LATAR BELAKANG MASALAH Kak Fasti Rola, M. Psi., psikolog selaku dosen pembimbing akademik. 6. Ibu

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia memiliki banyak universitas, tetapi hanya beberapa saja yang diakui sebagai universitas yang baik .Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan salah satunya adalah standarisasi pengajaran pada sekolah ataupun universitas yang ada. Arikunto, 2003. Dalam segi permasalahan di dunia pendidikan, yaitu lingkungan sekolah yang tidak memadai, mutu pendidikan guru, kurangnya minat pada siswa sehingga rendahnya prestasi, biaya yang berat untuk bersekolah. Samsul, 2007 Beberapa universitas diperkirakan memiliki akreditasi yang masih rendah dikarenakan oleh mutu pengajar dan bahkan dari sisi fasilitas yang diberikan oleh sekolah atau universitas. Wirabowo dalam Forum hal 27, 14 Maret 2009 Pemerintah mendorong perguruan tinggi nasional untuk mengembangkan universitasnya, sehingga mencapai peringkat yang terpandang di dunia internasional. Karena sampai kini sebagian besar kualitas PT masih sangat jauh dari apa yang diharapkan, kata Dirjen Pendidikan Tinggi Dikti Departemen Pendidikan Nasional Depdiknas Satryo Soemantri Brodjonegoro, di sela-sela lokakarya Pendidikan Internasional bertema Indonesian Higher Education Institution Toward International Standardization. di Jakarta, Rabu 811. Mohammad Detik, 09 November 2009 “Gambaran secara umum bahwa kualitas perguruan tinggi di Indonesia terkhusus Sumatera Utara dinilai masih kurang memadai.” Harahap Waspada, 28 Februari 2011 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan kutipan yang telah dikemukakan, masyarakat mempertimbangkan untuk mencari ilmu di universitas ataupun sekolah di luar Indonesia, walaupun biaya untuk melanjutkan studi di luar negeri tidaklah murah Tilaar, 2001. Orang tua juga memainkan peranan yang penting dalam pengambilan keputusan anaknya untuk kuliah atau bersekolah ke luar negeri. Orang tua beranggapan bahwa jika anaknya belajar keluar negeri itu akan membantu proses pembentukan kesuksesan dalam diri anaknya, sehingga kebanyakan orang tua selalu membantu anaknya dalam pengambilan keputusan mengenai pendidikan mereka. Lee, Wong Brown, 1996. Dengan pertimbangan tersebut orang tua dengan sisi finansial yang mendukung akan membiayai anaknya untuk kuliah ke luar negeri atau yang kita kenal dengan istilah study abroad. Study abroad didefinisikan sebagai perencanaan yang dilakukan oleh murid untuk menyelesaikan suatu program edukasi dan segala aktivitas pembelajaran yang diluar dari negera asalnya dikutip dari Michael A Brzezinski, Interim Vice Provost Global Affairs, Dean of International Programs Edukasi Kompasiana, 27 Mei 2006 “Ini adalah keinginan orang tua ku sebelum saya pergi ke Amerika. Saya tidak mempunyai keinginan tersebut…. Orang tuaku yang menginginkan saya pergi berkuliah di universitas disana.” Disebutkan MC wawancara, personal, 07 Maret 2012 “Orangtua ku sudah memiikirkan masa depan ku… mereka beranggapan bahwa bersekolah di luar negeri akan lebih meningkatkan kemampuanku dalam segala hal.” dinyatakan SA wawancara personal, 08 Maret 2012 Mahasiswa yang menjalani studi ke luar negeri study abroad bisa diartikan sebagai sojourn. Sojourn didefinisikan sebagai orang baru yang tinggal Universitas Sumatera Utara di tempat yang baru untuk sementara waktu Ward, 2001. Menurut sumber wawancara yang dilakukan didapatkan hasil bahwa mahasiswa Indonesia yang melakukan studi keluar negeri sering mengalami hambatan dalam transisi lintas budaya. “Memang seperti itu yang dialami aku dan teman-teman yang datang dari Indonesia, kami kesusahan ketika mau berkomunikasi dengan bule-bule disini, malahan kitanya jadi ga betah dan pengen pulang ke Indo aja, apalagi makanan disini ga ada pedas-pedasnya, ga enak” disebutkan JH wawancara personal 8 September 2012 “yahh.. kalau mau dibilang gua senang disini ya enggak jugaa.. mau dibilang ga senang ya enggak juga.. fine ajalah, gua sih ga permasalahin perbedaan budayanya, cumanya yah terkadang kitanya susah adaptasi dengan orang-orang disini, apalagi susah loh.. nyari makan yang halal disini, kebanyakan pork, pork aja..” disebutkan J wawancara personal 8 September 2012 Menurut Argyle 1982 permasalahan lintas budaya muncul karena sojourners, imigran mengalami kesusahan dalam menyesuaikan diri adjustment di kehidupan sosial sehari-hari. Dan juga menurut Bochner 2001 Murid yang menjalani studi ke luar negeri study abroad akan mengalami dampak culture shock selama proses pencapaian tujuan dari akhir pendidikan mereka. Kingsley Dakhari 2006 menyatakan bahwa culture shock bukan kondisi medis ataupun istilah klinis. Culture shock merupakan sebuah cara untuk mendeskripsikan perasaan bingung dan gelisah yang dimiliki seseorang ketika meninggalkan budaya yang telah familiar dan tinggal di budaya baru. Mahasiswa yang mengalami culture shock dalam proses studi ke luar negeri study abroad harus bisa menyesuaikan diri secara psikologis psychological adjustment guna untuk menghadapi kendala yang terjadi dalam Universitas Sumatera Utara proses akulturasi terhadap budaya baru di lingkungan baru Oberg, 1998. Proses dalam menjalani psychological adjustment dinilai sangat penting terutama bagi sojourners yang berada di dalam kurun masa 3 bulan sampai 1 tahun pertama. Sojourners yang berhasil dalam proses psychological adjustment akan mencapai well being kesejahteraan hidup. Ketika well being tercapai maka sojourners akan cenderung merasa puas dengan kehidupannya di host country. Ward, 2006 dan sebaliknya apabila well being tidak tercapai sojourners akan cenderung menarik diri dari lingkungan sekitarnya dan menutup diri dari budaya luar. Bochner, 2006. Berbagai kendala yang dihadapi sojourners pada umumnya menurut Ward 2006 adalah faktor individual seperti dukungan sosial, locus of internal, kepercayaan diri serta sense of coherence. Faktor tersebut akan mempengaruhi respon stres dan kemampuan diri mahasiswa dalam penyesuaian pada tugas yang diberikan. Jika sojourners berhasil dalam psychological adjustment, maka seperti yang disampaikan Ward 2006 mereka akan lebih gampang untuk mencapai well being daripada sojourners yang tidak berhasil menyesuaikan diri. Menurut Ward 2006 psychological adjustment adalah respons afektif yang dikaitkan dengan proses adaptasi kita, dan juga suatu hal yang memotivasi individu untuk lebih menyesuaikan diri Adjustment dalam host culture guna untuk mencapai well being atau kepuasaan dalam transisi lintas budaya. Psychological adjustment sangat diperanani oleh beberapa faktor, yaitu perubahan kehidupan, kepribadian, dan variabel dukungan sosial lainnya. Searle dan Ward, 1990; Ward dan Kennedy, 1992. Faktor kepribadian diartikan sebagai Universitas Sumatera Utara struktur neuro-psychic yang memandu persepsi dan reaksi sehingga individu memiliki pola perilaku, kepercayaan dan reaksi emosional yang diprediksi sesuai dengan konsistensinya. Matsumoto, 2009. Kepribadian sendiri diartikan Pervin, Cervone, John 1996 sebagai karakteristik seorang individu dengan pola perilaku, perasaan dan pemikiran yang konsisten. Dari berbagai literatur yang ditelusuri, big five merupakan satu-satunya teori kepribadian yang paling banyak digunakan di berbagai budaya dan hasil penelitian big five sendiri dapat merepresentasikan kepribadian individu secara lintas budaya Barrick et al, 2005. Lebih lanjut, Bardi Ryff 2007 menyatakan bahwa faktor kepribadian big five sebagai salah satunya model kepribadian yang paling banyak digunakan di seluruh dunia dan reliabilitas big five tidak diragukan lagi, bahkan dapat diaplikasikan di kebudayaan minoritas. Kebanyakan studi penelitian juga mengaitkan big five tersebut pada mahasiswa yang sedang melakukan adjustment yang bersekolah keluar negeri study abroad. Seperti pada penelitian Furnham 2001 mengenai hubungan big five dengan kemampuan kognitif, hasil penelitian tersebut menghasilkan bahwa individu dengan nilai Openess dan Conscientiouness yang tinggi akan lebih gampang dalam mengolah proses kognitif pada eksperimen yang diberikan. Dan juga pada penelitian O’conner dan Paunonen 1997 yang mengenai big five dengan pencapaian nilai akademik pada anak kelas SMP, hasil penelitian tersebut menghasilkan bahwa individu dengan nilai Conscientiousness dan Openess yang tinggi akan mempunyai nilai akademik yang lebih tinggi, sedangkan individu dengan nilai Extraversion yang tinggi akan mencapai nilai sosialisasi dalam lingkungan bersekolah yang lebih baik. Universitas Sumatera Utara Ward dan koleganya 2006, pernah meneliti mengenai adjustment pada Sojourners ditinjau dari teori Big Five dengan karakteristik sampel yang diambil adalah mahasiswa Singapura yang berkuliah ke Cina, lalu didapatkan hasil bahwa ada peranan antara adjustment dengan dimensi kepribadian dari big five. Hasil yang didapatkan adalah individu dengan skor dimensi kepribadian Neuroticism dan Extraversion lebih sering dihubungkan dengan Psychological dan Sociocultural adjustment, serta dimensi kepribadian Agreeableness dan Conscientiousness juga dikaitkan dengan kesejahteraan Psychological dan Sociocultural Adjustment pada Sojourners. Menurut Ward 2006 transisi lintas budaya dan culture distance serta budaya asal merupakan faktor yang memperanani psychological adjustment yang dilakukan Sojourners. Karena hal itu, peneliti ingin meneliti peranan dimensi kepribadian big five terhadap psychological adjustment pada mahasiswa Indonesia yang bersekolah keluar negeri study abroad

B. PERTANYAAN PENELITIAN