Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
4
selanjutnya disebut Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 sebagai landasan legalitas pemerintah daerah kabupaten Badung untuk melaksanakan
pemungutan pajak BPHTB. Melihat kondisi di masyarakat, pemerintah Kabupaten Badung menyempurnakan kembali Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 28, Tambahan Lembaran Daerah
Kabupaten Badung Nomor 27, yang selanjutnya disebut Perda Kabupaten Badung No.28 Tahun 2013. Dalam perubahan Perda Kabupaten Badung No.28 Tahun
2013 yang dirubah hanyalah ketentuan pada Pasal 6 ayat 2 yaitu pada pengenaan tarif pajak untuk waris yang pada Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010
sebelumnya dikenakan pajak sebesar 1 untuk waris sepanjang tetap difungsikan sebagai lahan pertanian, diubah menjadi pengenaan pajak dikenakan sebesar 0
untuk waris atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau
satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suamiistri. Salah satu objek pajak BPHTB yakni dengan pemindahan hak karena
adanya jual beli. Jual beli merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu.Transaksi jual beli tanah danatau bangunan merupakan suatu
aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat yang dapat memberikan pemasukan berupa pajak dalam jumlah yang relatif besar bagi daerah. Karena jual beli
5
merupakan suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan hutang pajak.
4
Dasar dalam pengenaan pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP yang
dalam hal jual beli adalah harga transaksi. Menurut penjelasan Pasal 5 ayat 2 huruf a Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 Yang dimaksud dengan
harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain harga transaksi merupakan harga riil objek
jual beli yang disepakati oleh kedua belah pihak yakni penjual dan pembeli, tanpa harus berpatokan pada nilai pasar objek yang diperjual belikan.
5
Ketentuan tersebut menghendaki bahwa harga transaksi jual beli yang dilaporkan adalah
mendekati nilai pasar wajar properti tersebut. Hal ini kadang sulit diterapkan mengingat besarnya harga transaksi akan mempengaruhi biaya-biaya yang
berkaitan dengan transaksi tersebut, seperti biaya pengurusan sertifikat, biaya notarisPPAT, Pajak Penghasilan, dan biaya lain yang berkaitan. Oleh karena itu
pihak penjual dan pembeli memilih kecenderungan untuk tidak mencantumkan harga transaksi yang sesungguhnya pada akta jual beli yang dibuat dengan
maksud untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh penjual dan pembeli.
6
Hal tersebut juga terjadi di Bali salah satunya di Kabupaten Badung yang dalam pelaksanaannya
masih banyak wajib pajak yang memiliki kecenderungan untuk tidak mencantumkan harga transaksi yang sebenarnya, hal
tersebut agar wajib pajak dapat meminimalisir pembayaran pajak BPHTB. Oleh karena adanya kecenderungan tersebut, kemudian dijadikan dasar pemikiran
4
Budi Ispriyaso, Aspek Perpajakan dalam Pengalihan Hak Atas Tanah danatau Bangunan karena Adanya Transaksi Jual Beli, Masalah-masalah Hukum, Volume 34, No.4
Oktober-Desember 2005, h.277
5
Marihot P. Siahaan I, op.cit, h.165
6
Ibid, h.166-167
6
bahwa untuk menentukan dasar pengenaan pajak dibutuhkan suatu unsur sebagai penyangga buffer manakala atas suatu transaksi jual beli harga transaksi yang
disepakati penjual dan pembeli serta dituangkan dalam akta jual beli bukan merupakan harga transaksi yang sebenarnya, dan apabila nilai pasar objek
perolehan hak tidak diketahui berapa besarnya. Untuk itu pemerintah menetapkan Nilai Jual Objek Pajak NJOP sebagai penyangga dari keadaan tersebut. Hal ini
dilakukan dengan cara membandingkan harga tranksaksi dan nilai pasar dengan NJOP tanah dan bangunan yang menjadi objek perolehan hak, dengan ketentuan
mana yang nilainya paling tinggi itulah yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak.
7
Dalam pengaturan di setiap daerah telah ditentukan bagaimana tata cara pemungutan pajak BPHTB. Hal ini dimaksudkan agar di setiap daerah tetap dapat
mendapatkan dana untuk pembangunan pemerintah bagi kepentingan masyarakat. Namun pada pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB khususnya dalam hal jual
beli tanah danatau bangunan, disinyalir masih belum sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di masing-masing
kabupatenkota. Terdapat perbedaan pelaksanaan salah satunya dalam penentuan NPOP dalam pemungutan pajak BPHTB di setiap kabupatenkota khususnya pada
kabupaten Badung. Dan juga dirasa masih terdapat kendala-kendala dalam hal pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB. Sehubungan dengan latar belakang di
atas, maka permasalahan tersebut menarik untuk diangkat menjadi karya tulis
dengan judul : “Pelaksanaan Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas
7
Ibid, h.167-168
7
Tanah dan Bangunan BPHTB dalam Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kabupaten Badung”