untuk menduga parameter kualitas perairan. Konsentrasi TSS yang semakin tinggi akan memiliki nilai pantulan

(reflektansi) yang juga semakin tinggi (Gambar 3). Pada panjang gelombang 600-700 nm konsentrasi TSS yang tinggi memiliki pantulan radiasi matahari yang tertinggi dan pantulan radiasi matahari semakin rendah dengan berkurangnya konsentrasi TSS di permukaan air.


(35)

Gambar 3. Hubungan antara Radiasi Matahari Pantulan dengan Panjang Gelombang pada Konsentrasi TSS yang berbeda-beda di

Permukaan Air (Purbawasesa, 1995)

Tassan dan d’Alcala (1λλ3) menggunakan algoritma citra Landsat dari kanal (band) tunggal yang memiliki korelasi paling tinggi terhadap data in situ TSS. Hasil penelitian Gitelson, et al. (1993) menunjukkan bahwa kanal yang lebih peka untuk mendeteksi TSS adalah kanal hijau dengan panjang gelombang 0.560 µm - 0.590 µm. Robinson (1985) juga menyatakan bahwa sebaiknya digunakan kanal tunggal untuk mendeteksi TSS dibandingkan dengan rasio antar kanal, karena berdasarkan bentuk kurva pada kasus II terlihat konsentrasi TSS tidak banyak berubah antar lapisan. Algoritma dengan rasio antar kanal menunjukkan korelasi yang kurang memuaskan dbandingkan dengan kanal tunggal (Robinson, 1985). Beberapa algoritma yang digunakan untuk mendeteksi TSS dengan satelit Landsat di berbagai perairan terlihat pada Tabel 2.


(36)

Tabel 2. Beberapa Algoritma untuk Mendeteksi TSS

No. Algoritma Referensi Lokasi

1 TSS = 100.6678 + 5.5058*b3 + 0.4563*b32 + 0.9775*b2*b3

Hasyim et. al.

(1997) Situbondo 2 TSS = 3.3238*exp (34.099*

reflektansi kanal merah)

Budhiman

(2004) Delta Mahakam Keterangan: bi = digital number kanal ke-i

Menurut Kardono dan Suprajaka (1993), pada perairan jernih penetrasi energi dari kanal 2 (band hijau) dengan panjang gelombang 0.50 µm - 0.60 µm dapat masuk ke badan air hingga kedalaman 10 m, dan energi pada panjang gelombang 0.60 µm – 0.70 µm (kanal merah) dapat menembus hingga kedalaman 3 m. Energi pada panjang gelombang 0.70 µm - 0.80 µm hanya dapat menembus badan air sedalam 1 m, dan hanya pada kedalaman 10 cm untuk panjang gelombang 0.80 µm - 0.11 µm. Pada penelitian yang berbeda, kanal 2 pada citra Landsat dengan panjang gelombang 0.50 µm – 0.60 µm merupakan kanal terbaik untuk

pengukuran perairan dangkal dengan kedalaman antara 5-15 m. Pada kanal dengan panjang gelombang < 0.5 µm akan diperoleh data pada perairan yang lebih dalam lagi karena kemampuan penetrasi energi maksimum terjadi pada panjang gelombang di bawah 0.5 µm.

Menurut Butler et al. (1988), energi pada panjang gelombang kanal biru (0.45 µm - 0.52 µm) dan kanal hijau (0.52 µm - 0.60 µm) memiliki kemampuan

penetrasi yang maksimal ke badan air jika dibandingkan dengan energi pada panjang gelombang yang lain, dan akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya kekeruhan suatu perairan (Gambar 4).


(37)

Gambar 4. Kemampuan Penetrasi Sinar Tampak hingga Kedalaman 10 m pada Perairan Jernih (Butler et al., 1988)

2.6 Teknologi Penginderaan Jauh untuk Mendeteksi Karakteristik Spektral Transparansi Perairan

Masing-masing energi panjang gelombang pada citra Landsat memiliki sensitifitas terhadap obyek yang berbeda, untuk membedakan tingkat kekeruhan perairan yang berhubungan dengan perbedaan tingkat sedimentasi dapat dilakukan dengan menggunakan kanal 2 citra satelit landsat. Energi pada kanal 2 (0.52 µm - 0.60 µm), tubuh air memantulkan tenaga elektromagnetik yang tinggi sehingga mengakibatkan nilai piksel pada data digital citra landsat menjadi tinggi. Kurva spektral beberapa obyek pada beberapa panjang gelombang diperlihatkan pada Gambar 5.

Air keruh yang banyak mengandung partikel-partikel endapan lempung (silty water) memantulkan energi yang besar pada rentang panjang gelombang 0.52 µm - 0.60 µm (kanal hijau) dibandingkan air yang jernih, sehingga nilai pixel pada air keruh akan lebih tinggi dibanding air jernih. Hal ini diakibatkan oleh pantulan partikel-partikel lempung yang terkandung di dalam air tersebut (Maeden dan Kapetsky, 1991).


(38)

Gambar 5. Kurva Spektral pada Beberapa Objek (Maeden dan Kapetsky, 1991)

Beberapa algoritma yang digunakan untuk mendeteksi transparansi perairan dengan satelit Landsat di berbagai perairan terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Beberapa Algoritma untuk Mendeteksi Transparansi Perairan

No. Algoritma Referensi Lokasi

1 Kecerahan (m) = 17,51427 - 0,10925*b1 Lemigas (1997) - 2 ln (kecerahan) = 1.135 (L1/L2) - 3.193 Chipman et. al.

(2004)

danau di Wisconsin

(USA) 3 Kecerahan (m) = 17.51427 - 0.10925*b1 LAPAN (2004) Situbondo Keterangan: b1 = digital number kanal 1

L1 = Spektral radiansi band 1 L2 = Spektral radiansi band 2


(39)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Juli 2009 dengan lokasi di perairan Teluk Jakarta yang terletak pada koordinat 5° 53’ 23.3” LS - 6° 07’ 46.9” LS dan 106° 37’ 10.9” BT - 107° 01’ 40.8” BT. Lokasi yang menjadi kajian penelitian terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Lokasi Penelitian di Perairan Teluk Jakarta

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan selama penelitian antara lain perangkat komputer, perangkat lunakIdrisi Andes (Clark Labs, Clark University 950 Main Street, Worcester MA 01610-1477 USA), perangkat lunakuntuk layout peta, serta Microsoft Office.


(40)

Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain 22 citra satelit Landsat dengan path 122, row 64, dan tipe sensor ETM+. Akuisisi dan perolehan citra satelit Landsat terlihat pada Tabel 4. Citra Landsat hasil download diperoleh pada situs Landsat USGS, dari 22 citra satelit yang dikelompokkan atas dua musim, yaitu musim kemarau terdapat 15 citra dan musim hujan terdapat 7 citra.

Tabel 4. Spesifikasi Perolehan Data Konsentrasi TSS dan Transparansi Perairan No. Tanggal Akuisisi

Citra Satelit Landsat

Perolehan Citra Data in situ

(P2O LIPI) P2O LIPI Hasil Download*

1 21 Juni 2004 -

2 23 Juli 2004 -

3 24 Agustus 2004 -

4 9 September 2004 -

5 25 September 2004 -

6 11 Oktober 2004 -

7 12 November 2004 -

8 15 Januari 2005 -

9 16 Februari 2005 -

10 11 Agustus 2005 -

11 27 Agustus 2005 -

12 28 September 2005 -

13 26 Mei 2006 -

14 1 Oktober 2006 -

15 17 Oktober 2006 -

16 2 November 2006 - -

17 17 Agustus 2007 - -

18 7 Desember 2007 - -

19 8 Januari 2008 - -

20 18 Juli 2008 - -

21 31 Maret 2009 - -

22 2 Mei 2009 - -

*) Di peroleh dari website: http://edcsns17.cr.usgs.gov/EarthExplorer/

Bahan lainnya berupa data in situ konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta sebanyak 15 data sesuai dengan waktu yang hampir bersaman dengan waktu lewat satelit Landsat. Konsentrasi TSS ditentukan dari sampel air


(41)

laut yang di analisis di laboratorium P2O LIPI (Lampiran 1), sedangkan

transparansi perairan di ukur langsung di lapangan dengan menggunakan secchi disk.

3.3 Proses Pengolahan Data Citra Satelit

Pengolahan data dari citra satelit hingga menghasilkan output kajian secara umum terlihat pada Gambar 7. Kanal-kanal pada satelit Landsat TM yang digunakan hanya kanal 1 (biru), kanal 2 (hijau), dan kanal 3 (merah) untuk memperoleh nilai reflektansi. Transformasi yang digunakan untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan adalah kromatisiti kanal biru.

Citra Satelit Landsat

Koreksi Citra

Metode Cos(t) Model

Reflektansi Kanal 1, 2, dan 3

Pengembangan Model

Hipotesis dan asumsi

Pengujian Model

Memenuhi Syarat

Model Hubungan

Pemetaan TSS dan Transparansi Perairan

Tidak

Ya


(42)

3.3.1 Koreksi Citra

Perairan Teluk Jakarta merupakan daerah penelitian yang dikaji, oleh karena itu data citra satelit Landsat-7 ETM di potong (crpping) terlebih dahulu untuk mempersempit daerah kajian yang akan di olah. Koordinat citra perairan Teluk Jakarta adalah 5° 53’ 23.3” LS - 6° 07’ 46.9” LS dan 106° 37’ 10.9” BT - 107° 01’ 40.8” BT.

Citra yang telah dipotong kemudian dilakukan koreksi atmosferik. Citra satelit Landsat-7 ETM yang diperoleh melalui situs USGS sudah terkoreksi secara geometrik, sehingga tidak perlu dilakukan koreksi geometrik.

Koreksi atmosferik dilakukan untuk mengurangi kesalahan akibat efek atmosferik yang disebabkan perbedaan sudut elevasi matahari dan jarak matahari-bumi saat penerimaan data yang berbeda waktu. Koreksi atmosferik juga

dilakukan untuk menghilangkan path radiance (noise angkasa). Koreksi

atmosferik dapat dilakukan salah satunya dengan metode histogram adjustment. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

DNijk (setelah dikoreksi) = DNijk (sebelum dikoreksi) - DN biask ...………..… (pers. 1)

Keterangan: DN = digital number i = piksel baris ke-i

j = piksel kolom ke-j k = citra kanal ke-k

Nilai digital terkoreksi (pers. 1) kemudian dirubah menjadi nilai radiansi menggunakan gain dan offset yang diperoleh pada header (keterangan data citra), selanjutnya nilai radiansi tersebut dirubah menjadi nilai reflektansi menggunakan nilai solar irradiance, sudut elevasi matahari, dan jarak matahari-bumi.


(43)

Pada penelitian ini digunakan perangkat lunakIdrisi Andes, didalamnya sudah tersedia modul program koreksi atmosferik (ATMOSC). Metode koreksi

atmosferik yang digunakan adalah Cos(t) model yang terdapat pada modul ATMOSC di dalam perangkat lunakIdrisi Andes. Koreksi atmosferik dengan metode Cos(t) model dikembangkan oleh Chavez yang meliputi elemen Dark Object Subtraction model (untuk haze removal) ditambah prosedur untuk estimasi efek absorpsi oleh gas-gas atmosferik dan Rayleigh scattering. Di dalam

perangkat lunakIdrisi Andes, metode Cos(t) model juga dilakukan koreksi

radiometrik dengan mengoreksi sun elevation pencitraan satelit untuk mengurangi pengaruh gas-gas atmosferik. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah Lmaks dan Lmin yaitu nilai radiansi pada Digital Number (DN) minimum dan Digital Number (DN) maksimum dengan output berupa nilai reflektansi masing-masing kanal citra Landsat yang berada pada kisaran 0 sampai 1. Informasi mengenai sun elevation serta nilai Lmaks dan Lmin dapat dilihat pula pada header

yang terdapat pada citra Landsat.

3.3.2 Pengembangan Model

Pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta dilakukan untuk 2 musim, yaitu musim hujan (November - April) dan musim kemarau (Mei - Oktober). Pengembangan model untuk menduga konsentrasi TSS dan

transparansi perairan dilakukan dengan kombinasi dari nilai-nilai reflektansi pada kanal 1, kanal 2, dan kanal 3. Reflektansi spektral atau perbandingan reflektansi yang digunakan untuk menduga parameter TSS dan transparansi perairan dapat berupa reflektansi pada kanal tunggal, rasio antar kanal, maupun transformasi kromatisiti antar kanal dari citra Landsat.


(44)

Model yang digunakan berupa persamaan regresi yang diharapkan memiliki koefisien determinasi (R2) tertinggi, dimana y merupakan nilai parameter yang di uji (data in situ konsentrasi TSS dan transparansi perairan) dan x merupakan kombinasi reflektansi pada kanal yang digunakan (transformasi reflektansi kanal biru). Contoh-contoh bentuk persamaan regresi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Bentuk Persamaan Regresi untuk model Hubungan

No. Model Hubungan Bentuk Model

1 Regresi linear y = a + bx

2 Eksponensial y = a*exp(bx)

3 Polynomial(orde 2) y = a + b*x2 + b1*x

4 Polynomial (orde 3) y = a + b*x3 + b1*x2 + b2*x

5 Logaritmik y = a*ln(x) + b

6 Power y = a*xb

Berdasarkan penelitian Wouthuyzen et al. (2008), transformasi reflektansi pada kanal 1 (biru), kanal 2 (hijau), dan kanal 3 (merah) adalah sebagai berikut: 1. Rasio kanal biru / hijau = kanal 1

kanal 2

2. Rasio kanal biru / merah = kanal 1 kanal 3 3. Rasio kanal hijau / merah = kanal 2

kanal 3

4. Kromatisiti biru = kanal 1

(kanal 1 kanal 2 kanal 3)

5. Kromatisiti hijau = kanal 2

(kanal 1 kanal 2 kanal 3)

6. Kromatisiti hijau = kanal 3


(45)

3.3.3 Asumsi dan Hipotesis Model

Setelah terpilih persamaan regresi dari pengembangan model kemudian dibuat suatu hipotesis dan asumsi untuk mempermudah dalam penerapan dan pengujian model tersebut.

Sebuah hipotesis atau asumsi yang dibuat saat pengembangan model akan di uji apakah dapat diterima atau ditolak (sesuai hipotesis), yang artinya apakah model tersebut dapat digunakan untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta atau tidak.

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa kondisi

oseanografis perairan Teluk Jakarta pada saat pengambilan data lapangan maupun data penginderaan jauh dengan citra satelit Landsat tidak banyak berubah, karena masih dalam pengaruh musim yang sama (musim kemarau atau musim hujan).

Hipotesis secara umum adalah nilai pendugaan konsentrasi TSS dan

transparansi perairan Teluk Jakarta dari data Landsat melalui hasil pengembangan model akan sama dengan hasil pengukuran TSS dan transparansi perairan secara

in situ.

3.3.4 Pendugaan Model

Pendugaan model dilakukan dengan dua parameter kualitas perairan, yaitu TSSdan transparansi perairan Teluk Jakarta yang dilihat berdasarkan nilai pantulan (reflektansi) cahaya tampak dari badan air sesuai pada kanal-kanal citra satelit Landsat. Kondisi perairan Teluk Jakarta sangat dinamis sehingga

pengembangan model dibagi dalam 2 musim yaitu musim kemarau (Mei - Oktober) dan musim hujan (November - April) dari tahun 2004-2009.


(46)

Model hubungan yang dikembangkan adalah model empiris menggunakan persamaan regresi antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ dengan nilai reflektansi kanal tunggal, rasio antar kanal, maupun transformasi kromatisiti kanal biru, hijau, atau merah. Pendugaan konsentrasi TSS pada musim kemarau dan hujan menggunakan transformasi kromatisiti kanal biru dengan persamaan regresi model polynomial orde 3. Pendugaan transparansi perairan pada musim kemarau juga digunakan transformasi kromatisiti kanal biru dengan persamaan regresi model power untuk musim kemarau dan pada musim hujan digunakan persamaan regresi model polynomial orde 2.

Dari beberapa model pendugaan yang dihasilkan, kemudian dipilih model hubungan terbaik yang memiliki koefisien determinasi (R2) tertinggi dan simpangan akar nilai tengah (RMS error) terkecil untuk analisis lanjutan. Koefisien determinasi (R2) merupakan kriteria kecocokan model yang berkisar antara 0 hingga 1, dalam keadaan ideal koefisien determinasi mendekati angka 1. Nilai R2 sebagai pengukur keeratan hubungan antara peubah y sebagai peubah respons (variabel tak bebas) dan peubah x (variabel bebas). Semakin dekat nilai R2

dengan nilai 1, maka semakin dekat pula titik pengamatan ke garis regresinya dan model tersebut semakin baik (Aunuddin, 1989).

Nilai R2 dan RMS error akan berbanding terbalik, yaitu apabila nilai R2 tinggi maka harus dihasilkan RMS error yang kecil. Nilai RMS error mendekati angka nol (0) menunjukkan model dugaan semakin baik.

RMS error = ... (pers. 2)


(47)

3.3.5 Validasi Data

Setelah diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) dan RMS error yang paling baik, untuk meyakinkan apakah model yang digunakan benar-benar teruji, maka dilakukan validasi data. Validasi data bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara nilai pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari

pengembangan model yang terbentuk dengan data in situ konsentrasi TSS dan transparansi perairan. Dalam kajian ini digunakan uji beda nilai tengah dua arah (uji-t).

Hipotesis yang digunakan dalam uji-t adalah (Walpole, 1995):

H0: 1 = 2 H1: 1 2

dimana: H0 adalah apabila nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi

perairan in situ sama dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan

H1 adalah apabila nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi in situ perairan tidak sama dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan

1 adalah nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ 2 adalah nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi

perairan

Dari hipotesis tersebut diharapkan bahwa antara nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan tidak berbeda nyata ( 1 = 2) atau terima H0 sehingga


(48)

konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau dan musim hujan.

Selain menggunakan uji-t, juga digunakan uji-F dengan parameter dan hipotesis yang berbeda. Parameter yang diujikan dalam uji-F adalah antara konsentrasi TSS hasil pendugaan dengan transparansi perairan hasil pendugaan dari model hubungan yang terbentuk. Uji-F dilakukan untuk membuktikan ada tidaknya hubungan saling mempengaruhi antara konsentrasi TSS dengan tranparansi perairan.

Hipotesis yang digunakan dalam uji-F adalah (Walpole, 1995):

H0: = 0 H1: 0

dimana: H0 adalah apabila ada hubungan yang nyata antara konsentrasi TSS dan

transparansi perairan hasil pendugaan

H1 adalah apabila tidak ada hubungan yang nyata antara konsentrasi TSS

dan transparansi perairan hasil pendugaan

adalah nilai pendugaan TSS dan transparansi perairan

Dari hipotesis tersebut diharapkan bahwa ada hubungan yang nyata (terima H0) antara hasil pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari

pengembangan model, dimana konsentrasi TSS merupakan variabel bebas

(komponen x) dan transparansi perairan merupakan variabel tak bebas (komponen

y), sehingga diperoleh hubungan dimana konsentrasi TSS akan mempengaruhi kondisi transparansi perairan.

Uji-t dilakukan dengan uji dua arah, yang akan dilihat adalah nilai t-hitung dengan t-critical two tail (t-tabel). Nilai dari t-tabel akan menjadi batas penolakan


(49)

dari H0. Sedangkan untuk uji-F melalui analisis regresi akan menghasilkan

nilai-nilai seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis Sidik Ragam Regresi untuk Uji-F Sumber keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat

Tengah Fhitung Ftabel Nilai Tengah

Kolom k - 1 JKK KTK

KTS KTK

(α, DB1, DB2)

Galat k.(n-1) JKG KTG

Total nk - 1 JKT

Keterangan :

k = jumlah data

p = jumlah variabel

JKT (Jumlah Kuadrat Total) = Σy2 JKR (Jumlah Kuadrat Regresi) = b Σxy JKS (Jumlah Kuadrat Sisa) = JKT - JKR

= Σy2

- b Σxy KTR (Kuadrat Tengah Sisa) =

1 -p JKR

3.4 Pemetaan Konsentrasi TSS dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta Konsentrasi TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan dikorelasikan untuk diketahui keeratan hubungan antara keduanya, apakah konsentrasi TSS memberikan pengaruh yang signifikan terhadap transparansi perairan Teluk Jakarta atau tidak.

Korelasi tersebut terlihat dari pemetaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta dari hasil pengembangan model. Dari pemetaan tersebut dapat dilihat secara visual (kualitatif) perubahan kondisi lingkungan Teluk Jakarta melalui parameter konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari 2 musim yang berbeda pada tahun 2004-2009.


(50)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengembangan Model Pendugaan TSS

Pendugaan konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta melalui pengembangan model menggunakan enam persamaan regresi, yaitu model linear, logaritmik, eksponensial, polynomial orde 2, polynomial orde 3, dan power. Persamaan regresi yang tebentuk pada musim kemarau dan hujan diperoleh dari hubungan antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru dengan konsentrasi TSS perairan in situ. Penggunaan transformasi kromatisiti kanal biru berdasarkan pada pola sebaran antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru terhadap data in situ TSS perairan menunjukkan korelasi yang paling tinggi (Gambar 8). Persamaan regresi yang memiliki koefisien determinasi (R2) tertinggi adalah model polynomial orde 3.

Pada musim kemarau terdapat 130 data in situ TSS perairan yang

dihubungkan dengan nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (Gambar 8a), sedangkan pada musim hujan hanya terdapat 32 data in situ TSS perairan (Gambar 8b) yang juga dihubungkan dengan reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru. Hal tersebut karena pengambilan data di lapangan lebih banyak dilakukan pada bulan-bulan musim kemarau sesuai kondisi cuaca yang

memungkinkan dalam pengambilan data in situ, sedangkan data satelit juga lebih banyak diambil pada musim kemarau karena tidak banyak dipengaruhi oleh tutupan awan.


(51)

(a) (b)

Gambar 8. Hubungan antara Kromatisiti Kanal Biru dengan TSS in situ Perairan pada Musim Kemarau (a) dan Musim Hujan (b)

Sebelum terpilih transformasi kromatisiti kanal biru, beberapa model telah di uji menggunakan nilai reflektansi kanal tunggal, rasio antar kanal, dan

transformasi kromatisiti lainnya, ternyata dihasilkan keeratan hubungan yang paling tinggi antara nilai reflektansi dari transformasi kromatisiti kanal biru dengan data in situ TSS perairan. Energi dari panjang gelombang kanal biru (0.45 µm - 0.52 µm) memiliki kemampuan penetrasi yang maksimal jika dibandingkan dengan energi pada panjang gelombang yang lain dan akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya kekeruhan suatu perairan. Energi dari panjang gelombang kanal hijau (0.52 µm - 0.60 µm) pada tubuh air memantulkan tenaga elektromagnetik yang tinggi, sehingga mengakibatkan nilai piksel pada data digital citra Landsat menjadi tinggi. Energi pada panjang gelombang 0.60 µm - 0.70 µm (kanal merah) dapat menembus hingga kedalaman 3 m di perairan jernih. Teluk Jakarta termasuk dalam perairan kasus II yaitu perairan yang didominasi oleh selain fitoplankton (TSS, yellow substance, dll), pada panjang gelombang


(52)

400 nm hingga 500 nm nilai reflektansi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi TSS (Robinson, 1985).

Penggunaan model yang sesuai untuk pendugaan konsentrasi TSS pada musim kemarau adalah persamaan regresi model polynomial orde 3, hal ini terlihat jelas pada Tabel 7 dimana persamaan regresi polynomial orde 3 yaitu y = -26390x3 + 35823x2 - 16250x + 2468.4 memiliki koefisien determinasi (R2) tertinggi dan nilai RMS error terkecil masing-masing adalah 0.8870 dan 10.0456. Nilai RMS error

yang diperoleh pada semua persamaan regresi pendugaan TSS musim kemarau tidak terlalu baik jika dibandingkan dengan RMS error pada pendugaan transparansi perairan. Hal tersebut diakibatkan karena sangat beragamnya nilai konsentrasi TSSyang diperoleh dari pengukuran in situ yang dilakukan selama musim kemarau.

Tabel 7. Algoritma Pendugaan TSS pada Musim Kemarau (Mei - Oktober)

No. Model Hubungan Pengujian

R2 RMS error

1 Linear :

y = -741.02x + 305.45 0.7248 15.6763

2 Logaritmik :

y = -275.39ln(x) - 243.74 0.7690 14.3616 3 Eksponensial :

y = 202099e-24.964x 0.6029 12.1330

4 Polynomial orde 2 :

y = 7014.8x2 - 5862.1x + 1231.8 0.8824 10.2470 5 Polynomial orde 3 :

y = -26390x3 + 35823x2 - 16250x + 2468.4 0.8870 10.0456 6 Power :

y = 0.0025x-8.9783 0.5991 16.1465

Keterangan: y = data in situ konsentrasi TSS x = reflektansi kromatisiti kanal biru


(53)

Penggunaan model yang sesuai untuk pendugaan konsentrasi TSS pada musim hujan menggunakan persamaan regresi regresi model polynomial orde 3 dengan persamaan y = 24197x3 - 22050x2 + 6813x - 664.98 (Tabel 8). Persamaan regresi model polynomial orde 3 memiliki koefisien determinasi (R2) tertinggi dan nilai RMS error terkecil masing-masing adalah 0.8446 dan 2.5397. Nilai RMS error

yang diperoleh lebih baik dibandingkan dengan nilai RMS error pada pendugaan konsentrasi TSS perairan di musim kemarau. Untuk analisis lanjutan, model pendugaan konsentrasi TSS pada musim kemarau maupun hujan akan di validasi oleh pengujian statistik

Tabel 8. Algoritma Pendugaan TSS pada Musim Hujan (November - April)

No. Model Hubungan Pengujian

R2 RMS error

1 Linear :

y = 186.1x - 7.9925 0.8027 2.8609

2 Logaritmik :

y = 58.614ln(x) + 118.61 0.7857 2.9815

3 Eksponensial :

y = 16.42e3.5496x 0.8025 2.7544

4 Polynomial orde 2 :

y = 1068.7x2 - 499.86x + 101.01 0.8308 16.3507 5 Polynomial orde 3 :

y = 24197x3 - 22050x2 + 6813x - 664.98 0.8446 2.5397 6 Power :

y = 184.47x1.1216 0.7907 2.8554

Keterangan: y = data in situ konsentrasi TSS x = reflektansi kromatisiti kanal biru

4.2 Pengembangan Model Pendugaan Transparansi Perairan

Transparansi perairan pada musim kemarau dan hujan menggunakan citra satelit Landsat pada tahun 2004-2009 beserta data in situ pada tahun 2004-2006 untuk musim kemarau, sedangkan untuk musim hujan data in situ transparansi perairan hanya ada tahun 2004-2005.


(54)

Model yang dicobakan pada masing-masing musim terdiri dari enam

persamaan regresi, yaitu model linear, logaritmik, eksponensial, polynomial orde 2, polynomial orde 3, dan power. Persamaan regresi yang tebentuk pada musim kemarau dan hujan diperoleh dari transformasi kromatisiti kanal biru. Penggunaan transformasi kromatisiti kanal biru didasarkan pada pola sebaran antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru terhadap transparansi in situ

perairan menunjukkan hubungan yang paling tinggi. Sebelumnya telah di uji pula menggunakan hubungan antara transparansi in situ perairan dengan nilai

reflektansi kanal tunggal, rasio antar kanal, dan kromatisiti kanal merah dan hijau. Energi pada panjang gelombang kanal biru (0.45 µm - 0.52 µm) memiliki kemampuan penetrasi yang maksimal jika dibandingkan dengan energi panjang gelombang pada kanal lain dan akan semakin menurun dengan semakin

meningkatnya kekeruhan suatu perairan. Pada band 2 atau kanal hijau (0.52 µm - 0.60 µm) tubuh air memantulkan tenaga elektromagnetik yang tinggi, sehingga mengakibatkan nilai piksel pada data digital citra Landsat menjadi tinggi. Sedangkan pada kanal merah dengan panjang gelombang 0.60 µm – 0.70 µm energinya dapat menembus perairan jernih sedalam 3 m.

Pada Tabel 9 terlihat bahwa persamaan regresi model power memiliki koefisien determinasi (R2) yang tertinggi yaitu 0.8807 dengan nilai RMS error

terkecil yaitu 0.7095. Kemudian model eksponensial memiliki nilai R2 yang cukup tinggi dibawah model power yaitu 0.8760 dengan nilai RMS error sebesar 0.7637, dan seterusnya untuk model-model yang lain. Dengan demikian, maka model power yaitu y = 85.63x2.905 merupakan model yang terbaik untuk menduga nilai transparansi perairan di Teluk Jakarta pada periode musim kemarau.


(55)

Tabel 9. Algoritma Pendugaan Transparansi Perairan pada Musim Kemarau (Mei - Oktober)

No. Model Hubungan Pengujian

R2 RMS error

1 Linear:

y = 35.21x - 8.014 0.8514 0.7158

2 Logaritmik:

y = 12.22ln(x) + 17.26 0.8353 0.7535

3 Eksponensial:

y = 0.218e8.266x 0.8760 0.7637

4 Polynomial orde 2:

y = 59.41x2 - 7.105x - 0.616 0.8580 0.6996 5 Polynomial orde 3:

y = -1297x3 + 1479x2 - 518.4x + 59.87 0.8668 0.6804 6 Power:

y = 85.63x2.905 0.8807 0.7095

Keterangan: y = data in situ transparansi perairan x = reflektansi kromatisiti kanal biru

Model dugaan transparansi perairan untuk musim hujan terlihat pada Tabel 10. Persamaan regresi model polynomial orde 2 memiliki koefisien determinasi (R2) sebesar 0.8591 dengan nilai RMS error sebesar 1.1356. Model regresi polynomial orde 3 memiliki nilai R2 tertinggi yaitu sebesar 0.8593 dengan nilai RMS error

sebesar 1.1362, dan seterusnya untuk model-model yang lain.

Persamaan regresi polynomial orde 2 dan polynomial orde 3 sama-sama memiliki kelebihan, dimana polynomial orde 2 memiliki nilai RMS error tertinggi dan polynomial orde 3 memiliki nilai R2 tertinggi. Perbedaan keduanya tidak terlalu signifikan, tetapi dilihat melalui plot hubungan antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru terhadap transparansi in situ perairan (Gambar 9) terlihat bahwa grafik hubungan dari model polynomial orde 2 lebih baik daripada regresi polynomial orde 3. Dengan demikian, maka model polynomial orde 2 dengan persamaan y = 378.2x2 - 137.7x + 9.688 merupakan model yang terbaik untuk menduga nilai transparansi perairan di Teluk Jakarta untuk musim


(56)

hujan. Seperti halnya dengan algoritma pendugaan konsentrasi TSS, model pendugaan transparansi perairan pada musim kemarau maupun hujan akan di validasi oleh pengujian statistik yang dijelaskan pada sub bab berikutnya.

Tabel 10. Algoritma Pendugaan Transparansi Perairan pada Musim Hujan (November – April)

No. Model Hubungan Pengujian

R2 RMS error

1 Linear:

y = 110.6x - 30.80 0.8525 1.1619

2 Logaritmik:

y = 35.97ln(x) + 45.68 0.8454 1.1895

3 Eksponensial:

y = 0.001e25.18x 0.7605 1.4927

4 Polynomial orde 2:

y = 378.2x2 - 137.7x + 9.688 0.8591 1.1356 5 Polynomial orde 3:

y = 2220x3– 1814.x2 + 581.2x - 68.56 0.8593 1.1362 6 Power:

y = 47829x8.299 0.7742 1.4004

Keterangan: y = data in situ transparansi perairan x = reflektansi kromatisiti kanal biru

Model pendugaan transparansi perairan pada musim kemarau dan hujan diperoleh melalui plot hubungan antara nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru dengan transparansi perairan in situ (Gambar 9). Pada musim kemarau terdapat 96 data transparansi perairan in situ yang dihubungkan dengan nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (Gambar 9a), sedangkan pada musim hujan hanya terdapat 37 data transparansi perairan in situ yang

dihubungkan dengan nilai reflektansi transformasi kromatisiti kanal biru (Gambar 9b). Hal tersebut karena pengambilan data di lapangan dan data satelit lebih banyak dilakukan pada bulan-bulan musim kemarau sesuai kondisi cuaca yang


(57)

memungkinkan dalam pengambilan data in situ, dan data satelit pada musim kemarau tidak banyak dipengaruhi oleh tutupan awan.

(a) (b)

Gambar 9. Hubungan antara Kromatisiti Kanal Biru dengan Transparansi in situ Perairan pada Musim Kemarau (a) dan Musim Hujan (b)

4.3 Pengujian dan Validasi Data

Ada 2 pengujian yang dilakukan, yaitu uji-t dan uji-F. Masing-masing

pengujian berbeda untuk masing-masing parameter yang diujikan. Uji-t dilakukan pada variabel yang tidak memiliki keterkaitan saling mempengaruhi melainkan hubungan antara nilai tengah suatu variabel berbeda nyata atau tidak dengan nilai tengah dari variabel lainnya, sedangkan uji-F digunakan pada variabel bebas dan variabel tak bebas dimana variabel bebas mempengaruhi variabel tak bebas.

4.3.1 Uji-t

Setelah diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) dan RMS error yang paling baik, untuk meyakinkan apakah model yang digunakan benar-benar teruji maka dilakukan validasi data untuk mengetahui perbedaan antara nilai tengah ( ) pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan dari nilai reflektansi


(58)

transformasi kromatisiti kanal biru menggunakan model hubungan yang terbentuk dengan data in situ TSS dan transparansi perairan, menggunakan uji beda nilai tengah dua arah (uji-t). Penggunaan uji-t dua arah karena belum diketahui dan diprediksi apakah nilai tengah ( ) variabel yang satu lebih besar atau lebih kecil dari nilai tengah ( ) variabel yang lainnya.

Uji-t atau uji beda nilai tengah digunakan pada variabel yang saling bebas atau tidak memiliki hubungan saling mempengaruhi. Tabel 11 memperlihatkan hasil uji-t yang dilihat dari nilai t-hitung dan t-tabel dari masing-masing variabel uji (Lampiran 2-5). Hasil yang diharapkan adalah antara nilai tengah konsentrasi TSS dan transparansi perairan in situ dengan nilai tengah pendugaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan tidak berbeda nyata ( 1 = 2) atau terima H0 sehingga

model hubungan yang terbentuk tervalidasi dengan baik dan dapat digunakan.

Tabel 11. Hasil Uji-t Masing-masing Variabel

Musim Pengujian t-hitung t-tabel Keterangan

Kemarau (Mei – Oktober)

TSS in situ dengan TSS hasil

pendugaan 0.0426 1.9692 Terima H0

Transparansi in situ dengan

transparansi hasil pendugaan 0.1674 1.9725 Terima H0 Hujan

(November – April)

TSS in situ dengan TSS hasil

pendugaan -0.0228 1.990 Terima H0

Transparansi in situ dengan

transparansi hasil pendugaan -0.0058 1.9935 Terima H0

Hasil dari masing-masing uji-t yang dilakukan menunjukkan t-hitung berada pada selang antara nilai ± t-tabel [(-) t-tabel t-hitung (+) t-tabel], sehingga dapat dikatakan terima H0 (Gambar 10), yaitu tidak ada perbedaan yang nyata

antara nilai tengah konsentrasi TSS in situ dengan nilai tengah konsentrasi TSS hasil pendugaan. Sama halnya dengan nilai tengah transparansi perairan in situ


(59)

juga tidak berbeda nyata dengan nilai tengah transparansi perairan hasil pendugaan.

Tolak H0 Tolak H0

(-) t-tabel (+) t-tabel

Gambar 10. Selang Wilayah Penerimaan atau Penolakan Hipotesis

Dapat disimpulkan bahwa algoritma hasil pengembangan model untuk pendugaan konsentrasi TSS maupun transparansi perairan dapat digunakan untuk menduga konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta untuk musim kemarau dan hujan.

4.3.2 Uji-F

Selain menggunakan uji-t, juga dilakukan uji-F dengan parameter dan hipotesis yang berbeda. Parameter yang diujikan adalah antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan hasil pendugaan dari model hubungan yang terbentuk untuk musim kemarau dan hujan (Lampiran 6 dan 7). Dari hipotesis pada uji-F tersebut diharapkan ada hubungan yang nyata antara konsentrasi TSS hasil pendugaan dengan transparansi perairan hasil pendugaan. Penerimaan H0 apabila

F hitung > F tabel, hasil uji-F terlihat pada Tabel 12. Suatu model dikatakan berkorelasi tinggi dan tidak ada bias yang dihasilkan, apabila nilai F-hitung empat hingga lima kali lebih besar dari nilai F-tabel pada taraf nyata α = 0.05 (Drapper dan Smith, 1981; Lathrop dan Lillesand, 1986, in Tarigan, 2008).

t-hitung Terima H0


(60)

Tabel 12. Hasil Uji-F antara TSS dan Transparansi Perairan Hasil Pendugaan Hubungan antara TSS dan Transparansi Perairan F hitung F tabel

Musim kemarau 392.6867 3.8708

Musim Hujan 1791.9418 4.004

Pada musim kemarau dan musim hujan terbukti bahwa F hitung lebih besar empat hingga lima kali dari F hitung, sehingga terima H0. Jadi ada hubungan yang

nyata antara konsentrasi TSS dan transparansi perairan, dimana konsentrasi TSS mempengaruhi kondisi transparansi perairan Teluk Jakarta.

4.4 Pemetaan Konsentrasi TSS dan Transparansi Perairan

Setelah pengembangan dan pengujian model, model tersebut diaplikasikan dalam pemetaan konsentrasi TSS dan transparansi perairan Teluk Jakarta dalam 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan selama tahun 2004 hingga 2009. Secara visual distribusi konsentrasi TSS dan transparansi perairan terbagi menjadi 9 kelas. Pembagian menjadi 9 kelas tersebut untuk melihat sebaran distribusi (variasi) konsentrasi TSS didasarkan pada perolehan hasil pendugaan konsentrasi TSS yang berkisar antara 10 mg/l sampai > 150 mg/l. Kelas-kelas untuk distribusi konsentrasi TSS adalah:

1. Kelas 1: 0-10 mg/l berwarna biru 2. Kelas 2: 10-20 mg/l berwarna ungu 3. Kelas 3: 20-30 mg/l berwarna biru muda 4. Kelas 4: 30-40 mg/l berwarna hijau tua 5. Kelas 5: 40-50 mg/l berwarna hijau muda 6. Kelas 6: 50-75 mg/l berwarna kuning 7. Kelas 7: 75-100 mg/l berwarna orange


(61)

9. Kelas 9: > 150 mg/l berwarna merah

Transparansi perairan juga terbagi menjadi 9 kelas untuk melihat sebaran distribusi transparansi perairan Teluk Jakarta berdasarkan kedalaman yang berkisar antara 1 m hingga 10 m, yaitu:

1. Kelas 1: 0-1 m berwarna merah 2. Kelas 2: 1-2 m berwarna orange

3. Kelas 3: 2-3 m berwarna kuning 4. Kelas 4: 3-4 m berwarna hijau muda 5. Kelas 5: 4-5 m berwarna hijau tua 6. Kelas 6: 5-6 berwarna biru muda 7. Kelas 7: 6-8 m berwarna ungu 8. Kelas 8: 8-10 m berwarna biru 9. Kelas 9: > 10 m berwarna biru tua

4.4.1 Musim Kemarau

Konsentrasi TSS menggunakan model polynomial orde 3 dengan persamaan y

= -26390x3 + 35823x2 - 16250x + 2468.4 dan transparansi perairan menggunakan persamaan regresi model power yaitu y = 85.63x2.905. Gambar 11 merupakan sebaran distribusi konsentrasi TSS (Gambar 11a) dan transparansi perairan (Gambar 11b) pada musim kemarau selama tahun 2004.

Berdasarkan hasil pengembangan model pada tanggal 21 Juni 2004

konsentrasi TSS dilihat secara visual menunjukkan konsentrasi yang tinggi yaitu berkisar antara 75-100 mg/l (berwarna orange) bahkan mencapai lebih dari 150 mg/l (berwarna merah). Kondisi tersebut hampir merata di bagian timur, barat, dan tengah perairan Teluk Jakarta. Masukan dari darat terutama dari 3 sungai


(1)

Lampiran 9. Data TSS in situ dan Dugaan pada Musim Hujan

No. Tanggal Waktu TSS (mg/l) TSS Dugaan (mg/l) 1 12-Nov-04 9.19 47.00 50.41

2 12-Nov-04 9.31 51.60 49.84 3 12-Nov-04 12.13 54.40 55.17 4 12-Nov-04 10.58 55.40 54.22 5 12-Nov-04 9.05 55.60 56.67 6 12-Nov-04 9.57 57.00 52.65 7 12-Nov-04 11.50 58.40 59.89 8 12-Nov-04 11.22 59.80 63.42 9 12-Nov-04 10.08 60.60 58.18 10 12-Nov-04 11.35 69.60 67.47 11 15-Jan-05 8:55 40.60 42.63 12 15-Jan-05 9:20 43.60 44.88 13 15-Jan-05 11:43 44.20 46.38 14 15-Jan-05 12:43 44.60 47.89 15 15-Jan-05 12:27 45.80 45.62 16 15-Jan-05 11:29 46.00 47.25 17 15-Jan-05 11:56 46.40 44.45 18 15-Jan-05 9:47 46.60 49.07 19 15-Jan-05 10:30 47.00 47.55 20 15-Jan-05 13:28 48.40 48.69 21 15-Jan-05 9:32 50.00 46.68 22 15-Jan-05 9:06 51.00 48.39 23 16-Feb-05 11:13 42.20 42.23 24 16-Feb-05 8:52 43.60 48.69 25 16-Feb-05 9:42 43.71 47.96 26 16-Feb-05 14:01 45.60 43.94 27 16-Feb-05 14:42 47.00 48.34 28 16-Feb-05 15:11 48.29 46.48 29 16-Feb-05 12:15 49.40 48.11 30 16-Feb-05 12:28 50.40 48.25 31 16-Feb-05 13:46 50.80 48.24 32 16-Feb-05 11:46 52.20 48.28


(2)

Lampiran 10. Data Transparansi in situ dan Dugaan pada Musim Kemarau

No. Tanggal Waktu Transparansi (m) Transparansi Dugaan (m)

1 21-Jun-04 9:01 3.40 4.13

2 21-Jun-04 09.13 4.45 4.64

3 21-Jun-04 9:29 3.63 4.18

4 21-Jun-04 9:42 4.17 4.59

5 21-Jun-04 9:55 5.52 5.45

6 21-Jun-04 10:35 8.53 9.42

7 21-Jun-04 10:48 8.00 8.78

8 21-Jun-04 11.14 9.43 8.04

9 21-Jun-04 12:03 7.00 7.85

10 21-Jun-04 12:16 7.82 6.78

11 21-Jun-04 12.14 5.32 6.75

12 21-Jun-04 12:56 7.57 7.94

13 23-Jul-04 8:42 2.26 2.72

14 23-Jul-04 10:27 3.90 3.26

15 23-Jul-04 10:42 3.63 3.39

16 23-Jul-04 10:54 4.30 3.72

17 23-Jul-04 11:05 3.88 3.76

18 23-Jul-04 11:17 4.35 3.40

19 23-Jul-04 11:30 3.66 3.59

20 23-Jul-04 11:44 3.26 3.27

21 23-Jul-04 12:10 4.21 3.38

22 23-Jul-04 13:30 2.30 2.46

23 24-Aug-04 - 3.38 3.36

24 24-Aug-04 9:01 1.85 2.24

25 24-Aug-04 - 2.85 3.04

26 24-Aug-04 - 2.64 2.40

27 24-Aug-04 - 3.70 3.60

28 24-Aug-04 9:34 2.70 2.31

29 24-Aug-04 9:43 2.64 2.55

30 24-Aug-04 - 4.67 4.19

31 24-Aug-04 10:48 2.67 3.38

32 24-Aug-04 - 2.81 2.85

33 24-Aug-04 - 2.45 2.21

34 24-Aug-04 11:16 4.42 3.63

35 24-Aug-04 11:46 4.78 4.37

36 24-Aug-04 - 2.22 2.50


(3)

Lampiran 10. (Lanjutan)

No. Tanggal Waktu Transparansi (m) Transparansi Dugaan (m)

38 9-Sep-04 9:47 5.86 5.54

39 9-Sep-04 10:00 6.56 5.22

40 9-Sep-04 10:13 6.48 5.68

41 9-Sep-04 10:18 7.50 6.04

42 9-Sep-04 10:29 5.15 5.55

43 9-Sep-04 10:43 5.93 5.68

44 9-Sep-04 10:56 6.18 5.90

45 9-Sep-04 11:09 5.63 5.52

46 9-Sep-04 11:35 5.81 5.83

47 9-Sep-04 12:02 6.25 5.93

48 9-Sep-04 11:48 6.45 5.48

49 9-Sep-04 12:00 7.56 5.76

50 9-Sep-04 11:05 6.00 5.88

51 9-Sep-04 12:27 7.79 6.09

52 9-Sep-04 11:15 6.60 5.74

53 9-Sep-04 12:54 7.24 6.07

54 9-Sep-04 13:07 6.32 5.79

55 9-Sep-04 10:40 6.70 5.45

56 9-Sep-04 13:32 4.62 5.50

57 9-Sep-04 14:55 3.03 4.22

58 9-Sep-04 9:32 5.00 5.05

59 9-Sep-04 11:47 6.20 5.81

60 9-Sep-04 10:00 6.00 5.34

61 25-Sep-04 11:40 1.90 2.66

62 11-Oct-04 9:21 3.38 4.16

63 11-Oct-04 10:04 4.00 5.16

64 11-Oct-04 10:35 5.80 6.76

65 11-Oct-04 10:13 6.48 6.87

66 11-Oct-04 10:50 5.00 4.73

67 11-Oct-04 10:43 5.93 5.37

68 11-Oct-04 11:09 5.63 5.86

69 11-Oct-04 11:22 5.21 4.98

70 11-Oct-04 12:40 4.30 4.08

71 11-Oct-04 13:10 3.26 4.55

72 11-Oct-04 13:25 3.30 4.06


(4)

Lampiran 10. (Lanjutan)

No. Tanggal Waktu Transparansi (m) Transparansi Dugaan (m)

74 11-Oct-04 13:45 3.85 4.09

75 11-Oct-04 13:46 4.22 4.90

76 11-Oct-04 13:58 3.56 4.02

77 11-Oct-04 14:07 3.33 3.63

78 11-Oct-04 14:16 3.20 3.50

79 11-Oct-04 14:24 2.56 3.09

80 11-Aug-05 - 4.40 5.10

81 11-Aug-05 - 7.14 5.79

82 11-Aug-05 - 6.28 5.61

83 11-Aug-05 - 4.23 4.57

84 27-Aug-05 - 6.99 8.31

85 28-Sep-05 11:47 2.69 2.29

86 28-Sep-05 12:03 1.83 2.15

87 28-Sep-05 13:08 1.83 2.06

88 28-Sep-05 13:24 2.05 2.12

89 28-Sep-05 13:40 1.99 2.03

90 28-Sep-05 14:45 2.58 2.57

91 1-Oct-06 13.14 4.76 6.18

92 17-Oct-06 9:01 2.73 2.65

93 17-Oct-06 11:29 2.49 1.93

94 17-Oct-06 11:49 2.16 2.15

95 17-Oct-06 12:02 2.79 2.22

96 17-Oct-06 13:02 2.49 2.33


(5)

Lampiran 11. Data Transparansi in situ dan Dugaan pada Musim Hujan No. Tanggal Waktu Transparansi (m) Transparansi Dugaan (m)

1 12-Nov-04 11.35 10.80 11.92

2 12-Nov-04 10.08 6.90 8.82

3 12-Nov-04 12.59 4.10 6.13

4 12-Nov-04 11.22 12.00 10.71

5 12-Nov-04 10.45 5.00 6.19

6 12-Nov-04 13.43 3.90 4.87

7 12-Nov-04 12.37 7.90 7.93

8 12-Nov-04 9.57 5.50 6.09

9 12-Nov-04 10.34 5.70 6.19

10 12-Nov-04 10.58 6.85 6.99

11 12-Nov-04 9.45 5.00 5.30

12 12-Nov-04 11.50 11.00 9.49

13 12-Nov-04 13.16 3.80 2.95

14 12-Nov-04 9.05 10.36 8.18

15 12-Nov-04 9.31 6.00 4.11

16 12-Nov-04 9.19 6.44 4.55

17 15-Jan-05 8:45 0.86 1.76

18 15-Jan-05 13:28 1.92 3.17

19 15-Jan-05 12:30 2.75 3.64

20 15-Jan-05 9:06 2.57 2.93

21 15-Jan-05 12:43 2.89 2.53

22 15-Jan-05 12:55 4.20 2.94

23 15-Jan-05 9:47 5.79 3.48

24 16-Feb-05 14:15 0.73 1.37

25 16-Feb-05 13:33 1.67 2.78

26 16-Feb-05 15:11 0.89 1.53

27 16-Feb-05 12:15 1.87 2.71

28 16-Feb-05 14:42 2.06 2.89

29 16-Feb-05 14:28 1.31 0.97

30 16-Feb-05 12:28 2.46 2.82

31 16-Feb-05 15:24 1.54 1.31

32 16-Feb-05 13:46 2.51 2.81

33 16-Feb-05 9:42 2.51 2.59

34 16-Feb-05 11:46 3.18 2.84

35 16-Feb-05 8:52 3.67 3.17

36 16-Feb-05 9:27 3.56 2.84

37 16-Feb-05 9:02 3.15 1.97


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Februari 1987 dan merupakan anak ketiga dari keluarga Bapak Maksori dan Ibu Satiti. Tahun 2002 – 2005 Penulis

menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 19 Jakarta. Pada Tahun 2005 Penulis di terima sebagai mahasiswi Institut Pertanan Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan resmi diterima sebagai mahasiswi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan pada tahun 2006.

Selama belajar di IPB penulis pernah menjadi asisten Oseanografi Kimia (2008-2009) dan Pemetaan Sumberdaya Hayati Laut (2009). Penulis juga aktif sebagai pengurus Himpunan mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan

(HIMITEKA) sebagai bendahara LITJAK (2007-2009). Selain itu Penulis pernah mengikuti beberapa seminar di bidang perikanan dan kelautan yaitu Gelar Ilmiah Perikanan tahun 2006, MLTR (Marine Love Technology and Research) tahun 2006, dan seminar series MST (Marine Science and Technology) tahun 2008. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, penulis melaksanakan penelitian dengan judul ”Pendugaan Konsentrasi Total Ssuspended Solid (TSS) dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat”.