BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Hidrosefalus adalah suatu gangguan pembentukan, aliran, atau penyerapan dari cairan serebrospinal sehingga menyebabkan peningkatan dari volume cairan serebrospinal pada
susunan saraf pusat. Kondisi ini juga dapat disebut sebagai gangguan hidrodinamik dari cairan serebrospinal Rekate, 2009
Jumlah kasus hidrosefalus di dunia cukup tinggi. Di Negara Amerika kejadian hidrosefalus dijumpai sekitar 0,5-4 per 1000 kelahiran hidup Piatt, 2004. Thanman 1984
melaporkan insidensi hidrosefalus antara 0,2- 4 setiap 1000 kelahiran. Di Jepang kejadian hidrosefalus 0,2 per 1000 kelahiran. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Hidrosefalus
infantil; 46 diantaranya adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50 karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4 akibat tumor fossa posterior. Di
Indonesia kasus hidrosefalus mencapai kurang lebih 2 kasus dalam 1000 kelahiran Harsono, 1996.
Kebanyakan pasien hidrosefalus diterapi dengan shunt. Hanya sekitar 25 dari pasien dengan hidrosefalus yang berhasil diterapi tanpa pemasangan shunt. Prinsip dari shunting adalah
untuk membentuk suatu hubungan antara cairan serebrospinal ventrikel atau lumbal dan rongga tempat drainase peritoneum, atrium kanan, pleura.
Dilaporkan sekitar 25-40 malfungsi shunt terjadi pada 1 tahun pertama pemasangan Weprin, 2002. Dari penelitian yang lain didapatkan data bahwa sekitar 30-40 malfungsi
shunt terjadi akibat proses mekanis atau proses infeksi pada tahun pertama pemasangan, dan sekitar 15 kegagalan terjadi pada tahun kedua. Setelah tahun kedua, tingkat kegagalan turun
menjadi 1-7. Hal ini menyebabkan naiknya tingkat mortalitas pasien hidrosefalus menjadi 0,1. Mortalitas terkait malfungsi shunt dijumpai sekitar 1-4 dari total populasi.Piatt, 2004
Agarwwal et al melaporkan,dari 16 malfungsi shunt dilaporkan sebanyak 14 disebabkan oleh infeksi shunt.
Sebanyak 5-8 shunt yang baru ditempatkan dapat menjadi terinfeksi Kestle et al, 2011.
Universitas Sumatera Utara
Infeksi yang terjadi pada shunt dapat menyebabkan timbulnya respon peradangan berupa meningkatnya kadar leukosit, protein, fibrin dan sel pada VP shunt. Brydon, dalam
penelitiannya melaporkan bahwa fibrin, protein, dan leukosit yang meninggi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi pada shunt sehingga terjadi malfungsi shunt.
Gambaran klinis malfungsi shunt sama seperti gambaran klinis hidrosefalus. Disamping itu, dapat dijumpai fluktuasiakumulasi cairan di bawah kulit disepanjang tract VP-shunt,
demam, kulit disepanjang tract yang hiperemis, atau pompa flushing device yang tidak segera kembali.
Kadar sel dan protein cairan serebrospinal sangat menentukan keberhasilan penatalaksanaan hidrosefalus menggunakan VP-Shunt. Sebuah statistik analisis memperlihatkan
bahwa kegagalan akibat pemasangan shunt berhubungan dengan jumlah sel atau kadar protein Foltz and Surtleff, 1963 ; Lorber and Bath, 1974; Wise and Ballard, 1976; Taylor and Petter,
2001. Akan tetapi beberapa penelitian lain menunjukkan hal sebaliknya, bahwa tidak ada
hubungan kadar protein cairan serebrospinal dengan resiko peningkatan malfungsi shunt Brydon and Hayward et al 1996. Ramos dan Kang pada tahun 2008 menemukan malfungsi
shunt yang terjadi tidak berhubungan dengan kadar protein cairan serebrospinal. Oleh karena itu peneliti bermaksud untuk melihat apakah kadar protein cairan
serebrospinal dan jumlah sel cairan serebrospinal berhubungan dengan tingkat kejadian malfungsi VP-Shunt, khususnya pada pasien bedah saraf Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
1.2 Rumusan Masalah