Hubungan Ketinggian Dan Kelerengan Dengan Tingkat Kerapatan Vegetasi Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Gunung Leuser

(1)

HUBUNGAN KETINGGIAN DAN KELERENGAN DENGAN

TINGKAT KERAPATAN VEGETASI MENGGUNAKAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER

HASIL PENELITIAN

Oleh :

ZEIHAN EL AQSAR

051201023/ MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Hubungan Ketinggian Dan Kelerengan dengan Tingkat

Kerapatan Vegetasi Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Gunung Leuser

Nama : Zeihan El Aqsar

NIM : 051201023

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh Komisi Dosen Pembimbing

Ketua Anggota

Pindi Patana, S.Hut.,M.Sc

NIP. 19750525 2000031 001 NIP. 19750203 2000031 003

Achmad Siddik Thoha S. Hut., M.Si

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan

NIP. 19641228 200012 1001 Dr.Ir. Edy Batara Mulya Siregar,MS


(3)

ABSTRACT

ZEIHAN EL AQSAR. Hubungan Ketinggian dan Kelerengan dengan Tingkat Kerapatan Vegetasi Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Taman Nasional Gunung Leuser. Dibimbing oleh PINDI PATANA, S.Hut, M.Sc dan Achmad Siddik Thoha, S.Hut, M.Si.

The Gunung Leuser National Park is a protected forest area and have important function in taking care of ekosistem and biodiversity. This area have the variety of type of fauna and flora and have the hilly forest condition and have ramp > 40%. Application of Geographic Information System is expected can improve continuation of management of forest area in this case research is to seenly relation of height and ramp with the closeness vegetation by using Digital Elevation Model (DEM) in area of forest Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan and Area of Ekosistem Leuser. From processing data result is can obtained that topography predominating in research region is area which be at height 300 – 700 m broadly is 22.343,725 ha, for the inclination of farm most its topography region very steep with the inclination gratuity > 40 % and broadly is 41.885,443 ha, and assess the index vegetation predominating in research region is vegetation indeks that class 0,537 - 0,646 by vegetation close for the width of 39.328,19 ha. For the relation of between place height with the closeness vegetasi obtained by a enough lower correlation that is 0,612 and have sign to positiifity (+) what its meaning that is contrary instruct so that excelsior of place height hence mount the downhill closeness vegetasi progressively and relation of between ramp with the closeness vegetation obtained rather low low that is 0,403 with the correlation coefficient of have sign to positifity (+) what its meaning is one way relation so that if ever greater ramp hence mount the closeness of vegetationi excelsior.

Keyword: Height and Ramp, Vegetation Indeks, Relation of Between Height and Ramp


(4)

ABSTRAK

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan hutan lindung dan mempunyai fungsi penting dalam menjaga ekosistem dan biodiversity. kawasan ini mempunyai keanekaragaman jenis flora dan fauna dan mempunyai kondisi hutan yang berbukit dan berkelerengan> 40%. Aplikasi Sistem Informasi Geografis diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan pengeloalaan kawasan hutan dalam hal ini penelitian dilakukan untuk melihat hubugan antara ketinggian dan kelerengan dengan kerapatan vegetasi dengan menggunakan Digital Elevation Model (DEM) dikawasan hutan Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser. Dari hasil pengolahan data dapat diperoleh bahwa Topografi yang mendominasi di wilayah penelitian adalah daerah yang berada pada ketinggian 300 – 700 dengan luas 22.343,725 ha. , untuk kemiringan lahan sebagian besar wilayah topografinya sangat curam dengan persen kemiringan > 40 % seluas 41.885,443 ha, dan nilai indeks vegetasi yang mendominasi pada wilayah penelitian adalah kelas NDVI 0,537 – 0,646 dengan vegetasi rapat seluas 39.328,19 ha. Untuk hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan vegetasi diperoleh korelasi yang cukup rendah yaitu 0,612 dan bertanda negatif (+) yang artinya satu arah sehingga semakin tinggi ketinggian tempat maka tingkat kerapatan vegetasi semakin besar dan hubungan antara kelerengan dengan kerapatan vegetasi diperoleh agak rendah yaitu 0,403 dengan koefisien korelasi bertanda positf (+) yang artinya hubungan satu arah sehingga jika kelerengan semakin besar maka tingkat kerapatan vegetasi semakin tinggi.

Kata Kunci: Ketinggian dan Kelerengan, Indeks Vegetasi, Hubugan Antara Ketinggian dan Kelerengan


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Zeihan El Aqsar, dilahirkan di Medan pada tanggal 4 Maret 1986 dari orangtua Bapak M. Amri Yara dan Ibu Rohani. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari Sekolah Dasar Swasta Free Methodis-2 Medan, pada tahun 2001 penulis lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Free Methodis-2 Medan. Pada tahun 2004 penulis lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 12 Medan dan pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Program Studi Manajemen Hutan, Departemen kehutanan, Fakultaas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS)–USU sebagai anggota dan menjadi anggota Badan Kenaziran Mushalla (BKM) Baitul Asjjar Departemen Kehutanan USU di bidang dakwah.

Penulis juga telah melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di KPH Bandung Utara Unit III Jawa Barat dan Banten, Propinsi Jawa Barat selama 2 (dua) bulan yaitu sejak 12 Januari sampai dengan 12 Maret 2009.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai sebagai mana mestinya. Skripsi ini berjudul ”Hubungan

Ketinggian dan Kelerengan dengan Tingkat Kerapatan Vegetasi Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Taman Nasional Gunung Leuser“. Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Kehutanan di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan Skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan dalam menyelesaikan Skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Muhammad Amri Yara dan Rohani selaku kedua orangtua tercinta yang telah memberikan semangat, bimbingan dan dorongan selama hidup dan selama mengikuti perkuliahan di Kehutanan USU.

2. Bapak Pindi Patana, S.Hut, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing (Dosen Pembimbing I).

3. Bapak Achmad Siddik Thoha S.Hut, M.Si selaku Anggota Komisi


(7)

4. Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku Ketua Departemen Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

5. Staf pengajar dan para pegawai di Departemen Kehutanan USU.

6. Flora And Fauna Internacional (FFI) yang telah memberikan dukungan

dan bimbingan selama penelitian.

7. Corespondence And Response Unit (CRU) Tangkahan yang telah

memberikan dukungan dan bimbingan selama di lapangan.

8. Ranger Bang Sufriyanto dan Bang Ucok yang telah memberikan arahan

dan bimbingan selama di lapangan.

9. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH)-II Medan dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) yang telah memberikan bantuan dan informasi selama penelitian.

10.Para sahabatku yang terbaik yaitu Revina Febriani, Julia Rahmi, Lastria Variesta, Najmi Khairiah, Kakanda Iros, Kakanda Mondang yang telah memberikan semangat dan bantuan selama ini.

11.Kepada semua pihak dan temen-teman Kehutanan USU yang telah membantu dalam penyelesaian Skripsi ini yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu

Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya atas jasa-jasa yang telah diberikan kepada penulis. Akhirnya penulis ucapkan semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Kehutanan ke depan.

Medan, Agustus 2009


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... .. iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... . vi

DAFTAR LAMPIRAN ... . vii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

Perumusan Masalah ... 3

Kerangka Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Taman Nasional ... 5

Taman Nasional Gunung Leuser ... 7

Klasifikasi Tipe Hutan ... 8

Jenis Flora Berdasarkan Iklim dan Ketinggian Tempat ... 9

Sistem Informasi Geografis ... 11

Penginderaan Jauh... 11

Citra Landsat TM 7 ... 12

Interpretasi Citra Digital ... 13

Indeks Vegetasi... 14

Digital Elevation Model ... 15

Peta Ketinggian Lahan ... 16

METODE PENELITIAN ... .... 17

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17

Bahan dan Alat ... 17

Metodologi ... 17

Pengumpulan data ... 17

Analisis data ... 18

Proses Pembuatan Peta NDVI ... 19

Pembuatan Peta Ketinggian dan Kelerengan dari DEM ... 21

Overlay ... 22

Analisis Hubungan Ketinggian Tempat dengan Tingkat Kerapatan Vegetasi ... 22


(9)

Kerangka Pemikiran ... 24

KONDISI UMUM PENELITIAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ketinggian Tempat... ... 25

Kemiringan Lahan ... ... 27

Indeks Vegetasi………... 30

Hubungan Ketinggian Tempat dengan Kerapatan Vegetasi ... 33

Hubugan Kelerengan dengan Kerapatan Vegetasi... 33

Uji Korelasi……….. 35

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan. ... ... 41

Saran ... ... 41

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kisaran Tingkat Kerapata Berdasarkan NDVI Menggunakan

Data Landsat TM ... 37

Tabel 2. Hubungan Ketinggian Tempat dan Kerapatan Vegetasi... 39

Tabel 3. Interpretasi dari Nilai r ... 40

Tabel 4. Kelas Ketinggian Wilayah Penelitian ... 47

Tabel 5. Klasifikasi Tipe Hutan Berdasarkan Ketinggian Tempat ... 48

Tabel 6. Kelas Kemiringan Wilayah Penelitian ... 49

Tabel 7. Kisaran Nilai NDVI Wilayah Penelitian ... 53

Tabel 8. Sebaran Nilai NDVI Pada Tiap Kelas Ketinggian ... 56

Tabel 9. Sebaran Nilai NDVI Pada Tiap Kelas Kelerengan ... 57

Tabel 10.Analisis Korelasi Ketinggian Tempat dan NDVI ... 58

Tabel 11. Kriteria Kelas Lereng Kawasan Hutan Lindung ... 59


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Ketinggian Tempat Resot Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser... 27 Gambar 2. Peta Kelerengan Resot Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan

Kawasan Ekosistem Leuser ... 28 Gambar 3. Peta Nilai Indeks Vegetasi Resot Tangkahan, Cinta Raja, Sei


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hubungan antara Ketinggian Tempat dan NDVI... 65 Lampiran 2. Hubungan antara Kelerengan dan NDVI... 67


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang mempunyai fungsi dan peranan sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ditetapkan sebagai kawasan strategis karena kawasan penyangga ini memiliki peranan yang sangat besar dalam melindungi dan memberikan penyangga bagi wilayah disekitarnya yang kaya akan keanekaragaman hayati dan juga merupakan habitat penting bagi flora dan fauna karena kawasan ini memiliki peranan yang sangat besar dalam melindungi dan memberikan jasa lingkungan kepada wilayah disekitarnya. Aspek perlindungan yang selama ini diberikan oleh kawasan penyangga tersebut antara lain meliputi perlindungan hidrologis, perlindungan ekosistem unik dan flora, fauna langka serta pengawetan hutan, tanah dan air (Ahmad, 1999).

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan hutan tropis yang kaya keanekaragaman hayati. Kawasan ini juga mempunyai keanekaragaman jenis flora dan fauna. Menurut Sembiring (2005), TNGL memiliki berbagai ekosistem yang lengkap mulai dari ekositem pantai, dataran rendah, rawa, dataran tinggi, dan pegunungan. Oleh karena itu TNGL merupakan kawasan konservasi dengan berbagai keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan kawasan hutan lindung dan mempunyai fungsi penting dalam menjaga ekosistem dan biodiversiti. Sebagian besar lahan pada TNGL mempunyai keadaan berbukit dan bergunung dengan


(14)

kelerengan > 40%. Menurut PP No. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyebutkan bahwa kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 persen atau lebih dan berada pada ketinggian 2000 meter atau lebih di atas permukaan laut dinyatakan sebagai kawasan lindung yang harus tetap dijaga keberadaannya sebagai penyangga dan penyedia jasa lingkungan bagi kawasan bawahnya.

Sehingga diharapkan dapat mempertahankan fungsi-fungsi ekologis seperti menjaga keanekaragaman hayati, perlindungan sumber air dan juga populasi satwa dan dapat menjamin keberlangsungan hidup dan terpeliharanya lingkungan habitat yang baik dalam ekosistem..

Dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis penelitian ini dilakukan untuk melihat faktor fisik kawasan seperti ketinggian dan kelerengan dan menghubungkannya dengan kerapatan vegetasi yang ada di lokasi penelitian

dengan menggunakan Digital Elevation Model (DEM) yang dapat

menggambarkan bentuk topografi permukaan bumi dan secara akurat dapat memetakan ketinggian tempat dari permukaan bumi (Manalu dan Pramono, 2005). Sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan terhadap kegiatan pengelolaan kawasan pelestarian hutan Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser di Taman Nasional Gunung Leuser.


(15)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan kondisi fisik kawasan yaitu ketinggian dan kelerengan di kawasan hutan Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser.

2. Menentukan hubungan ketinggian dan kelerengan dengan tingkat kerapatan vegetasi di kawasan hutan Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai hubungan antara ketinggian dan kelerengan dengan tingkat kerapatan vegetasi yang terdapat di kawasan hutan Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser.

2. Merupakan bahan kajian dalam mendukung pengembangan aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam menyediakan data terhadap kegiatan pengelolaan hutan Taman Nasional Gunung Leuser .

Perumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan antara ketinggian dan kelerengan dengan kerapatan vegetasi menggunakan Sistem Informasi Geografis.

2. Bagaimana peta informasi ketinggian, kelerengan dan kerapatan vegetasi yang akan melengkapi data sebagai informasi dalam pengembangan pengelolaan dan pelestarian bagi kawasan taman nasional.


(16)

Kerangka Penelitian

Kebutuhan data

Potensi

Peta Informasi Ketinggian, Kelerengan dan NDVI

Kerapatan

GIS Ketinggian/Kelerengan

Peta NDVI Peta Ketinggian/

Peta Kelerengan

Satwa Vegetasi


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional

Kawasan Taman Nasional mempunyai beberapa karakteristik khas yang berbeda dengan kawasan konservasi lain, khususnya dalam hal luas areal. Karenanya, taman nasional sering mencakup beberapa ekosistem yang rata-rata merupakan kawasan hidupan liar yaitu kawasan yang relative belum terjamah manusia, baik berupa hutan primer, hutan sekunder, semak belukar, padang rumput, pesisr pantai, laut atau daerah gunung. Kawasan-kawasan yang relative masih alami ini hendaknya dapat dikelola secara baik agar kondisi alamnya tetap seperti sedia kala, sehingga satwa liar yang ada di dalamnya tetap dapat bertahan hidup dan mampu berkembang biak dengan baik. Ada lima karakteristik umum Taman Nasional yaitu:

1. Areal Taman Nasional harus cukup luas.

2. Taman Nasional harus mengandung isi yang istimewa, dimana jenis-jenis vegetasi dan binatangnya, habitat dan letak geomorfologinya serta keindahan alamnya masih dalam keadaan utuh.

3. Terdapat sistem penjagaan dan perlindungan yang efektif, dimana satu atau beberapa ekosistem secara fisik tidak berubah karena adanya eksploitasi dan pemukiman manusia.

3. Kebijakan dan manajemen dipegang oleh badan pemerintah pusat yang mempunyai kompetensi sepenuhnya, yang harus segera mengambil langkah-langkah pencegahan atau meniadakan semua bentuk gangguan atau pengrusakan terhadap ekosistem dan isi taman nasional.


(18)

4. Kemungkinan pengembangan pariwisata, dimana para pengunjung diperkenankan memasuki taman nasional dengan persyaratan-persyaratan khusus untuk kepentingan mencari inspirasi, pendidikan, kebudayaan, dan rekreasi (Wiratno dkk, 2004)

Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang mempunyai fungsi dan peranan paling lengkap jika dibandingkan dengan kawasan konservasi lainnya. Taman Nasional mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistem, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Guna menjabarkan ketiga fungsi tersebut, pengelolaan taman nasional dilaksanakan menurut zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan fungsi dan kondisinya. Hal inilah yang membedakan sistem pengelolaan taman nasional dengan pengelolaan kawasan konservasi lainnya. Taman Nasional dapat dianggap sebagai monumen hidup yang menggambarkan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam, sehingga perlu adanya kepedulian dan peran aktif masyarakat luas dalam pengelolaannya. Keberadaan taman nasional tersebut belum sepenuhnya dapat berfungsi dengan baik dan optimal. Untuk itu harus diu payakan pendayagunaan seluruh potensi jasa lingkungan dan optimalisasi fungsi taman nasional, dengan tetap memperhatikan dan memegang teguh prinsip untuk menjaga dan memelihara kepentingan fungsi utama konservasi alam dan keseimbangan lingkungan, serta peningkatan kepedulian dan kesadaran konservasi alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Melalui upaya tersebut diharapkan potensi dan fungsi taman nasional dapat ditingkatkan dan dapat lebih berperan dalam pembangunan daerah, pelestarian lingkungan hidup,


(19)

dan pengamanan aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar kawasan taman nasional (Suratri, 1998).

Istilah Taman Nasional telah berkembang di jajaran Direktorat PPA, hingga pada tahun 1977 lembaga itu memunculkan kriteria taman nasional dengan definisi yang persis sama dengan kesepakatan IUCN tahun 1969. Taman Nasional menurut definisi tersebut merupakan kawasan pelestarian alam yang luas, baik di darat maupun di laut, yang di dalamnya terdapat satu atau lebih ekosistem alam yang utuh tidak terganggu terdapat jenis-jenis tumbuhan atau satwa beserta habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, rekreasi dan pariwisata, panorama yang menonjol dimana masyarakat diperbolehkan masuk ke dalam kawasan untuk berbagai kepentingan tersebut. Berdasarkan kriteria IUCN dan Direktorat PPA tersebut, di Indonesia terdapat minimum tujuh suaka alam yang berpotensi untuk ditunjuk dan ditetapkan sebagai taman nasional, yaitu Cagar Alam Ujung Kulon, Suaka Margasatwa Baluran, Cagar Aslam Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Meru Betiri dan Kutai, Suaka Margasatwa Komodo, serta Cagar Alam Gunung Lorentz. Dari ketujuh calon taman nasional tersebut, Menteri Pertanian mendeklarasikan lima taman nasional yang pertama pada tahun 1980 dengan luas total 1.430.948 ha, yaitu Taman Nasional (TN) Gunung Leuser seluas 1.094.692 ha di DI Aceh dan Sumatera Utara, TN Gunung Gede-Pangrango seluas 15.000 ha di Jawa Barat, TN Ujung Kulon seluas 122.956 ha di Jawa Barat, TN Baluran seluas 25.000 ha di Jawa Timur serta Taman Nasional Komodo seluas 173.300 ha di Flores, Nusa Tenggata Timur (Wiratno dkk, 2004).


(20)

Taman Nasional Gunung Leuser

Dinyatakan sebagai Taman Nasional oleh SK Menteri Pertanian, tahun 1980 dengan luas 792.675 ha. Selanjutnya dinyatakan oleh SK Menteri Kehutanan N0. 276/Kpts-VI/1997 dengan luas 1.094.692 ha. Terletak di Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi D.I. Aceh dengan temperatur udara antara 21°-28°C. Dengan curah hujan 2000-3.200 mm/tahun, dan berada pada ketinggian tempat 0-3.381 m dpl (Departemen Kehutanan, 2007).

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan pantai, dan hutan hujan tropika dataran rendah sampai pegunungan. Kawasan terdiri dari hutan pantai/rawa, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi dan pegunungan yang sebagian besar kawasan didominir oleh ekosistem hutan Dipterocarpaceae dengan flora langka khas Raflesia atjehensis dan

Johanesteinimania altifrons (pohon payung raksasa) dan Rizanthes zippelnii,

bunga terbesar, langka dan dilindungi dengan diamater 1,5 meter. Taman Nasional Gunung Leuser juga kaya akan jenis fauna mulai dari Mamalia dan Primata, Carnivora, Herbivora, Aves, Reptil, Amphibi, Pisces dan Invertebrata. Untuk jenis mamalia dan Primata Taman Nasional Gunung Leuser memiliki 130 jenis mamalia atau sepertiga puluh dua dari keseluruhan jenis mamalia yang ada di dunia atau seperempat dari seluruh jumlah jenis mamalia yang ada di Indonesia. Seperti Mawasa (Pongo pygmaeus abelii), Sarudung (Hylobates lar), Siamang (Hylobates syndactilus), Kera (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestriana) dan Kedih (Presbytis thomasi). Untuk jenis satwa karnivora seperti Macan dahan (Neofelis nebulosa), Beruang (Helarctos


(21)

herbivora seperti Gajah (Elephas maximus), Badak Sumatera (Dicerorhinus

sumatraensisi), Rusa (Cervus unicolor) (Departemen Kehutanan, 2007).

Taman Nasional Gunung Leuser memiliki penyebaran vegetasi yang lengkap, mulai dari vegetasi hutan pantai/rawa, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi dan hutan pegunungan. Vegetasi dominan adalah hutan tropis basah. Van Steenis membagi wilayah tumbuh-tumbuhan taman nasional ini atas 3 (tiga) zona, yaitu

- Zona Tropika (500-1.000 m dpl) merupakan daerah berhutan lebat yang ditumbuhi berbagai jenis tegakan yang berdiameter besar yang tingginya bisa mencapai 40 meter, serta berbagai jenis liana dan epifit yang menarik seperti anggrek.

- Zona Montane (1.000-1.500 m dpl) merupakan hutan montane dengan tegakan kayu yang tidak terlalu tinggi, yaitu berkisar antara 10– 20 m, banyak dijumpai lumut yang menutupi tegakan kayu atau pohon, dengan kelembaban udara yang tinggi.

- Zona Sub Alpine (2.900-4.200 m dpl) merupakan zona hutan ercacoid yang tidak berpohon lagi, dimana vegetasinya merupakan campuran dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut (Ditjen PHKA, 2008).

Klasifikasi Tipe Hutan

Menurut Departemen Kehutanan (2003) dalam Onrizal (2005) klasifikasi tipe hutan di Indonesia didasarkan kepada keadaan iklim, edafis, dan komposisi tegakan. Tipe hutan yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh faktor iklim


(22)

disebut formasi klimatis dan formasi hutan yang pembentukannya sangat dipengaruhi faktor edafis disebut formasi edafis. Tipe hutan yang termasuk di dalam formasi klimatis adalah hutan hujan, hutan musim dan hutan gambut. Pembagian tipe hutan formasi klimatis sebagai berikut:

1. Hutan hujan, yaitu:

- Hutan hujan bawah (0-1000 m dpl) dengan jenis pohon dominan adalah famili

Dipterocarpaceae, Agathis, Ficus, Castanopsos, Palaquium spp., Pomatia pinnata, Diospyros spp.

- Hutan hujan tengah (1000-3300 m dpl) dengan jenis dominan Quercus,

Castanopsis, Nothofagus, dan jenis-jenis dari famili Magnoliaceae, Pinus merkusii, Albizia Montana, Casuarina, Trema, Podocarpus imbricartus.

- Hutan hujan atas (3300-4100 m dpl) dengan jenis pohon Dacrydium,

Podocarpus, Phyllocladus, Syzyzium, dan Calophyllum.

2. Hutan musim, yaitu:

- Hutan musim bawah (0-1000 m dpl) dengan jenis pohon Tectona grandis,

Acacia leucophlea, Albizia chinensis, Eucalyptus, Santalum album.

- Hutan musim tengah-atas (1000-4100 m dpl) dengan jenis pohon Casuarina

junghuhniana, Pinus merkusii, dan Eucalyptus.

3. Hutan gambut dengan jenis Alstonia spp., Dyera spp., Palaquiuadus, Eugenia, spp., dan Gonystylus spp.

Sedangkan untuk formasi hutan edafis tipe hutannya adalah hutan rawa, hutan mangrove dan hutan pantai dengan pembagiannya yaitu:


(23)

1. Hutan rawa dengan jenis pohon Xylopia spp., Palaquium leucarpus,

Campnosmerma macrophylla, Garcinia spp., Canarium spp., Koompassia spp.,

dan Callophyllum spp.

2. Hutan mangrove dengan jenis Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp., Xylocarpus spp., Lumnitzera spp.

3. Hutan pantai dengan jenis Baringtonia speciosa, Terminalia cattapa,

Calophyllum inophyllum, Hibiscus tiliaceus, Casuarina equisetifolia, Pisonia grandis.

Jenis Flora berdasarkan Iklim dan Ketinggian Tempat

Ketinggian tempat mempengaruhi perubahan suhu udara. Semakin tinggi suatu tempat, misalnya pegunungan, semakin rendah suhu udaranya atau udaranya semakin dingin. Semakin rendah daerahnya semakin tinggi suhu udaranya atau udaranya semakin panas. Oleh karena itu ketinggian suatu tempat berpengaruh terhadap suhu suatu wilayah. Perubahan suhu ini tentunya mengakibatkan perbedaan jenis tumbuhan pada wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan ketinggian tempatnya. Maka berdasarkan iklim dan ketinggian tempat, flora di Indonesia terdiri atas:

1. Hutan Hujan Tropik

Indonesia berada di daerah katulistiwa, banyak mendapat sinar matahari, curah hujannya tinggi, dan suhu udaranya tinggi, menyebabkan banyak terdapat hutan hujan tropik. Ciri-ciri hutan ini adalah sangat lebat, selalu hijau sepanjang tahun, tidak mengalami musim gugur, dan jenisnya sangat heterogen. Hutan jenis ini banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Irian Jaya.


(24)

Beberapa jenis floranya misalnya kayu meranti, ulin, dan kapur. Pada pohon-pohon ini hidup menumpang berbagai tumbuhan seperti anggrek dan tumbuhan merambat.dan epifit. Tumbuhan merambat yang terkenal adalah rotan. Hutan ini terdiri dari Hutan Hujan Tanah Kering (ketinggian 1000 - 3000 m dari muka laut) dan Hutan Hujan Tanah Rawa (ketinggian 5 - 100 m dari muka laut). Hutan rawa gambut, hutan mangrove, dan hutan rawa air tawar termasuk dalam jenis hutan hujan tanah rawa. Sedangkan hutan fegaceae, hutan campuran Dipterocarpaceae, dan hutan belukar, termasuk jenis hutan hujan tanah kering.

2. Hutan Musim atau Hutan Meranggas

Hutan ini terdapat di daerah yang suhu udaranya tinggi (terletak pada ketinggian antara 800 - 1200 m dari muka laut). Pohon-pohonnya jarang sehingga sinar matahari sampai ke tanah, tahan kekeringan, dan tingginya sekitar 12 - 35 m. Daunnya selalu gugur pada musim kering/kemarau dan menghijau pada musim hujan. Contohnya pohon jati, kapuk, dan angsana.

3. Hutan Sabana

Sabana adalah padang rumput yang disana sini ditumbuhi pepohonan yang berserakan atau bergerombol. Terdapat di daerah yang mempunyai musim kering lebih panjang dari musim penghujan, seperti di Nusa Tenggara. Terdiri dari hutan sabana dengan pohon-pohon dan palma (900 m dari muka laut) dan hutan sabana casnarina (terletak antara 1600 - 2400 m dari muka laut).

4. Padang rumput

Terdapat pada daerah yang mempunyai musim kering panjang dan musim penghujan pendek, seperti di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Padang rumput dapat terdapat di daerah dengan ketinggian antara 900 - 4000 m di atas permukaan


(25)

laut, seperti misalnya padang rumput tanah, padang rumput pegunungan, komunitas rumput, dan lumut (Anonimus, 2007).

Sistem Informasi Geografis

Dalam dunia sistem informasi terdapat banyak model sistem informasi yang bertujuan akhir memberi berbagai macam informasi. Model sistem informasi juga diharapkan dapat digunakan sebagai alat prediksi kejadian di masa depan dengan mendasarkan pada data yang ada pada masa lalu dan masa sekarang. Dari sekian banyak model system informasi, Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu model system informasi yang benyak digunakan untuk membuat berbagai keputusan, Perencanaan dan analisis (Budiyanto,2004).

Teknologi yang ada saat ini telah berkembang di berbagai bidang, khususnya di bidang komputer grafik, basis data, teknologi informasi, dan teknologi satelit penginderaan jarak jauh. Kondisi seperti ini menjadikan kebutuhan mengenai penyimpanan, analisa dan penyajian data yang berstruktur kompleks dengan jumlah besar semakin mendesak. Dengan demikian, untuk mengelola data yang kompleks ini, diperlukan suatu system informasi yang secara terintegrasi mampu mengolah baik data spasial maupun data atribut secara efektif dan efisien, serta mampu menjawab dengan baik pertanyaan spasial maupun pertanyaan atribut secara simultan (Prahasta, 2005).

Sistem informasi geografis terdiri dari subsistem pemrosesan, subsistem analisis data dan subsistem yang menggunakan informasi. Subsistem pemrosesan data mencakup pengambilan data, input, dan penyimpanan. Subsistem analisis data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan. Subsistem analis data mencakup perbaikan, analisis dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk.


(26)

Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan pada suatu masalah ( Lo, 1996).

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Howard 1996). Sedangkan menurut Lillesand and Kiefer (1990), penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji.

Dalam menginterpretasikan suatu citra dilakukan untuk mengidentifikasi objek yang tergambar dalam citra, dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Sutanto (1986) menjelaskan bahwa interpretasi citra secara manual berdasarkan pada pengenalan ciri (karakteristik) objek secara keruangan (spasial) seperti rona atau warna, bentuk, pola ukuran, letak dan asosiasi kenampakan objek. Dan untuk interpretasi secara digital.

Secara umum penginderaan jauh saat ini diterima tidak hanya terbatas sebagai alat pengumpul data mentah, tetapi pemprosesan data mentah secara manual dan terotomasi, dan analisis citra serta penyajian hasil informasi yang diperoleh. Penginderaan jauh biasanya dibatasi hanya pada penginderaan yang menggunakan spektrum elektromagnetik. Penginderaan jauh tersebut menggunakan enenrgi yang berfungsi sama dengan sifat cahaya, dan tidak hanya


(27)

meliputi spektrum tampak, tetapi juga meliputi spektrum ultraviolet, inframerah dekat, inframerah tengah, infra merah jauh dan gelombang radio (Howard, 1996).

Menurut Lo (1996) menjelaskan bahwa tujuan utama penginderaan jarak jauh ialah mengumpulkan data sumber daya alam dan lingkungan. Informasi tentang objek disampaikan ke pengamat melalui energi elektromagnetik. Yang merupakan pembawa informasi dan sebagai penghubung komunikasi.

Penginderaan jauh di dalam lingkup luas berarti setiap metodologi yang digunakan untuk mempelajari karakteristik objek dari jarak jauh. Teknologi penginderaan jauh telah berkembang dengan paling cepat sejak manusia semakin sadar akan keseimbangan yang layak antara perkembangan sumber daya dan pemeliharaan lingkungan.. Sekarang, penginderaan jauh merupakan cara yang praktis untuk memantau secara berulang dan cermat atau sumber daya bumi secara menyeluruh (Wolf, 1993).

Citra Landsat TM

Landsat merupakan suatu hasil program sumber daya bumi yang dikembangkan oleh NASA (the National Aeronautical and Space Administration) Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an. Landsat diluncurkan pada tanggal 22 Juli 1972 sebagai ERTS-I (Earth Resources Technology Satellite) yang kemudian diganti namanya menjadi Landsat I. Sejak itu, tiga Landsat berikutnya telah diluncurkan dengan berhasil. Tipe Landsat yang pertama yang memiliki karakteristik orbit dan sistem pencitraan serupa dapat dipandang sebagai satelit sumber daya generasi pertama bagi seri tersebut (Lo, 1996).


(28)

Setelah keberhasilan misi satelit berawak, NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat mengembangkan seri satelit sumber daya bumi. Seri satelit ini ialah satelit Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3. Sensornya ada dua jenis, yaitu sistem penyiam multispektral dengan empat saluran dan tiga kamera

Return Beam Vidicon. Pada saat diluncurkannya pada bulan Juli 1972 hingga

bulan Januari 1975 namanya bukan Landsat, melainkan Earth Resources Technology Satellite ( ERTS). Baru kemudian seluruh seri diganti namanya menjadi Landsat (Sutanto, 1994).

Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa pemeta tematik direncanakan memiliki tujuh buah saluran spektral yang dirancang untuk memaksimumkan kemampuan analisis vegetasi untuk terapan bidang pertanian. Saluran spektral yang diusulkan untuk pengandaraan pemeta tematik antara lain: saluran satu (0,45 µm-0,52 µ m); saluran dua (0,52 µm-0,60 µ m); saluran tiga (0.63 µ0,69 µ m); saluran empat (0,76 µm -0,90 µ m); saluran lima (1,55 µ m-1,75 µ m); saluran enam (2,08 µ m-2,35 µ m); dan saluran ketujuh (10,40 µ m-12,50 µ m).

Interpretasi Citra Digital

Analisis dan interpretasi data penginderaan jauh atau citra digital dapat dikelompokkan dalam tiga prosedur operasional, yaitu pra-pengolahan data mencakup rektifikasi (pembetulan) dan restorasi (pemugaran atau pemulihan) citra, pembuatan citra komposit, penajaman citra (Image Enhancement) atau peningkatan mutu citra, serta klasifikasi citra mencakup klasifikasi terbimbing, klasifikasi tak terbimbing, klasifikasai gabungan. Hasil pengolahan perlu


(29)

dikoreksi ketelitian hasilnya baru dikeluarkan sebagai hasil klasifikasi prosedur pra-pengolahan dan pengolahan citra digital (Purwadhi, 2001).

Lillesand dan Kiefer (1994) menyatakan bahwa analisis citra menyelia adalah proses pemilihan kategori informasi atau kelas yang diinginkan dan kemudian memilih daerah latihan yang mewakili tiap kategori. Statistik yang diperoleh dari data latihan untuk tiap kategori kemudian digunakan sebagai dasar untuk klasifikasi. Suatu alternative pendekatan terselia ialah klasifikasi tak terselia yang tidak menggunakan data latihan yang ditetapkan oleh analisis.

Menurut Lo (1996) bahwa data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan rekaman pola pantulan energi elektromagnetik pantulan dan emisi yang ditampilkan sebagai citra menyerupai gambar yang sifatnya sangat bervariasi. Untuk dapat informasi penting dari data tersebut, diperlukan latihan menilai kenampakan penting di luar yang tidak penting. Tingkat awal interpretasi dilakukan sebagai deteksi. Deteksi dibantu oleh karakteristik spasial, spectral, radiometrik dan temporal data. Resolusi spasial ialah kemampuan system perekaman dalam membedakan objek yang terletak berdekatan. Resolusi spectral merupakan perekaman gambaran yang sama pada interval spectral yang berbeda. Resolusi radiometric untuk menghasilkan kontras yang lebih baik sehingga dapat dicapai jumlah tingkat keabuan antara batas hitam dan putih yang mudah dibedakan.Akhirnya resolusi temporal menjelaskan kegunaan citra yang direkam pada interval waktu tertentu (musim) untuk mendeteksi perubahan yang telah terjadi.


(30)

Indeks Vegetasi

Indeks vegetasi merupakan pengukur empiris dari aktivitas vegetasi. Data ini telah sering digunakan untuk memantau secara global variasi spasial dan temporal yang terjadi pada vegetasi dengan ketepatan yang tinggi. Pada dasarnya indeks vegetasi mencoba menonjolkan saluran spektral yang peka pada variasi kerapatan tumbuhan. Karena tidak semua saluran didesain untuk maksud itu, maka perhatian dipusatkan pada saluran merah (M) yang peka terhadap serapan sinar merah oleh klorofil (pigmen hijau) daun, dan saluran inframerah dekat (IMD) yang peka terhadap pantulan struktur internal daun. Dedaunan sehat dengan kerapatan sedang dan tidak kekurangan air akan memberikan pantulan cukup rendah pada spektrum M, dan sekaligus pantulan tinggi pada spektrum IMD. Pantulan rendah pada saluran M disebabkan oleh kuatnya serapan oleh kandungan klorofil pada daun sehat. Peningkatan kerapatan daun akan diikuti dengan penurunan pantulan di saluran M dan peningkatan pantulan di saluran IMD. Dengan memadukan dua kecenderungan yang berlawanan ini, misalnya, besarnya pantulan IMD dikurangi pantulan M; atau besarnya pantulan IMD dibagi pantulan M, maka variasi tingkat kehijauan tumbuhan dapat secara cepat dipetakan dengan batuan vegetasi komputer pengolah citra digital. Indeks vegetasi yang paling populer untuk kajian semacam ini ialah NDVI (Normalized

Difference Vegetation Index) dengan rumus yang sangat sederhana, yaitu:


(31)

Digital Elevation Model

Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah satu model untuk menggambarkan bentuk topografi permukaan bumi sehingga dapat divisualisasikan kedalam tampilan 3D (tiga dimensi). Data DEM SRTM ini merupakan salah satu data satelit dengan resolusi spasial 90 meter yang memberikan gambaran tentang ketinggian tempat (Manalu dan Pramono, 2005). Digital Elevation Model merupakan salah satu tipe data raster yang mempresentasikan sebuah layer unsur-unsur spasial yang memiliki atribut ketinggian. Dengan demikian layer ini dapat ditampilkan dengan efek tiga dimensi sebagaimana permukaan bumi sebenarnya. Tipe data ini seperti halnya tipe data raster image (citra satelit atau hasil proses scanning peta hard copy) yang mempresentasekan nilai-nilai ketinggian digital dengan menggunakan struktur data yang membentuk matriks atau grid. Setiap file Digital Elevation Model (DEM) terdapat header dan content berisi nilai ketinggian sebanyak bilangan baris dikalikan dengan kolomnya yang terdapat di dalam header. Dengan demikian setiap nilai piksel grid atau sel grid yang terdapat di dalam DEM memiliki koordinat tiga dimensi yaitu absis, ordinat dan ketinggian

(Prahasta, 2004).

Menurut Nurul (2006) DEM terdiri dari piksel-piksel dimana setiap piksel mempunyai nilai tertentu. Nilai ini mencerminkan ketinggian dari permukaan bumi. Pemetaan ketinggian didasarkan atas pengelompokan nilai ketinggian sehingga didapatkan kelas-kelas ketinggian. Pembagian kelas ketinggian disesuaikan dengan klasifikasi yang digunakan dan kondisi medan yang akan dipetakan.


(32)

Peta Ketinggian Lahan

Peta ketinggian lahan merupakan informasi yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kesesuaian tumbuh vegetasi dan berkembang di dalam interval ketinggiannya. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan kenampakan yang spesifik dari lahan dengan elevasi tertentu, sehingga vegetasi yang ada juga akan mempunyai sifat-sifat yang khas. Tingkat kerapatan vegetasi hasil proses transformasi mempunyai nilai dari -1 hingga 1, untuk mengetahui tingkat kerapatannya maka citra ini harus dikelaskan sesuai dengan klasifikasi kerapatan yang digunakan, misalkan : sangat jarang, jarang, sedang, rapat, dan sangat rapat. Dengan klasifikasi digital tingkat kerapatan vegetasi adalah merah (sangat rapat), , kuning (rapat), biru muda ( sedang), dan biru tua (jarang). Proses selanjutnya untuk memetakan tingkat kerapatan vegetasi adalah melakukan deliniasi pada citra hasil proses klasifikasi. Deliniasi didasarkan atas perbedaan warna yang ada pada citra. Dengan dilakukannya proses deliniasi ini berarti terjadi perubahan format data dari data raster ke dalam format vektor


(33)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret - Juni 2009 di kawasan hutan Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Pengelolaan dan analisis data akan dilakukan di Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Citra Landsat TM 5 tahun 2006 sumber Biotrop Training and Information Centre (http//www.bticnet.com).

2. Peta dasar: peta Taman Nasional Gunung Leuser, peta administrasi, peta rupa bumi Indonesia sumber Bakosurtanal.

3. Peta penutupan lahan tahun 2006 hasil klasifikasi citra landsat TM sumber Bakosurtanal.

4. Data Digital Elevation Model (DEM) sumber United States Geological Survey

Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Komputer beserta perlengkapannya, software SPSS, perangkat lunak GIS (Erdas Imagine 8.5, Arc View versi 3.3 dan Global Mapper 6).

2. Peralatan survey: Global Positioning System (GPS), kamera digital dan printer mencetak data/peta.


(34)

Metodologi

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Medan dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) Medan dilakukan sebagai persiapan awal penelitian. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data spasial berupa peta dasar Taman Nasional Gunung Leuser, peta administrasi, peta penutupan lahan, dan peta rupa bumi Indonesia sumber Bakosurtanal.

Data primer dikumpulkan dengan cara melakukan pengecekan ke lokasi penelitian. Pengecekan lapangan dilakukan dengan menggunakan GPS (Global

Positioning System). Titik koordinat kemudian dimasukkan ke dalam Microsoft Office Excel, diblok dan disimpan dalam bentuk file DBF 4. Pada Arcview,

dibuka dengan menggunakan fitur Tables ditampilkan dengan menggunakan menu View dan Add Event Theme. Data disimpan dalam bentuk shapefile.

2. Analisis Data

2.1. Pembuatan Data Spasial

Data spasial yang digunakan adalah peta Taman Nasional Gunung Leuser yang didigitasi menggunakan perangkat lunak dengan teknik digitasi on screen. Peta hasil digitasi dipakai sebagai batasan kawasan yang diteliti. Peta kawasan penelitian yang didigitasi adalah kawasan Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser.


(35)

2.2. Analisis Citra

Analisis Citra Landsat TM 5 tahun 2006 dilakukan dalam enam tahap, yaitu: 1. Mosaik Image

Mosaik image adalah menggabungkan dua citra yaitu citra landsat path/row 129/57 dan path/row 129/58 sehingga gambaran pada kedua citra tersebut bertampalan.

1. Subset Image

Subset image adalah memotong citra untuk menentukan daerah kawasan yang diteliti.

2. Koreksi Citra

Koreksi yang dilakukan meliputi koreksi radiometri dan koreksi geometri. a. Koreksi Radiometri

Digunakan untuk memperbaiki nilai dari individu-individu piksel pada citra. b. Koreksi Geometri

Digunakan untuk membetulkan geometri citra satelit agar sesuai dengan keadaan sesungguhnya di lapangan. Melakukan rektifikasi (pembetulan) citra dengan menggunakan sistem koordinat tertentu dengan bantuan titik kontrol di lapangan. Titik kontrol merupakan titik ikat dimana yang digunakan sebagai pengikat adalah obyek yang sama antara obyek di dalam citra dengan obyek di lapangan. Titik kontrol dapat diperoleh dari survey GPS maupun dari peta-peta yang sudah ada.

3. Penyusunan Citra Komposit Warna

Komposit dilakukan dengan menggunakan 3 band dari citra satelit untuk menghasilkan citra baru. Hal ini dilakukan karena masing-masing band akan


(36)

mempunyai interaksi yang berbeda dengan objek sehingga dengan mengkombinasikan band tertentu diharapkan akan dapat memperjelas objek yang akan diinterpretasi.

4. Penajaman Citra

Meningkatkan penampakan visual citra sehingga lebih mudah dianalisa. Analisis digital data satelit untuk identifikasi kelas-kelas hutan didasarkan pada pengamatan pantulan spektral objek di muka bumi berdasarkan kecerahan objeknya.

3. Proses Pembuatan Peta Normalized Difference Vegetation Indeks (NDVI)

3.1. Menentukan Indeks Vegetasi

Indeks vegetasi dihitung dengan menggunakan Normalized Difference

Vegetation Indeks (NDVI). NDVI merupakan salah satu indikator untuk

mengetahui tingkat kekeringan lahan dan mengukur tingkat kehijauan atau kerapatan vegetasi pada suatu wilayah.

Prinsip kerja analisis NDVI adalah dengan mengukur tingkat intensitas kehijauan. Intensitas kehijauan pada citra Landsat berhubungan dengan tingkat kerapatan tajuk vegetasi. NDVI merupakan hasil perhitungan dari sinar tampak dan infra merah dekat yang direfleksasikan oleh vegetasi. Nilai piksel untuk NDVI berkisar antara -1 sampai dengan +1 (Departemen kehutanan, 2003).

Perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI ) menggunakan data dari band 3 dan band 4 dengan rumus sebagai berikut:

NDVI =

Band 4 + Band 3 Band 4 – Band 3


(37)

Dimana:

NDVI = Normalized Difference Vegetation Index Band 4 = Data Landsat TM Band 4

Band 3 = Data Landsat TM Band 3

Tabel 1. Kisaran Tingkat Kerapatan Berdasarkan NDVI Menggunakan Data Landsat TM

Kelas Kerusakan

Hutan

Kisaran Nilai NDVI Estimasi Kerapatan Kanopi

Tingkat Kerapatan

1. -1,0 sampai 0,32 <50% Jarang

2. > 0,32 sampai 0 ,42 50-70% Sedang

3. >0,42 sampai 1 70-100% Lebat

(Sumber Departemen Kehutanan, 2003)

Pembuatan Peta Normalized Difference Vegetation Indeks (NDVI) dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Erdas Imagine dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Diawali dengan membuka program Erdas Imagine kemudian klik menu

(interpreter), kemudian klik (utilities),

selanjutnya klik (layer stack), kemudian dalam kotak

Layer Selection and Stacking pilih citra yang akan dianalisis serta

band-band yang akan digunakan.

b. Band yang digunakan untuk citra Landsat TM 5 tahun 2006 adalah band 1, band 2, band 3, band 4, band 5, band 6 dan band 7. Setelah itu tentukan nama file outputnya.

c. Penajaman spektral dengan meng-klik menu interpreter dan memilih

spectral enhancement dengan pilihan indices. Kemudian masukkan citra

input dari gabungan band tersebut, memilih select function (NDVI) dan data type (float single) dan menentukan outputnya.


(38)

d. Selanjutnya buka citra hasil pengolahan tersebut dalam viewer dalam bentuk pseudocolor.

e. Tahapan selanjutnya adalah melakukan pengeditan terhadap atribut citra hasil olahan dengan meng-klik Raster dan memilih Attributes di kotak viewer. Pada Window Raster Attribute dapat menambah kolom dengan meng-klik column properties dan memilih kriteria untuk menentukan selang nilai indeks vegetasi yang akan dibuat.

4. Pembuatan Peta Ketinggian dan Kelerengan dari Digital Elevation Model (DEM)

Digital Elevation Model (DEM) merupakan suatu model permukaan digital

yang dibentuk dari nilai ketinggian yang terdapat pada titik-titik koordinat. 4.1. Pembuatan Peta Ketinggian

Data citra SRTM N03E097 dan N03E098 sumber United States Geological

Survey

diproses dalam Model Builder. Prosedur pembuatan peta ketinggian adalah sebagai berikut:

a. Dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper, citra diproyeksi ke dalam Universal Transverse Mercator (UTM) dengan datum WGS84 Zone 47 N.

b. Setelah citra diformat sesuai dengan proyeksi yang ditentukan maka tahap selanjutnya adalah citra diubah ke dalam bentuk file DEM dengan menggunakan fitur Export raster and elevation data.


(39)

c. Selanjutnya pada Arcview, dengan Model Builder data yang disimpan dalam bentuk file DEM tersebut dikonversikan ke grid. Setelah dikonversikan, data tersebut di reclassification sesuai dengan kelas ketinggian yang telah ditentukan sehingga diperoleh peta ketinggian.

4.2. Pembuatan Peta Kelerengan

Pembuatan peta kelerengan sama dengan pembuatan peta ketinggian yang dilakukan dengan menggunakan Model Builder di Arcview. Peta kelerengan diperoleh dari DEM melalui proses Terrain Slope yang kemudian dikelaskan berdasarkan kelas kemiringan lereng (%).

5. Overlay

Pembuatan overlay NDVI dan ketinggian dilakukan untuk mendapatkan peta dengan mengoverlay-kan peta ketinggian tempat dan kelerengan dengan peta kerapatan vegetasi yang ada di kawasan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kerapatan di beberapa kelas ketinggian dan kelas kelerengan berdasarkan kelas NDVI yang telah ditentukan. Operasi yang digunakan adalah intersect two

themes.

6. Analisis Hubungan Ketinggian dan Kelerengan dengan Tingkat Kerapatan Vegetasi.

Data yang diperoleh dibuat dalam bentuk tabulasi.

Tabel 2. Hubungan Ketinggian Tempat dan Kerapatan Vegetasi No Kelas Ketinggian (m)/

Kelas Kelerengan (%)

Skor NDVI Nilai Tengah

1. 2. dst..


(40)

Uji Korelasi

Korelasi adalah salah satu analisis statistik yang dipakai untuk menunjukkan hubungan linier antara dua variabel atau lebih. Dalam korelasi terdapat data penyebab atau yang mempengaruhi disebut variabel bebas dan data akibat atau yang dipengaruhi disebut variabel terikat. Istilah untuk variabel bebas disebut dengan independen yang biasanya dilambangkan dengan huruf X atau Xi. Sedangkan istilah variabel terikat disebut juga dependen yang biasanya dilambangkan dengan Y atau Yi. Korelasi yang digunakan adalah koefisien korelasi Pearson yang akan menunjukkan ada atau tidaknya hubungan yang jelas antara variabel satu dengan variabel lainnya. Besarnya angka korelasi disebut koefisien korelasi dinyatakan dalam lambang r. Kuatnya hubungan antar variabel dinyatakan dengan besarnya koefisien korelasi. Koefisien korelasi memiliki nilai antara -1 sampai +1. Untuk r +1 disebut hubungannya positif sempurna artinya hubungan antara dua variabel tersebut sangat kuat dan jika r -1 disebut hubungannya negatif sempurna artinya variabel-variabel tersebut tidak ada hubungan sama sekali.

Hubungan antara variabel dapat dilihat melalui angka koefisien korelasi. Kuatnya hubungan antara variabel yang dinyatakan dengan angka korelasi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Interpretasi dari Nilai r

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0 Tidak berkolerasi

0,01-0,20 Kolerasi sangat rendah

0,21-0,40 Kolerasi rendah

0,41-0,60 Kolerasi agak rendah

0,61-0,80 Kolerasi cukup rendah

0,81-0,99 Kolerasi tinggi

1 Kolerasi sangat tinggi


(41)

Dalam hal ini analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara ketinggian tempat dan kelerrengan dengan tingkat kerapatan vegetasi. Analisis korelasi ini dihitung dengan menggunakan dua variabel, dimana nilai variabel terikatnya adalah nilai NDVI dan variabel bebasnya adalah ketinggian tempat (m) dan kelerengan (%).

Persamaan Uji Korelasi Pearson: r = n ∑XiYi – (∑Xi) (∑Yi)

√{n ∑Xi2

– (∑Xi)2 } {n ∑Yi2 – (∑Yi)2} Keterangan:

r = koefisien korelasi n = banyaknya pengamatan Xi = nilai variabel untuk NDVI


(42)

Kerangka Pemikiran

Pengumpulan Data

Digital Elevation Model

(DEM)

Citra Landsat ETM 7+

Peta Ketinggian/Peta Kelerengan

Overlay

Data Tabulasi

Peta NDVI

Uji Korelasi

Hubungan Ketinggian dan Kelerengan dengan NDVI

NDVI Ketinggian/Kelerengan


(43)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kawasan Ekosistem Leuser

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) pertama kali diperkenalkan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.227/Kpts-II/1995 tahun 1995 yang kemudian dikuatkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) No.33 Tahun 1998.

Kawasan Ekosistem Leuser merupakan bentang alam yang terletak antara Danau Laut Tawar di Propinsi Aceh dan danau Toba di Propinsi Sumatera Utara. Ada 11 kabupaten yang tercakup di dalamnya yaitu, Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Deli Serdang, Langkat, Tanah Karo, dan Dairi.

Luas keseluruhannya mencapai lebih kurang 2,5 juta hektar. Kawasan ini terletak pada posisi geografis 2,250 - 4,950 Lintang Utara dan 96,350– 98,550 Bujur Timur dengan curah hujan rata-rata 2.544 mm per tahun dan suhu hariannya rata-rata 260 Celsius pada siang hari dan 210 pada malam hari. Kawasan Ekosistem Leuser terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, Cagar Alam, dan lain-lain (Sumaterautara.com, 2005).

Resort Tangkahan dan Cinta Raja 1. Letak kawasan dan Aksesibilitas

Tangkahan dan cinta raja merupakan sebuah kawasan diperbatasan Taman Nasional Gunung Leuser di sisi Sumatera Utara. Secara geografis kawasan Tangkahan berada pada LU 03041’01”, BT 9804’28,2”. Sedangkan secara


(44)

Sialang dan Desa Sei.Serdang ,Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara.

2. Suhu dan kelembapan udara

Suhu udara rata-rata di kawasan ini antara 21,1 0C – 27.5 0C dengan kelembaban nisbi berkisar antara 80 – 100%. Musim hujan di daerah ini berlangsung merata sepanjang tahun tanpa musim kering yang berarti. Curah hujan rata-rata 200 – 320 mm pertahun.

3. Topografi

Topografi kawasan berupa kawasan landai, berbukit dengan kemiringan yang bervariasi (45 – 900).

4 . Kesuburan Tanah

Jenis tanah diklasifikasikan terdiri dari jenis tanah Podsolik dan Litosol. Podsolik ádalah termasuk jenis tanah yang telah mengalami tingkat perkembangan agak lanjut, umumnya terbentuk dari batu liat ( serpih ), napal dan batu pasir atau pada beberapa bahagian telah tercampur dengan bahan vulkanis. ;Penampang tanah dengan kedalaman sedang mempunyai sifat kurang baik dan peka terhadap erosi.Litosol ádalah jenis tanah tanpa perkembangan profil, merupakan batuan kukuh dengan lapisan tanah Sangat tipis diatasnya. Pada wilayah yang curam, terdapat batuan tanpa lapisan tanah. Bahan induk meliputi batu kapur bertufa dan batuan volkan.


(45)

5. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk dari Desa Namo Sialang pada tahun 2002 adalah 5037 jiwa yang terdiri dari 2477 laki-laki dan 2560 perempuan dan tersebar pada 15 dusun. Mata pencaharian penduduk kebanyakan adalah pekerja perkebunan, pegawai negeri, sebagian ada yang melakukan aktivitas pertanian, beternak dan mengusahakan perikanan. Sumber energi desa, 95% berasal dari kayu dan 5% minyak. Sedangkan penggunaan listrik berkisar hingga 80%. Sumber air desa berasal dari mata air sungai dan hujan.

Penduduk Desa Sei Serdang berjumlah 3120 yang terdiri dari 1531 laki-laki dan 1589 perempuan. Mata pencaharian penduduk, hampir sama dengan mata pencaharian Desa Namo Sialang yaitu pekerja perkebunan (baik kebun milik pribadi maupun milik investor yang berupa jeruk manis, dan karet ataupun kelapa sawit), pegawai negeri, bertani dan beternak. Sumber energi desa adalah 90% berasal dari kayu api, 10% dari minyak dan 100% menggunakan sumber listrik.

6. Sektor Unggulan potensial

a. Sektor Pertanian

Sektor Pertanian komoditas yang diunggulkan adalah ; Karet, Jeruk Nipis, Jeruk Manis, Kelapa Sawit, Durian, Pisang dan lain-lain.

b. Sektor Peternakan

Sektor Peternakan yang diunggulkan adalah di wilayah ini adalah; Ternak sapi, Kambing dan Babi. Walaupun didalam pelaksanaannya masih menggunakan pola konvensional dan belum intensif.


(46)

Sektor Perikanan air tawar di wilayah ini belum dioptimalkan, walaupun kesediaan lahan basah tersedia optimalkan untuk dikembangkan menjadi petakan-petakan kolam. Dan selama ini kebutuhan masyarakat akan ikan air tawar didapat dan dihasilkan dari Sungai.dan khusus untuk Ikan mas yang merupakan perangkat adat istiadat masih di datangkan dari luar daerah

d. Sektor Pariwisata

Sektor Pariwisata saat ini merupakan sektor unggulan yang telah memberikan konstribusi secara langsung maupun tidak langsung kepada penduduk desa Namo Sialang dan Desa Sungai Serdang, terutama dalam hal pelestarian kawasan hutan TNGL dan pelestarian sungai Batang Serangan dari kegiatan peracunan dan perusakan ekosistem daerah aliran sungai.

Resort Sei Lepan

Sei Lepan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Langkat Sumatera Utara yang ibukotanya terletak di Alur Durian dengan luas 654,04 km2, jumlah penduduk 50.068, kepadatan 76 jiwa/ km2 dan memiliki 15 desa.


(47)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketinggian Tempat

Wilayah penelitian mempunyai ketinggian tempat yang bervariasi mulai dari dataran rendah sampai pegunungan. Kelas ketinggian di wilayah penelitian Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelas Ketinggian Wilayah Penelitian

Masing-masing resort memiliki kelas ketinggian dari tempat rendah sampai tertinggi. Kawasan Ekosistem Leuser hanya memiliki ketinggian dari 0 – 100 m sampai 300 – 700 m yang merupakan dataran rendah umumnya merupakan kawasan pemukiman penduduk dan dijadikan penggunaan lahan sepeti perkebunan dan pertanian.

Resort Tangkahan, Cinta Raja dan Sei Lepan memiliki ketinggian dari terendah (0 – 100 m) sampai tertinggi (2500 – 3000 m). Daerah yang memiliki ketinggian 300 - 700 m adalah wilayah paling luas dengan luas 22.343,725 ha, diikuti daerah dengan ketinggian 700 – 1200 m dengan luas 18.983,19 ha, ketinggian 100 - 300 m seluas 15.986,72 ha, ketinggian 0 - 100 m seluas 14.675,577 ha.

No. Kelas Ketinggian Luas (ha) Luas (%)

1. 0 – 100 m 14.675,577 15,08

2. 100 – 300 m 15.986,72 16,43

3. 300 – 700 m 22.343,725 22,96

4. 700 – 1200 m 18.983,19 19,50

5 1200 – 1700 m 12.068,076 12,40

6 1700 – 2000 m 6.697,769 6,88

7 2000 – 2500 m 5.633,24 5,79

8 2500 – 3000 m 933,462 0,96


(48)

Selanjutnya pada ketinggian 1200 – 1700 m seluas 12.068,076 ha, ketinggian 1700 - 2000 m seluas 6.697,769 ha, ketinggian 2000 – 2500 seluas 5.633,24 ha , dan terakhir adalah daerah dengan ketinggian 2500 - 3000 m seluas 933,462 ha dan merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian tertinggi (puncak).

Untuk klasifikasi tipe hutan wilayah Resort Tangkahan, Cinta Raja, dan Sei Lepan termasuk pada klasifikasi tipe hutan dari dataran rendah sampai pada kawasan hutan subalpin dengan ketinggian 2500 – 3000 mdpl. Pembagian klasifikasi hutan menurut Van Steenis (1972) dalam Bratawinata (1986) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi Tipe Hutan Berdasarkan Tinggi Tempat

Tinggi tempat (mdpl)

Nama Wilayah Keadaan Vegetasi

4000-4500 Alpin Bukit batu dg lumut dan kerak, sedikit rumput

3600-4000 Alpin Semak pendek berkelompok, konifer pendek

2400-3600 Subalpin Hutan belukar rapat, ada pohon tinggi jarang, sering berlumut, konifer

1500-2400 Montane Hutan tinggi rapat, di bawah 2000 m sedikit lumut

1000-1500 Submontane Hutan tinggi rapat jarang ada lumut

500-1000 Pebukitan Hutan Dipterocarpaceae


(49)

Gambar 1. Peta Ketinggian Tempat Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser.

Kemiringan Lahan

Kemiringan lahan di wilayah penelitian bervariasi mulai dari yang datar sampai sangat curam. Kelas kemiringan lahan di di wilayah penelitian Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kelas Kemiringan Wilayah Penelitian

No. Kelas Kemiringan Luas (ha) Luas (%)

1. Datar ( 0 – 8 %) 20.118,548 20,67

2. Landai (8 % – 15 %) 9.179,123 9,43

3. Bergelombang (15% - 25 %) 10.516,428 10,81

4. Curam (25 – 40%) 15.619,483 16,05

5. Sangat Curam (> 40%) 41.885,443 43,04


(50)

Kemiringan wilayah Kawasan Ekosistem Leuser didominasi oleh lahan dengan topografi datar (0 – 8 %) dan Resort Tangkahan, Cinta Raja dan Sei Lepan sebagian besar didominasi oleh hutan yang bertopografi sangat curam dengan persen kemiringan > 40 % seluas 41.885,4,43 ha, diikuti daerah bertopografi datar (0 - 8 %) seluas 20.118,548 ha, curam (25 - 40 %) seluas 15.619,483 ha, bergelombang (15 - 25 %) seluas 10.516,428 ha, terakhir adalah landai (8 – 15 %) dengan luasan yang paling kecil yaitu 9.179,123 ha.

Gambar 2. Peta Kelerengan Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser.

Penggunaan citra SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) dalam penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan data yang berformat DEM (Digital

Elevation Model) sehingga dapat diperoleh peta ketinggian tempat dan peta

kelerengan di wilayah penelitian Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser. Menurut Prahasta (2004) DEM adalah model


(51)

permukaan bumi yang direpresentasikan oleh data dalam bentuk raster/grid, dimana setiap sel grid memiliki nilai data ketinggian dari permukaan laut. Dari data DEM SRTM dapat diperoleh informasi spasial seperti ketinggian ataupun kelas lereng lahan.

Kelebihan penggunaan citra SRTM ini karena dapat didownload secara gratis dan datanya dalam bentuk digital, sehingga memudahkan peneliti dalam mengkonversikan ke format DEM (Digital Elevation Model). Selain itu, menurut Raharjo (2007), SRTM memiliki resolusi lumayan tinggi untuk skala tinjau. Resolusi yang disediakan di Indonesia untuk didownload adalah 90 m sehingga penggunaan SRTM untuk memperoleh data ketinggian dan kelerengan dilakukan dengan tingkat ketelitian yang cukup tinggi.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung menetapkan lahan dengan ketinggian ≥ 2000 m dan lereng ≥ 40% adalah sebagai kawasan lindung yang dilindungi dalam rangka perlindungan dan pemeliharaan sumber daya alam. Sehigga kawasan hutan Tangkahan, Cinta Raja, dan Sei Lepan yang mempunyai ketinggian ≥ 2000 m dan kemiringan ≥ 40 % ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Taman Nasional merupakan salah satu kawasan lindung dan mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistem, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Untuk menjaga agar hutan lindung dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya, maka didalam hutan lindung tidak boleh dilaksanakan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi tersebut.


(52)

Kawasan lindung ditetapkan dengan tujuan untuk mempertahankan fungsi-fungsi ekologis khusus ataupun mempertahankan ciri khas lainnya, yang meliputi keanekaragaman hayati, perlindungan sumber air, dan populasi satwa yang mampu bertahan hidup, sehingga dibutuhkan habitat yang cukup untuk menjamin keberlangsungan dan terpeliharanya lingkungan habitat yang baik bagi vegetasi dan satwa untuk melangsungkan hidupnya dan berkembang biak (Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia, 2008).

Kawasan lindung yang memiliki kemiringan ≥ 40% merupakan daerah yang harus diperhatikan dan dijaga kondisi lahannya karena kemungkinan pengaruh terjadinya erosi berada pada kemiringan yang semakin curam. Semakin curam suatu daerah, maka daerah tersebut berada pada tingkat pengaruh bahaya erosi yang paling besar. Dengan demikian, potensi terjadinya erosi di daerah tersebut adalah lebih besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartasapoetra et. al, (1991) yang menyatakan bahwa kelerengan lahan merupakan faktor yang sangat penting. Lahan yang curam lebih mudah terganggu dan mengalami kerusakan tanah terutama oleh faktor erosi.

Indeks Vegetasi

Salah satu tujuan pembuatan indeks vegetasi adalah untuk memperjelas perbedaan antara berbagai tipe penutupan lahan maupun tipe vegetasi yang berbeda. Perbaikan spectral dengan penetuan indeks vegetasi menghasilkan tampilan citra yang bervariasi serta dapat memperjelas objek-objek tertentu yang akan dianalisis.


(53)

Nilai indeks vegetasi yang tersebar di wilayah penelitian mempunyai tingkat kerapatan vegetasi yang bervariasi mulai dari kerapatan jarang, sedang sampai dengan kerapatan vegetasi rapat. Kelas kerapatan vegetasi di wilayah penelitian Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan sebagian Kawasan Ekosistem Leuser dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kisaran Nilai NDVI Wilayah Penelitian

No. Kisaran NDVI Kerapatan Vegetasi Luas (ha) Luas (%)

1. - 0,115 – - 0,006 Jarang 6.554,258 6,79

2. - 0,006 – 0,102 Jarang 4.424,527 4,58

3. 0,102 – 0,211 Jarang 3.293,631 3,41

4. 0,211 – 0,32 Jarang 5.507,163 5,70

5. 0,32 – 0,428 Sedang 10.227,297 10,59

6. 0,428 – 0,537 Rapat 21.863,318 22,64

7. 0,537 – 0,646 Rapat 39.328,19 40,72

8. 0,646 – 0,754 Rapat 5.382,794 5,57

Luas Total 96.580,178 100

Nilai NDVI dari pengolahan data diperoleh nilai NDVI terkecil - 0,115 berupa awan sampai terbesar + 0,754 berupa vegetasi. Nilai indeks vegetasi dengan luasan terbesar adalah pada kisaran nilai 0,537 – 0,646 dengan vegetasi rapat seluas 39.328,19 ha dan kisaran NDVI yang kecil luasannya berada pada kisaran nilai 0,102 – 0,211 dengan kerapatan vegetasi jarang seluas 3.293,631 ha.


(54)

Gambar 3. Peta Nilai Indeks Vegetasi Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser.

Pada hasil pengolahan penajaman citra diperoleh NDVI yang bernilai (-) yang berupa awan (- 0,115 – - 0,006 ) dan nilai NDVI (+) adalah berupa vegetasi dari jarang sampai yang rapat dengan nilai NDVI tertinggi 0,646 – 0,754. Pada hutan primer NDVI yang bernilai (-) disebabkan oleh adanya awan dan bayangan awan menutupi vegetasi dibawahnya sehingga pantulan gelombang inframerah dekat akan menjadi lebih rendah dan menyebabkan kerapatan vegetasi menjadi lebih rendah. Menurut Van Dijk et al. (1987) dalam Kushardono (1992) menyatakan bahwa NDVI akan bernilai positif (+) apabila permukaan vegetasi lebih banyak memantulkan radiasi pada gelombang panjang infra merah dekat dibandingkan pada cahaya tampak. Untuk NDVI yang bernilai nol (0) apabila


(55)

pemantulan energi yang direkam oleh panjang gelombang cahaya tampak sama dengan gelombang infra merah dekat. Hal ini sering terjadi pada daerah pemukiman, tanah bera, daratan non vegetasi, dan awan. Sedangkan NDVI akan bernilai negatif (-) apabila permukaan awan, air dan salju lebih banyak memantulkan energi gelombang cahaya tampak dibandingkan pada infra merah dekat.

Penentuan nilai indeks dihitung dengan menggunakan Normalized

Difference Vegetation Indeks (NDVI). NDVI digunakan untuk mengidentifikasi

penutupan lahan melalui tingkat kehijauan permukaan. Indeks vegetasi adalah suatu nilai yang mencerminkan kondisi tingkat kehijauan tanaman yang diturunkan dari data satelit melalui perekaman pada band 4 (panjang gelombang infra merah dekat) dan band 3 (panjang gelombang infra merah). Dengan membandingkan nilai kecerahan suatu piksel dari band-band yang berbeda pada citra maka dalam prosesnya dipilih band-band yang dapat mendeteksi tingkat kehijauan vegetasi dengan baik yaitu band 4 (panjang gelombang infra merah dekat) dan band 3 (panjang gelombang infra merah) (Van Dijk et al. (1987) dalam Kushardono (1992).

Aplikasi indeks vegetasi penggunaannya telah meluas dalam bidang pengelolaan sumber daya alam. Pada bidang kehutanan NDVI digunakan untuk mengidentifikasi penutupan lahan melalui tingkat kehijauan vegetasi dan dapat mempresentasikan kondisi bahan bakar hutan untuk manajemen kebakaran hutan. Menurut LAPAN (2004) dalam Thoha (2006) menyatakan bahwa NDVI merupakan representasi dari keadan bahan bakar, baik dari sisi tingkat kehijauan


(56)

vegetasi hidup maupun serasah. Oleh sebab itu parameter NDVI memberikan kontribusi terbesar terhadap kerawanan kebakaran hutan.

Hubungan Ketinggian Tempat dengan Kerapatan Vegetasi

Untuk mengetahui tingkat kerapatan vegetasi di beberapa kelas ketinggian dilakukan operasi intersect two themes. Dengan mengoverlay-kan peta ketinggian tempat dengan peta kerapatan vegetasi yang ada di lokasi penelitian diperoleh data sebaran nilai indeks vegetasi pada tiap kelas ketinggian. Sebaran nilai NDVI pada tiap kelas ketinggian dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Sebaran Nilai NDVI Pada Tiap Kelas Ketinggian

No. Kelas Ketinggian Kisaran NDVI

1. 0 – 100 m - 0,006 – 0,754

2. 100 – 300 m - 0,006 – 0,754

3. 300 – 700 m 0,102 – 0,754

4. 700 – 1200 m - 0,115 – 0,754

5. 1200 – 1700 m - 0,115 – 0,754

6. 1700 – 2000 m - 0,115 – 0,754

7. 2000 – 2500 m - 0,115 – 0,754

8. 2500 – 3000 m - 0,115 – 0,754

Hasil diperoleh bahwa nilai NDVI hampir seluruhnya menyebar pada tiap kelas ketinggian dari ketinggian terendah (0 – 100 m) sampai tertinggi (2500 – 3000). Ketinggian 0 – 100 m dan 100 – 300 m sebaran NDVI berada pada - 0,006 sampai + 0,754, ketinggian 300 – 700 m sebaran NDVI berada pada + 0,102 sampai pada terbesar + 0,754.

Selanjutnya pada ketinggian 1200 – 1700 m, 1700 – 2000 m, 2000 – 2500 m dan tertinggi 2500 – 3000 m sebaran NDVI berada pada nilai NDVI terendah - 0,115 berupa awan sampai nilai NDVI terbesar + 0,754 berupa vegetasi rapat.


(57)

Hubungan Kelerengan dengan Kerapatan Vegetasi

Peta kelerengan dan peta kerapatan vegetasi juga dioverlaykan untuk mengetahui sebaran nilai indeks vegetasi pada tiap kelas kelerengan. Sebaran nilai NDVI pada tiap kelas kelerengan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Sebaran Nilai NDVI Pada Tiap Kelas Kelerengan

No. Kelas Kemiringan Kisaran NDVI

1. Datar ( 0 -- 8 %) - 0,115 – 0,754

2. Landai (8 % – 15 %) - 0,115 – 0,754

3. Bergelombang (15% - 25 %) - 0,115 – 0,754

4. Curam (25 – 40%) - 0,115 – 0,754

5. Sangat Curam (> 40%) - 0,115 – 0,754

Diperoleh bahwa nilai NDVI seluruhnya menyebar mulai dari nilai NDVI terkecil – 0,115 sampai NDVI terbesar + 0,754 berada pada tiap kelas kelerengan dari datar sampai sangat curam.

Uji Korelasi

Analisis korelasi bertujuan untuk mengetahui pola dan hubungan antara dua atau lebih variable. Penentuan analisis korelasi dilakukan denan pengambilan contoh titik yang dilakukan secara acak sebanyak 50 titik yang mewakili penyebaran NDVI pada berbagai kelas ketinggian.


(58)

Hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan vegetasi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Analisis korelasi ketinggian tempat dan NDVI dapat dilihat pada Tabel 10 Tabel 10 Analisis Korelasi Ketinggian Tempat dan NDVI

Ketinggian NDVI

Ketinggian Pearson

Correlation 1 ,612(**)

Sig. (2-tailed) . ,000

N 50 50

NDVI Pearson

Correlation ,612(**) 1

Sig. (2-tailed) ,000 .

N 50 50

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa angka koefisien korelasi adalah 0,612 artinya hubungan antara ketinggian tempat dengan kerapatan vegetasi cukup rendah. Koefisien korelasi bertanda positif (+), artinya hubungan ketinggian tempat dengan kerapatan vegetasi satu arah sehingga jika ketinggian tempat semakin tinggi maka tingkat kerapatan vegetasi semakin besar. Nilai probabilitas (Sig) 0,000 < 0,01 maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara kedua variable tersebut signifikan, sehingga hubungan antara ketinggian tempat dengan tingkat kerapatan vegetasi korelasinya nyata.

Sedangkan untuk menguji hubungan pada kelas kelerengan dapat dijelaskan dengan kondisi kelas kelerengan yang rendah (0 - 8 %) dimasukkan pada skor tinggi atau nomor 5 sampai pada kelerengan terbesar (> 40%) dimasukkan pada skor rendah atau nomor 1. Penilaian ini berdasarkan pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-Das). Kriteria lahan kritis kawasan hutan lindung menurut kelas lereng dapat dilihat pada Tabel 11.


(59)

Tabel 11. Kriteria Kelas Lereng Kawasan Hutan Lindung

Kriteria Kelas Besaran/Deskripsi Skor

Lereng 1. Datar 2. Landai 3. Agak curam 4. Curam 5. Sangat curam

> 8 % 8 – 15% 16 - 25% 26 – 40% < 40% 5 4 3 2 1

Penentuan titik dilakukan secara acak sebanyak 50 titik yang mewakili penyebaran NDVI pada berbagai kelas kelerengan. Hubungan antara kelerengan dengan kerapatan vegetasi dapat dilihat pada Lampiran 2.

Analisis korelasi kelerengan dengan NDVI dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Analisis Korelasi Kelerengan dan NDVI

Kemiringan NDVI

Kemiringan Pearson

Correlation 1 ,403(**)

Sig. (2-tailed) . ,004

N 50 49

NDVI Pearson

Correlation ,403(**) 1

Sig. (2-tailed) ,004 .

N 49 49

Analisis korelasi menunjukkan bahwa koefisien korelasi adalah 0,403, artinya hubungan antara kelerengan dengan kerapatan vegetasi agak rendah. Koefisien korelasi bertanda positif (+), artinya hubungan kelerengan dengan kerapatan vegetasi satu arah sehingga jika kelerengan semakin besar maka tingkat kerapatan vegetasi semakin tinggi. Nilai probabilitas (Sig) 0,004 < 0,01 maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara kedua variable tersebut signifikan, yaitu hubungan antara kelerengan dengan tingkat kerapatan vegetasi korelasinya nyata.

Kawasan Ekosistem Leuser umumnya merupakan daerah dengan ketinggian rendah dari 0 – 700 m dan didominasi oleh topografi datar (0 - 8%),


(60)

kawasan ini banyak digunakan untuk pemukiman, perkebunan dan pertanian. Kawasan Ekosistem Leuser merupakan daerah penyangga sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang sudah banyak berubah fungsi menjadi lahan perkebunan dan pertanian seperti dijadikan areal perkebunan kelapa sawit dan pemukiman sehingga dapat mengganggu kelestarian dan fungsi hutan Taman Nasional Gunung Leuser.

Adanya perizinan yang diberikan oleh Pemerintah untuk penebangan atau konversi kawasan yang berhutan menjadi lahan perkebunan akan memunculkan konversi lahan secara berlebihan dan mengakibatkan berkurangnya luas hutan.

Peraturan Menteri Pertanian No 26/Permentan/OT.140/2/2007 yang dikeluarkan tanggal 28 Februari 2007 mengijinkan swasta mengembangkan perkebunan kelapa sawit hingga 100 ribu hektar dalam satu kawasan di satu kabupaten ataupun provinsi, sehingga konflik di kawasan konservasi dapat selalu terjadi. Permasalahan yang muncul dari konversi lahan seperti adanya pembalakan liar (illegal logging), perambahan hingga perburuan satwa dilindungi.

Dampak dari perluasan areal perkebunan yang tidak sesuai dengan kondisi lahan akan memunculkan konflik-konflik dalam kawasan konversi lahan yang dijadikan perkebunan. Ketika habitat dirambah, satwa liar dapat datang lebih mendekati dan mengalami kontak dengan masyarakat desa dan dengan areal pertanian atau perkebunan sehingga memicu konflik antara satwa dan manusia, seperti yang terjadi dengan gajah-gajah liar yang ada di lokasi penelitian, yaitu seperti pada Resort Tangkahan, Cinta raja, dan Sei Lepan.

Gajah menyukai hutan hujan dataran rendah sebagai tempat hidupnya, sehingga perlindungan ekosistem tersebut sangat penting untuk menjamin


(61)

kelangsungan hidup satwa. Gajah mengendaki habitat dan areal jelajah yang luas, sehingga jika adanya pengurangan ruang gerak jelajah gajah sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik antara gajah tersebut dengan kegiatan pembangunan yang dilakukan di sekitar habitatnya.

Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang sangat rawan terhadap perluasan perkebunan sawit, salah satunya adalah areal yang saat ini masih didiami pengungsi asal Aceh, yakni Damar Hitam Resort Sei Lepan. Adanya pengungsi asal Aceh yang masih menetap di kawasan hutan dan memungkinkan untuk melakukan konversi lahan akan menyebabkan berkurangnya luasan hutan dan terganggunya habitat gajah sehingga ruang geraknya menjadi lebih kecil dan membuat gajah akan masuk ke dalam kawasan perkebunan yang akan merusak dan memakan hasil perkebunan masyarakat.

Sedangkan pada Resort Tangkahan tidak ditemukan lagi perambahan atau

illegal logging dalam kawasan hutan. Sejak tahun 2000 masyarakat Tangkahan

sendiri melakukan kerjasama untuk membangkitkan kembali potensi hutan dan sumberdaya alam hayati dengan pengembangan pariwisata. Akhirnya pada tanggal 19 Mei tahun 2001 atas inisiatif para pemuda Tangkahan akan bersepakat untuk mengembangkan pariwisata Tangkahan dengan mendirikan LPT (Lembaga Pariwisata Tangkahan). Kemudian tahun 2002 Lembaga Pariwisata Tangkahan menyepakati sebuah bentuk kerjasama (MoU) dengan Balai Taman Nasional Gunung Leuser.

Untuk pengembangan ekowisata, masyarakat Tangkahan yang berada di Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang bertanggung jawab penuh didalam pengamanan dan kelestarian Taman Nasional Gunung Leuser yang berbatasan


(1)

Hardiyatmo, H.C. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gajah Mada

University Press. Yogyakarta.

Howard, J.A. 1996. Penginderaan Jauh Untuk Sumberdaya Hutan “Teori dan

Aplikasi’. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kaban, H.M.S. Menteri Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Menteri

Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 32/Menhut-II/2009 Tentang

Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS). Jakarta.

Kartosapoetra, G., A.G Kartasapoetra dan M.M Sutedjo. 1991. Teknologi

Konsevasi Tanah dan Air. Rineka Cipta. Jakarta.

Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia. 2008. Panduan Identifikasi Kawasan

Bernilai Konservasi Tinggi di Indonesia. http:// www.tropenbos.org.

Tropenbos International Indonesia Programme. Balikpapan.

[11 November 2008].

Kushardono, D. 1992. Pemantauan Global Kondisi Lingkungan dengan

Menggunakan Data NOAA/AVHRR. Warta LAPAN.

Kusmana, C., dan Onrizal. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. USU Press. Medan.

[LAPAN] Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. 2004. Model Prediksi

Dampak El Nino/La Nina Untuk Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan.

http//www.lapanrs.com/INOVS/IDE2_/view_doc.php?doc_id=35

[11 November 2008].

Lillesand dan Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta .

Lo, C.P. 1996. Penginderaan Jauh Terapan. Universitas Indonesia Press. Jakarta

Manalu, Y., dan Pramono, Sri Harini. 2005. Analisis Ketelitian Ketinggian Data

Dem Srtm.

Nurul, Agustina. 2006. Pembuatan Peta Informasi Ruang Wilayah Tiga Dimensi.

Prahasta, E. 2004. Sistem Informasi Geografis. Informatika Bandung.

______, E. 2005. Konsep-konsep Sistem Informasi Geografis. Informatika.

Bandung.


(2)

Rhicards, P.W. 1964. The Tropical Rain Forest and Ecological Study. Cambridge

University Press. Cambridge.

Sembiring. 2005. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Surga Yang Unik.

[11 November 2008].

Sianipar, R. 2004. Kawasan Ekosistem Leuser.

Soerianegara, I dan Andri Indrawan. 1988. Ekologi Hutan Indonesia.

Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

[SRTM] Shuttle Radar Topography Mission.2008. Data and Elevation DEM.

Sulistyono. 1995. Pengaruh Tinggi Tempat Tumbuh Terhadap Produksi Getah

Pinus (Pinus merkusii Jungh et. de Vriese) di KPH Probolinggo Perum

Perhutani Unit II Jawa Timur. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas

Kehutanan IPB. Bogor.

Suratri, R. 1998. Lokakarya Kepala Balai dan Kepala Unit Taman Nasional

se-Indonesia.

Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid 1. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

______, 1994. Penginderaan Jauh Jilid 2. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Thoha, Achmad Siddik. 2006. Tesis Penggunaan Penginderaan jauh dan Sistem

Informasi Geografis Untuk Desteksi dan Prediksi Kebakaran Gambut di

Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Usman, Husaini dan Purnomo Setiadi Akbar. 2006. Pengantar Statitika. PT Bumi

Aksara. Jakarta.

Wiratno, Daru Indriyo, Ahamad Syarifudin, Ani Kartikasari. 2004. Berkaca di

Cermin Retak: Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan

Taman Nasional. The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO

Movement. Jakarta.

Wolf, P.R. 1993. Elemen Fotogrametri Dengan Interpretasi Foto Udara dan

Penginderaan Jauh. Edisi kedua. UGM Press. Yogyakarta.


(3)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hubungan antara Ketinggian Tempat dan NDVI

No. Koordinat Ketinggian NDVI N 1. 2 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 404021.806082 406590.878060 401134.898541 402845.845822 398813.982073 406758.754353 400661.919624 400577.922463 402929.842983 397021.929365 396602.238633 402005.874208 402509.857176 405499.682156 397974.010458 399653.953687 401501.891239 402761.848661 397530.782143 397021.929365 401669.885562 402509.857176 403311.336333 404525.789051 400877.572165 405661.177599 404150.565357 400111.426278 405409.408892 405996.869208 405845.947316 401417.894077 402304.261505 397520.656072 401381.109580 394587.723118 400547.331516 394163.739978 387114.216182 389464.057448 388040.547695 389215.681746 423565.112429 423911.390862 414258.504020 399373.929932 409873.575113 424582.896033 419029.265711 419029.265711 396602.023605 410313.411137 411236.730748 393746.120115 399205.935609 424666.834180 409201.597821 416677.345190 398869.946964 397609.989542 410058.150868 411068.854455 415333.390607 422977.132299 420554.681755 424321.086882 416778.151149 425002.595579 421309.987876 418001.049228 424499.058165 421813.525290 424827.859987 398953.944125 394958.196542 410567.856376 397140.192002 411992.174066 397219.060292 415854.999224 417533.457270 406455.634162 421057.493883 409893.720405 38 32 59 84 107 57 51 36 155 139 192 263 93 82 119 60 118 97 110 129 55 39 50 57 43 72 66 47 89 79 68 109 281 113 200 315 324 352 543 452 598 390 0,416 0,440 0,400 0,393 0,344 0,525 0,477 0,289 0,405 0,485 0,473 0,500 0,391 0,488 0,355 0,347 0,575 0,534 0,485 0,464 0,542 0,578 0,579 0,481 0,458 0,486 0,558 0,509 0,459 0,474 0,457 0,571 0,453 0,468 0,441 0,469 0,500 0,569 0,600 0,587 0,633 0,645


(4)

44. 45. 46. 47. 48. 49. 50.

395762.857168 393328.650921 386360.876658 389550.395510 384262.508992 389382.526097 390641.546696

395120.606631 398563.415599 412580.511608 404270.975651 410817.882769 405697.865664 411909.033955

765 385 590 480 445 456 433

0,624 0,522 0,600 0,536 0,645 0,500 0,657


(5)

Lampiran 2. Hubungan antara Kelerengan dengan NDVI

No. Koordinat Kemiringan Skor NDVI

N E

1. 409192.515649 426242.680591 0 – 8 % 5 0,590 2. 401272.827601 415121.416524 0 – 8 % 5 0,575 3. 402283.851607 419755.276552 0 – 8 % 5 0,610 4. 398745.267586 410234.800495 0 – 8 % 5 0,638 5. 399335.031589 423715.120576 0 – 8 % 5 0,643 6. 402115.347606 427927.720601 0 – 8 % 5 0,652 7. 427927.720601 424894.648583 0 – 8 % 5 0,500 9. 396638.967573 413773.384516 8 % – 15 % 4 0,574 10. 395880.699569 413183.620512 8 % – 15 % 4 0,467 11. 401946.843605 417059.212536 8 % – 15 % 4 0,448 12. 395796.447568 420597.796557 8 % – 15 % 4 0,459 13. 392847.627550 421187.560560 8 % – 15 % 4 0,594 14. 407086.215636 423630.868575 8 % – 15 % 4 0,597 15. 392847.627550 421187.560560 15% - 25 % 3 0,632 16. 407086.215636 423630.868575 15% - 25 % 3 0,447 17. 423630.868575 417985.984541 15% - 25 % 3 0,603 18. 408097.239642 427506.460598 15% - 25 % 3 0,625 19. 397649.991579 407791.492480 15% - 25 % 3 0,680 20. 407170.467637 423799.372576 15% - 25 % 3 0,404 21. 404811.411622 419502.520550 25% – 40% 2 0,570 22. 410961.807659 427253.704597 25% – 40% 2 0,427 23. 404053.143618 419671.024551 25% – 40% 2 0,581 24. 396807.471574 410740.312498 25% – 40% 2 0,435 25. 402115.347606 396333.220411 25% – 40% 2 0,576 26. 404727.159622 424557.640581 25% – 40% 2 0.507 27. 392510.619548 418912.756547 > 40% 1 0,417 28. 391415.343542 407370.232477 > 40% 1 0,306 29. 392763.375550 416216.692530 > 40% 1 0,553 30. 396301.959571 422619.844569 > 40% 1 0,351 31. 404305.899619 421440.316562 > 40% 1 0,351 32. 401946.843605 424641.892581 0 – 8 % 5 0,500 33. 397902.747581 413941.888517 15% - 25 % 3 0,432 34. 396049.203570 409308.028489 25% – 40% 2 0,481 35. 382568.883489 406190.704470 > 40% 1 0,595 36. 396638.967573 407454.484478 0 – 8 % 5 0,565 37. 402199.599607 396417.472412 15% - 25 % 3 0,588 38. 403042.119612 394900.936402 25% – 40% 2 0,533 39. 401272.827601 399366.292429 0 – 8 % 5 0,580 40. 402705.111610 395827.708408 0 – 8 % 5 0,532 41. 402283.851607 393300.148393 15% - 25 % 3 0,538 42. 402536.607609 395490.700406 25% – 40% 2 0,593 43. 389561.799531 407117.476476 > 40% 1 0,561 44. 390909.831539 418575.748545 > 40% 1 0,597 45. 402283.851607 392541.880388 0 – 8 % 5 0,674 46. 400767.315598 396838.732414 0 – 8 % 5 0,606 47. 397565.739579 405011.176463 8 % – 15 % 4 0,578 48. 393437.391554 402483.616448 15% - 25 % 3 0,584 49. 387286.995517 415121.416524 25% – 40% 2 0,659


(6)

Dokumen yang terkait

Hubungan Kerapatan Tajuk Dan Penggunaan Lahan Berdasarkan Analisis Citra Satelit Dan Sistem Informasi Geografis Di Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus Kawasan Hutan Resort Tangkahan, Cinta Raja, Sei Lepan dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)

4 65 77

Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Di Desa Harapan Jaya, Kecamatan Sei Lepan Kabupaten Langkat Sumatera Utara

1 35 133

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

3 18 113

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

0 0 12

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

0 0 2

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

0 0 6

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

0 1 27

Studi Mitigasi Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Berbasis Sistem Informasi Geografis di Sekitar Taman Nasional Gunung Leuser

0 0 4

this PDF file Pengaruh Kerapatan Vegetasi Terhadap Produktivitas Serasah Hutan Taman Nasional Gunung Leuser | Jayanthi | Elkawnie 1 PB

0 2 10

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMETAAN TINGKAT PERUBAHAN KERAPATAN VEGETASI DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU

0 1 47