165 adalah setiap penyuluh tersebut bersifat poliven atau terjadi rangkap peran. Bila
ditinjau dari bidang yang ditangani, penyuluh yang ada di tiga kecamatan tersebut melakukan multiperan, dalam arti penyuluh yang ada sekarang ini merangkap
sebagai penyuluh pertanian, perkebunan, dan juga kehutanan, padahal spesialisasi yang mereka miliki pada umumnya adalah di bidang pertanian. Penyuluh dengan
spesialisasi sarjana kehutanan di Kecamatan Mallawa hanya dua orang, di Kecamatan Camba tidak ada penyuluh dengan spesialisasi kehutanan karena dua
tahun lalu telah pensiun, dan hanya satu penyuluh kehutanan di Kecamatan Mallawa yang juga hampir memasuki usia pensiun.
2. Tingkat kekosmopolitan petani
Faktor kedua yang berpengaruh terhadap tingkat kemampuan petani
sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri adalah tingkat kekosmopolitan petani yang direfleksikan atau dicirikan oleh sebuah indikator yaitu aksesibilitas petani
terhadap informasi pengelolaan hutan kemiri. Semakin luas akses petani terhadap berbagai informasi pengelolaan hutan kemiri, maka akan semakin meningkat
kemampuannya dalam mengelola hutan kemiri. Petani yang memiliki akses luas terhadap berbagai sumber informasi akan memiliki informasi yang lebih banyak,
implikasinya pengetahuan dan wawasan mereka lebih luas, sikap mereka akan lebih baik, dan keterampilan mereka akan bertambah baik. Informasi yang
diperoleh bisa dalam bentuk inovasi atau teknologi pengelolaan hutan yang bermanfaat dan menguntungkan bagi kepentingan usahatani kemiri. Seperti
kesimpulan Pambudy 1999 bahwa keterbukaan terhadap informasi peternakan berhubungan nyata dengan perilaku para peternak.
Fakta penelitian menunjukkan bahwa tingkat aksesisibilitas petani terhadap informasi pengelolaan hutan sebagai refleksi tingkat kekosmopolitan
petani adalah rendah. Rendahnya aksesibilitas informasi merupakan akibat dari tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah sehingga kurang tertarik pada
hal-hal yang bersifat inovasi, terlebih lagi pada tanaman kemiri yang bagi mereka sudah menurun produktivitasnya serta terbatasnya akses untuk mengelola hutan
kemiri. Selain itu, ketersediaan literatur-literatur atau informasi dan inovasi yang terkait dengan pengelolaan hutan kemiri sangat terbatas.
166
3. Dukungan Lingkungan Sosial Budaya
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap tingkat kemampuan petani
sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri adalah dukungan lingkungan sosial budaya, yang direfleksikan oleh dua indikatornya yaitu:
a dukungan kearifan lokal; dan b dukungan tokoh masyarakat.
Hal ini berarti bahwa semakin tinggi dukungan lingkungan sosial budaya maka akan semakin meningkatkan kemampuan petani sekitar hutan dalam
mengelola hutan kemiri. Temuan ini sejalan dengan pendapat Delgado dalam Rakhmat 2002 yang menyatakan bahwa respons otak dan perilaku individu
dipengaruhi oleh setting atau suasana yang melingkupi individu tersebut, begitu pula dengan Santosa 2004 menyimpulkan bahwa lingkungan sosial memiliki
pengaruh besar terhadap perilaku adaptif petani tepian hutan. Utama 2010 mengemukakan bahwa dukungan lingkungan merupakan kekuatan dan kualitas
dari luar diri petani hutan yang secara langsung mempengaruhi tingkat keberdayaan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan.
Indikator dari dukungan lingkungan sosial budaya yang paling berpotensi mempengaruhi tingkat kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan
kemiri adalah dukungan kearifan lokal. Kearifan lokal, dengan demikian, merupakan kekuatan potensial yang berpengaruh penting pada kemampuan petani
dalam mengelola hutan kemiri secara lestari. Kearifan lokal dalam pengelolaan hutan kemiri merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode
panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Kearifan lokal ini telah
melembaga dan telah menciptakan hubungan yang serasi antara petani dengan hutan kemiri, yang kemudian mendasari praktek pengelolaan hutan kemiri dan
telah menciptakan hubungan yang harmonis di antara petani dalam pengelolaan hutan kemiri.
Praktek pengelolaan hutan kemiri yang dilandasi oleh pengetahuan dan kearifan lokal yang selama ini dilakukan meliputi kegiatan mappamula persiapan
lahan, pengadaan bibit, maddare penanaman, pemeliharaan tanaman, makkampiri pemungutan hasil dan maddepa pengolahan pasca panen
167 kesemuanya secara langsung mempengaruhi terbentuknya kemampuan petani
sekitar hutan kemiri. Nilai-nilai kearifan yang dianut petani sekitar hutan kemiri yang mendukung terciptanya praktek pengelolaan hutan kemiri yang baik, antara
lain reso usaha, anennungeng ketekunan, sipatuwo saling menghidupi dan sipatokkong saling membangun, serta adanya paseng pesan seperti manusia
tercipta dari tanah maka berdosa manusia tersebut jika tidak mau mengolah tanahnya dengan baik iya rupa tauwe ipancajiwi pole ritanae, namadosai
narekko de’ nakkarawa tana, bertani dan mengolah tanah adalah pekerjaan terhormat dan banyak mendapat pahala naiyya jamang pallaorumae sibawa
pakkarawa tanae, iyanaritu jamang mallebi, namaega, appalanna. Fakta penelitian menunjukkan bahwa dukungan kearifan lokal dalam
mengelola hutan kemiri berada dalam kategori sedang. Kearifan lokal dalam mengelola hutan kemiri rakyat, dengan demikian, perlu untuk dipertahankan
eksistensinya bahkan ditingkatkan fungsinya karena memberikan pengaruh positif terhadap tingkat kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri
secara lestari. Santoso 2008 mengemukakan masyarakat lokal memiliki hak untuk mengelola hutan berdasarkan kearifan yang mereka miliki sepanjang
kearifan tersebut memenuhi azas kelestarian hutan. Pada saat ini, walaupun sebagian besar petani masih mempertahankannya,
namun pada kenyataannya telah terjadi pergeseran atau memudarnya sebagian nilai kearifan lokal sebagai akibat dari perkembangan kehidupan sosial
masyarakat dan masuknya orang luar yang tidak memiliki hubungan emosional dengan nilai-nilai tersebut ke dalam masyarakat petani sekitar hutan kemiri
melalui proses pernikahan dengan penduduk setempat, sehingga pada saat ini tidak semua petani sekitar hutan meyakini kesakralan atau kekuatan supranatural
hompong. Kegiatan mabbali dan makkalice juga sudah mulai hilang, karena rendahnya produktivitas kemiri. Maddepa yang sebelumnya merupakan refleksi
ciri kegotongroyongan dimana sistim bagi hasil tidak terikat oleh aturan besarnya jasa, pada saat ini karena tuntutan kebutuhan hidup cenderung bergeser kepada
sistim pengupahan berdasarkan besarnya kontribusi jasa. Terbatasnya akses petani untuk mengelola hutan juga turut memberikan
kontribusi memudarnya kearifan lokal dalam praktek pengelolaan hutan, antara
168 lain nilai yang mengatur petani untuk melakukan peremajaan tanaman kemiri
mallolo, yang pada hakikatnya merupakan operasionalisasi fungsi rehabilitasi dan konservasi, sudah tidak lagi dilaksanakan.
Indikator dukungan lingkungan sosial budaya berikutnya yang berpotensi mempengaruhi tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri adalah
dukungan tokoh masyarakat. Temuan ini sejalan dengan pendapat Rogers dan Shoemaker yang disarikan oleh Hanafie 1986 bahwa tokoh masyarakat
memainkan peranan penting dalam mempengaruhi perilaku orang lain. Tokoh masyarakat memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain untuk bertindak
dalam cara-cara tertentu. Demikian pula, penelitian Waskito 2000 yang mengungkapkan bahwa tokoh masyarakat di Desa Gunungsari Kabupaten
Boyolali telah berhasil mengajak masyarakat untuk belajar bersama dan membangun hutan rakyat. Dengan demikian,peran tokoh masyarakat perlu
mendapat perhatian dalam upaya meningkatkan kemampuan dan memotivasi petani sekitar hutan untuk melestarikan hutan kemiri.
Tokoh masyarakat di lokasi penelitian, meliputi kepala desa, kepala dusun, dan sanro dukunorang pintar, serta beberapa orang lainnya yang
dianggap oleh petani sekitar hutan memiliki pengaruh, staus sosial dan kharisma kewibawaan serta memiliki pola pikir dan wawasan yang lebih luas dalam
memandang kehidupan. Status sebagai tokoh masyarakat, mengakibatkan tokoh masyarakat bagaikan pusat informasi karena berada ditengah-tengah jaringan
kontak dengan berbagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap upaya pembangunan dan pengembangan masyarakat, termasuk upaya pembangunan
kehutanan. Sebagian besar tokoh masyarakat tersebut adalah orang yang lebih
kosmopolit dan lebih banyak mengkomunikasikan informasi ke luar yang oleh masyarakat kurang mampu dilakukan, serta lebih banyak menerima informasi
dari luar yang oleh masyarakatnya jarang diperoleh. Kepemilikan informasi dan kemampuan kemudian disebarkan dan ditularkan kepada masyarakat.Tokoh
masyarakat sekitar hutan kemiri terkadang memberikan informasi dan membantu petani memecahkan persoalan yang terkait dengan pengelolaan kemiri, sehingga
pengetahuan petani dalam hal pengelolaan hutan kemiri secara lestari bertambah.
169 Fakta penelitian menunjukkan dukungan tokoh masyarakat terhadap petani
untuk mengelola hutan kemiri tergolong rendah. Rendahnya dukungan tokoh masyarakat karena pada hakekatnya mereka adalah bagian dari masyarakat petani
sekitar hutan sehingga merasakan hal yang sama dengan petani lainnya, yaitu tidak memiliki akses ke dalam hutan untuk mengelola hutan kemiri. Tokoh
masyarakat, sama dengan petani lainnya, hanya diberikan hak untuk mengakses hutan kemiri dalam bentuk pemungutan buah, sehingga perhatian mereka terhadap
upaya pengelolaan hutan kemiri juga rendah. Tokoh masyarakat juga mengalami ketidakpastian hak atas kepemilikan tanaman kemirinya yang berada dalam
kawasan hutan. Tokoh masyarakat juga mengalami dilema karena sebagai tokoh masyarakat mereka dituntut oleh pemerintah agar mampu mengajak dan
membawa masyarakatnya petani untuk tidak melakukan kegiatan pengelolaan hutan kemiri.
4. Karakteristik Individu