commit to user
35
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup dan Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan
Tindak pidana penyuapan merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, dalam penulisan hukum
ini, penulis mencoba melakukan kajian dan pembahasan mengenai tindak pidana penyuapan berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis.
1. Ruang Lingkup Tindak Pidana Penyuapan
Korupsi bukanlah suatu hal yang asing bagi setiap kalangan dalam masyarakat Indonesia. Bahkan korupsi merupakan masalah yang dihadapi
seluruh bbangsa di dunia terutama bagi negara-negara berkembang. Namun korupsi merupakan tindak pidana yang sangat merusak tatanan ekonomi,
kehidupan masyarakat, dan kesejahteraan bangsa. Sehingga secara hubungan internasional sering dibicarakan dalam forum-forum resmi karena korupsi
sudah menjadi semacam tindak pidana yang luar biasa. Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio, corruption dalam bahasa
Inggris dan corruptie dalam bahasa Belanda. Pengertian korupsi menurut Robert Klitgaard bahwa:
Korupsi bisa diartikan sebagai suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status
atau uang yang menyangkut pribadi perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa
tingkah laku pribadi, termasuk masalah etika dan moral menurut pandangan masyarakat umum Robert Klitgaard, 2005:31.
Hal senada juga dikemukakan oleh Sudarto yang menyatakan bahwa “Korupsi disamping dipakai untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang
busuk, juga disangkutpautkan kepada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan” Sudarto, 1996:115. Artinya korupsi selalu dipautkan dengan
adanya suatu tindak pidana yang berkaitan dengan keuangan negara atau
35
commit to user
36 terganggunya perekonomian negara yang akibatnya adalah akan memperkaya
diri sendiri, orang lain atau kelompok. Berbicara mengenai pengertian korupsi, Suyatno juga mengemukakan
pendapatnya bahwa “Definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan” Suyatno, 2005: 16.
Demikian pula dalam perspektif hukum, korupsi merupakan konsep hukum yang secara definitif diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penulis beranggapan bahwa korupsi telah menjadi masalah dunia, bukan hanya masalah di negara-negara berkembang saja.oleh karena itu,
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memandang perlu untuk mengadopsi United Nation Convention Against Corruption UNCAC
melalui Resolusi 584, tanggal 31 Oktober 2003. Selanjutnya pada tanggal 10 Januari 2005, konvensi tersebut ditandatangani oleh 116 negara dan 15 negara
telah meratifikasi. Salah satunya ialah Indonesia yang telah meratifikasi konvensi tersebut, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nation Convention Against Corruption. Di dalam konvensi tersebut, UNCAC menawarkan bantuan kepada negara-negara
untuk memberantas korupsi melalui kodifikasi. Dalam Compendium of International Legal Instruments on Corruption, ditegaskan bahwa UNCAC
menawarkan seperangkat pendekatan yang komprehensif untuk menghadapi korupsi. Konvensi tersebut dapat dibagi kedalam beberapa bagian yaitu:
a. Prevention policies such as reforming the public service and
introducing transparency and good governance; b.
The criminalization of corrupt conduct; c.
International cooperation, and; d.
Asset recovery Surowidjojo, 2005:68. a. Pencegahan kebijakan seperti reformasi pelayanan publik dan
memperkenalkan transparansi dan tata pemerintahan yang baik; b. Kriminalisasi perilaku korup;
c. Kerjasama internasional, dan; d. Pemulihan aset.
commit to user
37 Perbincangan tentang korupsi di Indonesia seperti tiada habisnya,
meskipun ada penguatan upaya pemberantasannya, tetapi belum mewujudkan crime rate korupsi ke arah penurunan. Jeremy Pope mempunyai pandangan
bahwa: Korupsi makin mudah ditemukan di berbagai bidang kehidupan.
Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum, serta kepemilikan
benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung
jawab sistem integrasi publik Jeremy Pope, 2003:2.
Hal yang sama juga diuraikan oleh Patrick Glynn, Stephen J. Korbin dan Moises Nim sebagaimana dikutip Kimberly Ann Wlliot yang
mengemukakan bahwa “Meningkatnya aktivitas korupsi baik yang sesungguhnya maupun yang dirasakan ada di beberapa negara, karena
terjadinya perubahan politik yang sistematik, sehingga memperlemah atau menghancurkan tidak saja lembaga sosial dan politik, tetapi juga hukum”
Kimberly Ann Elliot, 1999:11. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali
kemungkinan besar akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan keuangan negara, perekonomian nasional dan menghambat pembangunan
nasional. Oleh karena itu, sekarang tindak pidana korupsi tidak lagi dikategorikan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi suatu
kejahatan yang luar biasa. Begitu juga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, melainkan harus dituntut dengan cara-cara
yang luar biasa pula, termasuk putusan pengadilan yang harus setimpal agar mempunyai efek jera, sehingga akan terlihat efektivitas hukum dan undang-
undang yang ada relevansinya dengan tindak pidana korupsi tersebut. Seseorang yang terlibat dalam perbuatan korupsi atau suap sebenarnya harus
malu apabila menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan bahkan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi si
penerima suap.
commit to user
38 Suap bribery bermula dari kata briberie Perancis yang artinya
adalah begging mengemis atau vagrancy gelandangan. Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar sepotong
roti yang diberikan kepada pengemis. Dalam perkembangannya bribe bermakna alms sedekah, blackmail atau extortion pemerasan dalam
kaitannya dengan gifts received or given in order to influence corruptly pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk
mempengaruhi secara jahat atau korup. Suap-menyuap bribery bukanlah suatu tindak pidana biasa. Dalam
teori hukum pidana, perbuatan ini dikategorikan sama dengan tindak pidana pembunuhan, pemerkosaan atau pencurian. Perbuatan suap merupakan mala
per se atau mala in se dan bukan mala prohibita. Konsep mala per se yang dilandasi oleh pemikiran natural Wrongs menganggap bahwa kejahatan-
kejahatan tertentu merupakan kejahatan yang berkaitan dengan hati nurani dan dianggap tercela bukan karena peraturan perundang-undangan telah
melarangnya. Tetapi memang sudah dengan sendirinya salah. Adapun konsep mala prohibita bertitik tolak dari pemikiran bahwa
perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan telah melarangnya sehingga disebut sebagai regulatory offenses. Contuhnya ialah
berbagai peraturan tata tertib di berbagai bidang kehidupan yang diperlukan dalam rangka untuk menegakkan tertibnya kehidupan modern.
Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuapan selalu mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi influencing agar yang
disuap misalnya menyangkut diri seorang pejabat berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau juga karena yang disuap telah
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Para pelaku, baik aktor intelektual maupun aktor pelakunya,
telah melakukan sesuatu yang bertentangan baik dengan norma hukum maupun norma-norma sosial yang lain agama, kesusilaan dan kesopanan.
Tindak pidana penyuapan atau dalam istilah Belanda oomkoping atau dalam istilah Inggris bribery, di Indonesia sudah dikenal sejak lama, delik ini
commit to user
39 awalnya termuat dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
hingga kini delik penyuapan termasuk delik khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, yang bahkan lebih rinci dalam menguraikan unsur-unsur delik. Hingga kini, delik ini tidak mampu diatasi secara maksimal dan bahkan
menjadi-jadi, terbukti karena delik suap justru melibatkan aparat penegak hukum yang terkait langsung dengan upaya pemberantasan korupsi.
Suap sebagai kejahatan korupsi memang merupakan suatu ketentuan baru yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang mulai diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tetapi semua ketentuan tentang suap tersebut dioper dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam kaitan
dengan tindak pidana jabatan ambs delicten. Pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dioper ke
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan aktif
actieve omkooping atau active bribery terhadap pegawai negeri dan Pasal 419 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan pasif
passieve omkooping atau passive bribery yang mengancam pidana terhadap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji. Kemudian Pasal 210 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasehat hukum di pengadilan serta Pasal 420 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang mengatur tentang hakim dan penasehat hukum yang menerima suap. Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk gratifikasi yang
diatur dalam Pasal 418 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kemudian juga dioper menjadi tindak pidana korupsi dengan merumuskan gratifikasi sebagai
pemberian hadiah yang luas dan meliputi pemberian uang, barang, rabatdiskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
commit to user
40 Suap-menyuap bersama-sama dengan penggelapan dana-dana publik
embezzlement of public funds sering disebut sebagai inti atau bentuk dasar dari tindak pidana korupsi. Korupsi sendiri secara universal diartikan sebagai
bejat moral, perbuatan yang tidak wajar, atau noda depravity, perversion, or taint; suatu perusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral an
impairment of integrity, virtue, or moral principles. Kriminalisasi terhadap tindak pidana korupsi, termasuk suap-
menyuap, mempunyai alasan yang sangat kuat. Hal ini diperkuat oleh Muladi dengan artikelnya yang berjudul Hakikat Suap daan Korupsi dalam
http:www.unisosdem.org yang mengemukakan bahwa Kejahatan korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan konvensional, melainkan sebagai
kejahatan luar biasa extraordinary crime, karena karakter korupsi yang sangat kriminogen yaitu dapat menjadi sumber kejahatan lain dan viktimogen
yaitu secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan. Delik penyuapan sungguh mengerikan jika dikalkulasikan dampaknya
secara simultan. Dalam hal penyuapan yang terkait dengan penegakan hukum, seorang tersangka berupaya menyuap aparat penegak hukum agar
pemeriksaan atas kasusnya dihentikan, ataupun agar mendapat putusan yang menguntungkan jikapun suatu kasus dibawa ke pengadilan. Upaya semacam
ini membuat para pelaku kejahatan tidak jera dan sangat memungkinkan untuk mengulangi perbuatannya, karena dengan suap mereka tidak akan
terjerat hukum. Hukum yang seharusnya menjadi panglima, hanya dianggap rintangan kecil yang bisa diatasi dengan suap.
Tindak pidana suap tidaklah selalu terikat persepsi telah terjadinya pemberian uang atau hadiah, tetapi dengan adanya pemberian janji saja
adalah tetap obyek perbuatan suap. Adanya pogging percobaan suap saja sudah dianggap sebagai delik selesai yang berarti adanya kondisi sebagai
permulaan pelaksanaan dugaan suapi itu sudah dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Si penerima wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukan
suap, karenanya terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau
commit to user
41 tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji tetap harus ada dugaan
terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Definisi suap menerima gratifikasi dirumuskan pada penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 dan dari penjelasan Pasal 12B ayat 1 dapat ditarik beberapa kesimpulan seperti pengertian suap aktif, artinya tidak bisa untuk
mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut pasal ini. Dengan demikian, luasnya
pengertian suap gratifikasi ini, maka tidak bisa tidak, akan menjadi tumpang tindih dengan pengertian suap pasif pada Pasal 5 ayat 2, Pasal 6 ayat 2 dan
Pasal 12 huruf a, b dan c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang masih dapat diatasi melalui ketentuan hukum pidana pada Pasal 63 ayat 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana mengenai perbarengan concursus idealis. Delik dalam pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tersebut berlaku Asas Pembalikan Beban Pembuktian yang diadopsi dari Reversal Burden of Proof atau omkering van het Bewijslast pada sistem
Anglo Saxon khususnya terhadap delik baru tentang pemberian gratification yang berkaitan dengan penyuapan bribery yang artinya asas ini tidak pernah
ada yang bersifat total absolut, hanya dapat diterapkan secara terbatas terhadap delik yang berkenaan delik gratifikasi yang berkaitan dengan
penyuapan. Asas ini menurut Andi Hamzah, merupakan suatu penyimpangan dari asas umum hukum pidana yaitu Presumption of Innocence, yang hanya
diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu certain cases, yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi khususnya terhadap delik pemberian yang
berkaitan dengan suap. Gratifikasi ini ditujukan kepada pegawai negeri dalam arti luas dan penyelenggara negara yang telah melakukan pekerjaan
bertentangan dengan kewajibannya. Pemberian dianggap suap sampai dibuktikan bukan suap oleh penerima suap.
Suap juga bisa berarti setiap harta yang diberikan kepada pejabat atas suatu kepentingan, padahal semestinya urusan tersebut tanpa pembayaran.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap dijelaskan bahwa tindak pidana suap memiliki dua pengertian, yaitu:
commit to user
42 a. Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud membujuk agar
seseorang berlawanan
dengan kewenangankewajibannya
yang menyangkut kepentingan umum.
b. Menerima sesuatu atau janji yang diketahui dimaksudkan agar si penerima melawan kewenangankewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum. Menurut Yusuf Qordhawi sebagaimana dikutip oleh Deden Setiawan
Hartomo dalam http:id-id.facebook.com yang mengatakan bahwa suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan
atau jabatan apapun untuk mensukseskan perkaranya dengan mengalahkan lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau memberikan peluang
kepadanya atau menyingkirkan musuhnya. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa suap adalah memberi sesuatu, baik uang maupun barang
kepada seseorang agar melakukan sesuatu bagi si pemberi suap yang bertentangan dengan kewajibannya, baik permintaan itu dilaksanakan ataupun
tidak dilaksanakan. Dari sini dapat dipahami bahwa suap adalah sebuah tindakan yang mengakibatkan sakit atau kerugian di pihak lain.
Suap, pemberiannya
dilakukan secara
sembunyi, dibangun
berdasarkan saling tuntut-menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Suap biasanya diberikan sebelum pekerjaan dilaksanakan. Adapun pemberian
suap ini dilakukan melalui tiga cara, yaitu: a. Uang dibayar setelah selesai keperluan dengan sempurna, dengan hati
senang, tanpa penundaan pemalsuan, penambahan dan pengurangan, atau pengutamaan seseorang atas yang lainnya.
b. Uang dibayar melalui permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat atau dengan berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami bahwa si
pemberi menginginkan sesuatu. c. Uang dibayar sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang
ditentukan si pemberi uang.
commit to user
43 Tindak pidana penyuapan dapat dibagi menjadi 2 dua jenis yaitu
sebagai berikut: a. Penyuap aktif, yaitu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu,
baik berupa uang atau barang. Penyuapan ini terkait erat dengan sikap batin subjek hukum berupa niat oogmerk yang bertujuan untuk
menggerakkan seorang pejabat penyelenggara negara atau pegawai negeri agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselubung yang
diinginkannya, yang didorong oleh kepentingan pribadi, agar penyelenggara negara atau pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau
janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Meskipun pejabat yang bersangkutan menolak
pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik penyuapan aktif, mengingat
perbuatannya sudah selesai voltoid. b. Penyuap pasif adalah pihak yang menerima pemberian atau janji baik
berupa uang maupun barang. Sebagai contoh apabila hal ini dikaitkan dengan Badan Usaha Milik Negara, rumusan delik ini, dapat dikenakan
kepada Anggota Komisaris, Direksi atau Pejabat di lingkungan Badan Usaha Milik Negara bilamana kapasitasnya masuk dalam pengertian
pegawai negeri karena menerima gajiupah dari keuangan negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila pegawai negeri tersebut menerima pemberian atau janji dalam pasal ini,
berarti pegawai
negeripenyelenggara negara
dimaksud akan
menanggung beban moril untuk memenuhi permintaan pihak yang memberi atau yang menjanjikan tersebut.
commit to user
44
2. Pengaturan Tindak Pidana Penyuapan
Bentuk-bentuk tindak pidana adalah rumusan tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Rumusan tersebut mempunyai unsur-unsur tertentu dan diancam dengan jenis
pidana dengan sistem pemidanaan tertentu pula. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membedakan antara jenis tindak
pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
meskipun dirumuskan dalam Undang-Undang, namun tidak dapat disebut sebagai perilaku yang koruptif. Jenis tindak pidana korupsi diatur didalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24. Khusus mengenai tindak pidana korupsi jenis suap-menyuap
maupun penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 yang pada mulanya berasal dari
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang
ditarik ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Apabila dikelompokkan, tindak pidana korupsi jenis suap tersebut terdapat 5 lima jenis. Disamping lima macam suap yang berasal dari KUHP
yang ditarik menjadi tindak pidana korupsi, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ditambahkan satu jenis suap yang berasal dari Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 ke dalam Pasal 13, yang disebut suap aktif. Dibentuk satu suap lagi yaitu suap pasif yang disebut suap menerima
gratifikasi ke dalam Pasal 12 B.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi tidak memberi nama jenis tindak pidana secara spesifik karena hanya menbedakan
antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Dalam kepustakaan muncul penggolongan dengan
penamaan yang berbeda-beda, setidaknya pembedaan pada klasifikasi secara
commit to user
45 lebih spesifik. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK tidak
memasukkan ketentuan Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 sebagai jenis tersendiri. Maksudnya jenis tindak pidana korupsi hanya diatur dalam Pasal 2
sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Mengenai Pasal 14 akan diuraikan kemudian yang menjelaskan bahwa ketentuan pasal tersebut juga jenis tindak pidana tersendiri. Mengenai
yang diatur dalam Pasal 15 memang bukan suatu tindak pidana tersendiri. Hal tersebut disebabkan percobaan, pembantuan, atau pernufakatan dianggap
melakukan tindak pidana korupsi itu sendiri seperti diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Dengan demikian orang yang
mencoba melakukan, membantu melakukan, atau melakukan permufakatan tindak pidana korupsi, pada dasarnya merupakan pelaku tindak pidana
korupsi. Demikian halnya yang diatur dalam Pasal 16 yaitu orang yang diluar wilayah negara Republik Indonesia memberikan bantuan, kesempatan.
Sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi, meskipun Undang-Undang tidak menyebut secara eksplisit sebagai tindak pidana
korupsi, namun diancam dengan sanksi pidana yang sama dengan apabila melakukan korupsi itu sendiri. Ketentuan-ketentuan tersebut semakin
menandai sifat kekhususan dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum
seperti diatur dalam Pasal 53 KUHP mengenai percobaan, Pasal 56 KUHP mengenai membantu melakukan, Pasal 88 KUHP mengenai permufakatan
jahat. Penyimpangan yang dimaksud terutama menyangkut besarnya pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku.
Komisi Pemberantasan Korupsi membedakan tindak pidana korupsi
ke dalam 30 jenis tindak pidana yang dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kerugian keuangan negara, meliputi Pasal 2 dan Pasal 3. b. Suap-menyuap, meliputi Pasal 5 ayat 1 huruf a dan huruf b, Pasal 13,
Pasal 5 ayat 2, Pasal 12 huruf a dan huruf b, Pasal 11, Pasal 6 ayat 1 huruf a dan huruf b, Pasal 6 ayat 2, Pasal 12 huruf c dan huruf d.
commit to user
46 c. Penggelapan dalam jabatan, meliputi Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a,
huruf b, dan huruf c. d. Pemerasan, meliputi Pasal 12 huruf e, g, dan f.
e. Perbuatan curang, meliputi Pasal 7 ayat 1 huruf a, b, c, dan d, Pasal 7 ayat 2, Pasal 12 huruf h.
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, meliputi Pasal 12 huruf i.
g. Gratifikasi, meliputi Pasal 12 B jo. Pasal 12 C. Pembedaan pengelompokkan tersebut hanya sekedar pembedaan
penamaan saja, penggolongannya pun sama sekali tidak bersifat substantif. Jenis tindak pidana korupsi mengenai suap-menyuap seperti diatas dapat
diuraikan masing-masing sebagai berikut:
a. Tindak Pidana Korupsi Penyuapan Aktif atau Memberi Suap