commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa extra ordinary crime yang telah  tumbuh  seiring  dengan  perkembangan  peradaban  manusia.  Semakin  hari
perkembangan korupsi di Indonesia bukan lagi semakin berkurang, tetapi semakin meluas.  Gejala  pertumbuhan  tindak  pidana  korupsi  yang  semakin  meluas  inilah
yang  menimbulkan  kerisauan  dan  keprihatinan  bangsa  Indonesia,  karena  kondisi seperti ini tentu semakin memperburuk citra bangsa di masyarakat internasional.
Korupsi  tidak  hanya  terjadi  di  Indonesia,  melainkan  terjadi  di  seluruh negara  di  dunia.  Korupsi  tidak  hanya  dihadapi  oleh  negara-negara  berkembang,
tetapi  juga  negara-negara  maju.  Korupsi  merupakan  salah  satu  tantangan  yang harus  dihadapi  dunia,    karena  korupsi  mengancam  kehidupan  manusia,
menghambat pembangunan
kesejahteraan, menambah
kemiskinan dan
menyengsarakan  rakyat.  Perbuatan  korupsi  juga  dapat  merusak  sektor pembangunan  ekonomi  bangsa  serta  citra  pelaku  bisnis  Indonesia  dalam  skala
global  yang  semakin  kompetitif  dalam  menghadapi  perdagangan  bebas.  Jika korupsi tidak berhasil ditanggulangi, diberantas atau diatasi dalam jangka pendek,
maka  Indonesia  akan  sulit  untuk  keluar  dari  krisis  karena  para  pelaku  bisnis tersebut tidak dapat melakukan good business atau bisnis yang baik
Berdasarkan  survei  Political  Economic  Risk  Consultancy  PERC menempatkan  Indonesia  sebagai  negara  terkorup  di  kawasan  Asia.  “Posisi
Indonesia  lebih  buruk  dari  India,  Vietnam,  Filipina  dan  Thailand.  Sebelumnya hasil survei Transparency International TI yang berbasis di Berlin Jerman pada
Tahun  2009,  Indonesia  menduduki  ranking  111  dari  180  negara”  Chandra Sridjaja  Pradjonggo,  2010:  7.  Transparency  International  merupakan  sebuah
lembaga yang bertujuan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor pemerintahan  dan  salah  satu  aktivitasnya  adalah  mendorong  pemberantasan
korupsi.  Di  samping  itu,  penelitian  lain  menunjukkan  bahwa  korupsi  memiliki
1
commit to user
2 sejarah  panjang  dan  telah  membudaya  di  Indonesia.  Seperti  dikatakan  Farid
Haryanto bahwa: Corruption  has  a  long  history  in  Indonesia,  China,  India,  South  Korea,
Thailand,  and  other  countries  in  Asia.  Given  such  prevalence  and persistence,  one  may  be  tempted  to  think  that  corruption  is  indeed
something  deeply  ingrained  in  the  culture  of  those  countries,  and  that corruption  has  blossomed  plainly  because  it  does  not  run  against,  if  not
accepted  by,  the  dominant  culture  of  those  countries.  It  is  said  that Confucianism,  Javanese  culture,  and  maybe  some  other  belief  systems  as
well,  gave  justification  to  the  existence  of  a  centralized,  benevolent monarchy as a legitimate form of moral goverment. But it is also said that
“power corrupts, and absolute power corrupts absolutely”. These seem to propose  that  corruption  is  indeed  already  embedded  in  the  mindset  of
Asians, and that corruption is a part of a way of life, and not simply a fact of life Farid Haryanto, 2005:39.
Korupsi  memiliki  sejarah  panjang  di  Indonesia,  Cina,  India,  Korea Selatan,  Thailand,  dan  negara-negara  lain  di  Asia.  Suatu  prevalensi
tersebut  dan  ketekunan,  salah  satu  mungkin  dilakukan  untuk  berpikir bahwa  korupsi  sesungguhnya  sesuatu  yang  besar,  yang  tertanam  dalam
budaya  banyak  negara,  dan  korupsi  yang  telah  berkembang  dengan  jelas karena  tidak  dijalankan,  jika  tidak  diterima  dari  budaya  yang  dominan  di
banyak  negara.  Dikatakan  bahwa  Konfusianisme,  budaya  Jawa,  dan mungkin  beberapa  sistem  keyakinan  lain  juga,  memberikan  pembenaran
terhadap  keberadaannya  dipusatkan,  kekuasaan  pusat  seperti  legitimasi dari  moral  pemerintah.  Tetapi  juga  mengatakan  bahwa  kekuatan  korup,
dan  kekuasaan  korup  yang  mutlak.  Ini  sepertinya  menyatakan  bahwa korupsi memang sudah tertanam dalam pola pikir orang Asia, dan korupsi
yang  merupakan  bagian  dari  cara  hidup,  dan  bukan  hanya  kenyataan hidup.
Secara  umum,  tindak  pidana  korupsi  secara  material  diatur  didalam Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  jo.  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun
2001  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi.  Dalam  undang-undang tersebut  tidak  tercantum  secara  jelas  rumusan  mengenai  pengertian  korupsi  itu
sendiri.  Namun  dapat  disimpulkan  dalam  Pasal  2  bahwa  tindak  pidana  korupsi adalah  perbuatan  yang  secara  melawan  hukum  untuk  memperkaya  diri  sendiri
atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia. Bahkan berbagai
kalangan  menilai  bahwa  korupsi  telah  menjadi  bagian  dari  kehidupan,  menjadi suatu  sistem  dan  menyatu  dengan  penyelenggaraan  pemerintahan  negara.
commit to user
3 Penanggulangan korupsi di era tersebut maupun dengan menggunakan perangkat
perundang-undangan  yang  ada  masih  banyak  menemui  kegagalan.  Keadaan demikian  akan  menggoyahkan  demokrasi  sebagai  sendi  utama  dalam  kehidupan
berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum serta  semakin  jauh  dari  tujuan  tercapainya  masyarakat  sejahtera.  Hal  yang  sama
juga disampaikan oleh Arsil dalam jurnal hukum yang berjudul Teknik Perangkap untuk  Para  Koruptor  mengemukakan  bahwa  “Tingginya  angka  korupsi  di
Indonesia disebabkan tidak hanya terjadi di tingkatan elit, tetapi terdapat  hampir di  seluruh  lapisan  institusi  negara  ini”  Arsil,  2005:  121.  Tingkatan  korupsi  di
masing-masing lapisan tersebut juga beragam, mulai dari korupsi yang jumlahnya kecil-kecilan hingga korupsi besar-besaran yang mencapai angka trilyunan rupiah.
Suatu  kejahatan  korupsi  merupakan  kejahatan  yang  merugikan  keuangan negara.  Hal  itu  karena  beberapa  pasal  tindak  pidana  korupsi  dalam  Undang-
Undang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  UUTPK  merumuskan  adanya unsur  merugikan  keuangan  negara.  Tetapi,  untuk  kejahatan  suap-menyuap  tidak
ada  kaitannya  dengan  kerugian  uang  negara,  meskipun  perbuatan  tersebut dikualifikasikan  sebagai  kejahatan  korupsi.  Tidak  semua  suap-menyuap  adalah
kejahatan  korupsi.  Beberapa  peraturan  perundang-undangan  yang  terkait  dengan suap-menyuap  merumuskan  perbuatan  itu  sebagai  tindak  pidana  suap  saja,
misalnya  suap  yang  menyangkut  kepentingan  umum,  baik  aktif  maupun  pasif. Suap terhadap pejabat bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998  dan  suap  dalam  kaitan  dengan  pemilihan  umum  dan  pemilihan  kepala daerah money politics, yang dalam praktik penegakan hukum tindak pidana suap
ini  kurang  terangkat  ke  permukaan.  Hal  ini  dikarenakan  jarang  digunakan  oleh penegak hukum sekalipun perbuatan suap-menyuap semacam itu marak terjadi di
masyarakat. Salah  satu  tindak  pidana  dalam  tindak  pidana  korupsi  yang  diatur  oleh
Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  jo.  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun 2001  Tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  adalah  Tindak  pidana
Penyuapan. Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu hadiah atau janji giftenbeloften yang diberikan atau diterima yang
commit to user
4 meliputi  penyuapan  aktif  dan  penyuapan  pasif.  Ada  unsur-unsur  yang  esensial
dari  delik  suap  yaitu  menerima  hadiah  atau  janji,  berkaitan  dengan  kekuasaan yang  melekat  pada  jabatan,  bertentangan  dengan  kewajiban  atau  tugasnya.  Di
dalam  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Pidana  KUHP  terdapat  pasal-pasal mengenai  delik  penyuapan  aktif  Pasal  209  dan  Pasal  210  maupun  penyuapan
pasif  Pasal  418,  Pasal  419  dan  Pasal  420  yang  kemudian  semuanya  ditarik dalam Pasal 1 ayat 1 sub c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang
menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi.  Demikian  juga  dengan
penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub d Undang-Undang Nomor 3  Tahun  1971  sekarang  Pasal  13  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  dan
delik  suap  pasif  dalam  Pasal  12  B  dan  Pasal  12  C  Undang-Undang  Nomor  20 Tahun 2001.
Pemberantasan  korupsi  di  Indonesia  sudah  diawali  sejak  Tahun  1957 dengan  dikeluarkannya  peraturan  penguasa  militer  tentang  Pemberantasan
Korupsi.  Pada  Tahun  1958  dijadikan  peraturan  penguasa  perang  pusat  yang dimaksudkan  untuk  memberantas  tindak  pidana  korupsi  dalam  skala  nasional.
Peraturan  tersebut  diganti  dengan  Undang-Undang  Nomor  24Prp1960  tentang Pengusutan,  Penuntutan  Dan  Pemeriksaan  Tindak  Pidana  Korupsi.  Dengan
didasari  pemikiran  bahwa  korupsi  sangat  merugikan  keuangan  negara  dan menghambat pembangunan nasional, maka ditetapkan Undang-Undang Nomor 3
Tahun  1971  yang  memperluas  rumusan  tindak  pidana  korupsi,  mempermudah pembuktian  dan  mempercepat  prosedur  penyidikan,  penuntutan  maupun
pemeriksaan pengadilan. Setelah era reformasi, dibuatlah Undang-Undang Nomor 31  Tahun  1999  yang  diharapkan  dapat  lebih  efektif  dalam  mencegah  dan
memberantas  tindak  pidana  korupsi.  Kemudian  Undang-Undang  ini  diubah menjadi  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2001  untuk  dijadikan  sarana
pemberantasan  korupsi.  Dalam  kenyataannya  dengan  berbagai  perangkat perundang-undangan tersebut tidak tampak hasil yang dicapai, meskipun sekarang
sudah  dibentuk  Komisi  Pemberantasan  Korupsi  KPK  berdasarkan  Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002.
commit to user
5 Dalam  praktek  penegakan  hukum  di  Indonesia,  IGM  Nurdjana
mengemukakan  bahwa  “fenomena  buruknya  penyelenggaraan  sistem  hukum pidana yang senantiasa muncul dalam masyarakat adalah setiap peluang terjadinya
korupsi selalu tidak lepas adanya indikasi kontroversi putusan peradilan dan hasil penanganan korupsi  yang dianggap mandul” IGM Nurdjana, 2010: 11.  Hampir
setiap informasi media cetak, elektronik, digital internet memuat tentang  korupsi yang  memberikan  gambaran  lemahnya  upaya  pemberantasan  korupsi  yang  jika
dikaji lebih mendalam. Maka terdapat kompleksitas dan problematik dalam sistem hukum  pidana  yang  dianut  di  Indonesia  dan  berdampak  pada  sistem  peradilan
pidana. Dalam  penegakan  hukum  tindak  pidana  korupsi  di  Indonesia,  IGM
Nurdjana berpendapat bahwa: Penegakan  hukum  senatiasa  dihadapkan  pada  problematika  sistem  hukum
pidana  khususnya  pengaturan  berbagai  peraturan  perundang-undangan pidana  yang memuat unsur-unsur korupsi  yang berimplikasi pada kekuatan
hukum  pemberantasan  tindak  pidana  korupsi,  sehingga  diperlukan  judicial review  atau  uji  materiil  perundang-undangan  terhadap  Undang-Undang
Dasar 1945 IGM Nurdjana, 2010:7.
Penulis  beranggapan  berbeda  dengan  pendapat  IGM  Nurdjana,  bahwa dengan  membuat  dan  mengganti  atau  memperbaiki  peraturan  perundang-
undangan  belum  tentu  berakibat  penegakan  hukum  dalam  mengatasi  korupsi dapat  terwujud.  Hal  ini  tidak  benar,  karena  penyebab  utama  bukanlah  pada
perangkat  hukumnya  melainkan  pada  para  penegak  hukumnya.  Gagalnya pemberantasan  korupsi  disebabkan  karena  pejabat  atau  penyelenggara  negara
banyak  ikut  campur  dalam  urusan  penegakan  hukum  yang  mempengaruhi  dan mengatur  proses  jalannya  peradilan.  Tidak  dapat  dipungkiri  lagi  dan  sudah
menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum dirusak oleh adanya budaya suap yang memang sulit dibuktikan secara hukum.
Ukuran  keberhasilan  upaya  penegakan  hukum  terhadap  tindak  pidana korupsi,  seharusnya  tidak  semata-mata  diletakkan  pada  keberhasilan  mengadili
atau memasukkan sebanyak mungkin koruptor ke penjara, melainkan seharusnya dipandang  dari  sistem  hukum  secara  komprehensif  yaitu  sejauh  mana
commit to user
6 pembangunan  sistem  yang  tidak  korup.  Karena  tanpa  perubahan  sistemik  maka
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi hanya memproduksi koruptor- koruptor  baru.  Hal  senada  juga  disampaikan  oleh  IGM  Nurdjana  bahwa
“terbangunnya sistem yang transparan dan demokratis akan berdampak besar pada upaya  membatasi  peluang  para  koruptor  yang  memegang  kekuasaan  untuk
melakukan  penyalahgunaan  kekuasaannya  di  kemudian  hari”  IGM  Nurdjana, 2010:117.
Dalam  hubungannya  dengan  pemberantasan  korupsi  juga  diperlukan kesadaran  hukum  masyarakat,  dimana  kesadaran  hukum  tersebut  merupakan
tujuan  dari  penegakan  hukum  tindak  pidana  korupsi.  Terbentuknya  kesadaran hukum  dapat  menunjang  keberhasilan  dari  upaya  penegakan  hukum  yang  juga
dipengaruhi  oleh  adanya  pemahaman  hukum  masyarakat  tentang  hukum  itu sendiri.  Menurut  penulis  bahwa  para  pejabat  atau  penyelenggara  negara
merupakan  bagian  dari  masyarakat,  sehingga  kesadaran  hukum  dari  para  pejabat atau  penyelenggara  negara  sangat  diperlukan  untuk  mengurangi  tingginya  angka
korupsi di Indonesia. Dengan  berbagai  ketentuan-ketentuan  mengenai  penyuapan  yang
merupakan  tindak  pidana  korupsi,  terdapat  masalah-masalah  yang  belum  dikaji secara  khusus  dan  perlu  adanya  penelitian  untuk  mengetahui  informasi  dalam
memahami  permasalahan  yang  muncul.  Diantaranya  masalah  ruang  lingkup  dan pengaturan  penyuapan  sebagai  salah  satu  delik  tindak  pidana  korupsi  dalam
hukum  pidana  untuk  memberikan  kepastian  dalam  penegakan  hukumnya. Masalah  lain  yang  juga  menarik  untuk  diteliti  adalah  masalah  bagaimana
penegakan  hukum  pidana  terhadap  tindak  pidana  penyuapan  tersebut,  karena hanya  dengan  penegakan  hukum  yang  tepatlah  yang  akan  menciptakan  rasa
keadilan masyarakat. Dengan masalah-masalah yang telah disebutkan diatas maka penulis  menaruh  minat  yang  besar  untuk  meneliti  tentang  penyuapan  dengan
segala  aspeknya  yang  dituangkan  dalam  suatu  bentuk  penulisan  hukum  dengan
judul  “KAJIAN  TENTANG  PENYUAPAN  SEBAGAI  SALAH  SATU BENTUK TINDAK PIDANA KORUPSI”
commit to user
7
B. Perumusan Masalah