Pelaksanaan Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Jual Beli Tanah dan Bangunan di Kabupaten Badung.

(1)

PELAKSANA

PEROLEHAN

(BPHTB)

BANGUNAN

ANAK

i

SANAAN PEMUNGUTAN PAJAK

N HAK ATAS TANAH DAN BAN

B) DALAM JUAL BELI TANAH

UNAN DI KABUPATEN BADUN

AK AGUNG ISTRI CHINTYA PARAMITHA

NIM. 1203005154

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

AK BEA

ANGUNAN

H DAN

ADUNG


(2)

ii

(BPHTB) DALAM JUAL BELI TANAH DAN

BANGUNAN DI KABUPATEN BADUNG

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

A.A. ISTRI CHINTYA PARAMITHA NIM. 1203005154

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

v

Om Swastyastu,

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas limpahan Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, penulisan skripsi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata 1 (S1) dalam bidang hukum pada Fakultas Hukum Universita Udayana. Adapun judul yang dipilih dalam penulisan skripsi ini adalah

PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS

TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DI KABUPATEN BADUNG

Keberhasilan penyusunan ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan secara moril maupun materiil dari berbagai pihak. Untuk itu melalui kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, SH., MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Periode 2012–2016.


(6)

vi

7. Bapak I Nyoman Bela Sikilayang, SH.,MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana Periode 2012–2016.

8. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana Periode 2012–2016.

9. Bapak Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, SH.,MH, selaku Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh kesabaran dalam penulisan skripsi ini.

10. Bapak I Ketut Suardita, SH.,MH, selaku Pembimbing II yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh kesabaran dalam penulisan skripsi ini.

11. Ibu Made Nurmawati, SH.,MH, selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan waktu dan petunjuk selama mengikuti perkuliahan.

12. Bapak I Ketut Suardita, SH.,MH, selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah menyetujui skripsi yang saya buat ini.

13. Bapak dan Ibu Dosen serta segenap Staff Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan pengetahuan dan bimbingan yang sangat berharga kepada saya, serta membantu dalam mengurus segala keperluan administrasi selama saya kuliah.

14. Bapak I Made Sudama, SP dan Bapak Kadek Wiratnata, S.Sos.,M.AP selaku Kepala Unit Pelaksanaan Teknis PBB dan BPHTB di Kabupaten


(7)

vii

yang telah berkenan memberikan waktunya kepada penulis dalam memberikan informasi dan data dalam menyelesaikan skripsi ini.

15. Orang Tua tercinta, Bapak Ir. A.A. Gde Budiartha, M.Si dan Ibu A.A. Sri Anggraini, SH.,M.Kn, serta Kakek A.A. Raka Saputra (alm) dan Nenek A.A. Rai Tjandrawati, dan juga Adik A.A. Istri Kaila Kirtaniya atas segala perhatian dan kasih sayangnya.

16. Terima kasih untuk sahabat-sahabat penulis Claudia, Mega, Sayu, Cida, Kiki, Dewi, April, Selly, Ayumi, Dije, Mita, Sari, Hendra, Jerry, Wisnu, Widnyana, sahabat BAPER (Yumer, Adel, Vita, Monique, Esbe), OC Liga Hukum (Agung W, Ciras, Yuda), OC GLB (Katos, Jung Mira, Dewa Adhy) dan Rekan-rekan KKN Buahan Kaja.

17. Kepada teman-teman penulis dalam organisasi SCIL dan LMFH yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Teman-teman se-PA Diska, Krisna Adhi, Rony, Renatha, Rangga, Moje, Yoga, Aileen, Adelina, Monique, Riska, Padma, Yuda, Elsye, Chandra yang telah berjuang bersama-sama menempuh ilmu selama di Fakultas Hukum. Teman-teman se-PK tebo, gem, sabo, taka, boldes yang selalu berdiskusi bersama selama menempuh PK Pemerintahan sampai dengan penyusunan skripsi.

18. Teman-teman penulis lainnya seperti Kak Wisnu Banteng, Kak Mirah, Kak Bon-Bon, MithaRos, Nanda, Bima, Djimbot, Desak, Noving, Ai, Gek Linda, Koling, Dedek, Genta, dan rekan-rekan angkatan 2012 yang telah menumbuhkan rasa persatuan yang tak akan terlupakan.


(8)

viii

dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik sebagai bahan bacaan maupun untuk pengetahuan bagi yang memerlukan.

Denpasar, 9 Mei 2016


(9)

ix

Halaman Sampul Dalam ... i

Halaman Prasyarat Gelar Sarjana... ii

Halaman Persetujuan Pembimbing ... iii

Halaman Pengesahan Penguji ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... ix

Halaman Pernyataan Keaslian... xii

Abstrak ... xiii

Abstract ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 7

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 7

1.4. Orisinalitas ... 7

1.5. Tujuan Penelitian ... 8

1.5.1. Tujuan Umum ... 8

1.5.2. Tujuan Khusus ... 9


(10)

x

1.7. Landasan Teoritis ... 10

1.8. Asumsi ... 18

1.9. Metode Penelitian ... 18

1.9.1. Jenis Penelitian ... 18

1.9.2. Jenis Pendekatan ... 18

1.9.3. Sifat Penelitian ... 19

1.9.4. Data dan Sumber Data ... 19

1.9.5. Teknik Pengumpulan Data... 20

1.9.6. Pengolahan dan Analisis Data ... 21

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Umum tentang Pajak... 22

2.1.1 Pengertian Pajak... 22

2.1.2 Jenis-jenis dan TarifPajak ... 25

2.2. Tinjauan Umum tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)... 31

2.2.1. Pengertian Pajak BPHTB... 31

2.2.2. Dasar Hukum Pajak BPHTB... 32

2.2.3. Objek dan Subjek BPHTB ... 35

2.2.4. Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak BPHTB... 38

2.2.5. Saat dan Tempat Terhutangnya BPHTB... 40

2.3. Tinjauan Umum tentang Jual Beli Tanah ... 42


(11)

xi

BADUNG

3.1. Dasar dalam menentukan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam BPHTB pada Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan di Kabupaten Badung... 50 3.2. Penghitungan Pajak BPHTB dalam Jual Beli Tanah dan/atau

Bangunan ... 56 3.3. Mekanisme Pelaksanaan Pemungutan BPHTB dalam Jual Beli

Tanah dan/atau Bangunan di Kabupaten Badung ... 57

BAB IV KENDALA-KENDALA DALAM PELAKSANAAN

PEMUNGUTAN PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) DALAM JUAL BELI

TANAH DAN/ATAU BANGUNAN DI KABUPATEN

BADUNG

4.1. Kendala-kendala Dalam Pelaksanaan Pemungutan Pajak BPHTB dalam Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan di Kabupaten Badung ... 65 4.2. Upaya untuk Menyelesaikan Kendala Dalam Pelaksanaan

Pemungutan Pajak BPHTB dalam Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan di Kabupaten Badung ... 71

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 76 5.2. Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN


(12)

(13)

xiii

Salah satu jenis pajak yang baru ditetapkan di Idonesia adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Awalnya BPHTB merupakan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat kini beralih kewenangannya ke Pemerintah Daerah. Salah satu objek pajak BPHTB yakni dengan pemindahan hak karena adanya jual beli tanah dan/atau bangunan. Pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB dalam jual beli tanah dan/atau bangunan di Kabupaten Badung masih terdapat perbedaan pelaksanaan, salah satunya dalam penentuan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dan juga masih terdapat kendala-kendala dalam pemungutan pajak BPHTB.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris dengan teknik analisis data kualitatif dan teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi dokumen.

Berdasarkan hasil penelitian, dasar dalam menentukan NPOP pajak BPHTB dalam jual beli tanah dan/atau bangunan adalah nilai transaksi. Karena adanya kecenderungan untuk tidak mencantumkan harga transaksi yang riil, maka Dispenda/Pasedahan Agung Kabupaten Badung melakukan penelitian atau verifikasi pada harga transaksi yang dicantumkan. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh kebenaran nilai transaksi dengan cara membandingkan harga pasar tanah yang telah dikumpulkan Dispenda/Pasedahan Agung Kabupaten Badung. Setelah dilakukan penelitian atau verifikasi, harga transaksi tersebut dibandingkan lagi dengan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), dimana harga yang lebih tinggi akan digunakan sebagai NPOP. Selain itu terdapat beberapa kendala-kendala dalam hal pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB dalam jual beli tanah dan/atau bangunan di Kabupaten Badung.

Kata Kunci : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Harga Transaksi, Jual Beli Tanah dan/atau Bangunan


(14)

xiv

Acquisition Duty of Right on Land and Building (BPHTB). Initially BPHTB is a tax that is levied by the Central Government, the authority is now turning to Regional Governments. One of the objects of BPHTB tax is the transfer of the rights for their buying and selling land and/or buildings. There are differences in BPHTB Tax collection implementation of buying and selling land and/or buildings in Badung regency, one of them is the determination of Acquisition Cost of the Tax Object (NPOP) and also there are still some obstacles in the collection of BPHTB Tax.

This study uses empirical legal research with qualitative data analysis techniques and techniques of data collection through interviews and document study.

Based on this research, the basis for determining the NPOP of the BPHTB Tax in the buying and sellingland and / or building is the transaction value. Because of a tendency to exlude the real transaction price, Dispenda/Pasedahan Agung Kabupaten Badung conducted research or verification to the transaction price listed. That is done to obtain the real transaction value by comparing the market price of the land that has been collected by Dispenda/Pasedahan Agung Kabupaten Badung. After the research or the verification is done, transaction prices are compared again with the Land and Building Tax Object Sales Value (NJOP PBB), where the higher price will be used as NPOP. Furthermore, there are some obstacles in terms of the tax collection implementation of duty on land and building right acquisition (BPHTB) in buying and selling land and buildings in Badung regency.

Keywords : Duty on Land and Building Right Acquisition (BPHTB), Transaction Price, Buying and Selling Land and/or Buildings


(15)

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak lepas dari adanya penggunaan serta pemanfaatan anggaran dan pendapatan daerah. Setiap tahunnya pemerintah daerah akan membuat rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dikenal dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (yang selanjutnya disingkat APBD), anggaran inilah yang nantinya akan digunakan sebagai pelaksanaan pembangunan di daerah. Dalam APBD, anggaran pendapatan tersebut salah satunya dari Pendapatan Asli Daerah (yang selanjutnya disingkat PAD) yang dapat diperoleh dari pajak daerah serta retribusi daerah. Kabupaten Badung dengan sebanyak 36 objek wisata masih menjadi primadona wisatawan mancanegara yang hendak berkunjung ke Bali. Sebagai salah satu destinasi pariwisata Internasional, sektor pariwisata menjadi tulang punggung perekonomian, disamping adanya sektor pertanian dan sektor kerajinan atau ekonomi kreatif. Ketiga sektor ini menjadi potensi unggul penghasil PAD Kabupaten Badung yang juga merupakan kabupaten dengan PAD terbesar di Bali.

Dewasa ini dengan banyaknya pembangunan yang dilakukan, harga tanah semakin meningkat. Seperti di daerah Badung yang merupakan salah satu kabupaten dengan harga tanah yang cukup tinggi dibandingkan kabupaten lain yang terdapat di Bali. Hal ini disebabkan karena kebanyakan daerah di Kabupaten Badung memiliki potensi pariwisata sehingga banyak investor yang akan tertarik membeli tanah dan membangun di dekat kawasan pariwisata. Mengingat begitu


(16)

pentingnya kebutuhan dan penggunaan akan tanah dan/atau bangunan yang menghasilkan nilai ekonomis, pemerintah berhak mengadakan iuran berupa wajib membayar pajak tanah dan/atau bangunan bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Dan tentunya rakyat berkewajiban dalam hal membayar iuran wajib berupa pajak kepada negara. Menurut P.J.A. Andriani, pajak adalah iuran pada negara yang dapat dipaksakan, yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintahan.1 Salah satu jenis pajak yang baru ditetapkan di Indonesia seiring dengan penggalian potensi baru adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (yang selanjutnya disingkat BPHTB) yang mulai diberlakukan sejak tahun 1997.2 BPHTB merupakan salah satu pajak obyektif atau pajak kebendaan dimana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi obyek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subyek pajak.3

Dasar hukum penerapan pemungutan pajak di Indonesia adalah ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) Pasal 23A yang berbunyi: “Pajak dan

pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang”. Dari ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa dalam hal

pemungutan pajak, pemerintah haruslah didasarkan pada suatu peraturan

1

H. Bohari, 2012,Pengantar Hukum Pajak, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.23

2

Marihot P. Siahaan, 2005, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan Praktik, PT.RajaGrafindo, Jakarta (selanjutnya disingkat Marihot P. Siahaan I),h.7

3


(17)

perundang-undangan. Oleh karena ketentuan dalam pasal 23A tersebut, Negara mengatur mengenai BPHTB ke dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049, yang selanjutnya disebut UU No.28 Tahun 2009) yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. Diadakannya Undang-Undang ini bertujuan sebagai:

1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam hal perpajakan dan retribusi;

2. Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintah sekaligus memperkuat otonomi daerah; 3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan

daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Berlakunya UU No.28 Tahun 2009 ini semula pemungutan pajak BPHTB dipungut oleh Pemerintah Pusat kini beralih menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota,sehingga BPHTB menjadi pajak daerah yang berpotensi meningkatkan PAD dan bertujuan meningkatkan local taxing power di kabupaten/kota. Pajak BPHTB dalam undang-undang ini diatur dalam Bab II tentang Pajak pada bagian ke tujuh belas dari ketentuan Pasal 85 sampai dengan Pasal 93.

Dengan beralihnya kewenangan pemungutan pajak BPHTB, maka pemerintah kabupaten Badung telah menetapkan dan memberlakukan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2010 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 14, yang


(18)

selanjutnya disebut Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010) sebagai landasan legalitas pemerintah daerah kabupaten Badung untuk melaksanakan pemungutan pajak BPHTB. Melihat kondisi di masyarakat, pemerintah Kabupaten Badung menyempurnakan kembali Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 dengan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 28 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 28, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 27, yang selanjutnya disebut Perda Kabupaten Badung No.28 Tahun 2013). Dalam perubahan Perda Kabupaten Badung No.28 Tahun 2013 yang dirubah hanyalah ketentuan pada Pasal 6 ayat (2) yaitu pada pengenaan tarif pajak untuk waris yang pada Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 sebelumnya dikenakan pajak sebesar 1% untuk waris sepanjang tetap difungsikan sebagai lahan pertanian, diubah menjadi pengenaan pajak dikenakan sebesar 0% untuk waris atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri.

Salah satu objek pajak BPHTB yakni dengan pemindahan hak karena adanya jual beli. Jual beli merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu.Transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat yang dapat memberikan pemasukan berupa pajak dalam jumlah yang relatif besar bagi daerah. Karena jual beli


(19)

merupakan suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan hutang pajak.4Dasar dalam pengenaan pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang dalam hal jual beli adalah harga transaksi. Menurut penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf a Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain harga transaksi merupakan harga riil objek jual beli yang disepakati oleh kedua belah pihak yakni penjual dan pembeli, tanpa harus berpatokan pada nilai pasar objek yang diperjual belikan.5 Ketentuan tersebut menghendaki bahwa harga transaksi jual beli yang dilaporkan adalah mendekati nilai pasar wajar properti tersebut. Hal ini kadang sulit diterapkan mengingat besarnya harga transaksi akan mempengaruhi biaya-biaya yang berkaitan dengan transaksi tersebut, seperti biaya pengurusan sertifikat, biaya notaris/PPAT, Pajak Penghasilan, dan biaya lain yang berkaitan. Oleh karena itu pihak penjual dan pembeli memilih kecenderungan untuk tidak mencantumkan harga transaksi yang sesungguhnya pada akta jual beli yang dibuat dengan maksud untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh penjual dan pembeli.6 Hal tersebut juga terjadi di Bali salah satunya di Kabupaten Badung yang dalam pelaksanaannya masih banyak wajib pajak yang memiliki kecenderungan untuk tidak mencantumkan harga transaksi yang sebenarnya, hal tersebut agar wajib pajak dapat meminimalisir pembayaran pajak BPHTB. Oleh karena adanya kecenderungan tersebut, kemudian dijadikan dasar pemikiran

4

Budi Ispriyaso, Aspek Perpajakan dalam Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan karena Adanya Transaksi Jual Beli, Masalah-masalah Hukum, Volume 34, No.4 Oktober-Desember 2005, h.277

5

Marihot P. Siahaan I,op.cit, h.165

6


(20)

bahwa untuk menentukan dasar pengenaan pajak dibutuhkan suatu unsur sebagai penyangga (buffer) manakala atas suatu transaksi jual beli harga transaksi yang disepakati penjual dan pembeli serta dituangkan dalam akta jual beli bukan merupakan harga transaksi yang sebenarnya, dan apabila nilai pasar objek perolehan hak tidak diketahui berapa besarnya. Untuk itu pemerintah menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai penyangga dari keadaan tersebut. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan harga tranksaksi dan nilai pasar dengan NJOP tanah dan bangunan yang menjadi objek perolehan hak, dengan ketentuan mana yang nilainya paling tinggi itulah yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak.7

Dalam pengaturan di setiap daerah telah ditentukan bagaimana tata cara pemungutan pajak BPHTB. Hal ini dimaksudkan agar di setiap daerah tetap dapat mendapatkan dana untuk pembangunan pemerintah bagi kepentingan masyarakat. Namun pada pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB khususnya dalam hal jual beli tanah dan/atau bangunan, disinyalir masih belum sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di masing-masing kabupaten/kota. Terdapat perbedaan pelaksanaan salah satunya dalam penentuan NPOP dalam pemungutan pajak BPHTB di setiap kabupaten/kota khususnya pada kabupaten Badung. Dan juga dirasa masih terdapat kendala-kendala dalam hal pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB. Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka permasalahan tersebut menarik untuk diangkat menjadi karya tulis dengan judul : “Pelaksanaan Pemungutan Pajak Bea Perolehan Hak Atas

7


(21)

Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam Jual Beli Tanah dan Bangunan di

Kabupaten Badung”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi dasar dalam menentukan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam pemungutan pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan pada jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten Badung? 2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan pajak Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam jual beli tanah dan bangunan di Kabupaten Badung ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk memperoleh uraian yang lebih jelas, terarah dan sistematis dari pembahasan permasalahan tersebut di atas, maka penulis perlu memberikan adanya batasan-batasan tertentu yang tercakup dalam ruang lingkup masalah. Adapun yang menjadi ruang lingkup permasalahan, yakni mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB dalam jual beli tanah dan/atau bangunan di kabupaten Badung, apa saja yang menjadi dasar dalam menentukan NPOP, sertamengenai kendala-kendala yang dialami dalam pemungutan pajak BPHTB.

1.4. Orisinalitas

Bahwa memang benar skripsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Penulisan mengenai pelaksanaan


(22)

pemungutan pajak BPHTB ini telah ada yang menulis penelitian sejenis namun pokok permasalahan yang dimuat berbeda dengan apa yang penelitian yang akan di bahas dalam skripsi ini. Berikut beberapa judul penelitian dan rumusan masalah yang serupa dalam bentuk tabel sebagai berikut :

No. Judul Penelitian Penulis Rumusan Masalah

1. Pengaturan Tentang

Pengenaan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan

(BPHTB) Atas

Hibah Wasiat

I Gusti Agung Putra Wiryawan. 1292462007. Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana

a. Bagaimanakah pengaturan pajak hibah wasiat pada bea perolehan hak atas tanah dan bangunan ?

b. Bagaimanakah kendala-kendala dalam pengenaan tarif pajak hibah wasiat pada bea perolehan hak atas tanah dan bangunan

2. Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) dalam Jual Beli Tanah dan/atau

Bangunan di Kota Semarang

Sri Ariyanti, B4B004174. Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro

a. Bagaimanakan pemungutan BPHTB terhadap transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan ?

b. Bagaimanakah peranan

PPAT/Notaris dalam

pemungutan BPHTB?

c. Hambatan-hambatan apakah yang timbul dalam pemungutan BPHTB dan bagaimana upaya untuk mengatasinya?

1.5. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian sudah semestinya memiliki tujuan penelitian yang dapat memberikan arah pada suatu penelitian yang dilakukan. Begitu pula halnya dalam penulisan ini mempunyai 2 (tujuan) yakni tujuan umum dan tujuan khusus, diantaranya :

1.5.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, pada bidang pendidikan tentang perpajakan yakni mengenai tata cara


(23)

pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB khususnya dalam jual beli tanah dan/atau bangunan.

1.5.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan memahami tentang tata cara pelaksanaan dan apa aja yang menjadi dasar dalam menentukan NPOP pemungutan pajak BPHTB khususnya dalam jual beli tanah dan/atau bangunan di Kabupaten Badung.

2. Untuk mengetahui dan memahami tentang kendala-kendala dalam pemungutan pajak BPHTB khususnya dalam jual beli tanah dan/atau bangunan di Kabupaten Badung.

1.6. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian selalu diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beragai pihak. Adapun manfaat yang di peroleh dari penelitian ini yakni terdapat 2 (dua) manfaat, diantaranya:

1.6.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis penelitian ini adalah hasil penelitian ini bagi kalangan akademisi diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang hukum pajak khususnya mengenai pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB dalam jual beli tanah dan/atau bangunan. Dan juga semoga penelitian ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat teoritis bagi pengembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan bidang perpajakan.


(24)

1.6.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penulisan dari suatu penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk berbagai pihak. Adapun manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagaiberikut:

1. Bagi pemerintah, dapat sebagai masukan informasi terkait pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB dalam jual beli tanah dan/atau bangunan, serta untuk meningkatkan kualitas pelayanan pajak pada masyarakat.

2. Bagi masyarakat adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat yang ingin melakukan pembayaran pajak BPHTB mengenai pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB khususnya dalam jual beli tanah dan/atau bangunan di Kabupaten Badung.

3. Bagi penulis adalah untuk menambah wawasan penulis berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB khususnya dalam jual beli tanah dan/atau bangunan di Kabupaten Badung.

1.7. Landasan Teoritis

Dalam penelitian ini digunakan landasan teoritis berupa teori, konsep, dan asas sebagai berikut :

1.7.1. Teori Negara Hukum

Negara hukum ialah negara yang seluruh aksinya didasarkan dan diatur oleh Undang-Undang yang ditetapkan semula dengan bantuan dari badan pemberi suara rakyat.8 Selanjutnya mengenai konsep negara hukum berkembang menjadi

8


(25)

dua sistem hukum yakni, sistem hukum Eropa Kontinental dengan istilah

rechtsstaatdan sistemanglo saxon(rule of law).

Setelah adanya perubahan ketiga UUD 1945, konsepsi Negara Hukum Indonesia tertuang secara jelas dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya Negara Kesatuan Republik

Indonesia adalah negara yang berdasar atas Hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstsstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).9 Menurut Padmo Wahyono, untuk menunjukkan bahwa pola (konsep negara hukum di Indonesia) yang diambil tidak menyimpang dari konsep Negara Hukum pada umumnya (genusbegrip), namun disesuaikan dengan kondisi Indonesia atau digunakan dengan ukuran pandangan hidup ataupun pandangan bernegara. Jadi konsep negara hukum yang diterapkan di Indonesia secara garis besar tetap mengacu pada kriteria-kriteria negara hukum (rechtstaat) tetapi terdapat beberapa tambahan yang disesuaikan dengan kondisi, cara pandang hidup dan bernegara di Indonesia.10 Maka dari itu konsep negara hukum di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah negara hukum Pancasila. Unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, adalah :

1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga negara;

2. Adanya pembagian kekuasaan;

9

Winarno, 2007, Pradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, PT.Bumi AKsara, Jakarta, h.116

10

Padmo Wahyono, 1983, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.7


(26)

3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;

4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedangkan khusus untuk Mahkamah Agung harus juga merdeka dari pengaruh-pengaruh lainnya.11

Dari uraian di atas terdapat adanya unsur asas legalitas dalam unsur negara hukum Pancasila. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaeaan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem Kontinental.12 Asas legalitas ini sendiri menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Pada mulanya asas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh negara. Di

Inggris dikenal ungkapan : “taxation without representation”, yang artinya tidak ada pajak tanpa (persetujuan) parlemen adalah perampokan. Hal ini berarti penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya undang-undang yang mengatur pemungutan dan penentuan pajak. Asas ini dinamakan juga dengan kekuasaan undang-undang (de heerschappoj van de wet).13

Terkait dengan penelitian ini, teori negara hukum dengan asas legalitas sangat diperlukan sebagai teori dasar terutama mengenai perpajakan. Pajak merupakan pungutan oleh Negara yang dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan, dan oleh sebab itu dalam hal pemungutan pajak harus sudah diatur dalam suatu produk hukum, baik itu mengenai besaran pungutan, tata cara pelaksanaan

11

Astim Riyanto, 2006,TeoriKonstitusi, Yapemdo, Bandung, h.275-276

12

Ridwan HR, 2011,Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.90

13

Van Wijk, H.D en Willem Konijnenbelt, 1995,Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, ‘s-Gravenhage, hal.41, Dalam Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 91


(27)

pemungutan pajak BPHTB, serta pengaturan yang lainnya. Selain itu dalam peraturan perundang-undangan haruslah berdasarkan rasa keadilan baik dalam pengenaannya, pemungutannya, maupun beban yang harus dipikul oleh wajib pajak.

1.7.2. Teori Kewenangan

Salah satu pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur). Berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.14 Menurut Indroharto, tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.15

Prajudi Atmosudirdjo memberikan pendapat mengenai pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut :

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberikan oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif /Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik.16

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat

14

Ridwan HR,Op.Cit, h.101

15

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pusat Sinar Harapan, Jakarta, h.83

16

Prajudi Atmosudirdjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.78


(28)

atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Dan secara vertikal berartikekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.17

Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh dengan tiga cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.18 Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :19

a. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.

b. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.

c. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Teori kewenangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kewenangan oleh Bagir Manan yaitu wewenang sama halnya dengan hak dan kewajiban. Dengan adanya teori kewenangan tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasikan jenis kewenangan yang dapat diberikan dalam melakukan pemungutan pajak BPHTB sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur. Dengan adanya teori kewenangan ini, di

17

Bagir manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional. Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 13 Mei 2000, h.1-2, Dalam Ridwan HR, 2011,Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 100

18

Indroharto,op.cit, h.104

19


(29)

satu sisi pemerintah dianggap memiliki hak dalam memungut pajak dari rakyat dan disisi lain pemerintah juga memiliki kewajiban untuk menggunakan hasil pungutan pajak bagi perbaikan infrastruktur di daerah demi kesejahteraan rakyat. 1.7.3. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsure penilaian pribadi. Atas dasar uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa gangguan terhadap penegakan

hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal” nilai,

kaidah, dan pola perilaku.20 Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yang merupakan masalah pokok penegakan hukum itu sendiri. Keberhasilan penegakkan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor yang merupakan esensi serta tolak ukur dari efektivitas penegakkan hukum. Faktor-faktor tersebut meliputi:21

a. Hukum (Undang-Undang).

b. Penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

c. Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.. d. Masyarakat, yakni dimana hukum itu diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Teori penegakan hukum digunakan dalam penulisan ini berkaitan dengan penegakan hukum dalam hal pemungutan pajak BPHTB. Dimana dalam pemungutannya selain harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

20.

Soerjono Soekanto, 2014, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 7.

21.


(30)

berlaku, juga harus ditunjang dengan sarana dan fasilitas yang memadai agar dapat terlaksana dengan baik.

1.7.4. Self Assessment System

Self Assessment System adalah suatu system pemungutan pajak yang member wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.22Ciri-ciriself assessment systemyakni :

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri,

b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terhutang,

c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.23

Sistem ini umumnya diterapkan pada jenis pajak yang wajib pajaknya dipandang cukup mampu untuk menghitung dan menetapkan utang pajaknya sendiri. Oleh karena sistem ini memberikan kepercayaan besar kepada wajib pajak untuk menghitung, menetapkan dan menyetor pajakny asendiri maka akan berhasil dengan baik jika wajib pajak sudah memenuhi syarat-syarat berikut :

a. Tax consciousness/kesadaran pajak wajib pajak. b. Kejujuran wajib pajak.

c. Tax mindednesswajib pajak, hasrat untuk membayar pajak.

d. Tax discipline, disiplin wajib pajak terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan pajak. Dengan demikian, wajib pajak akan memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh undang-undang, seperti memasukkan surat pemberitahuan pada waktunya, membayar pajak pada waktunya, dan sebagainya tanpa diperingatkan untuk melakukan hal itu.24

22

Tunggal Anshari Setia Negara, 2006,Pengantar Hukum Pajak, Bayumedia Publishing, Malang, h.58

23

Mardiasmo, 2011,Perpajakan edisi Revisi 2008, ANDI, Yogyakarta, h.7

24


(31)

Dalam penulisan ini, pemungutan pajak BPHTB itu sendiri menggunakan sistem

self assessment, dimana wajib pajak dalam mebayar pajak BPHTB menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terhutang.

1.7.5. Asas Pemungutan Pajak yang Sehemat Mungkin (Low Cost of Collection/Efficiency)

Untuk tercapainya tujuan dari diadakannya pemungutan pajak, beberapa ahli mengemukakan tentang asas pemungutan pajak, salah satunya Adam Smith. Memurut Adam Smith dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations

mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan

four canons taxation” atau sering disebut “The four Maxims” terdiri dari empat prinsip yaitu25:

a. Asas Keadilan/Persamaan (Equality) b. Asas Kepastian (Certainty)

c. Asas Ketetapan waktu pemungutan (Conveniency of Payment)

d. Asas Pemungutan Pajak yang Sehemat Mungkin (Low Cost of Collection/Efficiency)

Asas yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah asas pemungutan pajak yang sehemat mungkin (Low Cost of Collection/Efficiency). Asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan Anggaran Belanja Negara. Hal ini dimaksudkan agar dalam pemungutan pajak dilakukan sehemat dan seefisien mungkin, agar jangan sampai pemungutan pajak tersebut lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri.

25


(32)

1.8. Asumsi

Dalam memperhatikan uraian di atas maka asumsi dari permasalahan yang dibahas yakni bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB dalam jual beli tanah dan/atau bangunan disinyalir terdapat kendala-kendala dalam hal pemungutan pajak BPHTB dalam jual beli tanah dan/atau bangunan khususnya di Kabupaten Badung.

1.9. Metode Penelitian

Dalam penyusunan penelitian ini diperlukan ketersediaan data yang obyektif dan ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang akan dibahas, serta untuk memperoleh data tersebut dipergunakan metode sebagai berikut : 1.9.1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah jenis penelitian hukum empiris. Penilitian hukum empiris menurut Soerjono Soekanto terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum.26

1.9.2. Jenis Pendekatan

Pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini akan dilakukan dengan 2 (dua) cara pendekatan, yakni pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach) dan Pendekatan fakta (The Fact Approach). Pendekatan fakta merupakan pendekatan yang dilakukan dengan cara penelitian langsung di lapangan berdasarkan fakta yang ada di tempat penelitian, dalam hal ini penelitian yang dilakukan di Kabupaten Badung dalam hal pelaksanaan pemungutan pajak

26

Soerjono Soekanto, 2007,Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, h.51


(33)

BPHTB dalam jual beli tanah dan/atau bangunan. Sedangkan pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan berdasarkan pada norma-norma hhukum/kaidah-kaidah yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Peraturan Bupati Nomor 72 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dengan bahasan permasalahan ini. 1.9.3. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian deskriptif dapat membentuk teori-teori baru atau dapat memperkuat teori yang sudah ada.27

1.9.4. Data dan Sumber Data

Untuk menunjang pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan, sumber data diperoleh dari :

a) Data Primer

Yang dimaksud data primer adalah data asli yang diperoleh langsung dari sumber pertama28 Dalam penulisan ini dilakukan penelitian langsung di Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung (yang selanjutnya disingkat Dispenda Kabupaten Badung).

27

Amirudin dan Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.25

28


(34)

b) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan mengkaji bahan-bahan bacaan yang ada kaitannya dengan permasalahan, yang diperoleh dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, majalah, artikel, serta dokumen-dokumen resmi dari pemerintah.29 Jenis data sekunder dalam penelitian ini meliputi :

1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersif atau toritatif atau mengikat. Bahan hukum primer dapat berupa peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakanyaitu UU No.28 Tahun 2009, Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010, sertaPeraturan Bupati Badung Nomor 72 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

2. Bahan hukum sekunder yaitu literatur yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dapat berupa buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, rancangan undang-undang. 3. Bahan hukum tensier yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diantaranya kamus hukum atau kamus bahasa inggris.

1.9.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data untuk mengumpulkan data primer dilakukan dengan cara wawancara atau interview. Menurut M. Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan

29


(35)

cara melakukan tanya jawab secara langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan responden namun dapat juga dilakukan secara tidak langsung dengan telepon atau surat.30 Teknik wawancara atau interview dilakukan kepada pejabat di Dispenda/Pasedahan Agung Kabupaten Badung. Sedangkan untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan dengan cara studi documenter.Teknik studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun empiris), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.31

1.9.6. Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data primer dan data sekunder telah terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data ini dilakukan secara analisis kualitatif yaitu penelitian yang mengumpulkan data naturalistik yang terdiri atas data-data yang tidak diolah menjadi angka/tabel, bersifat monografis atau berupa kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun ke dalam struktur klasifikasi, dan menggunakan pedoman wawancara dan observasi.

30

M.Mochtar, 1998,Pengantar Metodologi Penelitian, Sinar Karya Dharma IIP, Jakarta. h.72

31


(36)

22

TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

2.1. Tinjauan Umum tentang Pajak

2.1.1. Pengertian Pajak

Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat.Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak.Pajak sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada masyarakat.34Menurut Kamus Hukum35, pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada Negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya. Untuk lebih memperjelas mengenai pengertian pajak, dari beberapa literatur ditemukan pengertian pajak menurut para ahli, diantaranya :36

a. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH.

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

b. Prof. Dr. M.J.H Smeets

Pajak adalah prestasi pemerintahan yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontraprestasi, yang 34

Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti,Op.cit, h.1

35

Sudarsono, 2005,Kamus Hukum,PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal.336

36


(37)

dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adanya membiayai pengeluaran pemerintah.

c. DR. Soeparman Soemahamidjaja

Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Berdasarkan pada pendapat ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan iuran wajib dari masyarakat kepada pemerintah, yang dapat dipaksakan dan diatur oleh undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan atau kontraprestasi, serta dipergunakan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang bersifat umum. Secara normatif, pengaturan mengenai pajak juga diatur dalam ketentuan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tenang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, yang selanjutnya

disingkat UU No.28 Tahun 2007) disebutkan bahwa : “Pajak adalah kontribusi

wajib kepada Negara yang terhutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat”.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur :

a. Iuran dari rakyat kepada Negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang).


(38)

b. Berdasarkan Undang-Undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.37

Agar dapat terlaksananya pemungutan pajak yang baik, maka diperlukan suatu pendekatan terhadap pajak yang salah satunya dari segi hukum. Pendekatan inilah yang sering disebut dengan hukum pajak. Pendekatan ini menitikberatkan pada hubungan hukumnya, sehingga pajak dapat dipandang dari segi hak dan kewajibannya. Menurut Rochmat Soemitro, pajak ditinjau dari segi hukum didefinisikan sebagai berikut :

“Pajak (utang pajak) adalah perikatan yang timbul karena undang-undang (jadi dengan sendirinya), yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada Negara (masyarakat) yang dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara (pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, fungsi budgeter)”.38

Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak. Ada 2 macam hukum pajak yakni :

a. Hukum pajak materiil, yaitu memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu yang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Contoh : Undang-Undang Pajak Penghasilan

b. Hukum pajak formil, memuat bentuk atau tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat antara lain : a) Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak, b) Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, 37

Mardiasmo,Op.cit, h.1

38

Rochmat Soemitro, 1990,Asas dan Dasar Perpajakan I,PT. ERESCO, Bandung, h.51 (yang selanjutnya disingkat Rochmat Soemitro I)


(39)

perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak, c) Kewajiban wajib pajak dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding. Contoh : Ketentuan umum dan tata cara perpajakan.39

2.1.2. Jenis-jenis Pajak dan Tarif Pajak

Di Indonesia dikenal beberapa jenis pajak yang dapat dikelompokkan menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnyadiantaranya : 1.) Menurut golongannya dibagi atas pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), dan pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 2) Menurut sifatnya dibagi atas pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh), dan pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).40

Secara umum mengenai pembagian jenis pajak di Indonesia sendiri didasarkan atas lembaga pemungutnya. Berdasarkan atas lembaga pemungutannya dibedakan menjadi dua yaitu :

A. Pajak Pusat, yaitu pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui sebuah peraturan perundang-undangan, yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat dan hasil dari pemungutan pajak tersebut akandigunakan untuk membiayai pengeluaran dan pembangunan

39

Mardiasmo,op.cit, h.5

40


(40)

pemerintah pusat.41 Pemungutan pajak pusat ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia, yang hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah tangga Negara pada umumnya. Pajak pusat tersebut diantaranya :

1. Pajak Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan dapat ditarik karena penghasilan berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya. PPh diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah beberapa kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Idonesia). Pajak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah dirubah beberapa kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yaitu pajak yang dikenakan atas konsumsi barang yang tergolong mewah. Beberapa barang yang tergolong mewah yakni : barang tersebut bukanlah barang kebutuhan pokok, barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu yang berpenghasilan tinggi, barang tersebut dikonsumsi untuk 41

Marihot P. Siahaan , 2010,Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Rajawali Pers, Jakarta, h.9 (yang selanjutnya disingkat Marihot P. Siahaan II)


(41)

menaikkan status. Pajak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah dirubah beberapa kali dengan perubahan terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.

4. Bea Materai, yaitu pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen seperti surat perjanjian, akta notaries, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang bea materai. Pajak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

5. Bea Masuk, menurut ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. Jadi tehadap barang-barang yang diimpor ke Indonesia wajib untuk dikenakan pajak bea masuk yang dipungut oleh pemerintah pusat.

6. Cukai, menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai disebutkan bahwa cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam


(42)

undang-undang ini. Yang dimaksud dengan karakteristik tersebut adalah konsumsi akan barang yang perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaian atas barang tersebut menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan Negara demi keadilan dan keseimbangan. Contoh : minuman-minuman yang mengandung alkohol dan hasil tembakau seperti rokok.

B. Pajak Daerah, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap orang pribadi ataupun badan yang tanpa mendapatkan imbalan atau kontraprestasi secara langsung yang seimbang, dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam hal ini berbentuk peraturan daerah (Perda).42 Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No. 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa : “Pajak

Daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terhutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Untuk melaksanakan otonomi daerah secara utuh,

pemerintah pusat kemudian melakukan pengalihan beberapa pajak yang awalnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah. Pemungutan pajak daerah tersebut didasarkan atas ketentuan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan demikian, penyelenggaraan

42


(43)

pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, serta dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintah negara :

a. bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintah daerah;

b. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif.43

Selanjutnya pemungutan pajak daerah ini dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) yang hasilnya akan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan dan rumah tangga daerah, serta untuk pembangunan daerah. Pemerintah daerah terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, sehingga untuk melaksanakan kewenangan otonomi daerah, pajak daerah dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Jenis-jenis pajak dan tarif pajak menurut UU No.28 Tahun 2009, diantaranya :

a. Pajak Daerah Tingkat I atau Pajak Provinsi terdiri dari :

1. Pajak Kendaraan Bermotor, merupakan pajak atas kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor. Tarif pajak kendaraan bermotor paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dengan rincian :

a) Tarif pajak kendaraan bermotor pribadi kepemilikan pertama ditetapka paling tinggi sebesar 2%, untuk kepemilikan kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresifpaling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

b) Tarif pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial

43

Azhari Aziz Samudra, 2015, Perpajakan di Indonesia : Keuangan, Pajak, dan Retribusi Daerah, PT RajaGrafindo, Jakarta, h.52-53


(44)

keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, pemerintah/TNI/polri, pemerintah daerah menetapkan tarif paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi 1% (satu persen).

c) Tarif pajak kendaraan bermotor untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi 0,2% (nol koma dua persen). 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Tarif bea balik nama kendaraan

bermotor pada penyerahan pertama paling tinggi 20% (duapuluh persen), sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Tarif pajak bahan bakar kendaraan bermotor ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen). 4. Pajak Air Permukaan. Tarif pajak air permukaan ditetapkan paling

tinggi 10% (sepuluh persen)

5. Pajak Rokok. Tarif rokok ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen)

b. Pajak Daerah Tingkat II atau Pajak Kabupaten/Kota

1. Pajak Hotel, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen);

2. Pajak Restoran, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen);

3. Pajak Hiburan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 35% (tiga puluh lima persen);

4. Pajak Reklame, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen);

5. Pajak Penerangan Jalan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen);

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen);

7. Pajak Parkir, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 30% (tiga puluh persen);

8. Pajak Air Tanah, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh persen);

9. Pajak Sarang Burung Walet, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh persen)

10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 0,3% (nol koma tiga persen);

11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dengan tarif ditetapkan paling tinggi 5% (lima persen)

Terdapat beberapa perubahan dalam pajak daerah tersebut diantaranya perluasan basis pajak yang sudah ada dilakukan untuk Pajak Kendaraan


(45)

Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah, Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, Pajak Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan catering. Dan juga terdapat penambahan pajak baru bagi daerah diantaranya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak pusat, serta Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak kabupaten/kota dan Pajak Rokok yang merupakan pajak baru bagi provinsi.

2.2. Tinjauan Umum tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB)

2.2.1. Pengertian Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pajak BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanag dan/atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.44 Pengertian tentang BPHTB dapat dijumpai dalam ketetuan UU No. 28 Tahun 2009 pada Pasal 1 angka 41

disebutkan bahwa “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”. Pada Pasal 1 angka 42 selanjutnya disebutkan bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak

atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan”. Selanjutnya dijelaskan lagi pada Pasal 1 angka 43 disebutkan bahwa “Hak atas Tanah dan/atau

Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di

44


(46)

atasnya, sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan

dan bangunan”.

2.2.2. Dasar Hukum Pajak BPHTB

Dasar hukum pajak tertuang dalam ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang

menyatakan bahwa “Segala pajak untuk kegunaan kas Negara berdasarkan

undang-undang”. Walaupun Pasal 23A UUD 1945 merupakan dasar hukum pungutan pajak, tapi pada hakekatnya dalam ketentuan ini tersirat falsafah pajak. Pajak harus berdasarkan undang-undang.45 Dengan diundangkannya pengaturan pajak dalam suatu undang-undang, maka pajak dapat dipungut dari masyarakat dan secara hukum pemungutan pajak tersebut telah memiliki legalitas yang menjamin wewenang Negara dalam pemungutan pajak tersebut dari masyarakat, serta menjamin hak dan kewajiban masyarakat dalam pemungutan pajak. Hal ini juga berlaku pada pemungutan pajak BPHTB, dalam pemungutannya BPHTB berdasarkan kepada dasar hukum yang jelas melalui Undang-Undang, serta Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jendral Pajak dan Keputusan Pejabat yang berwenang lainnya.

Mengenai dasar hukum dari pada BPHTB ini dapat dijelaskan melalui sejarah singkat mengenai dasar hukum pemungutan pajak BPHTB sebelum di undangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688, yang selanjutnya disingkat UU No.21 Tahun 1997). Sebelumnya sejak tahun

45


(47)

1924, setiap perolehan hak atas tanah dibebani pajak, yang disebut Bea Balik Nama Harta Tetap, sebagaimana diatur dalam Ordonasi Bea Balik Nama Tetap 1924 (Staatblad 1924 Nomor 291). Bea Balik Nama ini dipungt atas setiap perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat yang ditinggalkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal terakhir di Indonesia. Yang dimaksud dengan harta tetap dalam Ordonasi tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan perbuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik Nama Staatsblad 1934 Nomor 27.46 Pada tahun 1960 setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043, yang selanjutnya disingkat UUPA), hak-hak kebendaan yang dimaksud dalam Ordonasi tersebut tidak berlaku lagi, hal ini di karenakan semua hak tersebut sudah diganti dengan hak-hak baru yang diatur dalam UUPA sehingga Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi. Dengan pertimbangan hal tersebut di atas dan sebagai pengganti Bea Balik Nama atas hak harta tetap berupa hak atas tanah yang tidak dipungut lagi sejak diundangkannya UUPA, perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan nama BPHTB dengan membentuk Undang-Undang tentang BPHTB. Oleh karena itu, pada tanggal 29 Mei tahun 1997 diundangkanlah UU No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan

46


(48)

Hak Atas Tanah dan Bangunan. Semula undang-undang ini ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1998.47 Namun karena adanya gejolak moneter yang terjadi di Indonesia, maka masa berlakunya UU No.21 Tahun 1997 ini ditangguhkan selama 6 bulan terhitung sejak tanggal 1 Januari 1998 sampai dengan 30 Juni 1998. Mengenai penangguhan ini diatur dalam Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1997 yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998.48

Selanjutnya dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap UU No.21 Tahun 1997 tersebut dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988, yang selanjutnya disingkat UU No.20 Tahun 2000). Untuk melaksanakan otonomi daerah yang seutuhnya sebagai bentuk nyata adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dilakukanlah pengalihan beberapa jenis pajak yang awalnya merupakan pemungutan pajak yang kewenangannya dilakukan oleh pusat, kemudian dialihkan kewenangan pemungutan dan pemanfaatannya ke pemerintah daerah. Pengalihan beberapa jenis pajak ini kemudian oleh pemerintah diundangkan ke dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Reribusi Daerah. Gambaran secara umum dari pengaturan mengenai objek pajak, subjek pajak, serta tata cara perhitungan dan dasar dari pengenaan BPHTB yang terdapat

47

Ibid,h.18

48


(49)

dalam ketentuan UU No.28 Tahun 2009, adalah sama dengan pengatuan BPHTB sebagaimana yang diatur sebelumnya dalam UU No.21 Tahun 1997 yang kemudian dirubah dengan UU No.20 Tahun 2000.49

2.2.3. Objek dan Subjek Pajak BPHTB

BPHTB merupakan salah satu pajak objektif atau pajak kebendaan di mana pajak terutang didasarkan pertama-tama pada apa yang menjadi objek pajak baru kemudian memperhatikan siapa yang menjadi subyek pajak.50 Sesuai dengan ketentuan Pasal 85 ayat (1) UU No.28 Tahun 2009, yang disebutkan bahwa

“Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan”. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang menjadi objek pajak ada 15 (lima belas) jenis yang terbagi dalam 2 (dua) golongan besar, yaitu yang terjadi karena pemindahan hak dan karena pemberian hak baru.51 Pada ketentuan pasal 85 ayat (2) UU No.28 Tahun 2009 disebutkan

bahwa “Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana yang dimaksud

pada ayat (1) meliputi:

a. Pemindahan hak karena: 1) Jual beli;

2) Tukar menukar; 3) Hibah;

4) Hibah wasiat; 5) Waris;

6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; 7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8) Penunjukkan pembeli dalam lelang;

9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10) Penggabungan usaha;

11) Peleburan usaha; 49

Harry Hartoyo dan Untung Supardi, 2010, Membedah Pengelolaan Administrasi PBB dan BPHTB, Mitra Wacana Media, Jakarta,h.24

50

Marohot P. Siahaan I,op.cit, h.57

51


(50)

12) Pemekaran usaha; 13) Hadiah.

b. Pemberian hak baru karena:

1) Kelanjutan pelepasan hak; dan 2) Di luar pelepasan hak.

Mengenai hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 85 ayat (1) tersebut, hak yang menjadi objek BPHTB diantaranya :52

a. Hak Milik, yaitu suatu hak yang secara turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah.

b. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.

c. Hak Guna Bangunan, yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam UUPA.

d. Hak Pakai, yaitu hak yang menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputsan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

52


(51)

e. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun meliputi pula hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.

f. Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Pada ketentuan Pasal 85 ayat (4) disebutkan bahwa “Objek Pajak yang

tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :

a. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

c. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;

d. Orang pribadi atau Badan karena konvensi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e. Orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan

f. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka apabila sebuah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan diperoleh oleh orang pribadi atau badan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 85 ayat (4), maka oleh penerima dari


(52)

perolehan hak atas tanah dan/atau banguan tersebut tidak dikenakan pajak BPHTB.

Subjek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek pajak pajak baru menjadi wajib pajak kalau ia sekaligus memenuhi syarat-syarat objektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, sehingga firma, perkumpulan, warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, dapat menjadi subjek pajak.53Sesuai dengan namanya, BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, pengertian ini menunjukkan bahwa pajak dikenakan kepada pihak yang memperoleh hak.54 Berdasarkan Pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa “Subjek

Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan”. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 86 ayat (2) disebutkan bahwa “Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan”.

1.2.4. Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak BPHTB

Dasar pengenaan pajak BPHTB sebagaimana yang ditentukan Pasal 87

ayat (1) disebutkan bahwa “Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)”. Dalam ketentuan Pasal 87 ayat (2) UU No.28 Tahun 2009

disebutkan bahwa “dalam hal NPOP sebagiamana yang ditentukan pada ayat (1),

adalah sebagai berikut:

53

H.Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti,op.cit,h.59

54


(53)

Tabel 2.1.

Tarif dan Dasar Pengenaan BPHTB

No. Sumber Perolehan hak atas Tanah dan/atau

Bangunan

Dasar Pengenaan Pajak

1. Jual Beli Harga Transaksi

2. Tukar Menukar Nilai Pasar

3. Hibah, Hibah Wasiat dan Waris Nilai Pasar

4. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya

Nilai Pasar 5. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan

hak

Nilai Pasar

6. Penunjukan pembeli dalam lelang Harga transaksi yang

tercantum dalam Risalah Lelang

7. Peralihan hak karena karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum

Nilai Pasar

8. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak

Nilai Pasar 9. Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan

hak

Nilai Pasar 10. Penggabungan, Peleburan dan Pemekaran

Usaha

Nilai Pasar

11. Hadiah Nilai Pasar

Meskipun terdapat lima belas jenis perolehan hak yang mempunyai NPOP tesendiri, namun pada dasarnya hanya terdapat tiga jenis harga atau nilai yang menjadi NPOP, yaitu harga transaksi, nilai pasar, dan harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. Menurut penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf a Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan (dalam hal ini pembeli dan penjual). Pada penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf a Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan/atau bangunan. Sedangkan menurut Keputusan Menteri


(54)

Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang pada Pasal 1 angka 13 disebutkan bahwa harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang adalah harga riil yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang.

Dalam pengenaan pajak, untuk meringankan orang pribadi atau badan yang menerima setiap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan ditentukan dalam Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak (selanjutnya disingkat NPOPTKP). NPOPTKP adalah suatu besaran tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Apabila NPOP yang menjadi dasar pengenaan pajak suatu objek BPHTB kurang dari NPOPTKP yang ditetapkan, atas objek tersebut tidak ada BPHTB yang harus dibayar atau tidak terhutang BPHTB. Sementara itu, apabila NPOP besarnya lebih dari NPOPTKP yang ditetapkan, besarnya pajak terutang dihitung dari selisih antara NPOP dan NPOPTKP.55 Dalam Pasal 87 ayat (4) UU No.28 Tahun 2009

disebutkan bahwa “Besarnya NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak”. Selanjutnya pada ayat (5) ditentukan bahwa “Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah

wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta). Selanjutnya NPOPTKP ini akan ditetapkan dengan peraturan daerah oleh pemerintah daerah. Untuk penetapan tarif pajak, menurut Pasal 88 ayat (1) tarif pajak BPHTB ditetapkan paling tinggi

55


(1)

2.4. BPHTB sebagai Sumber PAD di Kabupaten Badung

Negara Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip federalism, salah satunya seperti otonomi daerah.Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.60Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.61Ketentuan ini dimaksudkan bahwa daerah diberikan kebebasan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah pusat namun masih dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 18 UUD 1945 merupakan dasar hukum pembentukan pemerintah daerah dan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab.Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, yang mengandung arti bahwa

60

Pheni Chalid, 2005, Otonomi Daerah : Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik, Kemitraan, Malang, h.5

61

H.M. Busrizalti, 2013, Hukum Pemda : Otonomi Daerah dan Implikasinya, Total Media, Yogyakarta, h.62


(2)

daerah diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat.Sedangkan prinsip otonomi nyata merupakan suatu prinsip bahwa dalam menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan perpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang.62Pada tahun 1956 diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 77) bertujuan untuk pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah-daerah yang berhak mengurus umah tangganya sendiri, di mana pengurusan keuangan diberikan pula secara luas. Secara garis besar undang-undang ini menetapkan 4 (empat) aturan pokok, yakni :

1. Sumber pendapatan daerah terdiri dari pajak daerah dan retribusi daerah. 2. Daerah dalam hal-hal tertentu dapat diberikan subsidi, sumbangan dan

ganjaran.

3. Beberapa pajak negara diserahkan sebagai pajak daerah.

4. Daerah memperoleh bagi hasil dari penerimaan pajak pusat tertentu.63 Oleh karena undang-undang menekankan pada otonomi daerah, maka penyelenggaraan keuangan daerah diatur sebagai berikut :

1. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, yata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintahan daerah.

2. Dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah kernangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan daerah.64

62

Jantje D. South, 2013,Kewenangan Daerah Mengelola Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Jurnal Hukum Universitas Sam Ratulangi vol.1 No.5, Oktober-Desember,h.80

63

Azhari Aziz Samudra,op.cit, h.41

64


(3)

Sebagai realisasi dari pengaturan tersebut, semula kewenangan perpajakan jenis baru merupakan kewenangan pemerintah pusat selanjutnya diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah, pada semua daerah otonom ditentukan isi dan jenisnya adalah sama. Pengalihan kewenangan ini bertujuan untuk meningkatkan PAD di masing-masing daerah.Peran PAD sangat penting sebagai sumber pembiayaan pemerintah daerah, hal tersebut dikarenakan PAD merupakan tolak ukur dalam pelaksanaan otonomi daerah. PAD merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleuasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.65Adanya penyerahan kewenangan dalam pemungutan pajak daerah menunjukkan bahwa pangkal dari otonom daerah bukanlah pada daerah Provinsi, melainkan pada kabupaten/kota.

BPHTB sebagai salah satu jenis pajak daerah dilandasi oleh beberapa indikator utama maupun penunjangnya seperti luas tanah sebagai objek pajak BPHTB, transaksi tanah sebagai objek pajak BPHTB, penyerahan hak-hak tanah dan bangunan sebagai objek pajak BPHTB, yang semuanya berintikan pada :

a. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena pemberian hak baru, misalnya jual beli tanah, hak mewarisi atas tanah, dan lain-lain.

b. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan karena pemberian hak baru, misalnya sebagai bentuk kelanjutan pelepasan hak.

c. Sejumlah hak atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA.66

65

Nurlan Darise, 2006,Pengelolaan Keuangan Daerah, PT Indeks, Jakarta, h.38

66


(4)

Semula mengenai pajak BPHTB diatur sendiri dalam UU No.20 Tahun 2000. Sama halnya dengan pajak BPHTB, pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah juga diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.Dengan adanya peralihan kewenangan dalam pemungutan pajak, maka pemerintah pusat melakukan pembenahan terhadap pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.Pembenahan ini dilaksanakan dalam rangka memberikan sumbangan APBD yang lebih banyak untuk pemanfaatan di daerah. Untuk mempermudah penggabungan serta dalam penggolongan pajak daerah dan retribusi daerah, maka diundangkanlah UU No.28 Tahun 2009 yang merupakan pengaturan secara khusus mengenai jenis-jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, kantor pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak memungut BPHTB sampai dengan 31 Desember 2010, sedangkan mulai tahun 2011, Direktorat Jenderal Pajak tidak berwenang memungut BPHTB lagi.67Dispenda kemudian memiliki kewenangan dalam pelaksanaan dan pengelolaan pajak BPHTB.Selanjutnya dalam pelaksanaan pemungutan pajak BPHTB diatur dalam Peraturan Daerah sebagai bentuk payung hukum atas kewenangan daerah dalam melakukan pemungutan pajak daerah.

Setelah adanya pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah, pajak BPHTB dipercaya sebagai salah satu sumber PAD dan dapat meningkatkan local taxing power, yang memiliki potensi cukup besar dibandingkan dari keseluruhan

67

Iwan Mulyawan, 2010, Panduan Pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,Mitra Wacana, Jakarta, h.9


(5)

penerimaan pajak-pa mengharuskan setiap yang dimiliki daerahn pusat dan sebelum a penerimaan pajak memperoleh 20% da sisanya 64% diberika pengalihan pajak BP diserahkan kepada Pe grafik perbandingan pengalihan.

Sumber : Kementeria

Sebagai salah Perda Kabupaten Badun sumber PAD. Perda

68

http://www.paja

1 April 2016

-pajak daerah yang ada. Pengalihan pajak p daerah untuk mendata kembali berapa potensi hnya. Pada saat pajak BPHTB masih dipungut adanya pengalihan yang dipungut oleh pem BPHTB dibagi menjadi tiga yaitu Pem dari penerimaan, Pemerintah Provinsi mempe

rikan kepada Pemerintah Daerah. Namun BPHTB, penerimaan pajak BPHTB 100% a Pemerintah Daerah sebagai salah satu sumbe

n penerimaan pajak BPHTB sebelum dan

Gambar 1.

rian Keuanga Republik Indonesia–Direktorat Jenderal

ah satu daerah otonom, kabupaten Badung te adung No.14 Tahun 2010 tentang BPHTB se rda tersebut mengatur mengenai dasar ke

ajak.go.id/content/pengalihan-pbb-perdesaan-dan-perko

jak BPHTB ini, ensi pajak BPHTB ut oleh pemerintah emerintah daerah, emerintah Pusat peroleh 16% dan un setelah adanya atau sepenuhnya ber PAD, berikut n sesudah adanya

ral Pajak 201268

telah menetapkan sebagai salah satu ketentuan dalam


(6)

pemungutan pajak BPHTB serta cara menghitung dan besar pajak BPHTB yang harus di bayar oleh wajib pajak. Mengenai implementasi pemungutan pajak BPHTB sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Perda adalah sama dengan yang tertuang dalam UU No.28 Tahun 2009, yaitu dalam Pasal 19 Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 yang mengatur mengenai dibentuknya peraturan Bupati untuk mengatur tentang tata cara pembayaran dan penagihan pajak BPHTB, sehingga oleh Bupati Badung dikeluarkanlah Peraturan Bupati Badung Nomor 72 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemungutan BPHTB (Berita Daerah Kabupaten Badung Tahun 2014 Nomor 72, yang selanjutnya disingkat Perbup Badung No.72 Tahun 2014). Dengan adanya pengaturan tersendiri mengenai BPHTB, Pemerintah Kabupaten Badung (yang selanjutnya disingkat Pemkab Badung) telah siap dalam menggali potensi sumber PAD pada pajak BPHTB.Sehingga dengan adanya pengaturan mengenai pajak BPHTB dapat memaksimalkan penerimaan pajak BPHTB demi membangun Kabupaten Badung yang lebih baik.