BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seksio sesarea adalah salah satu prosedur operatif tertua di dunia. Sibuea 2007 mengatakan bahwa, “Seksio sesarea yang diputuskan mendadak, tanpa perawatan
pre-operatif yang memadai, dan tanpa direncanakan sebelumnya disebut dengan seksio sesarea darurat. Selain itu, seksio sesarea yang dilakukan atas permintaan ibu
atau keluarga tanpa indikasi medis atau dengan indikasi medis sebelum timbul tanda- tanda persalinan, atau dengan indikasi medis dan perawatan pre-operatif yang baik
disebut dengan seksio sesarea elektif.” Selama beberapa dekade terakhir ini, seksio sesarea telah menjadi suatu prosedur
operatif yang umum dilakukan, dengan proporsi wanita yang melahirkan melalui seksio sesarea meningkat seiring waktu di semua negara berkembang. Estimasi global
pada 126 negara di sekitar abad ini menunjukan bahwa rata-rata 15 dari proses kelahiran adalah seksio sesarea, meskipun dengan variasi yang berbeda di setiap
wilayah maupun negara Betran et al., 2007. Dari tahun 1970 sampai tahun 2007, frekuensi kelahiran dengan seksio sesarea di Amerika Serikat meningkat dari 4.5
per kelahiran total menjadi 31.8 per kelahiran total Hamilton et al., 2009; MacDorman et al., 2008. Pada tahun 2007, 30.9 wanita Australia melahirkan
dengan metode seksio sesarea, yang telah meningkat dari 21 pada tahun 1998 Laws, 2009.
Di Eropa, frekuensi seksio sesarea bervariasi, dengan frekuensi 15 di Norwegia dan Belanda, sekitar 17 di Swedia dan Finlandia, dan 37.8 di Italia Zeitlin,
2013. Di Inggris, frekuensi seksio sesarea secara keseluruhan sedikit lebih rendah, mendekati 25 per kelahiran total dari tahun 2007 sampai tahun 2008; akan tetapi
frekuensi ini meningkat sekitar 50 dari tahun 1995 sampai tahun 1996 Department
Universitas Sumatera Utara
of Health, 2009. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, sebanyak 9.8 persalinan dengan metode seksio sesarea dimana
proporsi tertinggi di DKI Jakarta 19.9 dan terendah di Sulawesi Tenggara 3.3, sedangkan di Sumatera Utara berkisar 10-15.
Meningkatnya frekuensi seksio sesarea di negara-negara berkembang dapat dikarenakan oleh adanya penggunaan monitor kardiotokografi secara kontinu selama
persalinan, praktik defensif dan seksio sesarea berulang. Di negara berkembang seperti Nigeria, seksio sesarea primer sebagian besar disebabkan oleh disproporsi
fetopelvik. Festin et al., 2009 ; Ikeako et al., 2009 Sedangkan di Indonesia, seksio sesarea umumnya dilakukan bila ada indikasi medis tertentu, sebagai tindakan
mengakhiri kehamilan dengan komplikasi. Sebuah penelitian meninjau prevalensi seksio sesarea serta indikasinya pada
sembilan rumah sakit di empat negara Asia Tenggara. Indonesia turut berpartisipasi dalam penelitian ini yaitu dua rumah sakit di Yogyakarta menjadi salah satu sampel
penelitian. Hasil penelitian memperlihatkan dari 2.086 persalinan yang dilakukan di dua rumah sakit di Yogyakarta, sebanyak 29,6, yaitu 617 persalinan dilakukan
secara seksio sesarea. Indikasi terbanyak adalah malpresentasi, riwayat seksio sesarea sebelumnya, serta disproporsio fetopelvik Festin et al., 2009.
Menurut Kasdu 2003 dalam Bintang 2008, “Hasil survei yang dilakukan oleh Gulardi dan Basalamah, terhadap 64 rumah sakit di Jakarta pada tahun 1993, tercatat
17.665 kelahiran, dari angka kelahiran tersebut, sebanyak 35,7-55,3 melahirkan dengan operasi sesarea. Sebanyak 19,5-27,3 diantaranya merupakan operasi sesarea
karena adanya komplikasi disproporsi fetopelvik. Berikutnya, operasi sesarea akibat perdarahan hebat yang terjadi selama persalinan sebanyak 11,9-21 dan kelahiran
sesarea karena janin sungsang berkisar antara 4,3-8,7.” Dalam Sibuea 2007 dipaparkan bahwa, “Lagrew, dkk. melaporkan dari satu
rumah sakit di California Amerika Serikat tahun 1998–2004, bahwa ada dua indikasi untuk “seksio sesarea emergensi darurat atau crash cesarean delivery” yang sering
Universitas Sumatera Utara
dijumpai di rumah sakit tersebut, yaitu gawat janin sebesar 78,5 yang didiagnosa pada saat tanda–tanda persalinan belum timbul, dan pada saat persalinan
intrapartum; indikasi kedua adalah tali pusat menumbung sebesar 7,9; sedangkan untuk “seksio sesarea emergensi” indikasi utamanya adalah partus tak maju atau
distosia.” Dari data statistik yang dipaparkan diatas, kita dapat melihat bahwa frekuensi
seksio sesarea semakin meningkat di berbagai belahan dunia meskipun tindakan seksio sesarea memiliki risiko baik selama proses pembedahan, setelah persalinan
maupun kehamilan dan persalinan di kemudian hari yang lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Seperti dikatakan Kasdu 2003, bahwa persalinan
dengan seksio sesarea lima kali lebih berpotensi untuk mengalami komplikasi dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Komplikasi yang paling sering terjadi
oleh karena proses persalinan seksio sesarea adalah perdarahan pasca partus, endometritis, dan infeksi luka DeCherney et al., 2007.
Oleh karena itu, melihat bahwa masih tingginya risiko terjadi komplikasi paska seksio sesarea maka dirasa perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui gambaran
seksio sesarea darurat di RSUD dr. Pirngadi Medan tahun 2013 agar dapat dipahami indikasi-indikasi yang mencetus dilakukannya seksio sesarea darurat beserta
karakteristik ibu dan janin demi menuju pelayanan kesehatan ibu dan anak yang lebih baik.
1.2. Rumusan Masalah