1.2. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini yang kita ambil dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka peneliti membuat
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang menyebabkan munculnya golongan non-voting dalam
pemilukada. 2.
Apa saja yang mempengaruhi masyarakat yang telah terdaftar sebagai pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya.
3. Apakah perilaku tidak memilih menjadi bagian dalam sebuah perilaku
politik.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa saja yang menyebabkan munculnya golongan non-
voting dalam pemilukada. 2.
Untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi masyarakat yang telah terdaftar sebagai pemilih tetap tidak menggunakan hak pilihnya.
3. Untuk mengetahui perilaku tidak memilih adalah bagian dari sebuah
prilaku politik.
Universitas Sumatera Utara
1.3.2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui karya ilmiah dan sebagai penerapan dari berbagai teori yang
penulis dapatkan selama dalam masa perkuliahan.
2. Berguna sebagai kontribusi bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Berguna sebagai bahan masukan kepada pengambil kebijakan Pemerintah dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, Departemen Dalam
Negeri dan Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan perilaku pemilih.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Kerangka Teori
Unsur penelitian yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori karena dengan unsur inilah peneliti mencoba menerangkan fenomena sosial
atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu
fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.
4
Oleh karena itu, dalam kerangka teori ini penulis akan memaparkan teori- teori yang merupakan landasan berpikir dalam menggambarkan masalah
penelitian yang sedang disoroti. Teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian ini antara lain:
1.4.1. Teori Partisipasi Politik 1.4.1.1 Defenisi Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam kegiatan-kegiatan
politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna mempengaruhi kebijakan pemerintah.
4
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta : LP3ES 1989, hal. 37
Universitas Sumatera Utara
Wahyudi Kumorotomo mengatakan,
“Partisipasi adalah berbagai corak tindakan massa maupun individual yang memperlihatkan adanya hubungan timbale balik antara pemerintah dan
warganya.”
5
Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu : pertama, partisipasi dalam pemilihan
electoral participation, kedua, partisipasi kelompok group participation, ketiga, kontak antara warga negara dengan warga pemerintah citizen government
contacting dan keempat, partisipasi warga negara secara langsung.
Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice :
Political participation in developing :
“Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan
kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.”
6
Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintah.
7
Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi beberapa hal, yaitu : pertama,
Hutington dan Nelson mengartikan partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak
5
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112
6
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice :Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, Hal. 3, dalam Miriam Budiarjo.
7
Arifin Rahmat, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hal. 128
Universitas Sumatera Utara
memasukkan komponen-komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap
dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara biasa, bukan pejabat-
pejabatpemerintah. Hal ini didasarkan pada pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan professional di bidang itu, padahal justru kajian ini pada warga negar
biasa. Ketiga, kegiatan politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya
membujuk atau menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan caramengubah aspek-
aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes, demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pembrontak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat
disebut sebagai partisipasi politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak,
berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa menggunakan perantara,
tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah.
Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi
politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi
politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa,
Universitas Sumatera Utara
sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara biasa.
Setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah tidak lepas dari campur tangan warga negara. Dan setiap keputusan yang diambil tersebut secara tidak
langsung mempengaruhi kehidupan warga negara. Oleh karena itu, partisipasi dari masyarakat itu sendiri penting adanya. Dalam negara-negara
demokratis pada umumnya semakin tinggi partisipasi warga negara nya maka semakin baik pula
8
, dengan kata lain masyarakat merasa terbeban untuk ikut berpartisipasi. Karena tingkat partisipasi masyarakatnya tinggi. Hal ini
berarti masyarakat sebagai pemilik mandate perduli terhadap setiap kebijakan atau peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Begitu juga sebaliknya
apabila tingkat partisipasi masyarakat rendah maka hal ini dianggap kurang baik, karena masyarakatnya tidak perduli terhadap negaranya dan cenderung
bersikap apatis, dan lebih mementingkan kepentingan pribadi serta kelompoknya.
8
Miriam Budhiardho, Demokrasi, Jakarta: Gramedia, hal 3
Universitas Sumatera Utara
Dari defenisi ini dapat ditarik beberapa kriteria dari pengertian partisipasi politik:
1. Menyangkut kegiatan-kegiatan yang dapat diamati dan bukan sikap
atau orientasi. Jadi, partisipasi politik hanya berhubungan dengan hal yang bersifat objektif dan bukan subjektif.
2. Kegiatan politik warga negara biasa atau perorangan sebagai warga
negara biasa yang dilaksanakan secara langsung maupun tidak langsung perantara.
3. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah, baik berupa bujukan atau dalam bentuk tekanan bahkan penolakan juga terhadap keberadaan figur para pelaku politik
dan pemerintah. 4.
Kegiatan tersebut diarahkan kepada upaya mempengaruhi pemerintah tanpa perduli efek yang akan timbul gagal ataupun berhasil.
5. Kegiatan yang dilakukan dapat melalui prosedur yang wajar dan
tanpa kekerasan konvensional maupun dengan cara yang diluar prosedur yang wajar tak konvensional dan berupa kekerasan
violence. 6.
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik seperti
memilih pimpinan negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan warga negara biasa dibagi dua yaitu mempengaruhi isi kebijakan umum dan ikut menentukan pembuatan dan pelaksana keputusan
politik.
1.4.1.2. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik
Secara umum bentuk-bentuk partisipasi sebagai kegiatan dibedakan sebagai berikut :
1. Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan
output.Artinya setiap orang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Warga negara secara aktif mengajukan
usul mengenai kebijakan public, mengajukan alternative kebijakan public yang berlainan dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan
perbaikan untuk meluruskan kebijakan umum, memilih pemimpin pemerintah dan lain-lain.
2. Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output,
dalam arti hanya mentaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.
3. Golongan putih golput atau kelompok apatis, karena menganggap sistem
po litik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan.
Orang-orang yang tidak ikut dalam politik karena menganggap sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan mendapat
beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan anomie.
Universitas Sumatera Utara
1. Apatis masa bodoh dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala.
2. Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik adalah urusan yang kotor,
tidak dapat dipercaya, dan menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia dan tidak ada hasilnya.
3. Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berpikir mengenai
pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk oranng lain tidak adil.
4. Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi seorang individu mengalami perasaan
ketidakefektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk
bertindak.
9
Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan sekali berpartisipasi politik:
10
Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti
kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik
tertentu. Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu merasa
9
Michael Rush dan Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT Rajawali, 1989, hal. 131
10
ibid
Universitas Sumatera Utara
adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap tiada lagi aktifitas politik
yang kiranya dapat menjembatani. Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor
yang sangat penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong
kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang bersifat pribadi
sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan secara langsung menyajikan
kepuasan yang relative kecil. Dengan demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang
dapat memenuhi kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.
Para ahli sosiologi politik telah merumuskan berbagai bentuk partisipasi politik. Berikut disajikan bentuk-bentuk partisipasi politik menurut beberapa
ahli.
1. Michael Rush dan Philip Althoff
Dalam buku Pengantar Sosiologi Politik, Michael Rush dan Philip Althoff yang dikutip oleh Damsar dalam Pengantar Sosiologi Politik
mengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff
adalah menduduki jabatan politik atau administrative. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apati secara total, yaitu
orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Semakin tinggi hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan
orang-orang, seperti yang diperlihatkan oleh Bagan Hierarki Partisipasi Politik
11
, dimana garis vertikal segitiga menunjukkan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukkan kuantitas dari keterlibatan orang-orang.
11
Rush, Althoff, Pengantar Sosioogi Politik dalam Pengantar Sosioogi Politik oleh Damsar hal. 185.
Universitas Sumatera Utara
Gambar I Hierarki Partisipasi Politik
Sumber: Rush dan Althoff 2003 dalam Damsar 2010, hal. 185
2. Samuel P.Huntington dan Juan M.Nelson
Samuel P.Huntington dan Juan M. Nelson
12
menemukan bentuk- bentuk partisipasi politik yang berbeda Adapun bentuk-bentuk partisipasi
politik meliputi : 1.
Kegiatan Pemillihan, mencakup suara, juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi
seoranng calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.
2. Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan politik mereka
mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. 3.
Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama adalah
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
12
ibid
Universitas Sumatera Utara
4. Mencari koneksi, merupakan tindakan peorangan yang ditujukan terhadap
pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.
5. Tindak kekerasan, merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah dengan jalan menimbukan kerugian fisik
terhadap orang-orang atau harta benda. 3. Gabriel A. Almond
Dalam buku Perbandingan Sistem Politik yang disunting oleh Mas’oed dan MacAndrews dalam Damsar
13
, Almond membedakan partisipasi atas dua bentuk, yaitu :
1. Partisipasi Politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi
politik yang “normal“ dalam demokrasi modern. 2.
Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat
berupa kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner.
13
ibid
Universitas Sumatera Utara
Adapun rincian dari pandagan Almond tentang dua bentuk partisipasi dapat dilihat pada tabel berikut :
BENTUK-BENTUK PARTISIPASI POLITIK
Konvensi Non Konvensional
Pemberian suara voting Pengajuan Petisi
Diskusi Politik Berdemonstrasi
Membentuk dan bergabung dalam
Konfrontasi Komunikasi individual
dengan Mogok
Tindak kekerasan politik terhadap hartabendaperusakan,pengeboman,pem
b k Tindakan kekerasan politik terhadp
manusia likk
b h
Sumber: Almond dalam Mas’oed dan MacAndrews 1981 dalam Damsar 2010, hal. 186
1.4.
2. Teori Perilaku Politik 1.4.2.1. Defenisi Perilaku Politik
Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik
30
. Interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antar kelompok
dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik.
Perilaku politik dapat dijumpai didalam negara misalnya, ada pihak yang memerintah dan yang diperintah. Pada dasarnya, manusia yang melakuka
n kegiatan dibagi menjadi dua, yakni warga negara yang memiliki fungsi pemerintahan penjabat pemerintahan, dan warga negara biasa yang tidak
memiliki fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak untuk mempengaruhi orang
Universitas Sumatera Utara
yang memiliki fungsi pemerintahan fungsi politik. Suatu tindakan dan keputusan politik tidak hanya ditentukan oleh fungsi tugas dan wewenang
yang melekat pada lembaga yang mengeluarkan keputusan sedangkan fungsi itu sendiri merupakan upaya mencapai tujuan masyarakat, negara atau nilai-
nilai politik, tetapi juga dipengaruhi oleh kepribadian keinginan dan dorongan, persepsi dan motivasi, sikap dan orientasi, harapan dan cita-cita, ketakutan dan
pengalaman masa lalu individu yang membuat keputusan tersebut
14
.
Perilaku politik berkenaan dengan tujuan masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta system kekuasaan yang memungkinkan adanya
suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat secara umum dan bukan tujuan perorangan. Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan
yang berkaitan dengan sikap politik. yakni yang berkaitan dengan kesiapan bereaksi terjadap objek lingkungan tertentu suatu penghayatan terhadap
objek tersebut
15
. Perilaku politik tidaklah sesuatu yang dapat berdiri tegak sendiri tetapi
mengandung keterkaitan dengan hal yang lain. Salah satu hal yang penting adalah sikap politik. sikap dan perilaku sangat erat hubungannya, namun
keduanya dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk berekasi terhadap objek lingkungan tertentu. Sikap belum merupakan tindakan tetapi masih berupa
suatu kecenderungan.
14
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Widya Sarana, 1992, hal.131
15
Sudijono, Sastroatmodjo, op.cit., hal. 4
Universitas Sumatera Utara
Perilaku politik pada umumnya ditentukan oleh faktor internal dari individu sendiri seperti idealisme, tingkat kecerdasan, kehendak hati dan oleh
faktor eksternal kondisi lingkungan seperti kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang mengelilinginya. Menurut Jack C. Plano
dkk dalam Moh. Ridwan
16
, perilaku politik adalah: “Pikiran dan tindakan manusia yang berkaitan dengan p roses
memerintah.Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan- tanggapan internalpikiran, persepsi, sikap dan keyakinan dan juga
tindakan-tindakan yang nampak pemungutan suara, gerak protes, lobbying, kaukus, kampanye dan demonstrasi”.
1.4.2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik
17
Pertama, perlu dipahami dalam konteks latar belakang histories. Sikap
dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses-proses dan peristiwa historis masa lalu. Hal ini disebabkab budaya politik tidak merupakan
kenyataan yang statis melainkan berubah dan berkembang sepanjang masa.
Kedua, faktor kondisi geografis memberikan pengaruh dalam perilaku
politik masyarakat sebagai kawasan geostrategis, walaupun kemajemukan budaya Indonesia merupakan hal yang rawan bagi terciptanya disintegrasi.
Kondisi ini mempengaruhi perbedaan tingkat partisipasi politik masyarakat, kesenjangan pemerataan bangunan, kesenjangan informasi, komunikasi,
teknologi mempengaruhi proses sosialisasi politik. Ketiga, faktor budaya politik memiliki pengaruh dalam perilaku politik
masyarakat. Berfungsinya budaya politik ditentukan oleh tingkat keserasian
16
Ridwan, Moh. 1997. Perilaku Politik NU Pasca Pernyataan Kembali ke Khittah 1926. Skripsi
17
Asep Ridwan, Memahami Perilaku Pemilih Pada Pemilu 2004, Jurnal Demokrasi dan HAM Jakarta : The Habibie Center,2000, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
antara kebudayaan bangsa dan struktur politiknya. Kemajuan budaya Indonesia memepengaruhi budaya budi bangsa. Berbagai budaya daerah pada masyarakat
Indonesia berimplikasi pada terciptanya sebuah bentuk perilaku politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami
perilaku politik. Keempat, perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh agama dan
keyakinan. Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan
merupakan acuan yang penuh dengan norma-norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai agama dan
keyakinannya proses politik dan partisipasi warga negara paling tidak dapat
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman agama seseorang. Kelima, pendidikan dan komunikasi juga mempengaruhi perilaku politik
seseorang. Semakin tinggi pendiidkan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi yang intens akan mempengaruhi perilaku
politik seseorang dalam kegiatan politiknya.
Keenam, factor kepribadian mempengaruhi perilaku politik. Ketujuh, factor lingkungan social politik. faktor ini mempengaruhi aktor
politik secara langsung seperti keadaan keluarga, cuaca, ancaman. Lingkungan sosial politik saling memepengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain
dan bukannya sebagai factor yang berdiri sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Selain faktor-faktor diatas ada lima faktor lain yang memainkan peranan penting dalam memnetukan pilihan rakyat, yaitu : standar hidup, kondisi gaji
atau tidak digaji, kelompok umur, seks, tingkat pendidikan, agama, simpati terhadap partai politik.
1.4.3. Perilaku Memilih Voting Behavior
Studi-studi perilaku memilih voting behavior studies dalam suatu pemilu memiliki dua pendekatan utama, yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan
psikologis. Dalam penelitian ini saya menggunakan tiga pendekatan yaitu :
1.4.3.1 Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini pada dasarnya menekankan peranan faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang, pendekatan ini
menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial itu mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku
pemilih. Karakter dan pengelompokan sosial berdasarkan umur tua- muda, jenis kelamin laki-perempuan, agama, status-sosial, ekonomi, aspek geografis
dan lain sebagainya
18
. Hal ini dinggap mempunyai peranan cukup menentukan dalam bentuk perilaku pemilih. Pendekatan ini menggunakan dan
mengembangkan konsep psikologis terutama konsep sosialisasi dan sikap untuk menjelaskan perilaku memilih seseorang. Aliran yang menggunakan
pendekatan sosiologis dalam menganalisis voting behavior ini menyatakan bahwa preferensi politik termasuk preferesi pemberian suara di kotak pemilihan
seeorang merupakan produk dari karaktersitik sosial ekonomi di mana dia berada seperti profesi, kelas sosial, agama dan seterusnya. Dalam status social
18
Ramlan Surbakti, op.cit.,hal.145
Universitas Sumatera Utara
ekonomi terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk melakukan analisis tentang suatu hubungan atau pengaruh, yaitu antara lain pendidikan, pekerjaan,
pendapatan, atau kekayaan
19
. Gerald Pomper
20
memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian voting behavior ke dalam dua variabel yaitu predisposisi
kecenderungan sosial ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Sosialisasi politik yang diterima seseorang pada masa kecil sangat mempengaruhi pilihan
politik mereka, terutama pada saat pertama kali menentukan pilihan politik. Apakah preferensi politik ayah atau ibu berpengaruh pada preferensi politik
anak, sedangkan predisposisi sosial ekonomi berupa agama dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis dan sebagainya. Dalam studi-studi
perilaku pemilih di negara-negara demokrasi, agama merupakan faktor sosiologis paling kuat dalam mempengaruhi sikap pilihan terhadap partai-
partai politik. Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih sangat mempengaruhi dimana nilai-nilai agama selalu hadir di dalam kehidupan privat
dan public dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi para pemilih. Hal ini biasanya berhubungan dengan status ekonomi seseorang.
Affan Gaffar menunjukka n bahwa pengaruh kelas dalam perilaku pemilih di Indonesia tidak begitu dominan. Dalam studi-studi perilaku pemilih di
negara-negara demokrasi, agama tetap merupakan faktor sosiologis yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih terjadap partai politik atau kandidat.
19
Damsar, op.cit., hal 200
20
Gerald Pomper, Voter’s choice : Varieties of American ElectoralBehavior, New York : Dod, Mead Company,1978, hal 198
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini agama diukur dari afiliasi pemilih terhadap agama tertentu seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Partai Islam adalah
partai yang secara eksplisit dan formal menyatakan diri sebagai partai Islam atau partai yang didasarkan atas asas Islam. Dalam hal ini, PPP, PBB, PK,
PNU, PKU, PSII, Partai Masyumi, dan lain-lain, dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Tapi ke dalam partai Islam dapat pula dimasukkan partai-partai
yang secara sosiologis berakar dalam organisasi sosial keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah walaupun partai-partai tersebut secara eksplisit
menyatakan partai terbuka terhadap pemeluk agama-agama lain, dan secara formal tidak menyatakan diri sebagai partai Islam. Dengan karakteristik
keagamaan seperti di atas suatu hipotesis tentang pilihan atas partai politik dapat dinyatakan seperti ini: pemilih yang beragama Islam cenderung akan
memilih partai-partai Islam PPP, PBB, PK, PNU, PKU, PSII, Masyumi, PKB, dan PAN, sementara pemilih non-Islam cenderung akan memilih partai-partai
non- Islam PDI-P, Golkar, dan PKP. Asumsinya bahwa para pemilih yang beragama Islam akan cenderung memilih partai-partai Islam. Yang beragama
Kristen akan memilih partai Kristen, dan seterusnya
21
.
1.4.3.2. Pendekatan Psikologis
Menurut penganut pendekatan psikologis, secara metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti sebagaimana mengukur secara tepat
sejumlah indicator kelas social, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya. Pendekatan psikologis lebih menekankan faktor-faktor psikologis dalam
21
Liddle, William dan Saiful Mujani, “ Politik Aliran Memudar, Kepemimpinan Nasional Menentukan PilihanPartai Politik”, Kompas, 1 September 2000.
Universitas Sumatera Utara
menentukan perilaku politiknya. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologi terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk
menjelaskan perilaku pemilih. Pendekatan Psikologis menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi kepribadian seseorang merupakan variabel yang
cukup menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang. Oleh karena itu pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis
sebagai kajian utama, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu, dan orientasi terhadap kandidat. Para pemilih menentukan
pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari proses sosialisasi, artinya sikap seseorang
merupakan refleksi dari kepribadian dan merupakan variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politiknya. Melalui proses
sosialisasi individu dalam mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi politiknya di dalam pemilihan umum, sosialisasi bertujuan
meningkatkan kualitas pemilih. 1.4.3.3. Pendekatan Pilihan Rasional
Dua pendekatan terdahulu menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Mereka beranggapan bahwa
perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat menjelang atau ketika ada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum
kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, sosialisasi, pengalaman hidup merupakan variabel yang mempengaruhi perilaku politik
seseorang. Tetapi pada kenyataannya, ada sebagaian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Ini disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi politik seseorang. Ada faktor situasional yang
mempengaruhi perilaku pemilih. Faktor situasional ini bisa berupa isu-isu politik pada kandidat yang dicalonkan. Isu-isu politik ini menjadi bahan
pertimbangan yang penting dimana para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaian terhadap isu-isu politik. Artinya pemilih pemula dapat
menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional
22
. Pendekatan rasional membawa kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar-
benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi dan program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki
motivasi, prinsip, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena factor kebetulan atau kebiasaan, dan tidak semata- mata untuk
kepetingan diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangannya yang logis.
1.4.4. Perilaku Tidak Memilih Non-Voting Behavior
Perilaku non-voting muncul pertama kali menjelang pemilu pertama
zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Langkah
mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak.
23
Bukan hanya memproklamasikan diri sebagai kelompok putih yang tidak memilih, mereka bahkan mengajukan tanda
gambar segilima hitam dengan dasar putih. Namun pemilu 1971 menurut versi
22
M.Asfar,”Beberapa Pendekatan dalam Memahami Perilaku Pemilih”, Jurnal Ilmu-Ilmu Politik, Vo. 16, Jakarta : PT. Gramedia, 1989
23
Fadillah Putra, Partai politik dan kebijakan publik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003, hal. 104
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan, diikuti oleh 95 persen pemilih. Satu hal yang mencuat dari kemunculan fenomena tidak memilih adalah merebaknya protes atau
ketidakpuasan kelompok masyarakat tertentu terhadap tidak tegaknya prinsip- prinsip demokrasi atau penentangan langsung terhadap eksistensi rezim Orde
Baru pimpinan Soeharto.
Menjelang Pemilu 1992, perilaku tidak memilih marak lagi sehingga bayangan kekuatannya diidentikkan sebagai partai keempat, di samping PPP,
Golkar dan PDI. Namun jumlah pemilih pada Pemilu 1992, kembali menurut versi pemerintah, di atas 90 persen, persisnya 91 persen. Sepekan menjelang
Pemilu 29 Mei 1997, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, selaku pribadi, mengumumkan
untuk tidak menggunakan hak politiknya untuk memilih. Pernyataannya ini lalu dianggap sebagai kampanye terselubung kepada massa pendukungnya untuk
memboikot pemilu, meski hal itu dibantah Megawati. Meski ada aksi PDI Perjuangan itu, jumlah pemilih pada Pemilu 1997 dilaporkan mencapai 90,58
persen.
24
Angka 90 persen itu memang diakui merupakan angka semu. Karena pemilu- pemilu zaman Soeharto-disebut banyak pihak-identik dengan kecurangan demi
untuk memenangkan Golkar. Angka adalah bagian dari rekayasa yang sangat menentukan.
Golput menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya merupakan pertemuan solidaritas Arif Budiman. Sedangkan Arbi
24
httpwww.kompas.com
Universitas Sumatera Utara
Sanit mengatakan bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah
penyelenggaraan pemilu. Mengenai golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot-repot ke
kotak suara? Dari pada nanti kecewa”.
Sikap orang-orang yang tidak memilih, menurut Arbi Sanit dalam memilih memang berbeda dengan kelompok pemilih lain atas dasar cara penggunaan hak
pilih. Apabila pemilih umumnya menggunakan hak pilih sesuai peraturan yang berlaku atau tidak menggunakan hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya,
kaum yang tidak memilih ini menggunakan hak pilih dengan tiga kemungkinan. Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai. Kedua ,menusuk bagian putih
dari kartu suara. Ketiga,tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Bagi mereka, memilih dalam pemilu sepenuhnya
adalah hak. Kewajiban mereka dalam kaitan dengan hak pilih ialah menggunakannya secara bertanggungjawab dengan menekankan kaitan
penyerahan suara kepada tujuan pemilu, tidak hanya membatasi pada penyerahan suara kepada salah satu kontestan pemilu.
25
Jadi berdasarkan hal di atas, masyarakat dengan perilaku tidak memilih golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan
yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu. Dengan demikian, orang- orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemilihan Suara TPS hanya karena
alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis
25
httpwww.kompas.com
Universitas Sumatera Utara
dikeluarkan dari kategori tidak memilih. Begitu pula persyaratan yang diperlukan untuk menjadi golput bukan lagi sekedar memiliki rasa enggan atau malas ke TPS
tanpa maksud yang jelas. Pengecualian kedua golongan ini dari istilah golput tidak hanya memurnikan wawasan mengenai kelompok itu, melainkan juga
sekaligus memperkecil kemungkinan terjadinya pengaburan makna, baik di sengaja maupun tidak.
Dalam artikelnya di KOMPAS 28 Juli 2004
26
, Indra J. Piliang menyatakan bahwa golongan putih golput dianggap sebagai bentuk perlawanan
atas partai-partai politik dan calon presiden-wakil presiden yang tidak sesuai dengan aspirasi orang-orang yang kemudian tidak memilih. Dia membagi golput
menjadi 3 bagian yaitu: Pertama, golput ideologis, yakni segala jenis penolakan atas apa pun produk sistem ketatanegaraan hari ini. Golput jenis ini mirip dengan
golput era 1970-an, yakni semacam gerakan anti-state, ketika state dianggap hanyalah bagian korporatis dari sejumlah elite terbatas yang tidak punya
legitimasi kedaulatan rakyat. Bagi golput jenis ini, produk UU sekarang, termasuk UU pemilu, hanyalah bagian dari rekayasa segolongan orang yang selama ini
mendapatkan keistimewaan dan hak-hak khusus. Sistem Pemilu 1999, sebagaimana diketahui, hanyalah memilih tanda gambar sehingga rakyat tidak
bisa memilih orang. Demokrasi berlangsung dalam wilayah abu-abu dan semu.
Kedua, golput pragmatis, yakni golput yang berdasarkan kalkulasi rasional betapa ada atau tidak ada pemilu, ikut atau tidak ikut memilih, tidak akan berdampak
26
httpwww.kompas.com
Universitas Sumatera Utara
atas diri si pemilih. Sikap mereka setengah-setengah memandang proses pemilihan suara pada hari H, antara percaya dan tidak percaya.
Ketiga, golput politis, yakni golput yang dilakukan akibat pilihan-pilihan politik. Kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya kepada pemilu, tetapi
memilih golput akibat preferensi politiknya berubah atau akibat sistemnya secara sebagian merugikan mereka.
Sedangkan menurut Novel Ali, di Indonesia terdapat dua kelompok golput.
27
Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan
ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.
Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasanpolitik.
Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang sekarang belum ada.
Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi
disbanding golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat
evaluasi.
27
Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1999, hal. 22
Universitas Sumatera Utara
1.5. Metodologi Penelitian 1.5.1.
Jenis Penelitian
Menurut Hadari Nawawi,
28
metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan
atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan
disimpulkan.
Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi
atau daerah tertentu. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil
penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
1.5.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara.
28
Nawawi, Hadari, Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987, hal. 63
Universitas Sumatera Utara
1.5.3. Populasi dan Sampel 1.5.3.1.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang terdaftar di Data Pemilih Tetap pada Pemilukada Sumatera Utara 2013”..
1.5.3.2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu. Dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah masyarakatyang
tidak menggunakan Hak Pilihnya dalam Pemilukada Sumatera Utara 2013 di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang. Dalam
menentukan jumlah sampel untuk kuesioner, penulis menggunakan rumus Taro Yamane
29
,sebagai berikut:
Keterangan:
n: Jumlah sampel
N : Jumlah populasi
D : Presisi 10 dengan tingkat kepercayaan 90
Populasi adalah masyarakat Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang yang terdaftar sebagai pemilih dan tidak menggunakan
29
Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi.Bandung: RemajaRosdakarya, 1991, hal.81
Universitas Sumatera Utara
hak pilihnya pada Pemilukada Sumatera Utara 2013 sebanyak 5839 jiwa. Maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak :
Dengan demikian maka jumlah sampel dibulatkan menjadi 98.
1.5.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis mlakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan. Studi lapangan yang dilakukan
dengan dating langsung ke lokasi penelitian dengan cara menyebarkan angketkuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian.
Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban yang telah disediakan dalam daftar pertanyaan.
b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku- buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
1.5.5 Teknik Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada.
Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.
1.6. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini akan memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dasar-dasar teori, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : Deskripsi Lokasi Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di Desa Tanjung Sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang
BAB III : Pembahasan
Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisis secara sistematis berdasarkan penelitian yang dilakukan
BAB IV : Kesimpulan dan Saran
Universitas Sumatera Utara
BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian
Dalam bab ini akan disajikan deskripsi lokasi penelitian dan rincian- rincian di setiap bagian yang diperlukan dalam penelitian ini. Kita dapat mulai
untuk meneliti apa yang menjadi faktor munculnya angka perilaku tidak memlilih dalam PEMILUKADA Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 pada
Masyarakat Desa Tanjung sari Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang. Data-data ini nantinya dapat kita jadikan indikator dalam menyusun kuesioner
yang diperlukan untuk penyajian data dalam penelitian ini. Data yang disajikan di bab ini diperoleh dari arsip-arsip yang ada di Kantor Camat Batang Kuis dan akan
di sajikan dalam tabel-tabel untuk mempermudah memahaminya.
2.1 Selayang Pandang Desa Tanjung Sari, Kecamatan Batang Kuis
Desa Tanjung Sari adalah sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Desa Tanjung
Sari bukanlah kota dari Kecamatan Batang Kuis tetapi Desa Tanjung Sari merupakan desa terpadat penduduknya, desa ini terletak di tengah-tengah
kecamatan Batang Kuis. Desa Tanjung Sari juga merupakan desa terluas kedua setelah Desa Sidodadi di kecamatan ini. Desa Tanjung Sari dipimpin oleh seorang
kepala desa dan di lingkup legislatif juga mempunyai Badan Permusyawaratan Desa.
Kecamatan Batang Kuis adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Batang Kuis terdiri atas
11 Desa dan 72 dusun. Sejalan dengan rencana pemindahan Bandara Internasional
Universitas Sumatera Utara