Tinjauan Umum tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

34 Hak Atas Tanah dan Bangunan. Semula undang-undang ini ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1998. 47 Namun karena adanya gejolak moneter yang terjadi di Indonesia, maka masa berlakunya UU No.21 Tahun 1997 ini ditangguhkan selama 6 bulan terhitung sejak tanggal 1 Januari 1998 sampai dengan 30 Juni 1998. Mengenai penangguhan ini diatur dalam Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998. 48 Selanjutnya dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap UU No.21 Tahun 1997 tersebut dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988, yang selanjutnya disingkat UU No.20 Tahun 2000. Untuk melaksanakan otonomi daerah yang seutuhnya sebagai bentuk nyata adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dilakukanlah pengalihan beberapa jenis pajak yang awalnya merupakan pemungutan pajak yang kewenangannya dilakukan oleh pusat, kemudian dialihkan kewenangan pemungutan dan pemanfaatannya ke pemerintah daerah. Pengalihan beberapa jenis pajak ini kemudian oleh pemerintah diundangkan ke dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Reribusi Daerah. Gambaran secara umum dari pengaturan mengenai objek pajak, subjek pajak, serta tata cara perhitungan dan dasar dari pengenaan BPHTB yang terdapat 47 Ibid,h.18 48 Marihot P.Siahaan I,op.cit,h.38 35 dalam ketentuan UU No.28 Tahun 2009, adalah sama dengan pengatuan BPHTB sebagaimana yang diatur sebelumnya dalam UU No.21 Tahun 1997 yang kemudian dirubah dengan UU No.20 Tahun 2000. 49 2.2.3. Objek dan Subjek Pajak BPHTB BPHTB merupakan salah satu pajak objektif atau pajak kebendaan di mana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi objek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subyek pajak. 50 Sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat 1 UU No.28 Tahun 2009, yang disebutkan bahwa “Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak atas tanah danatau bangunan”. Perolehan hak atas tanah danatau bangunan yang menjadi objek pajak ada 15 lima belas jenis yang terbagi dalam 2 dua golongan besar, yaitu yang terjadi karena pemindahan hak dan karena pemberian hak baru. 51 Pada ketentuan pasal 85 ayat 2 UU No.28 Tahun 2009 disebutkan bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 meliputi: a. Pemindahan hak karena: 1 Jual beli; 2 Tukar menukar; 3 Hibah; 4 Hibah wasiat; 5 Waris; 6 Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; 7 Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8 Penunjukkan pembeli dalam lelang; 9 Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10 Penggabungan usaha; 11 Peleburan usaha; 49 Harry Hartoyo dan Untung Supardi, 2010, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB dan BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta,h.24 50 Marohot P. Siahaan I,op.cit, h.57 51 Ibid,h.64 36 12 Pemekaran usaha; 13 Hadiah. b. Pemberian hak baru karena: 1 Kelanjutan pelepasan hak; dan 2 Di luar pelepasan hak. Mengenai hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 85 ayat 1 tersebut, hak yang menjadi objek BPHTB diantaranya : 52 a. Hak Milik, yaitu suatu hak yang secara turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah. b. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku. c. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam UUPA. d. Hak Pakai, yaitu hak yang menggunakan danatau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputsan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa- menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 52 Ibid,h.65-66 37 e. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun meliputi pula hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. f. Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga danatau bekerja sama dengan pihak ketiga. Pada ketentuan Pasal 85 ayat 4 disebutkan bahwa “Objek Pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh : a. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan danatau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d. Orang pribadi atau Badan karena konvensi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e. Orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan f. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka apabila sebuah perolehan hak atas tanah danatau bangunan diperoleh oleh orang pribadi atau badan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 85 ayat 4, maka oleh penerima dari 38 perolehan hak atas tanah danatau banguan tersebut tidak dikenakan pajak BPHTB. Subjek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek pajak pajak baru menjadi wajib pajak kalau ia sekaligus memenuhi syarat-syarat objektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, sehingga firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, dapat menjadi subjek pajak. 53 Sesuai dengan namanya, BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah danatau bangunan, pengertian ini menunjukkan bahwa pajak dikenakan kepada pihak yang memperoleh hak. 54 Berdasarkan Pasal 86 ayat 1 disebutkan bahwa “Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah danatau Bangunan”. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 86 ayat 2 disebutkan bahwa “Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah danatau Bangunan”. 1.2.4. Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak BPHTB Dasar pengenaan pajak BPHTB sebagaimana yang ditentukan Pasal 87 ayat 1 disebutkan bahwa “Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP”. Dalam ketentuan Pasal 87 ayat 2 UU No.28 Tahun 2009 disebutkan bahwa “dalam hal NPOP sebagiamana yang ditentukan pada ayat 1, adalah sebagai berikut: 53 H.Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, op.cit,h.59 54 Ibid,h.70 39 Tabel 2.1. Tarif dan Dasar Pengenaan BPHTB No. Sumber Perolehan hak atas Tanah danatau Bangunan Dasar Pengenaan Pajak 1. Jual Beli Harga Transaksi 2. Tukar Menukar Nilai Pasar 3. Hibah, Hibah Wasiat dan Waris Nilai Pasar 4. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya Nilai Pasar 5. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak Nilai Pasar 6. Penunjukan pembeli dalam lelang Harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang 7. Peralihan hak karena karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum Nilai Pasar 8. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak Nilai Pasar 9. Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak Nilai Pasar 10. Penggabungan, Peleburan dan Pemekaran Usaha Nilai Pasar 11. Hadiah Nilai Pasar Meskipun terdapat lima belas jenis perolehan hak yang mempunyai NPOP tesendiri, namun pada dasarnya hanya terdapat tiga jenis harga atau nilai yang menjadi NPOP, yaitu harga transaksi, nilai pasar, dan harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. Menurut penjelasan Pasal 5 ayat 2 huruf a Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam hal ini pembeli dan penjual. Pada penjelasan Pasal 5 ayat 2 huruf a Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah danatau bangunan. Sedangkan menurut Keputusan Menteri 40 Keuangan Nomor 304KMK.012002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pada Pasal 1 angka 13 disebutkan bahwa harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang adalah harga riil yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang. Dalam pengenaan pajak, untuk meringankan orang pribadi atau badan yang menerima setiap perolehan hak atas tanah danatau bangunan ditentukan dalam Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak selanjutnya disingkat NPOPTKP. NPOPTKP adalah suatu besaran tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Apabila NPOP yang menjadi dasar pengenaan pajak suatu objek BPHTB kurang dari NPOPTKP yang ditetapkan, atas objek tersebut tidak ada BPHTB yang harus dibayar atau tidak terhutang BPHTB. Sementara itu, apabila NPOP besarnya lebih dari NPOPTKP yang ditetapkan, besarnya pajak terutang dihitung dari selisih antara NPOP dan NPOPTKP. 55 Dalam Pasal 87 ayat 4 UU No.28 Tahun 2009 disebutkan bahwa “Besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp 60.000.000,00 enam puluh juta rupiah untuk setiap Wajib Pajak”. Selanjutnya pada ayat 5 ditentukan bahwa “Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suamiistri, NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00 tiga ratus juta. Selanjutnya NPOPTKP ini akan ditetapkan dengan peraturan daerah oleh pemerintah daerah. Untuk penetapan tarif pajak, menurut Pasal 88 ayat 1 tarif pajak BPHTB ditetapkan paling tinggi 55 Marihot P. Siahaan I, op.cit, h.172 41 5 lima persen dan menurut ayat 2 penetapan tarif pajak BPHTB ini harus ditetapkan dalam peraturan daerah. 1.2.5. Saat Terhutang Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB Pengaturan mengenai saat terhutangnya pajak BPHTB ditentukan dalam ketentuan Pasal 90 ayat 1 UU No.28 Tahun 2009 yaitu : a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuatnya dan ditandatanganinya akta; b. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanginya akta; c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; d. Hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; e. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan; f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah seja tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; i. Pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; j. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; k. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; l. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; m. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; n. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan o. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang. Pada ketentuan Pasal 90 ayat 2 ditegaskan bahwa pajak yang terhutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan ayat 1. Jadi pelunasan pajak BPHTB dilaksanakan pada saat orang pribadi atau badan memperoleh hak atas tanah danatau bangunan. 42

2.3. Tinjauan Umum tentang Jual Beli Tanah

Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah bersifat dualistis yaitu berlakunya hukum tanah barat berdampingan dengan hukum adat tanah.Hukum tanah barat berlaku bagi tanah-tanah denga hak-hak barat seperti hak eigendom, tanah erfpacht, tanah postal, dan lain sebagainya.Sedangkan hukum adat tanah berlaku bagi tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia seperti tanah milik, tanah usaha, tanah Bangkok, dan lain sebagainya. 56 Begitu juga halnya mengenai jual beli tanah di Indonesia yang mempergunakan 2 dua sistem hukum, yaitu sistem hukum barat bagi golongan Eropa dan sistem hukum adat bagi gologan bumiputera.Hal tersebut dipengaruhi oleh sistem hukum yang bersifat kolonial dan feodal sebagai akibat selama ratusan tahun dijajah oleh Belanda. Dalam masyarakat hukum adat jual beli tanah di laksanakan secara terang dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar dilaksanakan di hadapan kepala adat atau kepala desa, sedangkan tunai berarti adanya dua perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek jual beli dari penjual kepada pembeli dan pembayaran harga dari pembeli kepada penjual terjadi serentak secara bersamaan. 57 Sedangkan jual beli tanah menurut hukum barat adalah suatu perjanjian seperti yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1457 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu : “Jual beli 56 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum UNUD, Denpasar, h.124. 57 Effendi Perangin, 1994, Hukum Agraria di Indonesia : Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.15 43 adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yanga akan dijual. Dalam praktek disebut jual beli tanah, namun hak atas tanah yang dijual, bukan tanahnya.Memang benar dengan tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah tersebut, tetapi yang dibeli dijual bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya. 58 Setelah adanya UUPA, hukum adat menjadi dasar dari hukum tanah Nasional.Jual beli tanah sekarang memiliki pengertian, yaitu dimana pihak penjual menyerahkan tanah dan pembeli membayar harga tanah, maka berpindahlah hak atas tanah itu kepada pembeli.Perbuatan hukum ini bersifat tunai, terang dan riil. 59 Tunai berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk selama-lamanya, dengan disertai pembayaran sebagian atau seluruh harga tanah tersebut. Terang berarti perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT, tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi.Riil atau secara nyata adalah menunjuk kepada akta PPAT yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.Jadi jual beli tanah secara singkat merupakan peralihan hak atas tanah yang menjadi objek jual beli tanah telah terjadi sejak ditandatanganinya akta jual beli di hadapan PPAT yang berwenang dan dibayarnya harga oleh pembeli kepada penjual. 58 Effendi Perangin, 1994, Jual Beli Tanah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.8 59 Boedi Harsono, 2003, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi Pelaksanaanna, Hukum Tanah Nasional Jilid 1, Djamban, Jakarta, h.333 44

2.4. BPHTB sebagai Sumber PAD di Kabupaten Badung

Negara Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip federalism, salah satunya seperti otonomi daerah.Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 60 Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah. 61 Ketentuan ini dimaksudkan bahwa daerah diberikan kebebasan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah pusat namun masih dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 UUD 1945 merupakan dasar hukum pembentukan pemerintah daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, yang mengandung arti bahwa 60 Pheni Chalid, 2005, Otonomi Daerah : Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik, Kemitraan, Malang, h.5 61 H.M. Busrizalti, 2013, Hukum Pemda : Otonomi Daerah dan Implikasinya, Total Media, Yogyakarta, h.62 45 daerah diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat.Sedangkan prinsip otonomi nyata merupakan suatu prinsip bahwa dalam menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan perpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang. 62 Pada tahun 1956 diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 77 bertujuan untuk pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah-daerah yang berhak mengurus umah tangganya sendiri, di mana pengurusan keuangan diberikan pula secara luas. Secara garis besar undang-undang ini menetapkan 4 empat aturan pokok, yakni : 1. Sumber pendapatan daerah terdiri dari pajak daerah dan retribusi daerah. 2. Daerah dalam hal-hal tertentu dapat diberikan subsidi, sumbangan dan ganjaran. 3. Beberapa pajak negara diserahkan sebagai pajak daerah. 4. Daerah memperoleh bagi hasil dari penerimaan pajak pusat tertentu. 63 Oleh karena undang-undang menekankan pada otonomi daerah, maka penyelenggaraan keuangan daerah diatur sebagai berikut : 1. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, yata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupatenkota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah. 2. Dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah kernangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan daerah. 64 62 Jantje D. South, 2013, Kewenangan Daerah Mengelola Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi vol.1 No.5, Oktober-Desember,h.80 63 Azhari Aziz Samudra, op.cit, h.41 64 Ibid, h. 50