Perumusan Masalah Sistematika Penulisan

1.2. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini yang kita ambil dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka peneliti membuat perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa yang menyebabkan munculnya golongan non-voting dalam pemilukada. 2. Apa saja yang mempengaruhi masyarakat yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya. 3. Apakah perilaku tidak memilih menjadi bagian dalam sebuah perilaku politik. 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apa saja yang menyebabkan munculnya golongan non- voting dalam pemilukada. 2. Untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi masyarakat yang telah terdaftar sebagai pemilih tetap tidak menggunakan hak pilihnya. 3. Untuk mengetahui perilaku tidak memilih adalah bagian dari sebuah prilaku politik. Universitas Sumatera Utara

1.3.2. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui karya ilmiah dan sebagai penerapan dari berbagai teori yang penulis dapatkan selama dalam masa perkuliahan. 2. Berguna sebagai kontribusi bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 3. Berguna sebagai bahan masukan kepada pengambil kebijakan Pemerintah dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, Departemen Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan perilaku pemilih. Universitas Sumatera Utara

1.4. Kerangka Teori

Unsur penelitian yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori karena dengan unsur inilah peneliti mencoba menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. 4 Oleh karena itu, dalam kerangka teori ini penulis akan memaparkan teori- teori yang merupakan landasan berpikir dalam menggambarkan masalah penelitian yang sedang disoroti. Teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian ini antara lain:  1.4.1. Teori Partisipasi Politik 1.4.1.1 Defenisi Partisipasi Politik Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah. 4 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta : LP3ES 1989, hal. 37 Universitas Sumatera Utara Wahyudi Kumorotomo mengatakan, “Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbale balik antara pemerintah dan warganya.” 5 Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan electoral participation, kedua, partisipasi kelompok group participation, ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah citizen government contacting dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung. Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice : Political participation in developing : “Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.” 6 Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah. 7 Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu : pertama, Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak 5 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112 6 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice :Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, Hal. 3, dalam Miriam Budiarjo. 7 Arifin Rahmat, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hal. 128 Universitas Sumatera Utara memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat- pejabatpemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan professional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negar biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan caramengubah aspek- aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah. Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa, Universitas Sumatera Utara sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara biasa. Setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah tidak lepas dari campur tangan warga negara. Dan setiap keputusan yang diambil tersebut secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan warga negara. Oleh karena itu, partisipasi dari masyarakat itu sendiri penting adanya. Dalam negara-negara demokratis pada umumnya semakin tinggi partisipasi warga negara nya maka semakin baik pula 8 , dengan kata lain masyarakat merasa terbeban untuk ikut berpartisipasi. Karena tingkat partisipasi masyarakatnya tinggi. Hal ini berarti masyarakat sebagai pemilik mandate perduli terhadap setiap kebijakan atau peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Begitu juga sebaliknya apabila tingkat partisipasi masyarakat rendah maka hal ini dianggap kurang baik, karena masyarakatnya tidak perduli terhadap negaranya dan cenderung bersikap apatis, dan lebih mementingkan kepentingan pribadi serta kelompoknya. 8 Miriam Budhiardho, Demokrasi, Jakarta: Gramedia, hal 3 Universitas Sumatera Utara Dari defenisi ini dapat ditarik beberapa kriteria dari pengertian partisipasi politik: 1. Menyangkut kegiatan-kegiatan yang dapat diamati dan bukan sikap atau orientasi. Jadi, partisipasi politik hanya berhubungan dengan hal yang bersifat objektif dan bukan subjektif. 2. Kegiatan politik warga negara biasa atau perorangan sebagai warga negara biasa yang dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung perantara. 3. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, baik berupa bujukan atau dalam bentuk tekanan bahkan penolakan juga terhadap keberadaan figur para pelaku politik dan pemerintah. 4. Kegiatan tersebut diarahkan kepada upaya mempengaruhi pemerintah tanpa perduli efek yang akan timbul gagal ataupun berhasil. 5. Kegiatan yang dilakukan dapat melalui prosedur yang wajar dan tanpa kekerasan konvensional maupun dengan cara yang diluar prosedur yang wajar tak konvensional dan berupa kekerasan violence. 6. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah. Universitas Sumatera Utara Kegiatan warga negara biasa dibagi dua yaitu mempengaruhi isi kebijakan umum dan ikut menentukan pembuatan dan pelaksana keputusan politik.

1.4.1.2. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik

Secara umum bentuk-bentuk partisipasi sebagai kegiatan dibedakan sebagai berikut : 1. Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output.Artinya setiap orang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Warga negara secara aktif mengajukan usul mengenai kebijakan public, mengajukan alternative kebijakan public yang berlainan dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan umum, memilih pemimpin pemerintah dan lain-lain. 2. Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya mentaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah. 3. Golongan putih golput atau kelompok apatis, karena menganggap sistem po litik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan. Orang-orang yang tidak ikut dalam politik karena menganggap sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie. Universitas Sumatera Utara 1. Apatis masa bodoh dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala. 2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya. 3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk oranng lain tidak adil. 4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak. 9 Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik: 10 Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa 9 Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali, 1989, hal. 131 10 ibid Universitas Sumatera Utara adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu. Para ahli sosiologi politik telah merumuskan berbagai bentuk partisipasi politik. Berikut disajikan bentuk-bentuk partisipasi politik menurut beberapa ahli.

1. Michael Rush dan Philip Althoff

Dalam buku Pengantar Sosiologi Politik, Michael Rush dan Philip Althoff yang dikutip oleh Damsar dalam Pengantar Sosiologi Politik mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau administrative. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Semakin tinggi hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang-orang, seperti yang diperlihatkan oleh Bagan Hierarki Partisipasi Politik 11 , dimana garis vertikal segitiga menunjukkan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukkan kuantitas dari keterlibatan orang-orang. 11 Rush, Althoff, Pengantar Sosioogi Politik dalam Pengantar Sosioogi Politik oleh Damsar hal. 185. Universitas Sumatera Utara Gambar I Hierarki Partisipasi Politik Sumber: Rush dan Althoff 2003 dalam Damsar 2010, hal. 185

2. Samuel P.Huntington dan Juan M.Nelson

Samuel P.Huntington dan Juan M. Nelson 12 menemukan bentuk- bentuk partisipasi politik yang berbeda Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik meliputi : 1. Kegiatan Pemillihan, mencakup suara, juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seoranng calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. 2. Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan politik mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. 3. Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. 12 ibid Universitas Sumatera Utara 4. Mencari koneksi, merupakan tindakan peorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang. 5. Tindak kekerasan, merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbukan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda. 3. Gabriel A. Almond Dalam buku Perbandingan Sistem Politik yang disunting oleh Mas’oed dan MacAndrews dalam Damsar 13 , Almond membedakan partisipasi atas dua bentuk, yaitu : 1. Partisipasi Politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang “normal“ dalam demokrasi modern. 2. Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner. 13 ibid Universitas Sumatera Utara Adapun rincian dari pandagan Almond tentang dua bentuk partisipasi dapat dilihat pada tabel berikut : BENTUK-BENTUK PARTISIPASI POLITIK Konvensi Non Konvensional  Pemberian suara voting  Pengajuan Petisi  Diskusi Politik  Berdemonstrasi  Membentuk dan bergabung dalam  Konfrontasi  Komunikasi individual dengan  Mogok  Tindak kekerasan politik terhadap hartabendaperusakan,pengeboman,pem b k  Tindakan kekerasan politik terhadp manusia likk b h Sumber: Almond dalam Mas’oed dan MacAndrews 1981 dalam Damsar 2010, hal. 186 1.4. 2. Teori Perilaku Politik 1.4.2.1. Defenisi Perilaku Politik Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik 30 . Interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antar kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Perilaku politik dapat dijumpai didalam negara misalnya, ada pihak yang memerintah dan yang diperintah. Pada dasarnya, manusia yang melakuka n kegiatan dibagi menjadi dua, yakni warga negara yang memiliki fungsi pemerintahan penjabat pemerintahan, dan warga negara biasa yang tidak memiliki fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak untuk mempengaruhi orang Universitas Sumatera Utara yang memiliki fungsi pemerintahan fungsi politik. Suatu tindakan dan keputusan politik tidak hanya ditentukan oleh fungsi tugas dan wewenang yang melekat pada lembaga yang mengeluarkan keputusan sedangkan fungsi itu sendiri merupakan upaya mencapai tujuan masyarakat, negara atau nilai- nilai politik, tetapi juga dipengaruhi oleh kepribadian keinginan dan dorongan, persepsi dan motivasi, sikap dan orientasi, harapan dan cita-cita, ketakutan dan pengalaman masa lalu individu yang membuat keputusan tersebut 14 . Perilaku politik berkenaan dengan tujuan masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta system kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat secara umum dan bukan tujuan perorangan. Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkaitan dengan sikap politik. yakni yang berkaitan dengan kesiapan bereaksi terjadap objek lingkungan tertentu suatu penghayatan terhadap objek tersebut 15 . Perilaku politik tidaklah sesuatu yang dapat berdiri tegak sendiri tetapi mengandung keterkaitan dengan hal yang lain. Salah satu hal yang penting adalah sikap politik. sikap dan perilaku sangat erat hubungannya, namun keduanya dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk berekasi terhadap objek lingkungan tertentu. Sikap belum merupakan tindakan tetapi masih berupa suatu kecenderungan. 14 Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Widya Sarana, 1992, hal.131 15 Sudijono, Sastroatmodjo, op.cit., hal. 4 Universitas Sumatera Utara Perilaku politik pada umumnya ditentukan oleh faktor internal dari individu sendiri seperti idealisme, tingkat kecerdasan, kehendak hati dan oleh faktor eksternal kondisi lingkungan seperti kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang mengelilinginya. Menurut Jack C. Plano dkk dalam Moh. Ridwan 16 , perilaku politik adalah: “Pikiran dan tindakan manusia yang berkaitan dengan p roses memerintah.Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan- tanggapan internalpikiran, persepsi, sikap dan keyakinan dan juga tindakan-tindakan yang nampak pemungutan suara, gerak protes, lobbying, kaukus, kampanye dan demonstrasi”.

1.4.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik

17 Pertama, perlu dipahami dalam konteks latar belakang histories. Sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses-proses dan peristiwa historis masa lalu. Hal ini disebabkab budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis melainkan berubah dan berkembang sepanjang masa. Kedua, faktor kondisi geografis memberikan pengaruh dalam perilaku politik masyarakat sebagai kawasan geostrategis, walaupun kemajemukan budaya Indonesia merupakan hal yang rawan bagi terciptanya disintegrasi. Kondisi ini mempengaruhi perbedaan tingkat partisipasi politik masyarakat, kesenjangan pemerataan bangunan, kesenjangan informasi, komunikasi, teknologi mempengaruhi proses sosialisasi politik. Ketiga, faktor budaya politik memiliki pengaruh dalam perilaku politik masyarakat. Berfungsinya budaya politik ditentukan oleh tingkat keserasian 16 Ridwan, Moh. 1997. Perilaku Politik NU Pasca Pernyataan Kembali ke Khittah 1926. Skripsi 17 Asep Ridwan, Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004, Jurnal Demokrasi dan HAM Jakarta : The Habibie Center,2000, hal. 25 Universitas Sumatera Utara antara kebudayaan bangsa dan struktur politiknya. Kemajuan budaya Indonesia memepengaruhi budaya budi bangsa. Berbagai budaya daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada terciptanya sebuah bentuk perilaku politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami perilaku politik. Keempat, perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh agama dan keyakinan. Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan merupakan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai agama dan keyakinannya proses politik dan partisipasi warga negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman agama seseorang. Kelima, pendidikan dan komunikasi juga mempengaruhi perilaku politik seseorang. Semakin tinggi pendiidkan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi yang intens akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan politiknya. Keenam, factor kepribadian mempengaruhi perilaku politik. Ketujuh, factor lingkungan social politik. faktor ini mempengaruhi aktor politik secara langsung seperti keadaan keluarga, cuaca, ancaman. Lingkungan sosial politik saling memepengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain dan bukannya sebagai factor yang berdiri sendiri. Universitas Sumatera Utara Selain faktor-faktor diatas ada lima faktor lain yang memainkan peranan penting dalam memnetukan pilihan rakyat, yaitu : standar hidup, kondisi gaji atau tidak digaji, kelompok umur, seks, tingkat pendidikan, agama, simpati terhadap partai politik.

1.4.3. Perilaku Memilih Voting Behavior

Studi-studi perilaku memilih voting behavior studies dalam suatu pemilu memiliki dua pendekatan utama, yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologis. Dalam penelitian ini saya menggunakan tiga pendekatan yaitu :

1.4.3.1 Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini pada dasarnya menekankan peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang, pendekatan ini menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial itu mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Karakter dan pengelompokan sosial berdasarkan umur tua- muda, jenis kelamin laki-perempuan, agama, status-sosial, ekonomi, aspek geografis dan lain sebagainya 18 . Hal ini dinggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam bentuk perilaku pemilih. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku memilih seseorang. Aliran yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam menganalisis voting behavior ini menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferesi pemberian suara di kotak pemilihan seeorang merupakan produk dari karaktersitik sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya. Dalam status social 18 Ramlan Surbakti, op.cit.,hal.145 Universitas Sumatera Utara ekonomi terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk melakukan analisis tentang suatu hubungan atau pengaruh, yaitu antara lain pendidikan, pekerjaan, pendapatan, atau kekayaan 19 . Gerald Pomper 20 memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian voting behavior ke dalam dua variabel yaitu predisposisi kecenderungan sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Sosialisasi politik yang diterima seseorang pada masa kecil sangat mempengaruhi pilihan politik mereka, terutama pada saat pertama kali menentukan pilihan politik. Apakah preferensi politik ayah atau ibu berpengaruh pada preferensi politik anak, sedangkan predisposisi sosial ekonomi berupa agama dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan sebagainya. Dalam studi-studi perilaku pemilih di negara-negara demokrasi, agama merupakan faktor sosiologis paling kuat dalam mempengaruhi sikap pilihan terhadap partai- partai politik. Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih sangat mempengaruhi dimana nilai-nilai agama selalu hadir di dalam kehidupan privat dan public dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Hal ini biasanya berhubungan dengan status ekonomi seseorang. Affan Gaffar menunjukka n bahwa pengaruh kelas dalam perilaku pemilih di Indonesia tidak begitu dominan. Dalam studi-studi perilaku pemilih di negara-negara demokrasi, agama tetap merupakan faktor sosiologis yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih terjadap partai politik atau kandidat. 19 Damsar, op.cit., hal 200 20 Gerald Pomper, Voter’s choice : Varieties of American ElectoralBehavior, New York : Dod, Mead Company,1978, hal 198 Universitas Sumatera Utara Dalam hal ini agama diukur dari afiliasi pemilih terhadap agama tertentu seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Partai Islam adalah partai yang secara eksplisit dan formal menyatakan diri sebagai partai Islam atau partai yang didasarkan atas asas Islam. Dalam hal ini, PPP, PBB, PK, PNU, PKU, PSII, Partai Masyumi, dan lain-lain, dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Tapi ke dalam partai Islam dapat pula dimasukkan partai-partai yang secara sosiologis berakar dalam organisasi sosial keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah walaupun partai-partai tersebut secara eksplisit menyatakan partai terbuka terhadap pemeluk agama-agama lain, dan secara formal tidak menyatakan diri sebagai partai Islam. Dengan karakteristik keagamaan seperti di atas suatu hipotesis tentang pilihan atas partai politik dapat dinyatakan seperti ini: pemilih yang beragama Islam cenderung akan memilih partai-partai Islam PPP, PBB, PK, PNU, PKU, PSII, Masyumi, PKB, dan PAN, sementara pemilih non-Islam cenderung akan memilih partai-partai non- Islam PDI-P, Golkar, dan PKP. Asumsinya bahwa para pemilih yang beragama Islam akan cenderung memilih partai-partai Islam. Yang beragama Kristen akan memilih partai Kristen, dan seterusnya 21 .

1.4.3.2. Pendekatan Psikologis

Menurut penganut pendekatan psikologis, secara metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti sebagaimana mengukur secara tepat sejumlah indicator kelas social, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan psikologis lebih menekankan faktor-faktor psikologis dalam 21 Liddle, William dan Saiful Mujani, “ Politik Aliran Memudar, Kepemimpinan Nasional Menentukan PilihanPartai Politik”, Kompas, 1 September 2000. Universitas Sumatera Utara menentukan perilaku politiknya. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan perilaku pemilih. Pendekatan Psikologis menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi kepribadian seseorang merupakan variabel yang cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu, dan orientasi terhadap kandidat. Para pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Melalui proses sosialisasi individu dalam mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi politiknya di dalam pemilihan umum, sosialisasi bertujuan meningkatkan kualitas pemilih. 1.4.3.3. Pendekatan Pilihan Rasional Dua pendekatan terdahulu menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Mereka beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat menjelang atau ketika ada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, sosialisasi, pengalaman hidup merupakan variabel yang mempengaruhi perilaku politik seseorang. Tetapi pada kenyataannya, ada sebagaian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Ini disebabkan oleh Universitas Sumatera Utara ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi politik seseorang. Ada faktor situasional yang mempengaruhi perilaku pemilih. Faktor situasional ini bisa berupa isu-isu politik pada kandidat yang dicalonkan. Isu-isu politik ini menjadi bahan pertimbangan yang penting dimana para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaian terhadap isu-isu politik. Artinya pemilih pemula dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional 22 . Pendekatan rasional membawa kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar- benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi dan program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena factor kebetulan atau kebiasaan, dan tidak semata- mata untuk kepetingan diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangannya yang logis.

1.4.4. Perilaku Tidak Memilih Non-Voting Behavior

Perilaku non-voting muncul pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak. 23 Bukan hanya memproklamasikan diri sebagai kelompok putih yang tidak memilih, mereka bahkan mengajukan tanda gambar segilima hitam dengan dasar putih. Namun pemilu 1971 menurut versi 22 M.Asfar,”Beberapa Pendekatan dalam Memahami Perilaku Pemilih”, Jurnal Ilmu-Ilmu Politik, Vo. 16, Jakarta : PT. Gramedia, 1989 23 Fadillah Putra, Partai politik dan kebijakan publik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal. 104 Universitas Sumatera Utara pemerintahan, diikuti oleh 95 persen pemilih. Satu hal yang mencuat dari kemunculan fenomena tidak memilih adalah merebaknya protes atau ketidakpuasan kelompok masyarakat tertentu terhadap tidak tegaknya prinsip- prinsip demokrasi atau penentangan langsung terhadap eksistensi rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Menjelang Pemilu 1992, perilaku tidak memilih marak lagi sehingga bayangan kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, di samping PPP, Golkar dan PDI. Namun jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi pemerintah, di atas 90 persen, persisnya 91 persen. Sepekan menjelang Pemilu 29 Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan untuk tidak menggunakan hak politiknya untuk memilih. Pernyataannya ini lalu dianggap sebagai kampanye terselubung kepada massa pendukungnya untuk memboikot pemilu, meski hal itu dibantah Megawati. Meski ada aksi PDI Perjuangan itu, jumlah pemilih pada Pemilu 1997 dilaporkan mencapai 90,58 persen. 24 Angka 90 persen itu memang diakui merupakan angka semu. Karena pemilu- pemilu zaman Soeharto-disebut banyak pihak-identik dengan kecurangan demi untuk memenangkan Golkar. Angka adalah bagian dari rekayasa yang sangat menentukan. Golput menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas Arif Budiman. Sedangkan Arbi 24 httpwww.kompas.com Universitas Sumatera Utara Sanit mengatakan bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu. Mengenai golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot-repot ke kotak suara? Dari pada nanti kecewa”. Sikap orang-orang yang tidak memilih, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya, kaum yang tidak memilih ini menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih dari kartu suara. Ketiga,tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu. 25 Jadi berdasarkan hal di atas, masyarakat dengan perilaku tidak memilih golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang- orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara TPS hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis 25 httpwww.kompas.com Universitas Sumatera Utara dikeluarkan dari kategori tidak memilih. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak. Dalam artikelnya di KOMPAS 28 Juli 2004 26 , Indra J. Piliang menyatakan bahwa golongan putih golput dianggap sebagai bentuk perlawanan atas partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi orang-orang yang kemudian tidak memilih. Dia membagi golput menjadi 3 bagian yaitu: Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan golput era 1970-an, yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat. Bagi golput jenis ini, produk UU sekarang, termasuk UU pemilu, hanyalah bagian dari rekayasa segolongan orang yang selama ini mendapatkan keistimewaan dan hak-hak khusus. Sistem Pemilu 1999, sebagaimana diketahui, hanyalah memilih tanda gambar sehingga rakyat tidak bisa memilih orang. Demokrasi berlangsung dalam wilayah abu-abu dan semu. Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan berdampak 26 httpwww.kompas.com Universitas Sumatera Utara atas diri si pemilih. Sikap mereka setengah-setengah memandang proses pemilihan suara pada hari H, antara percaya dan tidak percaya. Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu, tetapi memilih golput akibat preferensi politiknya berubah atau akibat sistemnya secara sebagian merugikan mereka. Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok golput. 27 Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja. Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasanpolitik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi disbanding golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi. 27 Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999, hal. 22 Universitas Sumatera Utara 1.5. Metodologi Penelitian 1.5.1. Jenis Penelitian Menurut Hadari Nawawi, 28 metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan. Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

1.5.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. 28 Nawawi, Hadari, Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987, hal. 63 Universitas Sumatera Utara 1.5.3. Populasi dan Sampel 1.5.3.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terdaftar di Data Pemilih Tetap pada Pemilukada Sumatera Utara 2013”..

1.5.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu. Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah masyarakatyang tidak menggunakan Hak Pilihnya dalam Pemilukada Sumatera Utara 2013 di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang. Dalam menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis menggunakan rumus Taro Yamane 29 ,sebagai berikut: Keterangan: n: Jumlah sampel N : Jumlah populasi D : Presisi 10 dengan tingkat kepercayaan 90 Populasi adalah masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang yang terdaftar sebagai pemilih dan tidak menggunakan 29 Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi.Bandung: RemajaRosdakarya, 1991, hal.81 Universitas Sumatera Utara hak pilihnya pada Pemilukada Sumatera Utara 2013 sebanyak 5839 jiwa. Maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak : Dengan demikian maka jumlah sampel dibulatkan menjadi 98.

1.5.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis mlakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan dengan dating langsung ke lokasi penelitian dengan cara menyebarkan angketkuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan. b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku- buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Universitas Sumatera Utara

1.5.5 Teknik Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

1.6. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan Pada bab ini akan memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dasar-dasar teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : Deskripsi Lokasi Penelitian Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang BAB III : Pembahasan Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisis secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan BAB IV : Kesimpulan dan Saran Universitas Sumatera Utara

BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian

Dalam bab ini akan disajikan deskripsi lokasi penelitian dan rincian- rincian di setiap bagian yang diperlukan dalam penelitian ini. Kita dapat mulai untuk meneliti apa yang menjadi faktor munculnya angka perilaku tidak memlilih dalam PEMILUKADA Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 pada Masyarakat Desa Tanjung sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang. Data-data ini nantinya dapat kita jadikan indikator dalam menyusun kuesioner yang diperlukan untuk penyajian data dalam penelitian ini. Data yang disajikan di bab ini diperoleh dari arsip-arsip yang ada di Kantor Camat Batang Kuis dan akan di sajikan dalam tabel-tabel untuk mempermudah memahaminya.

2.1 Selayang Pandang Desa Tanjung Sari, Kecamatan Batang Kuis

Desa Tanjung Sari adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Desa Tanjung Sari bukanlah kota dari Kecamatan Batang Kuis tetapi Desa Tanjung Sari merupakan desa terpadat penduduknya, desa ini terletak di tengah-tengah kecamatan Batang Kuis. Desa Tanjung Sari juga merupakan desa terluas kedua setelah Desa Sidodadi di kecamatan ini. Desa Tanjung Sari dipimpin oleh seorang kepala desa dan di lingkup legislatif juga mempunyai Badan Permusyawaratan Desa. Kecamatan Batang Kuis adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Batang Kuis terdiri atas 11 Desa dan 72 dusun. Sejalan dengan rencana pemindahan Bandara Internasional Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

1 114 127

Kontribusi Anak Pada Sosial Ekonomi Keluarga Di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

2 39 119

Perilaku Diet Ibu Nifas di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

1 56 72

PERILAKU TIDAK MEMILIH MASYARAKAT PEKON KEDIRI DALAM PEMILUKADA KABUPATEN PRINGSEWU 2011

1 46 188

PERBANDINGAN PERILAKU MEMILIH DALAM PEMILUKADA ANTARA PEMILIH PEMULA DI PERKOTAAN MEDAN DENGAN PEMILIH PEMULA DI PEDESAAN KABUPATEN DELI SERDANG SUMATERA UTARA.

2 19 29

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 12

Pengaruh kampanye Politik Calon Gubernur Sumatera Utara terhadap Perilaku Memilih Masyarakat Kecamatan Medan Kota Kota Medan (Studi pada Pemilukada Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013)

0 0 2

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1 Sejarah Kecamatan Siantar Selatan - Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukad

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

0 0 43

NON VOTING BEHAVIOUR (PERILAKU TIDAK MEMILIH) PADA PEMILUKADA KOTA PEMATANGSIANTAR 2010

0 0 17