commit to user
13
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Teori
1. Kajian Tentang Hukum Pidana
a.  Pengertian Hukum Pidana Hukum  pidana  merupakan  hukum  yang  mengatur  tentang
perbuatan-perbuatan  yang  dilarang  oleh  undang-undang  beserta  sanksi pidana  yang  dapat  dijatuhkan  kepada  pelaku.  Menurut  Moeljatno  dalam
bukunya  asas-asas  hukum  pidana  mengemukakan  hukum  pidana  adalah sebagai berikut:
1  Menentukan  perbuatan-perbuatan  mana  yang  tidak  boleh dilakukan,  yang  dilarang  dengan  disertai  ancaman  atau  sanksi
yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa  yang melanggar larangan tersebut.
2  Menentukan  kapan  dan  dalam  hal  apa  kepada  mereka  yang telah  melanggar  larangan-larangan  itu  dapat  dikenakan  atau
dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3  Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidan itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut Moeljatno, 2002: 01.
Hukum  pidana  mempunyai  obyek  kajian  yaitu  aturan  hukum pidana  yang  berlaku  di  suatu  negara,  sebagai  ilmu  pengetahuan  hukum
pidana.  Tujuannya  untuk  menyelediki  pengertian  obyektif  dari  hukum pidana  positif.  Pidana  dapat  diartikan  sebagai  penderitaan  yang  sengaja
dibebankan  kepada  orang  yang  melakukan  perbuatan  yang  memenuhi syarat-syarat  tertentu.  Beratnya  pidana  atau  sanksi  di  dalam  hukum
pidana,  maka  ada  yang  menyebutkan  bahwa  hukum  pidana  seperti “pedang bermata dua”.  Artinya bahwa disamping hukum itu seharusnya
melindungi  orang-orang  dari  perampasan  hak  asasinya,  justru  dalam penjatuhan  pidana,  hukum  pidana  merampas  hak  asasi  tersebut  dari
mereka yang melakukan tindak pidana.
13
commit to user
14 b.  Pembagian Hukum Pidana
Ditinjau  dari  berbagai  segi,  hukum  pidana  dapat  dibagi  menjadi berbagai klasifikasi sebagai berikut:
1  Hukum  pidana  materiil,  yaitu  aturan-aturan  yang  menetapkan  dan merumuskan  perbuatan-perbuatan  yang  dapat  dipidana,  aturan  yang
memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan mengenai pidana.
2  Hukum  pidana  formil,  yaitu  mengatur  bagaimana  negara  dengan perantara
alat-alat perlengkapannya
melaksanakan haknya
mengenakan pidana. 3  Hukum  pidana  obyektif  ius  poenale,  yaitu  hukum  pidana  yang
memuat keharusan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman. 4  Hukum pidana subyektif ius punindi, yaitu hak negara menghukum
seseorang berdasarkan hukum obyektif. 5  Hukum  pidana  umum,  yaitu  hukum  pidana  yang  memuat  aturan-
aturan yang berlaku bagi setiap orang. 6  Hukum  pidana  khusus,  yaitu  hukum  pidana  yang  memuat  aturan
yang  berlaku  bagi  golongan  orang-orang  tertentu  atau  berkaitan dengan jenis perbuatan tertentu.
7  Hukum pidana kodifikasi, yaitu hukum pidana  yang tersusun dalam suatu buku undang-undang secara sistematis dan tuntas.
8  Hukum  pidana  yang  tidak  dikodifikasi,  yaitu  hukum  pidana  yang berupa peraturan-peraturan yang tersebar dalam berbagai perundang-
undangan.  Misalnya:  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c.  Asas-Asas Hukum Pidana Beberapa asas hukum pidana adalah sebagai berikut:
1  Asas Legalitas Istilah  bahasa  latin  disebut  “Nullum  delictum  nulla  poena  sine
praevia lege poenale”. Artinya tiada perbuatan pidana jika tidak ada
commit to user
15 ketentuan  perundang-undangan  yang  telah  mengatur  sebelumnya.
Asas ini termuat di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. 2  Asas Lex Temporis Delicti
Artinya  bahwa  peraturan  perundang-undangan  mengenai  perbuatan yang dilarang dan pidananya, yang dapat digunakan untuk menuntut
dan menjatuhkan pidana adalah perundang-undangan yang ada pada waktu perbuatan tersebut dilakukan.
3  Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Geen straft zonder schuld Artinya  bahwa  orang  yang  melakukan  perbuatan  pidana  baru  dapat
dipidana jika ada unsur kesalahan. 4  Asas Teritorial
Artinya  perundang-undangan  pidana  Indonesia  berlaku  bagi kejahatan  dan  pelanggaran  yang  dilakukan  di  dalam  wilayah
kedaulatan Indonesia. 5  Asas Nasional Aktif
Artinya  perundang-undangan  pidana  Indonesia  berlaku  bagi  setiap warga  negara  Indonesia  yang  melakukan  kejahatan  tertentu  di  luar
Indonesia. 6  Asas  Nasional Pasif
Artinya  perundang-undangan  Indonesia  berlaku  bagi  warga  negara Indonesia  dan  orang  asing  yang  menyerang  kepentingan  hukum
Indonesia. 7  Asas Universal
Artinya perundang-undangan
pidana Indonesia
memberikan perlindungan  kepada  kepentingan  dunia  internasional  baik  di
wilayah Indonesia sendiri maupun di wilayah bebas.
2. Kajian Tentang Tindak Pidana atau Delik
a.  Pengertian Tindak Pidana atau Delik Pada  umumnya  jika  terjadi  tindak  pidana  maka  pemerintah  yang
dalam  hal  ini  diwakili  oleh  kepolisian,  kejaksaan  dan  kehakiman,  tanpa
commit to user
16 permintaan  dari  orang  yang  terkena  tindak  pidana  segera  bertindak
melakukan  penyidikan,  pengusutan,  penuntutan  dan  memberikan hukuman  kepada  orang  yang  bersalah  atas  perbuatan  tindak  pidana  itu
Winarno Budyatmojo, 2009:83. Tindak  pidana  strafbaarfeit  merupakan  suatu  pengertian  dasar
dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya  dengan  istilah  “perbuatan  jahat”  atau  “kejahatan”  crime  atau
Verbrechen  atau  Misdaad  yang  bisa  diartikan  secara  yuridis  hukum atau  secara  kriminologis.  Para  ahli  hukum  memberikan  pengertian
mengenai  tindak  pidana  strafbaarfeit  dan  unsur-unsurnya  adalah sebagai berikut:
1  D.  Simons  mengemukakan  Strafbaarfeit  adalah  “een strafbaar  gestelde,  onrechmatige,  met  schuld  verband
staande  handeling  van  een  toerekeningsvatbaar  persoon”. Jadi unsur-unsur strafbaarfeit adalah:
a  Perbuatan  manusia  positief  atau  negatief;  berbuat  atau
tidak berbuat atau membiarkan. b  Diancam dengan pidana stratbaar gesteld.
c  Melawan hukum onrechtmatige. d  Dilakukan  dengan  kesalahan  met  schuld  in  verband
staand. e  Oleh
orang yang
mampu bertanggung
jawab toerekeningsvatbaar persoon.
Simons  menyebutkan  adanya  unsur  obyektif  dan  unsur subyektif  dari  strafbaar  feit.  Yang  disebut  sebagai  unsur
obyektif adalah: a  Perbuatan orang.
b  Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. c  Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan
itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur subyektif dari strafbaar feit adalah: a  Orang yang mampu bertanggung jawab.
b  Adanya  kesalahan.  Perbuatan  harus  dilakukan  dengan
kesalahan.  Kesalahan  ini  dapat  berhubungan  dengan akibat  dari  perbuatan  atau  dengan  keadaan-keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
2  W.P.J.  Pompe  berpendapat  bahwa  “menurut  hukum  positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana
dalam  ketentuan  undang-undang”.  Bahwa  menurut  teori, strafbaar feit adalah perbuatan bersifat melawan hukum yang
commit to user
17 dilakukan  dengan  kesalahan  dan  diancam  pidana.  Dalam
hukum  positif,  sifat  melawan  hukum  wederrechttelijkheid dan  kesalahan  schuld  bukanlah  sifat  mutlak  untuk  adanya
tindak pidana strafbaar feit. Untuk penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, disamping itu harus ada
orang  yang  dapat  dipidana.  Orang  yang  dapt  dipidana  tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum dan kesalahan.
3  Moeljatno  mengemukakan  dalam  pidatonya  memberi  arti kepada  perbuatan  pidana  sebagai  perbuatan  yang  diancam
dengan  pidana,  barang  siapa  melanggar  larangan  tersebut. Untuk  adanya  perbuatan  pidana  harus  ada  unsur-unsur
sebagai berikut: a  Perbuatan manusia.
b  Yang  memenuhi  rumusan  dalam  undang-undang  ini
merupakan syarat formil. c  Bersifat melawan hukum ini merupakan syarat materiil.
Syarat formil itu harus ada karena adanya asas legalitas yang termuat  dalam  pasal  1  KUHP.  Sedangkan  adanya  syarat
materiil  karena  perbuatan  itu  harus  benar-benar  dirasakan oleh  masyarakat  sebagai  perbuatan  yang  tidak  boleh  atau
tidak  patut  dilakukan,  oleh  karena  bertentangan  dengan  atau menghambat  akan  tercapainya  tata  dalam  pergaulan
masyarakat  yang  dicita-citakan  masyarakat.  Moeljatno berpendapat  bahwa  kesalahan  dan  kemampuan  bertanggung
jawab  dari  si  pembuat  tidak  masuk  sebagai  unsur  perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang berbuat.
Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila  diikuti  pendirian  Moeljatno,  maka  tidak  cukup
apabila  seseorang  itu  telah  melakukan  perbuatan  pidana belaka.  Disamping  itu,  orang  tersebut  harus  ada  kesalahan
dan kemampuan bertanggung jawab Sudarto, 1990:41-43.
Delik  adalah  perbuatan  yang  oleh  hukum  pidana  dilarang  dan diancam  dengan  pidana.  Perlu  diperhatikan  adanya  asas  legalitas  yang
menyatakan  bahwa  tidak  ada  perbuatan  yang  dilarang  dan  diancam dengan  pidana,  jika  tidak  ditentukan  lebih  dahulu  dalam  perundang-
undangan  Pasal  1  ayat  1  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Pidana. Orang  yang  melakukan  perbuatan  yang  dilarang  oleh  undang-undang
dapat  dipidana,  apabila  mempunyai  kesalahan.  Untuk  menjatuhkan pidana  kepada  seseorang,  selain  orang  tersebut  melakukan  perbuatan
yang dilarang, perlu diperhatikan adanya kesalahan, sesuai asas tidak ada perbuatan pidana tanpa kesalahan Geen straft zonder schuld. Seseorang
commit to user
18 yang  melakukan  perbuatan  pidana  harus  dapat  dipertanggungjawabkan.
Perlu  diperhatikan  adanya  golongan  orang-orang  yang  tidak  dapat dipertanggungjawabkan,  misalnya  anak  yang  belum  dewasa,  orang  gila.
Maka  dapat  disimpulkan  bahwa  syarat-syarat  adanya  perbuatan  pidana atau delik adalah:
1  Adanya  suatu  perbuatan  yang  dilakukan  oleh  seseorang  atau sekelompok orang.
2  Perbuatan  tersebut  sudah  dirumuskan  di  dalam  undang-undang  dan bersifat melawan hukum.
3  Adanya  kesalahan  yang  dapat  dipertanggungjawabkan  dan  adanya kemampuan untuk bertanggungjawab.
4  Harus ada ancaman hukumannya. b.  Macam–macam Tindak Pidana atau Delik
1  Delik  formil,  adalah  perbuatan  pidana  yang  sudah  dilakukan  dan melanggar ketentuan yang sudah dirumuskan didalam pasal undang-
undang yang bersangkutan. 2  Delik  materiil,  adalah  perbuatan  pidana  yang  dilarang  yaitu  akibat
yang timbul dari perbuatan tersebut. 3  Delik  dolus,  adalah  perbuatan  pidana  yang  dilakukan  dengan
sengaja. 4  Delik culpa, adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan alpa.
5  Delik  aduan,  perbuatan  pidana  yang  memerlukan  pengaduan  orang lain  artinya  suatu  tindak  pidana  yang  hanya  dapatdituntut  jika  ada
laporan bersifat aduan kepada aparat penegak hukum dari pihak yang dirugikan.
6  Delik  politik,  adalah  perbuatan  pidana  yang  ditujukan  kepada keamanan negara baik langsung maupun tidak langsung.
c.  Tempat dan Waktu Terjadinya Tindak Pidana Untuk  dapat  menentukan  secara  pasti  tentang  waktu  dan  tempat
kejadian  dilakukannya  suatu  tindak  pidana  itu  tidaklah  mudah.  Hal  ini disebabkan  karena  pada  dasarnya  pidana  merupakan  suatu  tindakan
commit to user
19 manusia,  dimana  pada  waktu  melakukan  tindakannya,  sering  kali
manusia  telah  menggunakan  alat  yang  dapat  menimbulkan  suatu  akibat pada  waktu  dan  tempat  yang  berbeda  dimana  manusia  tersebut  telah
menggunakan  alat-alat  yang  bersangkutan.  Dapat  pula  terjadi  bahwa perbuatan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat pada tempat dan
waktu yang berbeda dari pada waktu dan tempat dimana pelaku tersebut telah melakukan perbuatannya. Jadi dalam hal ini yang dimaksud dengan
tempos  delicti  adalah  waktu  dimana  terjadinya  suatu  tindak  pidana  dan yang dimaksud dengan locus delicti adalah tempat dimana tindak pidana
tersebut dilakukan. Menurut  Van  Bemmelen  sebagaimana  dikutip  oleh  lamintang
mengemukakan bahwa “yang harus dipandang sebagai tempat dan waktu dilakukannya  tindak  pidana  itu  pada  dasarnya  adalah  tempat  dimana
seorang  pelaku  telah  melakukan  perbuatannya  secara  materiil” Lamintang,  1997:229.  Yang  harus  dianggap  sebagai  locus  delicti  itu
adalah : 1  Tempat  dimana  seorang  pelaku  itu  telah  melakukan  sendiri
perbuatannya. 2  Tempat  dimana  alat  yang  telah  dipergunakan  oleh  seorang  itu
bekerja. 3  Tempat dimana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul.
4  Tempat dimana akibat konsitutif itu telah timbul.
3. Kajian Tentang Tindak Pidana Korupsi
a.  Pengertian Tindak Pidana Korupsi Istilah  korupsi  menurut  Fockema  Andreae  sebagaimana  dikutip
dalam  bukunya  Andi  Hamzah  yang  berjudul  Pemberantasan  Korupsi Melalui  Hukum  Pidana  Nasional  dan  Internasional  mengemukakan
bahwa  kata  korupsi  berasal  dari  bahasa  latin  corruptio  atau  corruptus. Selanjutnya  disebutkan  bahwa  corruptio  itu  berasal  dari  kata  asal
corrumpere.  Dari  bahasa  latin  itulah  turun  ke  banyak  bahasa  Eropa
commit to user
20 seperti  Inggris  yaitu  corruption,  corrupt;  Perancis  yaitu  corruption;  dan
Belanda  yaitu  corruptie.  Arti  harfiah  kata  tersebut  ialah  kebusukan, keburukan,  kebejatan,  ketidakjujuran,  dapat  disuap,  tidak  bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah. Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata
bahasa  Indonesia  disimpulkan  oleh  Poerwadarminta  dalam  Kamus Umum  Bahasa  Indonesia  bahwa  korupsi  ialah  perbuatan  yang  buruk
seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya  Andi Hamzah, 2007:5.
Definisi  korupsi  menurut  organisasi  transparansi  internasional adalah sebagai berikut:
Perilaku  pejabat  publik,  baik  politisi  maupun  pegawai  negeri, yang  tidak  wajar  dan  tidak  legal  memperkaya  diri  atau
memperkaya mereka
yang dekat
dengannya dengan
menyalahgunakan kekuasaan
publik yang
dipercayakan kepadanya Firman Wijaya, 2008:9
Pengertian  korupsi  yang  sangat  sederhana  tidak  dapat  dijadikan tolok  ukur  atau  standar  perbuatan  korupsi.  Lubis  dan  Scott  dalam
pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa: Dalam  arti  hukum,  korupsi  adalah  tingkah  laku  yang
menguntungkan  diri  sendiri  dengan  merugikan  orang  lain,  oleh para  pejabat  pemerintah  yang  langsung  melanggar  batas-batas
hukum  atas  tingkah  laku  tersebut,  sedangkan  menurut  norma- norma  pemerintahdapat  dianggap  korupsi  apabila  hukum
dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela IGM Nurdjana, 2010:16.
Secara  sosiologis,  menurut  Syeh  Husein  Alatas,  ada  tiga  tipe fenomena  yang  tercakup  dalam  istilah  korupsi,  yakni  penyuapan
brybery,  pemerasan  dan  nepotisme.  Lebih  lanjut  syeh  Husein  Alatas dalam  monografnya  yang  berjudul  “The  Sociology  of  corruption:  the
nature,  function,  couses,  and  prevention  of  corruption”  menyatakan bahwa menurut pemakaian umum, istilah “korupsi” yaitu apabila seorang
pegawai  negeri  menerima  pemberian  yang  disodorkan  oleh  seorang
commit to user
21 swasta  dengan  maksud  mempengaruhinya  agar  memberikan  perhatian
istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan pemberian seperti itu atau hadiah lain yang menggoda juga
tercakup  dalam  konsep  tersebut.  Hal  senada  juga  dikemukakan  oleh Firman  Wijaya  bahwa  “Pemerasan  yaitu  permintaan  pemberian-
pemberian  atau  hadiah  dalam  pelaksanaan  tugas-tugas  publik,  juga dipandang sebagai korupsi” Firman Wijaya, 2008:8.
Dalam  definisi  korupsi,  IGM  Nurdjana  mengemukakan  terdapat tiga unsur dari pengertian korupsi yaitu:
1  Menyalahgunakan kekuasaan; 2  Kekuasaan  yang  dipercayakan  yaitu  baik  sektor  publik
maupun  sektor  swasta,  memiliki  akses  bisnis  atau keuntungan materi;
3  Keuntungan pribadi tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota
keluarganya IGM Nurdjana, 2010: 15.
Korupsi merupakan sesuatau yang busuk, jahat dan merusak. Jika membicarakan korupsi akan menemukan kenyataan semacam itu karena
korupsi  menyangkut  segi-segi  moral,  sifat  dan  keadaan  yang  busuk, jabatan  dalam  instansi  atau  aparatur  pemerintah,  penyelewengan
kekuasaan  serta  faktor  ekonomi  politik.  Dengan  demikian,  korupsi memiliki  arti  yang  sangat  luas  menurut  Evi  Hartanti  adalah  sebagai
berikut: 1  Korupsi  yaitu  penyelewengan  atau  penggelapan  untuk
kepentingan pribadi dan orang lain; 2  Korupsi  merupakan  busuk,  rusak,  suka  memakai  barang  atau
uang  yang  dipercayakan  kepadanya,  dapat  disogok  melalui kekuasaannya  untuk  kepentingan  pribadi  Evi  Hartanti,
2007:09.
b.  Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-
undang  Nomor  20  Tahun  2001  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana Korupsi dalam Pasal 2 mendefinisikan korupsi sebagai berikut:
commit to user
22 1  Setiap  orang  yang  secara  melawan  hukum  melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi  yang  dapat  merugikan  keuangan  negara  atau
perekonomian  negara,  dipidana  dengan  pidana  penjara seumur  hidup  atau  pidana  penjara  paling  singkat  4  empat
tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
2  Dalam  hal  tindak  pidan  korupsi  sebagaimana  dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan.
Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 2 adalah sebagai berikut: 1  Setiap orang;
2  Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi; 3  Dengan cara melawan hukum;
4  Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penyalahgunaan wewenang yang terdapat dalam Pasal 3 Undang- undang  Nomor  31  Tahun  1999  jo.  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun
2001  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  merupakan  delik inti Bestanddeel delict. Delik penyalahgunaan  wewenang diatur dalam
Pasal 3 yang dinyatakan sebagai berikut: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang  lain  atau  suatu  korporasi,  menyalahgunakan  kewenangan, kesempatan  atau  sarana  yang  ada  padanya  karena  jabatan  atau
kedudukan  yang  dapat  merugikan  keuangan  negara  atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau
pidana  penjara  paling  singkat  1  satu  tahun  dan  paling  lama  20 dua  puluh  tahun  dan  denda  paling  sedikit  Rp  50.000.000,00
lima  puluh  juta  rupiah  dan  paling  banyak  Rp  1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 3 adalah sebagai berikut: 1  Setiap orang;
2  Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3  Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
commit to user
23 4  Yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
5  Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. c.  Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Korupsi
Menurut  Gerald  E.  Caiden  1998  sebagaimana  dikutip  oleh Rudyct dengan judul Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan
Upaya Penangulangannya dalam http:rudyct.com  memaparkan secara rinci bahwa bentuk-bentuk korupsi yang umum di kenal dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara antara lain adalah: 1  Berkhianat, transaksi luar negeri ilegal dan penyelundupan;
2  Menggelapkan barang milik lembaga, negara, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri;
3  Menggunakan  uang  negaralembaga  yang  tidak  tepat,  memalsukan dokumen  dan  menggelapkan  uang,  mengalirkan  uang  lembaga  ke
rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalagunakan dana; 4  Menyalahgunakan  wewenang,  menipu,  mengecoh,  mencurangi,
memperdaya dan memeras; 5  Penyuapan  dan  penyogokan,  mengutip  pungutan  dan  meminta
komisi; 6  Menjual
tanpa izin
jabatan pemerintah,
barang milik
pemerintahnegara, dan surat izin pemerintah; 7  Manipulasi  peraturan,  pembelian  barang  persediaan,  kontrak  dan
pinjaman uang; 8  Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan;
9  Menerima  hadiah,  uang  pelicin  dan  hiburan  dan  perjalanan  yang tidak pada tempatnya, dan;
10  Menyalahgunakan  stempel  dan  kertas  surat  kantor,  rumah  jabatan dan hak istimewa jabatan.
commit to user
24
4. Kajian Tentang Penyuapan
a.  Pengertian Penyuapan Penyuapan  merupakan  istilah  yang  dituangkan  dalam  undang-
undang  sebagai  suatu  hadiah  atau  janji  giftenbeloften  yang  diberikan atau diterima meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif. Ada 3 unsur
yang esensial dari delik suap yaitu: 1  Menerima hadiah atau janji;
2  Berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan; 3  Bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.
Kitab  Undang-Undang  Hukum  Pidana  memuat  pasal-pasal mengenai  delik  penyuapan  aktif  Pasal  209  dan  Pasal  210  maupun
penyuapan  pasif  Pasal  418,  Pasal  419  dan  Pasal  420  yang  kemudian semuanya ditarik dalam Pasal 1 ayat 1 sub c UU Nomor 3 Tahun 1971
yang sekarang menjadi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang- Undang  Nomor  20  Tahun  2001  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana
Korupsi. Demikian juga dengan penyuapan aktif dalam penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub d Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sekarang Pasal
13  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  dan  delik  suap  pasif  dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sejak  berlakunya  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  jo. Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2001  tentang  Pemberantasan  Tindak
Pidana  Korupsi,  pelaku  yang  memberi  suap  delik  suap  aktif  dan  yang menerima  suap  delik  suap  pasif  adalah  subyek  tindak  pidana  korupsi
dan  penempatan  status  sebagai  subyek  ini  tidak  memiliki  sifat eksepsionalitas yang absolut.
Dengan  demikian  makna  suap  telah  diperluas,  introduksi  norma regulasi  pemberantasan  korupsi  telah  menempatkan  Actief  Omkoping
suap  aktif  sebagai  subyek  tindak  pidana  korupsi,  karena  selama  ini delik suap dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur
Passief Omkoping suap pasif. Delik suap tidaklah selalu terikat persepsi telah  terjadinya  pemberian  uang  atau  hadiah,  tetapi  dengan  adanya
commit to user
25 pemberian  janji  saja  adalah  tetap  obyek  perbuatan  suap.  Adanya
percobaan pogging suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai yang berarti  adanya  prakondisi  sebagai  permulaan  pelaksanaan  dugaan  suap
itu  sudah  dianggap  sebagai  tindak  pidana  korupsi.  Si  penerima  wajib membuktikan  bahwa  pemberian  itu  bukan  suap,  karenanya  terdakwa
akan  membuktikan  bahwa  pemberian  itu  tidaklah  berhubungan  dengan jabatan  dan  tidak  berlawanan  dengan  kewajiban  atau  tugasnya,
sedangkan  unsur  menerima  hadiah  atau  janji  tetap  harus  ada  dugaan terlebih  dahulu  dari  Jaksa  Penuntut  Umum.  Definisi  suap  menerima
gratifikasi  dirumuskan  pada  penjelasan  Pasal  12B  Undang-Undang Nomor  20  Tahun  2001  dan  dari  penjelasan  Pasal  12B  ayat  1  dapat
ditarik  beberapa  kesimpulan  seperti  pengertian  suap  aktif,  artinya  tidak bisa  untuk  mempersalahkan  dan  mempertanggungjawabkan  dengan
menjatuhkan  pidana  pada  pemberi  suap  gratifikasi  menurut  pasal  ini. Dengan  demikian,  luasnya  pengertian  suap  gratifikasi  ini,  maka  tidak
bisa  tidak,  akan  menjadi  tumpang  tindih  dengan  pengertian  suap  pasif pada  Pasal  5  ayat  2,  Pasal  6  ayat  2  dan  Pasal  12  huruf  a,  b  dan  c
Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2001,  yang  masih  dapat  diatasi melalui  ketentuan  hukum  pidana  pada  Pasal  63  ayat  1  Kitab  Undang-
Undang  Hukum  Pidana  mengenai  perbarengan  perbuatan  concursus idealis.
b.  Jenis Penyuapan Penyuapan terdiri dari dua jenis yaitu sebagai berikut:
1  Penyuap  aktif,  yaitu  pihak  yang  memberikan  atau  menjanjikan sesuatu,  baik  berupa  uang  atau  barang.  Penyuapan  ini  terkait  erat
dengan  sikap  batin  subjek  hukum  berupa  niat  oogmerk  yang bertujuan  untuk  menggerakkan  seorang  pejabat  penyelenggara
negara  atau  pegawai  negeri  agar  ia  dalam  jabatannya  berbuat  atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari
pemberian  hadiah  atau  janji  tersebut,  berarti  subjek  hukum mengetahui  tujuan  yang  terselubung  yang  diinginkannya,  yang
commit to user
26 didorong  oleh  kepentingan  pribadi,  agar  penyelenggara  negara  atau
pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak berbuat  sesuatu  dalam  jabatan  yang  bertentangan  dengan
kewajibannya.  Meskipun  pejabat  yang  bersangkutan  menolak pemberian  atau  janji  tersebut,  perbuatan  subjek  hukum  sudah
memenuhi  rumusan  delik  dan  dapat  dijerat  oleh  delik  penyuapan aktif, mengingat perbuatannya sudah selesai voltoid.
2  Penyuap  pasif  adalah  pihak  yang  menerima  pemberian  atau  janji baik  berupa  uang  maupun  barang.  Bila  dikaitkan  dengan  Badan
Usaha  Milik  Negara,  rumusan  delik  ini,  dapat  dikenakan  kepada Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan Usaha
Milik  Negara  bilamana  kapasitasnya  masuk  dalam  pengertian pegawai  negeri  karena  menerima  gajiupah  dari  keuangan  negara
sebagaimana  yang  diatur  didalam  Pasal  1  angka  2  Undang-Undang Nomor  31  Tahun  1999  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana
Korupsi. Apabila pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau janji  dalam  pasal  ini,  berarti  pegawai  negeripenyelenggara  negara
dimaksud  akan  menanggung  beban  moril  untuk  memenuhi permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut.
Selain penyuapan aktif dan pasif tersebut yang lazim juga terjadi terkait  dengan  praktek  korupsi  adalah  penggelapan  dan  pemerasan.
Larangan  yang  terkait  dengan  tindak  pidana  korupsi  jenis  ini  adalah perbuatan  menggelapkan  uang  atau  surat  berharga  yang  menjadi
tanggungjawab  jabatannya  atau  membiarkan  uang  atau  surat  berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain.
5. Kajian Tentang Gratifikasi
a.  Pengertian Gratifikasi Tindak  pidana  korupsi  menerima  gratifikasi  sebagaimana  dimuat
dalam Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 dirumuskan sebagai berikut:
commit to user
27 1  Setiap  gratifikasi  kepada  pegawai  negeri  atau  penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya  dan  berlawanan  dengan  kewajiban  atau  tugasnya,
dengan ketentuan sebagai berikut: a  Yang nilainya Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau
lebih,  pembuktian  bahwa  gratifikasi  tersebut  bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b  Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah,  pembuktian  bahwa  gratifikasi  tersebut  suap
dilakukan oleh penuntut umum. 2  Pidana  bagi  pegawai  negeri  atau  penyelenggara  negara
sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  1  adalah  pidana    seumur hidup atau piidana penjara paling singkat  4 empat tahun dan
paling  lama  20  dua  puluh  tahun,  dan  pidana  denda  paling sedikit  Rp  200.000.000,00  dua  ratus  juta  rupiah  dan  paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah.
Kamus  besar  Bahasa  Indonesia  mengartikan  Gratifikasi  dengan uang  hadiah  kepada  pegawai  diluar  gaji  yang  telah  ada.  Sedangkan
Gratifikasi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dilihat dalam UU No. 20  Tahun  2001  tentang  Perubahan  UU  Nomor  31  tahun  1999  tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
dan penjelasannya
mendefinisikan  gratifikasi  sebagai  pemberian  dalam  arti  luas,  yakni
meliputi  pemberian  uang,  barang,  rabat  atau  diskon,  komisi,  pinjaman tanpa  bunga,  tiket  perjalanan,  fasilitas  penginapan,  perjalanan  wisata,
pengobatan  cuma-cuma,  dan  fasilitas  lainnya.  Gratifikasi  tersebut  baik
yang  diterima  didalam  negeri  maupun  diluar  negeri  dan  yang  dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Dengan  adanya  penjelasan  ini,  memang  lebih  jelas  dan  lebih terang  dan  hal  ini  berarti  lebih  menjamin  kepastian  hukum  dari  pada
tidak dijelaskan sama sekali. Dari penjelasan pasal 12B ayat 1 ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1
Bahwa  ternyata  pengertian  gratifikasi  ini  sama  dengan  pengertian suap  pasif,  khususnya  pegawai  negeri  yang  menerima  suap  berupa
penerimaan  dari  pemberian-pemberian  dalam  arti  luas  yang  terdiri atas benda, jasa, fasilitas, dan sebagainya.
commit to user
28
2
Karena  berupa  penyuapan  pasif,  berarti  tidak  termasuk  pengertian suap
aktif, maksudnya
tidak bisa
mempersalahkan dan
mempertanggungjawabkan  pidana  dengan  menjatuhkan  pidana  pada pemberi grastifikasi menurut Pasal 12 B ini.
3
Dengan  demikian,  luasnya  pengertian  gratifikasi  ini  seperti  yang diterangkan  dan  dijelaskan  dalam  penjelasan  mengenai  Pasal  12  B
ayat 1 ini, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi gratifikasi ini menjadi  tumpang  tindih  dengan  pengertian  tindak  pidana  suap  pasif
pada Pasal 5 ayat 2, Pasal 6 ayat 2, dan Pasal 12 huruf a, b, dan c. Pemberian  yang  dapat  dikategorikan  sebagai  gratifikasi  adalah
pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau kedinasan  danatau  semata-mata  karena  keterkaitan  dengan  jabatan  atau
kedudukan pejabatpegawai negeri dengan si pemberi. Secara  hukum  dan  etika  moral  seorang  penyelenggara  negara
seharusnya  tidak  menerima  gratifikasi  apapun  dari  rakyatnya. Kesulitannya,  untuk  pembuktian  sebuah  kasus  penyuapanterbentur
kenyataan  bahwapemisah  antara  suap  dan  gratifikasi  hanyalah  tipis sekali.    Artinya  harus  ada  ketentuan  yang  jelas  mengenai  perbedaan
antara  suap,  suap  yang  berkedok  gratifiksi  atau  gratifiksi  yang  berujung makruh untuk diterima.
Suap  adalah  apabila  penerima  disyaratkan  melakukan  tindakan hukum  yang  tidak  benar  atau  disyaratkan  mencegah  tindakan  hukum
yang  benar.  Sedangkan  gratifikasi  adalah  pemberian  yang  bersifat mutlak,  tidak  mengandung  syarat  apapun.  Dari  ketentuan-ketentuan
tersebut dapat disimpulkan bahwa penyuapan dan gratifikasi mempunyai titik
persamaan diberikan
kepada pemegang
kekuasaan. Sisi
perbedaannya,  melihat  kepada  tujuan  dari  si  pemberi.  Bila  tujuan tersebut,  masih  umum  sekedar  menarik  simpati  atau  terindikasi  karena
faktor jabatan dan kedudukan berarti tergolong gratifikasi. Apabila tujuan yang  ingin  dicapai  tertentu  dan  dalam  persoalan  khusus,  maka  ini  yang
commit to user
29 disebut  dengan  penyuapan.  Meskipun  keduanya  diharamkan,  tentunya
tingkat keharaman dan hukuman yang diterima berbeda. Setiap  gratifikasi  kepada  pegawai  negeri  atau  penyelengara
negara  dianggap  pemberian  suap,  apabila  berhubungan  dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Gratifikasi
tidak  dianggap  suap  jika  penerima  melaporkan  ke  KPK.  Hal  ini  diatur didalam Pasal 12 C yang berbunyi sebagai berikut:
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat 1 tidak berlaku,  jika  penerima  melaporkan  gratifikasi  yang  diterimanya
kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: 1  Penyampaian  laporan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  1
wajib  melakukan  oleh  penerima  gratifikasi  paling  lambat  30 tiga  puluh  hari  kerja  terhitung  sejak  tanggal  Gratifikasi
tersebut diterima.
2  Komisi  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  dalam  waktu paling  lambat  30  tiga  puluh  hari  kerja  sejak  tanggal
menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
3  Ketentuan mengenai
tata cara
penyampaian laporan
sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  2  dan  penetuan  status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 diatur dalam
undang-undang  tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan  Pasal  12  C  ayat  2  UU  No.31  tahun  1999  jo.  UU No.20  tahun  2001  dan  Pasal  16  UU  No.  30  tahun  2002,  setiap  Pegawai
Negeri  atau  Penyelenggara  Negara  yang  menerima  gratifikasi  wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan cara sebagai
berikut : 1  Penerima  gratifikasi  wajib  melaporkan  dokumen  penerimaannya
selambat-lambatnya  30     tiga  puluh  hari  kerja  kepada  KPK, terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima;
2  Laporan  disampaikan  secara  tertulis  dengan  mengisi  formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi;
commit to user
30 3  Formulir  sebagaimana  dimaksud  dalam  angka  2,  sekurang-
kurangnya memuat : a  Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
b  Jabatan Pegawai Negeri atau penyelenggara negara; c  Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
d  Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan e  Nilai gratifikasi yang diterima.
Rumusan korupsi pada Pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001 adalah rumusan tindak Pidana korupsi baru yang dibuat pada UU No. 20 Tahun
2001.  Untuk  menyimpulkan  apakah  suatu  perbuatan  termasuk  korupsi menurut Pasal 12 B dan 12 C UU No. 20 Tahun 2001, harus memenuhi
unsur-unsur: 1  Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
2  Menerima gratifikasi pemberian dalam arti kata luas; 3  Yang  berhubungan  dengan  jabatan  dan  berlawanan  dengan
kewajiban atau tugasnya; 4  Penerimaan gratifikasi tersebut tidak dilaporkan kepada KPK dalam
jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.
b.  Subyek Gratifikasi Berdasarkan  Pasal  12  B  UU  No.  20  Tahun  2001,  maka  yang
menjadi subjek tindak pidana gratifikasi adalah: 1  Pegawai Negeri
Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1999, meliputi:
a  Pegawai negeri
sebagaimana undang-undang
tentang kepegawaian;
b  Pegawai  negeri  sebagaimana  dimaksud  dalam  kitab  Undang- Undang Hukum Pidana;
c  Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
commit to user
31 d  Orang  yang menerima  gaji atau upah dari suatu  korporasi  yang
menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah; atau e  Orang  yang  menerima  gaji  atau  upah  dari  korporasi  lain  yang
mempergunakan  modal  atau  fasilitas  dari  Negara  atau masyarakat.
2  Penyelenggara Negara Pasal  1  angka  1  UU  No.  28  Tahun  1999  tentang
Penyelenggaraan  Negara  yang  Bersih  dan  Bebas  dari  Korupsi, Kolusi  dan  Nepotisme,  yang  dimaksud  dengan  Penyelenggara
Negara  adalah  pejabat  Negara  yang  menjalankan  fungsi  eksekutif, legislatif,  atau  yudikatif,  dan  pejabat  lain  yang  fungsi  dan  tugas
pokoknya  berkaitan  dengan  penyelenggaraan  negara  sesuai  dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal
2 disebutkan bahwa Penyelenggara Negara meliputi: a  pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara;
b  Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; c  Menteri;
d  Gubernur; e  Hakim;
f  Pejabat  Negara  yang  lain  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
g  Pejabat  lain  yang  memiliki  fungsi  strategis  dalam  kaitannya dengan  penyelenggaraan  Negara  sesuai  dengan  ketentuan
perundang- undangan yang berlaku.
c.  Obyek Gratifikasi Dilihat dari penjelasan pasal 12 B UU No. 20 Tahun 2001, maka
disebutkan  objek  gratifikasi  adalah:  pemberian  uang,  barang,  rabat discount,  komisi,  pinjaman  tanpa  bunga,  tiket  perjalanan,  fasilitas
penginapan,  perjalanan  wisata,  pengobatan  cuma-cuma,  dan  fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun di luar
commit to user
32 negeri  dan  yang  dilakukan  dengan  menggunakan  sarana  elektronik  atau
tanpa sarana elektronik.
Selain  itu  terdapat  juga  kasus-kasus  yang  dapat  digolongkan  sebagai gratifikasi yaitu:
a  Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya oleh eksekutif.
b  Cinderamata  bagi  guru  PNS  setelah  pembagian  rapor  kelulusan, Pungutan  liar  di  jalan  raya  dan  tidak  disertai  tanda  bukti  dengan
tujuan  sumbangan  tidak  jelas,  oknum  yang  terlibat  bisa  jadi  dari petugas  kepolisian  polisi  lalu  lintas,  retribusi  dinas  pendapatan
daerah, LLAJR dan masyarakat preman. Apabila kasus ini terjadi KPK  menyarankan  pelaporan  yang  dipublikasikan  ke  media  massa
dan penindakan tegas pada pelaku. c  Uang  restribusi  masuk  pelabuhan  tanpa  tiket  yang  dilakukan  oleh
Instansi  Pelabuhan,  Dinas  Perhubungan,  dan  Dinas  Pendapatan Daerah.
d  Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat. e  Perjalanan wisata bagi Bupati menjelang akhir jabatan.
f
Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah karena biasanya sudah tersedia  anggaran  untuk  pembangunan  tempat  ibadah  dimana  anggaran
tersebut  harus  dipergunakan  sesuai  dengan  pos  anggaran  dan  keperluan tambahan dana dapat menggunakan kotak amal.
g
Hadiah pernikahan ke keluarga PNS yang melewati batas kewajaran.
h
Pengurusan KTPSIMPaspor yang dipercepat dengan uang tambahan.
i
Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan yang  transparan  dan  kegunaannya,  adanya  penerimaan  ganda,  dengan
jumlah tidak masuk akal.
j
Pengurusan ijin yang dipersulit.
commit to user
33
b. Kerangka Pemikiran
Mengenai  kerangka  pemikiran  dalam  penelitian  ini  dibuat  dalam  suatu  bagan seperti berikut:
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penjelasan:
Tindak  pidana  adalah  perbuatan  yang  oleh  hukum  pidana  dilarang  dan diancam  dengan  pidana.  Tindak  pidana  berisikan  tentang  kejahatan  perbuatan
jahat  dan  pelanggaran.  Pengertian  korupsi  adalah  tindak  pidana  sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tindak  pidana  korupsi.  Tindak  pidana  korupsi  diatur  didalam  Undang-Undang Nomor  31  Tahun  1999  jo.  Undang-Undang  Nomor  20  Tahun  2001  tentang
Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi.  Salah  satu  jenis  tindak  pidana  dalam tindak  pidana  korupsi  dalah  penyuapan.  Penyuapan  merupakan  istilah  yang
dituangkan dalam undang-undang sebagai suatu hadiah atau janji giftenbeloften yang  diberikan  atau  diterima  meliputi  penyuapan  aktif  dan  penyuapan  pasif.
Peningkatan  terjadinya  korupsi  disebabkan  karena  lemahnya  penegakan  hukum terhadap  tindak  pidana  korupsi.  Hal  ini  dikarenakan  adanya  penanganan  korupsi
TINDAK PIDANA
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
jo UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001
KORUPSI
PENYUAPAN
PENEGAKAN HUKUM
TUJUAN HUKUM = KEADILAN