Kerangka Teori S.H., M.S. Sabar Slamet, S.H., M

commit to user 13

BAB II Tinjauan Pustaka

A. Kerangka Teori

1. Kajian Tentang Hukum Pidana

a. Pengertian Hukum Pidana Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Menurut Moeljatno dalam bukunya asas-asas hukum pidana mengemukakan hukum pidana adalah sebagai berikut: 1 Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 2 Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3 Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidan itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut Moeljatno, 2002: 01. Hukum pidana mempunyai obyek kajian yaitu aturan hukum pidana yang berlaku di suatu negara, sebagai ilmu pengetahuan hukum pidana. Tujuannya untuk menyelediki pengertian obyektif dari hukum pidana positif. Pidana dapat diartikan sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Beratnya pidana atau sanksi di dalam hukum pidana, maka ada yang menyebutkan bahwa hukum pidana seperti “pedang bermata dua”. Artinya bahwa disamping hukum itu seharusnya melindungi orang-orang dari perampasan hak asasinya, justru dalam penjatuhan pidana, hukum pidana merampas hak asasi tersebut dari mereka yang melakukan tindak pidana. 13 commit to user 14 b. Pembagian Hukum Pidana Ditinjau dari berbagai segi, hukum pidana dapat dibagi menjadi berbagai klasifikasi sebagai berikut: 1 Hukum pidana materiil, yaitu aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan mengenai pidana. 2 Hukum pidana formil, yaitu mengatur bagaimana negara dengan perantara alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya mengenakan pidana. 3 Hukum pidana obyektif ius poenale, yaitu hukum pidana yang memuat keharusan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman. 4 Hukum pidana subyektif ius punindi, yaitu hak negara menghukum seseorang berdasarkan hukum obyektif. 5 Hukum pidana umum, yaitu hukum pidana yang memuat aturan- aturan yang berlaku bagi setiap orang. 6 Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang memuat aturan yang berlaku bagi golongan orang-orang tertentu atau berkaitan dengan jenis perbuatan tertentu. 7 Hukum pidana kodifikasi, yaitu hukum pidana yang tersusun dalam suatu buku undang-undang secara sistematis dan tuntas. 8 Hukum pidana yang tidak dikodifikasi, yaitu hukum pidana yang berupa peraturan-peraturan yang tersebar dalam berbagai perundang- undangan. Misalnya: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. c. Asas-Asas Hukum Pidana Beberapa asas hukum pidana adalah sebagai berikut: 1 Asas Legalitas Istilah bahasa latin disebut “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenale”. Artinya tiada perbuatan pidana jika tidak ada commit to user 15 ketentuan perundang-undangan yang telah mengatur sebelumnya. Asas ini termuat di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. 2 Asas Lex Temporis Delicti Artinya bahwa peraturan perundang-undangan mengenai perbuatan yang dilarang dan pidananya, yang dapat digunakan untuk menuntut dan menjatuhkan pidana adalah perundang-undangan yang ada pada waktu perbuatan tersebut dilakukan. 3 Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Geen straft zonder schuld Artinya bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana baru dapat dipidana jika ada unsur kesalahan. 4 Asas Teritorial Artinya perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan di dalam wilayah kedaulatan Indonesia. 5 Asas Nasional Aktif Artinya perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan tertentu di luar Indonesia. 6 Asas Nasional Pasif Artinya perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia dan orang asing yang menyerang kepentingan hukum Indonesia. 7 Asas Universal Artinya perundang-undangan pidana Indonesia memberikan perlindungan kepada kepentingan dunia internasional baik di wilayah Indonesia sendiri maupun di wilayah bebas.

2. Kajian Tentang Tindak Pidana atau Delik

a. Pengertian Tindak Pidana atau Delik Pada umumnya jika terjadi tindak pidana maka pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh kepolisian, kejaksaan dan kehakiman, tanpa commit to user 16 permintaan dari orang yang terkena tindak pidana segera bertindak melakukan penyidikan, pengusutan, penuntutan dan memberikan hukuman kepada orang yang bersalah atas perbuatan tindak pidana itu Winarno Budyatmojo, 2009:83. Tindak pidana strafbaarfeit merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” crime atau Verbrechen atau Misdaad yang bisa diartikan secara yuridis hukum atau secara kriminologis. Para ahli hukum memberikan pengertian mengenai tindak pidana strafbaarfeit dan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1 D. Simons mengemukakan Strafbaarfeit adalah “een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaarfeit adalah: a Perbuatan manusia positief atau negatief; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan. b Diancam dengan pidana stratbaar gesteld. c Melawan hukum onrechtmatige. d Dilakukan dengan kesalahan met schuld in verband staand. e Oleh orang yang mampu bertanggung jawab toerekeningsvatbaar persoon. Simons menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaar feit. Yang disebut sebagai unsur obyektif adalah: a Perbuatan orang. b Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. c Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”. Unsur subyektif dari strafbaar feit adalah: a Orang yang mampu bertanggung jawab. b Adanya kesalahan. Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. 2 W.P.J. Pompe berpendapat bahwa “menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang”. Bahwa menurut teori, strafbaar feit adalah perbuatan bersifat melawan hukum yang commit to user 17 dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam hukum positif, sifat melawan hukum wederrechttelijkheid dan kesalahan schuld bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana strafbaar feit. Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, disamping itu harus ada orang yang dapat dipidana. Orang yang dapt dipidana tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum dan kesalahan. 3 Moeljatno mengemukakan dalam pidatonya memberi arti kepada perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut: a Perbuatan manusia. b Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang ini merupakan syarat formil. c Bersifat melawan hukum ini merupakan syarat materiil. Syarat formil itu harus ada karena adanya asas legalitas yang termuat dalam pasal 1 KUHP. Sedangkan adanya syarat materiil karena perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan masyarakat. Moeljatno berpendapat bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang berbuat. Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka. Disamping itu, orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab Sudarto, 1990:41-43. Delik adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana. Perlu diperhatikan adanya asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, jika tidak ditentukan lebih dahulu dalam perundang- undangan Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dipidana, apabila mempunyai kesalahan. Untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang, selain orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang, perlu diperhatikan adanya kesalahan, sesuai asas tidak ada perbuatan pidana tanpa kesalahan Geen straft zonder schuld. Seseorang commit to user 18 yang melakukan perbuatan pidana harus dapat dipertanggungjawabkan. Perlu diperhatikan adanya golongan orang-orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya anak yang belum dewasa, orang gila. Maka dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat adanya perbuatan pidana atau delik adalah: 1 Adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. 2 Perbuatan tersebut sudah dirumuskan di dalam undang-undang dan bersifat melawan hukum. 3 Adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan dan adanya kemampuan untuk bertanggungjawab. 4 Harus ada ancaman hukumannya. b. Macam–macam Tindak Pidana atau Delik 1 Delik formil, adalah perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan melanggar ketentuan yang sudah dirumuskan didalam pasal undang- undang yang bersangkutan. 2 Delik materiil, adalah perbuatan pidana yang dilarang yaitu akibat yang timbul dari perbuatan tersebut. 3 Delik dolus, adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja. 4 Delik culpa, adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan alpa. 5 Delik aduan, perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang lain artinya suatu tindak pidana yang hanya dapatdituntut jika ada laporan bersifat aduan kepada aparat penegak hukum dari pihak yang dirugikan. 6 Delik politik, adalah perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan negara baik langsung maupun tidak langsung. c. Tempat dan Waktu Terjadinya Tindak Pidana Untuk dapat menentukan secara pasti tentang waktu dan tempat kejadian dilakukannya suatu tindak pidana itu tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya pidana merupakan suatu tindakan commit to user 19 manusia, dimana pada waktu melakukan tindakannya, sering kali manusia telah menggunakan alat yang dapat menimbulkan suatu akibat pada waktu dan tempat yang berbeda dimana manusia tersebut telah menggunakan alat-alat yang bersangkutan. Dapat pula terjadi bahwa perbuatan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada tempat dan waktu yang berbeda dari pada waktu dan tempat dimana pelaku tersebut telah melakukan perbuatannya. Jadi dalam hal ini yang dimaksud dengan tempos delicti adalah waktu dimana terjadinya suatu tindak pidana dan yang dimaksud dengan locus delicti adalah tempat dimana tindak pidana tersebut dilakukan. Menurut Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh lamintang mengemukakan bahwa “yang harus dipandang sebagai tempat dan waktu dilakukannya tindak pidana itu pada dasarnya adalah tempat dimana seorang pelaku telah melakukan perbuatannya secara materiil” Lamintang, 1997:229. Yang harus dianggap sebagai locus delicti itu adalah : 1 Tempat dimana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya. 2 Tempat dimana alat yang telah dipergunakan oleh seorang itu bekerja. 3 Tempat dimana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul. 4 Tempat dimana akibat konsitutif itu telah timbul.

3. Kajian Tentang Tindak Pidana Korupsi

a. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi menurut Fockema Andreae sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah yang berjudul Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional mengemukakan bahwa kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa commit to user 20 seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie. Arti harfiah kata tersebut ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya Andi Hamzah, 2007:5. Definisi korupsi menurut organisasi transparansi internasional adalah sebagai berikut: Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya Firman Wijaya, 2008:9 Pengertian korupsi yang sangat sederhana tidak dapat dijadikan tolok ukur atau standar perbuatan korupsi. Lubis dan Scott dalam pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa: Dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut, sedangkan menurut norma- norma pemerintahdapat dianggap korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela IGM Nurdjana, 2010:16. Secara sosiologis, menurut Syeh Husein Alatas, ada tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yakni penyuapan brybery, pemerasan dan nepotisme. Lebih lanjut syeh Husein Alatas dalam monografnya yang berjudul “The Sociology of corruption: the nature, function, couses, and prevention of corruption” menyatakan bahwa menurut pemakaian umum, istilah “korupsi” yaitu apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang commit to user 21 swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga tercakup dalam konsep tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Firman Wijaya bahwa “Pemerasan yaitu permintaan pemberian- pemberian atau hadiah dalam pelaksanaan tugas-tugas publik, juga dipandang sebagai korupsi” Firman Wijaya, 2008:8. Dalam definisi korupsi, IGM Nurdjana mengemukakan terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi yaitu: 1 Menyalahgunakan kekuasaan; 2 Kekuasaan yang dipercayakan yaitu baik sektor publik maupun sektor swasta, memiliki akses bisnis atau keuntungan materi; 3 Keuntungan pribadi tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya IGM Nurdjana, 2010: 15. Korupsi merupakan sesuatau yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan korupsi akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan serta faktor ekonomi politik. Dengan demikian, korupsi memiliki arti yang sangat luas menurut Evi Hartanti adalah sebagai berikut: 1 Korupsi yaitu penyelewengan atau penggelapan untuk kepentingan pribadi dan orang lain; 2 Korupsi merupakan busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi Evi Hartanti, 2007:09. b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 2 mendefinisikan korupsi sebagai berikut: commit to user 22 1 Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. 2 Dalam hal tindak pidan korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut: 1 Setiap orang; 2 Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi; 3 Dengan cara melawan hukum; 4 Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Penyalahgunaan wewenang yang terdapat dalam Pasal 3 Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan delik inti Bestanddeel delict. Delik penyalahgunaan wewenang diatur dalam Pasal 3 yang dinyatakan sebagai berikut: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 3 adalah sebagai berikut: 1 Setiap orang; 2 Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3 Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana; commit to user 23 4 Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; 5 Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. c. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi Menurut Gerald E. Caiden 1998 sebagaimana dikutip oleh Rudyct dengan judul Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan Upaya Penangulangannya dalam http:rudyct.com memaparkan secara rinci bahwa bentuk-bentuk korupsi yang umum di kenal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara antara lain adalah: 1 Berkhianat, transaksi luar negeri ilegal dan penyelundupan; 2 Menggelapkan barang milik lembaga, negara, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri; 3 Menggunakan uang negaralembaga yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalagunakan dana; 4 Menyalahgunakan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi, memperdaya dan memeras; 5 Penyuapan dan penyogokan, mengutip pungutan dan meminta komisi; 6 Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintahnegara, dan surat izin pemerintah; 7 Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman uang; 8 Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan; 9 Menerima hadiah, uang pelicin dan hiburan dan perjalanan yang tidak pada tempatnya, dan; 10 Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan. commit to user 24

4. Kajian Tentang Penyuapan

a. Pengertian Penyuapan Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang- undang sebagai suatu hadiah atau janji giftenbeloften yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada 3 unsur yang esensial dari delik suap yaitu: 1 Menerima hadiah atau janji; 2 Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan; 3 Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat pasal-pasal mengenai delik penyuapan aktif Pasal 209 dan Pasal 210 maupun penyuapan pasif Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 yang kemudian semuanya ditarik dalam Pasal 1 ayat 1 sub c UU Nomor 3 Tahun 1971 yang sekarang menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sekarang Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan delik suap pasif dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku yang memberi suap delik suap aktif dan yang menerima suap delik suap pasif adalah subyek tindak pidana korupsi dan penempatan status sebagai subyek ini tidak memiliki sifat eksepsionalitas yang absolut. Dengan demikian makna suap telah diperluas, introduksi norma regulasi pemberantasan korupsi telah menempatkan Actief Omkoping suap aktif sebagai subyek tindak pidana korupsi, karena selama ini delik suap dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur Passief Omkoping suap pasif. Delik suap tidaklah selalu terikat persepsi telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya commit to user 25 pemberian janji saja adalah tetap obyek perbuatan suap. Adanya percobaan pogging suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai yang berarti adanya prakondisi sebagai permulaan pelaksanaan dugaan suap itu sudah dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Si penerima wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukan suap, karenanya terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Definisi suap menerima gratifikasi dirumuskan pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan dari penjelasan Pasal 12B ayat 1 dapat ditarik beberapa kesimpulan seperti pengertian suap aktif, artinya tidak bisa untuk mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut pasal ini. Dengan demikian, luasnya pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak bisa tidak, akan menjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif pada Pasal 5 ayat 2, Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 12 huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang masih dapat diatasi melalui ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 ayat 1 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana mengenai perbarengan perbuatan concursus idealis. b. Jenis Penyuapan Penyuapan terdiri dari dua jenis yaitu sebagai berikut: 1 Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap batin subjek hukum berupa niat oogmerk yang bertujuan untuk menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselubung yang diinginkannya, yang commit to user 26 didorong oleh kepentingan pribadi, agar penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai voltoid. 2 Penyuap pasif adalah pihak yang menerima pemberian atau janji baik berupa uang maupun barang. Bila dikaitkan dengan Badan Usaha Milik Negara, rumusan delik ini, dapat dikenakan kepada Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan Usaha Milik Negara bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian pegawai negeri karena menerima gajiupah dari keuangan negara sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau janji dalam pasal ini, berarti pegawai negeripenyelenggara negara dimaksud akan menanggung beban moril untuk memenuhi permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut. Selain penyuapan aktif dan pasif tersebut yang lazim juga terjadi terkait dengan praktek korupsi adalah penggelapan dan pemerasan. Larangan yang terkait dengan tindak pidana korupsi jenis ini adalah perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi tanggungjawab jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain.

5. Kajian Tentang Gratifikasi

a. Pengertian Gratifikasi Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut: commit to user 27 1 Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a Yang nilainya Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. 2 Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah pidana seumur hidup atau piidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan Gratifikasi dengan uang hadiah kepada pegawai diluar gaji yang telah ada. Sedangkan Gratifikasi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan penjelasannya mendefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima didalam negeri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Dengan adanya penjelasan ini, memang lebih jelas dan lebih terang dan hal ini berarti lebih menjamin kepastian hukum dari pada tidak dijelaskan sama sekali. Dari penjelasan pasal 12B ayat 1 ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1 Bahwa ternyata pengertian gratifikasi ini sama dengan pengertian suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri atas benda, jasa, fasilitas, dan sebagainya. commit to user 28 2 Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap aktif, maksudnya tidak bisa mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana pada pemberi grastifikasi menurut Pasal 12 B ini. 3 Dengan demikian, luasnya pengertian gratifikasi ini seperti yang diterangkan dan dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 12 B ayat 1 ini, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindak pidana suap pasif pada Pasal 5 ayat 2, Pasal 6 ayat 2, dan Pasal 12 huruf a, b, dan c. Pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi adalah pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau kedinasan danatau semata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabatpegawai negeri dengan si pemberi. Secara hukum dan etika moral seorang penyelenggara negara seharusnya tidak menerima gratifikasi apapun dari rakyatnya. Kesulitannya, untuk pembuktian sebuah kasus penyuapanterbentur kenyataan bahwapemisah antara suap dan gratifikasi hanyalah tipis sekali. Artinya harus ada ketentuan yang jelas mengenai perbedaan antara suap, suap yang berkedok gratifiksi atau gratifiksi yang berujung makruh untuk diterima. Suap adalah apabila penerima disyaratkan melakukan tindakan hukum yang tidak benar atau disyaratkan mencegah tindakan hukum yang benar. Sedangkan gratifikasi adalah pemberian yang bersifat mutlak, tidak mengandung syarat apapun. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa penyuapan dan gratifikasi mempunyai titik persamaan diberikan kepada pemegang kekuasaan. Sisi perbedaannya, melihat kepada tujuan dari si pemberi. Bila tujuan tersebut, masih umum sekedar menarik simpati atau terindikasi karena faktor jabatan dan kedudukan berarti tergolong gratifikasi. Apabila tujuan yang ingin dicapai tertentu dan dalam persoalan khusus, maka ini yang commit to user 29 disebut dengan penyuapan. Meskipun keduanya diharamkan, tentunya tingkat keharaman dan hukuman yang diterima berbeda. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelengara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Gratifikasi tidak dianggap suap jika penerima melaporkan ke KPK. Hal ini diatur didalam Pasal 12 C yang berbunyi sebagai berikut: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat 1 tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: 1 Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 wajib melakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 tiga puluh hari kerja terhitung sejak tanggal Gratifikasi tersebut diterima. 2 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 tiga puluh hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. 3 Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan penetuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 diatur dalam undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal 12 C ayat 2 UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001 dan Pasal 16 UU No. 30 tahun 2002, setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan cara sebagai berikut : 1 Penerima gratifikasi wajib melaporkan dokumen penerimaannya selambat-lambatnya 30 tiga puluh hari kerja kepada KPK, terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima; 2 Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi; commit to user 30 3 Formulir sebagaimana dimaksud dalam angka 2, sekurang- kurangnya memuat : a Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi; b Jabatan Pegawai Negeri atau penyelenggara negara; c Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi; d Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan e Nilai gratifikasi yang diterima. Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan tindak Pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun 2001. Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi unsur-unsur: 1 Pegawai negeri atau penyelenggara negara; 2 Menerima gratifikasi pemberian dalam arti kata luas; 3 Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya; 4 Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi. b. Subyek Gratifikasi Berdasarkan Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka yang menjadi subjek tindak pidana gratifikasi adalah: 1 Pegawai Negeri Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999, meliputi: a Pegawai negeri sebagaimana undang-undang tentang kepegawaian; b Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang- Undang Hukum Pidana; c Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; commit to user 31 d Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; atau e Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. 2 Penyelenggara Negara Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara adalah pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara meliputi: a pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara; b Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; c Menteri; d Gubernur; e Hakim; f Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan g Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku. c. Obyek Gratifikasi Dilihat dari penjelasan pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka disebutkan objek gratifikasi adalah: pemberian uang, barang, rabat discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar commit to user 32 negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Selain itu terdapat juga kasus-kasus yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi yaitu: a Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif. b Cinderamata bagi guru PNS setelah pembagian rapor kelulusan, Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian polisi lalu lintas, retribusi dinas pendapatan daerah, LLAJR dan masyarakat preman. Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan pelaporan yang dipublikasikan ke media massa dan penindakan tegas pada pelaku. c Uang restribusi masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah. d Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat. e Perjalanan wisata bagi Bupati menjelang akhir jabatan. f Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah karena biasanya sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana anggaran tersebut harus dipergunakan sesuai dengan pos anggaran dan keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal. g Hadiah pernikahan ke keluarga PNS yang melewati batas kewajaran. h Pengurusan KTPSIMPaspor yang dipercepat dengan uang tambahan. i Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal. j Pengurusan ijin yang dipersulit. commit to user 33

b. Kerangka Pemikiran

Mengenai kerangka pemikiran dalam penelitian ini dibuat dalam suatu bagan seperti berikut: Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penjelasan: Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana. Tindak pidana berisikan tentang kejahatan perbuatan jahat dan pelanggaran. Pengertian korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi diatur didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu jenis tindak pidana dalam tindak pidana korupsi dalah penyuapan. Penyuapan merupakan istilah yang dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu hadiah atau janji giftenbeloften yang diberikan atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Peningkatan terjadinya korupsi disebabkan karena lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan adanya penanganan korupsi TINDAK PIDANA UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 jo UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 KORUPSI PENYUAPAN PENEGAKAN HUKUM TUJUAN HUKUM = KEADILAN