Tingkat Kemampuan Petani dalam mengelola hutan kemiri

174

1. Tingkat Kemampuan Petani dalam mengelola hutan kemiri

Tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri merupakan faktor pertama yang memiliki pengaruh paling kuat terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri, yang direfleksikan oleh tiga indikatornya yaitu: a kemampuan teknis; b kemampuan sosial dan c kemampuan manajerial. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri maka akan semakin meningkat motivasinya untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Dengan kata lain, petani dengan tingkat kemampuan yang lebih tinggi dalam mengelola hutan kemiri memiliki motivasi yang lebih tinggi dalam mengelola hutan kemiri. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian Budiono 2006 bahwa petani sekitar hutan dengan kemampuan melestarikan hutan yang tinggi akan memiliki motivasi yang tinggi dalam mengelola hutan secara lestari. Indikator kemampuan teknis berpotensi memiliki pengaruh paling besar terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Kemampuan teknis petani sekitar hutan terbentuk melalui proses belajar informal secara turun temurun yang bersifat praksis atau learning by doing dan telah menjadi bagian dari perilaku mereka sehari-hari yang meliputi teknik pengadaanpemilihan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemeliharaan dan perlindungan tanaman kemiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Klausmeier dan Goodwin 1975 bahwa kemampuan yang dimiliki inidvidu merupakan hasil dari proses perkembangankematangan diri maturity dan proses pembelajaran. Petani sekitar hutan yang memiliki kemampuan di bidang teknis pengelolaan hutan kemiri akan termotivasi untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri, karena mereka merasa yakin dan percaya diri telah memiliki modal pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang positip sebagai prasyarat untuk mengelola hutan kemiri dengan baik, dan selama ini telah terbukti bahwa keberadaan hutan kemiri merupakan hasil budidaya yang dilakukan oleh petani sekitar hutan sejak dulu sampai dengan sekarang. Temuan penelitian ini sejalan 175 dengan pendapat Walter dan Marks 1981 bahwa kepemilikan kemampuan sebagai hasil proses learning by doing akan mendorong motivasi dan rasa percaya diri seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu. Indikator kedua yang berpotensi mempengaruhi tingkat motivasi petani adalah kemampuan sosial. Temuan penelitian ini, dengan demikian, menunjukkan bahwa kemampuan sosial petani dapat menjadi salah satu kekuatan pendorong atau kekuatan yang memotivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lippit et al. 1958 bahwa di dalam suatu masyarakat terdapat berbagai kekuatan pendorong untuk terjadinya perubahan change forces. Kemampuan sosial petani berkaitan dengan kemampuan petani untuk membangun hubungan dan berinteraksi dengan orang lain, yang meliputi kemampuan bekerja sama, bernegosiasi, membangun jaringan, mengantisipasi dan meminimalisir timbulnya konflik ketika berhubungan dengan orang lain dalam kegiatan pengelolaan hutan kemiri. Dengan kemampuan sosial petani mampu membangun kepercayaan dan hubungan harmonis di antara mereka serta mampu mengatasi dan menyelesaikan masalah atau konflik yang timbul dalam lingkungan sosialnya. Terbentuknya kemampuan sosial ini tidak terlepas dari pengaruh nilai- nilai yang bersumber dari sosial budaya yang berlaku dan telah terinternalisasi dalam diri mereka walaupun bersifat apa adanya, artinya kemampuan sosial timbul karena perkembangan inidividu dalam tatanan sosialnya yang terbentuk karena hubungan antarpribadi, hubungan antarkelompok, atau nilai-nilai sosial dan pranata-pranata. Hal ini, kemudian, mendorong dan menjadi modal petani untuk membangun keharmonisan dalam mengelola hutan kemiri. Rakhmat 2002 dan Sarwono 2002 mengemukakan bahwa proses belajar melalui interaksi dan hubungan sosial dapat melahirkan motif sosiogenik pada diri inidvidu yang berperan membentuk perilaku sosial. Motif sosiogenik adalah dorongan dari dalam diri untuk bertindak sebagai akibat atau adanya pengaruh orang laing. Hal ini berarti kemampuan yang terbentuk melalui proses belajar sosial di antara petani, secara psikologis, dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. 176 Dipertegas oleh Robert Zajonc dalam Sarwono 2005 bahwa keberadaan dan keterhubungan dengan orang lain interaksi sosial juga dapat melahirkan fasilitasi sosial. Fasilitasi sosial merupakan suatu keadaan yang mendorong seseorang untuk meningkatkan intensitas perilakunya sebagai akibat adanya kehadiran orang lain atau interaksi sosial. Situasi ini sejalan dengan konsep experiental learning sebagaimana dikemukakan oleh Walter dan Marks 1981 bahwa pada situasi sosial dimana di dalamnya terdapat interaksi sosial dapat menginisiasi dan menstimulasi timbulnya keinginan dalam diri seseorang untuk berkembang, berubah dan maju. Ditegaskan oleh keduanya bahwa keberadaan orang lain fellow participants merupakan suatu situasi experiental learning yang dapat memfasilitasi terjadinya perubahan, karena setiap individu dalam situasi tersebut akan saling memfasilitasi melalui pemberian rasa aman dan dukungan sebagai akibat kebersamaan mereka dalam situasi tersebut. Petani tetap ingin terlibat dalam mengelola hutan kemiri, karena petani yakin dan percaya bahwa dengan adanya kebersamaan di antara mereka maka hutan kemiri mampu dikelola dengan baik, dan selama ini telah terbukti bahwa para petani sekitar hutan kemiri mampu menciptakan keharmonisan sosial dalam mengelola hutan kemiri yang merupakan bentuk implikasi dari kemampuan sosial yang dimilikinya. Indikator berikutnya yang berpotensi mempengaruhi tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri adalah kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri. Semakin tinggi tingkat kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri maka akan semakin meningkatkan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola huan kemiri. Berdasarkan temuan penelitian, dengan demikian, kemampuan manajerial merupakan sumberdaya intrinsik petani yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk kemajuan, perbaikan dan keberhasilan pengelolaan hutan kemiri. Keberadaan kebun kemiri rakyat yang menyerupai hutan merupakan manifestasi dari kemampuan manajerial petani dalam mengelola usahataninya. Petani sekitar hutan kemiri, dengan demikian, telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen, walaupun bersifat apa adanya, dalam menjalankan usahataninya, sebagaimana dikemukakan Lionberger dan Gwin 1982 bahwa pada hakekatnya 177 petani pedesaan telah memiliki kemampuan atau kecakapan manajerial dalam menjalankan usahataninya, yang berbeda-beda antara satu petani dengan petani lainnya. Petani dengan kemampuan manajerial di atas rata-rata petani lainnya akan menjalankan usahataninya dengan lebih baik. Fakta penelitian menunjukkan bahwa indikator kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri berada dalam kategori rendah, sedangkan dua indikator lainnya yaitu kemampuan teknis dan kemampuan sosial berada dalam kategori sedang. Rendahnya kemampuan manajerial petani disebabkan karena pengelolaan hutan kemiri masih dilaksanakan petani dengan manajemen apa adanya, artinya tidak dilakukan dengan kecermatan dan perhitungan sebagaimana manajemen modern yang dilakukan secara tertulis dan sistematis, namun demikian secara prinsip petani telah melakukan tahapan manajemen pengelolaan hutan yang memadai yaitu merencanakan, mengatur, menggerakkan tenaga kerja, melaksanakan dan mengawasi serta mengevaluasi usahataninya berdasarkan kebiasaan, pengetahuan dan kearifan lokal yang mereka miliki. Implikasinya bahwa perlu peningkatan kemampuan manajerial petani dalam mengelola hutan kemiri. Faktor-faktor lain yang dikaji dalam penelitian ini yaitu intensitas peran penyuluh kehutanan, tingkat kekosmopolitan, dukungan lingkungan sosial budaya, dan karakterisitik individu, berdasarkan temuan penelitian Gambar 7, memberikan pengaruh tidak langsung terhadap motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Keempat faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri melalui kontribusinya pada tingkat kemampuan petani. Semakin tinggi keempat faktor tersebut memberikan kontribusi pada peningkatan kemampuan petani sekitar hutan kemiri maka akan semakin meningkatkan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri. Intensitas peran penyuluh kehutanan merupakan faktor yang berpotensi memiliki pengaruh paling besar terhadap peningkatan motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri melalui kontribusinya pada tingkat kemampuan petani. Temuan ini, dengan demikian, menjelaskan bahwa semakin intensif penyuluh kehutanan menjalankan perannya maka, secara langsung, akan 178 semakin meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri. Seiring dengan meningkatnya kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri, maka motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan juga akan meningkat. Hal ini terjadi karena semakin meningkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri maka petani akan semakin percaya diri dan akhirnya terdorong untuk terlibat dalam pengelolalaan hutan kemiri. Intensitas peran penyuluh kehutanan, dengan demikian, memiliki pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan motivasi petani untuk terlibat dalam pengelolaan hutan kemiri.

2. KesempatanPeluang