Deteksi antibodi human immunodeficiency virus type=1(HIV-1) pada macaca nemestrina yang diimunisasi dengan vaksin DNA HIV-1 menggunakan teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

(1)

DETEKSI ANTIBODI

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS TYPE-1

(HIV-1)

PADA

M

ACACA NEMESTRINA

YANG DIIMUNISASI DENGAN VAKSIN DNA HIV-1

MENGGUNAKAN TEKNIK

ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY

(ELISA)

FITRIYA NUR ANNISA DEWI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dedicated to my beloved grandpa,

Prof.D r.M r.Prajudi Atmosudirdjo

Prof.D r.M r.Prajudi Atmosudirdjo(Alm.)

(Alm.)

Whose faith in me has uplifted my spirits, kept me strong

and led me to exceed my potential. His ethics and principles

made his grandchildren comprehend the meaning of life

and helped us all to see beyond the trapping of success.


(3)

DETEKSI ANTIBODI

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS TYPE-1

(HIV-1)

PADA

M

ACACA NEMESTRINA

YANG DIIMUNISASI DENGAN VAKSIN DNA HIV-1

MENGGUNAKAN TEKNIK

ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY

(ELISA)

FITRIYA NUR ANNISA DEWI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

ABSTRAK

Fitriya Nur Annisa Dewi / B01400034. Deteksi Antibodi Human Immunodeficiency Virus Type-1 (HIV-1) pada Macaca nemestrina yang Diimunisasi dengan Vaksin DNA HIV-1 Menggunakan Teknik Enzyme -linked Immunosorbent Assay (ELISA). Dibimbing oleh Dr.drh.Joko Pamungkas MSc. dan Dr.drh.Diah Iskandriati.

Human immunodeficiency virus type 1 (HIV-1) diidentifikasi sebagai patogen penyebab penyakit acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Sampai saat ini antiviral belum dapat mengendalikan penyebaran HIV karena HIV memiliki daya mutasi yang tinggi. Untuk menekan penyebaran HIV dikembangkan berbagai jenis vaksin, salah satunya adalah vaksin DNA. Penelitian ini bertujuan melihat respon kebal humoral pada beruk (Macaca nemestrina) setelah diimunisasi dengan vaksin DNA HIV-1, dengan mendeteksi antibodinya.

Sampel dalam penelitian ini berasal dari plasma dua kelompok beruk, yaitu kelompok yang divaksinasi dan kelompok hewan kontrol. Masing-masing kelompok terdiri dari tujuh ekor. Vaksin yang digunakan adalah vaksin DNA HIV-1 subtipe B. Sampel diambil pada prevaksinasi, saat boosting pertama, dua minggu setelah boosting pertama, saat boosting kedua, dua minggu dan empat minggu setelah boosting kedua kemudian dideteksi terhadap antibodi menggunakan teknik enzyme -linked immunosorbent assay (ELISA) tidak langsung.

Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok beruk yang diimunisasi dengan vaksin DNA HIV-1, dideteksi adanya antibodi terhadap protein p24 HIV-1 ditandai dengan kenaikan nilai optical density pada dua minggu setelah booster kedua. Disimpulkan imunisasi menggunakan vaksin DNA HIV-1 dapat menginduksi respon kebal humoral, tubuh membentuk antibodi terhadap p24 HIV-1 dan terdeteksi pada dua minggu setelah booster dengan rFPV-HIV-1 yang kedua meskipun respon tidak selalu seragam pada setiap individu hewan model.


(5)

Fitriya Nur Annisa Dewi / B01400034.Detection of Human Immunodeficiency Virus Type-1 (HIV-1) Antibody by Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) Method in Macaca nemestrina Immunized with HIV-1 DNA Vaccine

Human immunodeficiency virus type-1 (HIV-1) is the ethiological cause of acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). Developing a cure for AIDS remains difficult because HIV has the ability to mutate rapidly which can easily cause resistancy. One of the vaccines being developed currently against HIV-1 is HIV-1 DNA Vaccine.

This study was conducted to understand the humoral immune response of Macaca nemestrina (pig-tailed macaques) after immunization with HIV-1 DNA vaccine, by observing the antibody detected. The samples used were plasmas from two groups of M. nemestrina; the vaccinated group and the control group. Each group consisted of seven animals. The vaccine used in this study was B clade HIV-1 DNA vaccine. The samples were taken on prevactination, day of first boosting, two weeks post-boosting, day of second boosting, two and four weeks post second boosting. Samples were detected for antibody to HIV-1 p24 protein using an indirect enzyme -linked immunosorbent assay (ELISA) method.

The results revealed that the animal vaccinated group showed detected antibodies to HIV-1 p24 protein in which the optical density values increased two weeks after the second boost. These results concluded that immunization with HIV-1 DNA vaccine induced the humoral immune response, showed by the detected HIV -1 p24 antibody two weeks after the second boost with HIV-1 rFPV.

DETEKSI ANTIBODI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS TYPE-1 (HIV-1) PADA M ACACA NEMESTRINA


(6)

MENGGUNAKAN TEKNIK ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT

ASSAY (ELISA)

FITRIYA NUR ANNISA DEWI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(7)

Judul Skripsi : Deteksi Antibodi Human Immunodeficiency Virus Type-1 (HIV-1) Pada Macaca nemestrina Yang Diimunisasi Dengan Vaksin DNA HIV-1 Menggunakan Teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Nama : Fitriya Nur Annisa Dewi NRP : B01400034

Disetujui,

Dr. drh. Joko Pamungkas, MSc. Dr. drh. Diah Iskandriati

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Diketahui, Wakil Dekan FKH-IPB

Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS. NIP. 131.129.090

Tanggal Lulus : 3 Februari 2006


(8)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada 25 Juni 1982 dari ayah dr. Bagja Waluya Hardiwinangun dan ibu drh. Wiwiek Bagja. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.

Penulis menamatkan pendidikan di SD Perguruan Cikini Jakarta tahun 1993 dan SMP Perguruan Cikini Jakarta tahun 1997. Pada tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri 8 Jakarta kemudian diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Insititut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Anatomi Veteriner periode 2001/2002 dan aktif sebagai ketua organisasi Himpunan Minat Profesi Satwa Liar. Pada tahun 2003 penulis meraih peringkat pertama pada seleksi mahasiswa berprestasi (Mawapres) Fakultas Kedokteran Hewan IPB, serta peringkat kelima pada seleksi Mawapres tingkat IPB. Selain itu penulis berkesempatan mengikuti program pertukaran mahasiswa ke University of Miyazaki, Jepang selama satu tahun pada Januari-Desember 2004.


(9)

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat memperoleh gelar sarjana kedokteran hewan.

Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah perjalanan panjang yang tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya pada:

1. Dr. drh. Joko Pamungkas MSc. dan Dr. drh. Diah Iskandriati sebagai dosen pembimbing, atas segala ilmu, keterampilan, inspirasi, nasehat, saran, kritik dan kesabarannya dalam membimbing penulis.

2. Kepala Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB dan Kepala Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi PSSP LPPM-IPB serta Prof. drh. Dondin Sajuthi PhD., yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi bagian dalam penelitian ini.

3. drh. Ekowati Handharyani MS, PhD sebagai ketua tim penguji ujian akhir karya ilmiah atas saran dan masukan yang diberikan

4. Rachmitasari Noviana SKH, Silmi Mariya SSi, Uus Saepuloh SSi, Susanti Dyah SKH dan Dra.Maryati Surya MS., atas segala bimbingan keterampilan laboratorium yang diberikan, serta berbagai saran dan dukungannya selama penelitian dan penyusunan skripsi. Juga kepada Kak Dede, Kak Esther, Estero, Mba Isti, Mba Tya dan Teh Dewi yang turut mendukung sampai skripsi ini dapat selesai.


(10)

5. Drh. Yasmina Paramastri SP1. beserta staf Laboratorium Fasilitas Hewan Penelitian PSSP LPPM-IPB atas segala ilmu dan saran yang diberikan. 6. Orang tua, keluarga dan orang-orang terdekat penulis, yang senantiasa

memberikan perhatian, kasih sayang, semangat, motivasi dan doa tanpa henti, kapanpun dan dimanapun penulis berada.

7. Sahabat-sahabat (Dewi, Novie, Diah, Winie, Tyas, Ledi, Santoso, Kamto dan Agung), Astrini, Anggie dan Sadat serta keluarga besar Apidae 37 atas segala bentuk bantuan, dukungan, hiburan dan semangat, sejak penulis menjalani penelitian hingga skripsi ini dapat selesai.

8. Riana, Pipit Pane, Hellen, Nia, Lia, Kaka, Elies, Fita dan Suindra atas kekompakannya menjadi tim suksesi skripsi satu sama lain.

9. Keluarga besar Himpro Satwa Liar dan tim basket putri FKH IPB atas semangat, kebersamaan dan hiburan yang diberikan selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna dan terdapat banyak kekurangan di dalamnya, namun penulis tetap berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Januari 2006


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA……… i

DAFTAR ISI ……… iii

DAFTAR TABEL ……… v

DAFTAR GAMBAR ……… vi

DAFTAR LAMPIRAN ……… viii

I. PENDAHULUAN ………. 1

1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Tujuan ……… 3

1.3. Manfaat ……… 3

1.4. Hipotesis ……… 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ………... 4

2.1. Kekebalan Humoral ……… 4

2.2. Human Immunodeficiency Virus ……… 5

2.3. Vaksin DNA HIV-1 ……… 12

2.4. Macaca nemestrina………. 15

2.5. Teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay ………... 17

III. BAHAN DAN METODE ……… 20

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ……… 20


(12)

3.3. Vaksin ……… 20

3.4. Reagensia dan Bahan Habis Pakai ………. 21

3.5. Alat ……….. 21

3.6. Metode Penelitian ………. 21

3.6.1.Program Vaksinasi ………. 22

3.6.2. Koleksi Sampel ……… 23

3.6.3. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)………..…….. 25

3.6.4. Analisis Hasil ELISA ………. 26

IV. HASIL PENELITIAN ……… 27

4.1. Kontrol Positif dan Negatif ……… 27

4.2. Kelompok A ……… 27

4.3. Kelompok B ……… 29

V. PEMBAHASAN ………. 32

VI. SIMPULAN DAN SARAN ……….. 36

6.1. Simpulan ……… 36

6.2. Saran ……….. 36

DAFTAR PUSTAKA ……….. 38


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Protein yang disandi oleh gen HIV-1 dan fungsinya (sumber:

Kuby, 1992) ……….. 11

2 Daftar Identitas Macaca nemestrina (nomor tato) kelompok A (kelompok yang divaksinasi) dan kelompok B (kelompok kontrol)……… 23

3 Jadwal vaksinasi priming dan boosting pada hewan kelompok A dan B ………... 23

4 Jadwal pengambilan darah yang digunakan untuk uji ELISA... 24

5 Rumus perhitungan nilai Optical Density (OD) ……… 26

6 Nilai Optical Density Kelompok A ………... 28


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Pola distribusi geografik subtipe HIV-1 di seluruh dunia

sampai tahun 2003 (sumber: Perrin 2003)……… 7

2 Struktur virion HIV-1. Partikel lengkap HIV-1 memiliki komponen amplop, matriks dan inti (sumber: Robinson 2002) ……….. 10

3 Siklus hidup HIV dalam tubuh (sumber: Abbas dan Lichtman 2000) 12

4 Satwa primata Macaca nemestrina usia pradewasa (sumber:

Pusat Studi Satwa Primata 2003) ……….. 17

5 Skema uji ELISA tipe tidak-langsung (sumber:Goldsby et al.2000) 19

6 Skema desain penelitian disajikan secara ringkas dalam gambar.. 22

7 Jadwal vaksinasi dan pengambilan darah disajikan secara

sekuensial……… 24

8 Sumur lempeng ELISA. Warna kuning yang semakin tua menandakan nilai OD yang semakin besar ……….. 27

9 Pola induksi respon kebal humoral berupa pembentukan antibodi p24 HIV-1 pada kelompok A yang divaksinasi DNA HIV-1 serta diboosting dengan rFPV-HIV. Terjadi kenaikan nilai OD pada dua minggu pasca booster kedua ... 28

10 Respon antibodi p24 HIV-1 pada kelompok B (kelompok kontrol) yang diberi placebo berupa vektor plasmid DNA dan FPV tanpa introduksi gen HIV. Nilai OD cenderung rendah sebelum maupun sesudah divaksinasi... 30


(15)

11 Grafik rataan nilai OD kelompok A dan B yang menggambarkan kadar antibodi p24 HIV-1 yang dideteksi dengan ELISA. Pada kelompok A yang divaksinasi, terjadi induksi respon kebal

humoral terhadap HIV-1 terlihat dari kenaikan kadar antibodi pada dua minggu pasca booster kedua ... 31


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Persetujuan pelaksanaan penelitian oleh Komisi Pengawasan Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitiandan Pemberdayaan

Masyarakat- IPB (PSSP LPPM- IPB)... 42

2 Data penelitian Pamungkas (2005) menunjukkan respon kebal seluler pada vaksinasi DNA HIV-1 dengan vektor rFPV

muncul satu minggu setelah booster pertama... 43


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan salah satu retrovirus

yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan menyebabkan serangkaian sindroma yang dikenal dengan AIDS (acquired immunodeficiency

syndrome). AIDS ditandai dengan berbagai gejala klinis akibat imunodefisiensi

berat yang memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik (Kuby 1992; Goldsby et

al. 2000). Kejadian AIDS ditemukan di seluruh dunia dengan angka kematian

tertinggi di Afrika (Kent 2001). Sampai saat ini penderita AIDS telah berjumlah lebih dari 42 juta jiwa dan terus bertambah dengan kecepatan 15.000 pasien per hari. Total lebih dari 20 juta jiwa telah meninggal karena AIDS dan diperkirakan akan ada sekitar 5,3 juta individu yang terinfeksi HIV setiap tahunnya (Utama 2003; Iskandriati 2004). Jika tidak ada penyelesaian terhadap epidemi ini, HIV akan terus membahayakan kehidupan individu, komunitas dan negara bahkan dapat mengakibatkan kerugian besar bagi ekonomi dunia.

Tubuh manusia secara alami memiliki sistem pertahanan terhadap kehadiran benda asing. Kehadiran virus dalam berbagai kejadian penyakit viral dapat diatasi oleh sistem kekebalan sehingga infeksi tidak berkepanjangan. Pada individu terinfeksi HIV -1, respon kebal yang terjadi tidak mampu mengatasi infeksi. Hal ini karena HIV memiliki daya mutasi yang luar biasa, infeksinya bersifat laten dan virus ini mampu menghancurkan sel Limfosit T-helper (Girard

1993; Shen dan Siliciano 2001).

Kejadian AIDS masih sangat sulit diatasi karena sampai saat ini belum ditemukan metode yang tepat untuk mencegah dan mengobati infeksi HIV. Dalam beberapa tahun terakhir di negara-negara maju telah berkembang


(18)

berbagai metode pengobatan. Namun selain harganya yang masih cenderung mahal, obat-obatan ini beresiko menyebabkan toksi ksitas jangka panjang. Selain itu, virus HIV mudah menjadi resisten terhadap obat (Kent 2001; Montefori 2001). Sebagai alternatif dari pengembangan obat, saat ini berbagai penelitian vaksin dilakukan agar dapat ditemukan suatu vaksin yang aman dan efektif untuk mencegah infeksi HIV dan penyebaran penyakit AIDS (Goldsby et al. 2000).

Berbagai jenis vaksin HIV telah diteliti sejak pertengahan 1980-an. Untuk menghasilkan respon kebal yang efektif, selama ini vaksin dikembangkan untuk mampu menghasilkan antibodi yang dapat menetralisir virus (induksi kekebalan humoral). Namun kemampuan mutasi HIV-1 terutama pada komponen amplopnya menyebabkan antibodi yang dihasilkan tubuh sulit melakukan netralisasi. Sehubungan dengan hal tersebut, pengembangan vaksin terhadap HIV-1 kemudian lebih difokuskan untuk menginduksi kekebalan berperantara sel (kekebalan seluler) berupa aktivasi Cytotoxic T-Lymphocyte (CTL) yang lebih

baik.

Robinson (2002) menekankan perlunya pendekatan yang unik dan khusus dalam pengembangan pembuatan vaksin HIV-1. Salah satu vaksin yang sedang dikembangkan dan dianggap sangat menjanjikan untuk pencegahan HIV saat ini adalah vaksin DNA (Goldsby et al. 2000; Baltimore 2002). Vaksin DNA memilik rute dan metode vaksinasi yang berbeda dengan vaksin jenis lain. Hal ini dapat mempengaruhi pemaparan antigen pada sistem kekebalan (Simmonds et

al.1996) sehingga diharapkan dapat menghasilkan respon kebal yang berbeda

pula. Meskipun vaksinasi menggunakan vaksin DNA HIV-1 diutamakan untuk menginduksi kekebalan seluler, namun diharapkan respon kebal humoral berupa pembentukan antibodi HIV-1 dapat terjadi.


(19)

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah melihat respon kebal humoral yang dihasilkan setelah imunisasi dengan vaksin DNA HIV -1 pada hewan model Macaca nemestrina melalui teknik enzyme -linked immunosorbent assay (ELISA).

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi tambahan bukti mengenai induksi respon kebal hasil imunisasi vaksin DNA untuk mengembangkan vaksin DNA HIV-1 selanjutnya.

1.4. Hipotesis

Pada Macaca nemestrina yang divaksinasi dengan vaksin DNA HIV-1

dan dibooster dengan vaksin rekombinan FowlpoxVirus (rFPV-HIV) akan


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kekebalan Humoral

Lingkun gan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur patogen yaitu bakteri, virus, jamur, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada manusia normal umumnya berlangsung singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki suatu sistem yang disebut sistem kekebalan yang memberikan respon dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen tersebut (Kresno 2001). Pada dasarnya respon kebal bekerja atas dua akitivitas, yaitu pengenalan (recognition) yang bersifat spesifik dan respon efektor yaitu penghancuran atau

netralisasi organisme setelah dikenali (Kuby 1992; Goldsby et al. 2000).

Respon kebal dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kekebalan humoral dan kekebalan berperantara sel (seluler). Kekebalan humoral melibatkan interaksi sel B dengan antigen beserta proses proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B menjadi sel-sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi merupakan molekul imunoglobulin yang dihasilkan oleh sel limfosit B sebagai respon terhadap adanya protein atau karbohidrat asing (antigen) di dalam inang vertebrata (Mahy 1997). Antibodi berfungsi sebagai molekul efektor dalam respon kebal humoral dengan berikatan dengan antigen kemudian menetralisasi atau memfasilitasi eliminasinya (Kuby 1992; Goldsby et al. 2000).

Sel B (Limfosit B) dihasilkan oleh sumsum tulang dan bersirkulasi di aliran darah, cairan limfe ataupun tersimpan di berbagai organ limfoid. Interaksi antara sel B dengan antigen akan menyebabka n aktivasi, proliferasi dan diferensiasi sel B tersebut. Proses dimulai saat antigen berikatan dengan molekul membran pada sel B. Sebagian dari antigen yang terikat pada reseptor mengalami


(21)

endositosis. Setelah antigen diproses, sel B akan memaparkan peptida-peptida antigen yang berikatan dengan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II

pada membran sel. Sel T-helper yang spesifik terhadap kompleks antigen-MHC

kemudian berikatan dan mensekresikan sitokin. Sitokin akan menstimulasi proses pembelahan dan diferensiasi sel B. Sel B yang teraktivasi mengalami pembelahan terus menerus selama lebih kurang lima hari lalu berd iferensiasi menjadi sel memori dan sel plasma yang mensekresikan antibodi (Goldsby et al.

2000).

Antibodi yang spesifik terhadap permukaan virus sangat diperlukan untuk mencegah penyebaran virus saat infeksi akut dan melindungi tubuh terhadap reinfeksi. Sebagian besar virus menggunakan molekul reseptor di permukaannya untuk menempel pada membran sel inang. Jika terbentuk antibodi terhadap molekul reseptor tersebut, maka binding antara virus dengan inang akan

terhambat sehingga infeksi tidak terjadi (Kuby 1992; Goldsby et al. 2000).

2. 2. Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Retrovirus merupakan virus golongan Ribonucleic Acid (RNA) beramplop

dan terbagi menjadi dua bagian utama berupa amplop dan komponen inti (Constantine et al. 1992). Klasifikasi virus lama dalam Mann (1996) membagi famili Retroviridae menjadi tiga sub-famili yaitu Lentivirinae, Oncovirinae dan

Spumavirinae. Human Immunodeficiency Virus (HIV) bersama dengan Simian

Immunodeficiency Virus (SIV), Feline Immunodeficiency Virus (FIV), Bovine

Immunodeficiency Virus (BIV), virus Visna-Maedi, infectious equine anemia virus

dan caprine arthritis-encephalitis virus termasuk dalam sub-famili Lentivirinae.

Berdasarkan International Committee on Taxonomy of Viruses (ICT V)

tahun 2000, klasifikasi famili Retroviridae disempurnakan menjadi tujuh genus yaitu Alpharetrovirus, Betaretrovirus, Gammaretrovirus, Deltaretrovirus,


(22)

Epsilonretrovirus, Lentivirus dan Spumavirus. HIV dan virus-virus yang

sebelumnya termasuk subfamili Lentivirinae kini tergabung dalam genus

Lentivirus.

Klasifikasi HIV dalam ICTV (2000) adalah sebagai berikut: Famili: Retroviridae

Genus: Lentivirus

Subgrup: Primate lentivirus

Spesies: Human Immunodeficiency Virus type 1

Human Immunodeficiency Virus type 2

HIV terdiri dari dua tipe yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua virus ini menyebabkan gejala yang serupa yaitu imunodefisiensi, namun antigenitas HIV-2 tidak seganas HIV-1. Selain genomnya yang berbeda, penyebaran HIV-1 adalah di seluruh dunia sedangkan HIV-2 endemik di Afrika Barat (Constantine et

al, 1992). HIV-1 terbagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan sekuen basa

yang menyandi pembentukan komponen proteinnya (gp 120) (Levinson dan Jawetz 2000). Subtipe HIV atau dikenal juga dengan istilah clade, diklasifikasi kan

menjadi tiga kelompok yaitu M (Major), O (Outlier) dan N (bukan M ataupun O).

Sembilan puluh lima persen dari virus HIV di dunia termasuk dalam kelompok M, yaitu subtipe A, B, C, D, F, G, H, J dan K (Freed dan Martin 2001; Pamungkas 2005).


(23)

Gambar 1. Pola distribusi geografik subtipe HIV-1 di seluruh dunia sampai tahun 2003 (sumber: Perrin 2003)

HIV-1 adalah virus RNA berbentuk ikosahedral dan beramplop yang hidup dengan menginfeksi dan membunuh sel limfosit T-helper. HIV

menyebabkan timbulnya gangguan pada kekebalan seluler tubuh dan memudahkan terjadinya infeksi oportunistik. Rangkaian sindroma yang disebabkan oleh infeksi HIV-1 dikenal dengan istilah AIDS. Transmisi virus ini melalui cairan tubuh (darah dan semen) serta menular secara transplasental dan perinatal (Constantine et al. 1992; Levinson dan Jawetz 2000).

Genom HIV terdiri dari dua tipe gen yaitu gen struktural dan gen regulator. Gen struktural berfungsi dalam pengaturan dan sintesis protein yang akan membentuk karakteristik fisik dan morfologi virus, sedangkan gen regulator akan mengatur aktivitas virus seperti produksi ensim, replikasi dan lain-lain. Pembentukan struktur antigen dalam sel inang disandi oleh tiga gen utama yaitu gag, env dan pol (Kuby 1992; Goldsby et al. 2000).

Secara struktural, HIV terdiri dari dua bagian utama yaitu amplop dan inti. Komponen amplop bagian luar berupa penonjolan (spikes/knobs) yang keluar


(24)

dari membran lipid ganda, berperan dalam perlekatan virus pada sel inang saat infeksi. Amplop mengandung protein berupa glikoprotein permukaan gp120 dan glikoprotein transmembran gp41. Gen env menyandi pembentukan molekul

prekusor gp160 menjadi gp120 dan gp41 (Constantine et al. 1992; Kuby 1992;

Levinson dan Jawetz 2000).

Komponen inti terdapat dibawah lapisan membran, terikat oleh protein serta melapisi dua rantai RNA yang identik. Gen gag menyandi pembentukan

protein gag yang merupakan protein komponen inti. Protein gag yang paling penting adalah p55, p24, p17 dan p15. Protein p55 merupakan molekul prekursor yang muncul di awal infeksi dan akan membangun protein inti lainnya. Protein p17 merupakan protein yang berlokasi di matriks antara amplop dan inti. Protein yang menyusun kapsid inti dan menyelimuti asam nukleat adalah p15 dan p24. Selain itu terdapat pula protein lain yang turut menyusun inti HIV-1 yaitu p9 dan p7 (Constantine et al. 1992; Levinson dan Jawetz 2000; Goldsby et al. 2000).

Selain melapisi rantai RNA, inti memiliki ensim reverse transcriptase,

integrase dan protease. Reverse transcriptase berfungsi merubah RNA virus

menjadi DNA, integrase berfungsi mengintegrasikan DNA virus dengan DNA sel

inang dan protease berfungsi dalam menggertak protein prekursor membentuk

protein lain. Pembentukan protein penyusun ensim-ensim ini disandi oleh gen pol . Ensim reverse transcriptase tersusun dari protein p64 dan p5, protease dari p10

dan integrase dari p32 (Constantine et al. 1992; Levinson dan Jawetz 2000).

Selain ketiga gen struktural yang penting tadi, terdapat pula gen-gen regulator. Gen tat berfungsi menyandi p14 yang akan menggertak transkripsi

genom virus (mungkin juga genom sel inang). Gen rev berfungsi dalam

mengendalikan mRNA melalui produksi p19, gen vif menyandi p23 yang

mempengaruhi infektivitas virus, gen vpr menyandi p15 yang merupakan faktor


(25)

partikel atau komponen virus(Constantine et al. 1992; Kuby 1992; Goldsby et al.

2000). Terdapat pula gen nef yang menurut Levinson dan Jawetz (2000)

berperan bersama gen tat dalam menekan sintesis MHC kelas I sehingga

menurunkan kemampuan CTL membunuh sel terinfeksi HIV. Selain itu menurut Constantine et al. (1992) nef merupakan regulator negatif yang akan membatasi

replikasi virus melalui pembentukan p27. Genom HIV-1, protein komponen virus dan fungsinya disajikan secara ringkas pada tabel 1.

HIV-1 menempel pada sel limfosit T inang melalui mekanisme kompleks yang melibatkan komponen amplop bagian luar dan reseptor CCR5 atau CXCR4 pada protein CD4 sel inang. Selain pada limfosit T, HIV juga dapat menginfeksi makrofag, antara lain sel glia pada otak. Amplop virus akan melakukan fusi atau penggabungan dengan membran sel, kemudian virus masuk kedalam sel inang. Pada stadium ini, individu dinyatakan terinfeksi HIV-1 (Constantine et al. 1992;

Goldsby et al. 2000). Di dalam sel inang, RNA ditranskripsi balik menjadi DNA

dan berintegrasi dengan DNA sel inang membentuk provirus. Ensim yang berperan dalam proses ini adalah reverse transcriptase HIV dan ensim

ribonuklease dari inang. Provirus dapat berada dalam periode laten yang lama bahkan bisa mencapai 10 tahun dan individu tidak menunjukan gejala sakit. Dalam periode laten, repl ikasi dan maturasi virus tetap berlangsung dalam jumlah yang sangat rendah atau tidak berlangsung sama sekali. Provirus dalam sel inang ikut menyebar ke sel anaknya seiring dengan replikasi genom sel inang saat mitosis. Ketika fase laten berubah menjadi fase litik, replikasi dan maturasi virus akan meningkat drastis dan menekan jumlah sel T CD4+ (Kuby 1992). Faktor-faktor penyebab berkembangnya fase laten menjadi fase litik ini masih diselidiki. Beberapa peneliti menduga bahwa aktivasi HIV tersebut disebabkan oleh sinyal-sinyal yang berperan dalam aktivasi sel T (Kuby 1992). Menurut Mann (1996) selain aktivasi sel T, ternyata beberapa jenis sitokin, cekaman yang


(26)

dialami sel (misalnya karena logam berat, sinar UV, serangan panas atau radikal bebas), serta virus seperti cytomegalovirus, Herpes simplex, Hepatitis B, Human

T cell Leukemia Virus turut mengaktivasi HIV dari fase latennya. Setelah provirus

teraktivasi, terjadi transkripsi DNA menjadi mRNA kemudian mRNA ditranslasikan menjadi protein-protein komponen penyusun virus dan membentuk virus baru (Kuby 1992; Abbas dan Lichtman 2000).

Komponen yang penting pada HIV-1 adalah gp120, gp 41 dan p24. Antigenitas HIV-1 sangat ditentukan oleh gp120 dan gp41 karena kedua glikoprotein tersebut berperan dalam interaksi dengan reseptor CD4 pada permukaan sel inang. Protein gp41 merupakan mediator dalam penyatuan amplop virus dengan membran sel inang saat terjadi infeksi. Protein p24 berlokasi di inti virus. Antibodi spesifik p24 tidak mampu menetralisasi virus, tetapi jika muncul merupakan suatu parameter terjadinya infeksi oleh HIV (Levinson dan Jawetz 2000).

Gambar 2. Struktur virion HIV-1. Partikel lengkap HIV-1 memiliki komponen amplop, matriks dan inti (sumber : Robinson 2002 )


(27)

Tabel 1. Protein yang disandi oleh gen HIV-1 dan fungsinya (sumber: Kuby 1992)

Gen Produk Protein Fungsi akhir

Gag 53-kD prekursor (P5 3)

p17, p24, p9 & p7

Protein nukleokapsid inti

p17 :berkaitan dengan permukaan dalam amplop

p24: membentuk lapisan dalam nukleokapsid

p9: komponen nukleoid inti

p7:berikatan langsung dengan genom RNA

Env 160 –kD precursor (gp160)

gp120 & gp41

Glikoprotein amlop

gp120 :menonjol dari amplop, menempel pada

CD4

gp41: protein transmembran,memiliki komponen untuk menempel pada sel target

Pol Prekursor

P64, p51, p10, & p32

Ensim

P64, p51 : fungsi reverse transcriptase; p64 juga

sebagai RNAase

P10: fungsi protease P32: fungsi integrase

Vif P23 Memacu infektivitas virion bebas

Vpr P15 Mengaktivasi proses transkripsi secara lemah Tat P14 Mengaktivasi transkripsi secara kuat

Rev P19 Meng endalikan proporsi mRNA untuk protein

struktural dan regulat or

Nef P27 Tidak memiliki fungsi regulatoris yang spesifik


(28)

Gambar 3. Siklus hidup HIV dalam tubuh (sumber: Abbas dan Lichtman 2000)

2. 3. Vaksin DNA HIV-1

Vaksinasi merupakan metode introduksi suatu zat ke dalam tubuh manusia atau hewan dan substansi yang dikandungnya tidak lagi mampu menyebabkan penyakit tetapi masih mampu menstimulasi sistem kekebalan tubuh layaknya infeksi alami suatu patogen (Tortora et al. 2001). Meskipun

banyak kendala yang dihadapi dalam pengembangannya, vaksin HIV sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya infeksi (Dale et al. 2000; Kent et al. 2001;


(29)

Vaksin untuk HIV sulit dikembangkan karena HIV memiliki keunikan yang menyebabkan virus mampu berkembang dan me ngelabui daya kerja antibodi (Baltimore 2002). Subtipe HIV-1 yang bervariasi menyulitkan antibodi untuk melakukan netralisasi virus (Girard 1993; Ramshaw et al. 2002; Gaschen et al.

2002).

Teknologi vaksin untuk pencegahan AIDS telah berkembang dari tahun ke tahun dengan menghadapi berbagai kesulitan. Beberapa hal mendasar yang masih menjadi pertanyaan adalah mengenai keamanan vaksin serta variasi virus yang sangat beragam (Girard 1993; Joy et al.1999).

Seperti halnya vaksin virus lain, usaha pengembangan vaksin HIV selama ini mengacu pada stimulasi antibodi. Vaksin HIV selal u diusahakan untuk “aman” dengan tidak menginfeksi sel, namun ternyata tidak diperoleh hasil yang memuaskan. Meskipun transfer pasif antibodi dosis tinggi dari individu terinfeksi kepada hewan model terbukti dapat mencegah transmisi HIV, kenyata annya antibodi yang mampu menetralisir HIV tetap sulit diinduksi melalui vaksinasi (Joy et al. 1999; Kent 2001). Suatu fakta yang menarik adalah vaksin yang

menginduksi respon kebal seluler terutama sel limfosit T spesifik HIV (bukan antibodi) ternyata mampu menghambat replikasi HIV pada hewan model. Vaksin yang menginduksi respon ini mengharuskan adanya infeksi HIV pada sel inang guna menstimulir respon kebal tersebut (Kent et al. 1998; Kent 2001). Untuk

menginduksi respon kebal seluler yang aman dan efisien terhadap HIV, dicoba jenis vaksin baru berupa vaksin DNA dan vaksin yang memanfaatkan live-virus

sebagai vektornya (Joy et al. 1999; Kent 2001; Baltimore 2002).

Vaksin DNA merupakan jenis vaksin berupa plasmid DNA suatu virus yang dimasukkan ke dalam tubuh menggunakan virus vektor (pembawa) atau secara langsung menggunakan gene gun (Simmonds et al. 199 6). Cara


(30)

(ID), intravena dan intraperitoneal serta skarifikasi epidermis, per oral, intranasal dan vaginal. Metode imunisasi DNA yang paling umum dipelajari dalam berbagai studi selama ini adalah IM dan ID. Vaksinasi DNA dengan kedua metode ini telah terbukti mampu menginduksi respon kebal terhadap antigen yang dibawanya (Gurunathan et al. 2000).

Keuntungan dari penggunaan vaksin DNA adalah vaksin mampu menginduksi respon kebal yang sama seperti respon terhadap kehadiran patogen asli, hal ini karena antigen dari vaksin dipaparkan pada sel inang dalam bentuk sebenarnya. Selain itu antigen yang terpapar lebih lama memungkinkan bagi terjadinya pembentukan memori (Goldsby et al . 2000). Dari berbagai studi

yang dilakukan, vaksin DNA telah terbukti mampu menstimulir respon kebal humoral maupun seluler terhadap berbagai antigen, namun belum cukup optimal untuk memproteksi terhadap HIV (Goldsby et al. 2000; Gurunathan et al. 2000),

Maka kemudian dikembangkan berbagai regimen alternatif untuk menggertak respon kebal terhadap HIV. Regimen yang umum digunakan antara lain adalah protein rekombinan ataupun virus Pox (Gurunathan et al. 2000).

Pendekatan penggunaan vaksin DNA yang cukup menjanjikan untuk meningk atkan kekebalan seluler terhadap HIV adalah melalui metode imunisasi prime -boost, yaitu priming dengan DNA HIV dan digertak (boosting) menggunakan vaksin rekombinan virus Fowl pox (Kent et al. 1998; Robinson et al.

2000; Amara et al. 2001). Pada penggunaan rekombinan virus Pox sebagai

booster, kompetisi antara antigen vaksin HIV dan antigen vektor dalam

menginduksi kekebalan akan minimal karena memori terhadap antigen vaksin lebih dominan daripada memori terhadap vektor (Robinson et al . 2000). Dari

beberapa studi yang membandingkan proto kol vaksinasi HIV, hewan coba yang divaksinasi DNA dan dibooster dengan rFPV menunjukkan hasil uji-tantang yang


(31)

2. 4. Macaca nemestrina

Dalam ordo primata dikenal tiga klasifikasi besar yaitu sub-ordo prosimians, tarsioidea, dan anthropoidea. Hewan yang tergolong prosimians

adalah lemur dan loris. Hewan yang termasuk dalam sub-ordo Tarsioidea adalah

tarsius. Sub-ordo Antrhopoidea terbagi menjadi dua infra-ordo; platyrrhini yaitu

monyet-monyet dunia baru serta catarrhini yang terdiri dari monyet dunia lama,

kera dan manusia. Pembagian monyet dunia baru dan dunia lama didasarkan kepada beberapa perbedaan morfologis dan fungsi alat tubuh. Salah satu famili yang termasuk dalam catarrhini adalah cercopithecidae yang beranggotakan

hewan-hewan dari genus Macaca (Napier dan Napier 1985).

Selain manusia, Macaca merupakan primata yang penyebarannya paling

luas. Berbagai spesies Macaca dapat dijumpai di Moroko, Algeria, Gibraltar,

Afganistan, India, Cina, Jepang dan sepanjang Asia Tenggara (Filipina, Sumatera, Jawa dan Sulawesi). Genus ini sering digunakan sebagai hewan laboratorium di sebagian daerah barat. Tubuh Macaca berukuran sedang.

Ukuran jantan lebih besar daripada betina. Hewan anggota genus ini merupakan hewan arboreal dan terestrial. Makanannya adalah buah-buahan, dedaunan dan invertebrata kecil (Napier dan Napier 1985; Swindler 1998).

Macaca khususnya Macaca nemestrina dan Macaca fascicularis merupakan spesies yang tersebar di Indonesia, yakni Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Bali dan negara di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand (Darusman 2001). Macaca nemestrina yang biasa dikenal dengan

beruk, adalah hewan dengan ciri khas rambut coklat di tubuh bagian atas dan putih di bagian bawahnya. Bagian ujung kepalanya berwarna coklat tua. Ekornya sangat pendek, ramping dan nyaris tak berambut (Rowe 1996).


(32)

Taksonomi Macaca nemestrina dalam Swindler (1998) adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Animalia Filum: Chordata

Kelas: Mamalia Ordo: Primata

Famili: Cercopithecidae

Genus: Macaca

Spesies: Macaca nemestrina

Jenis primata non-manusia, disebut satwa primata, memiliki kedekatan kekerabatan dengan manusia. Keduanya memiliki kondisi fisiologis, biologis dan patologis yang mirip satu sama lain. Satwa primata seringkali merupakan hewan coba yang paling sesuai untuk penelitian dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan tentang manusia. Kekerabatan yang amat dekat menyebabkan satwa primata suseptibel atau peka terhadap berbagai penyakit manusia (Sidik 2001).

Pada primata terdapat penyakit serupa AIDS yang disebut Simian

Adequate Immunodeficiency Syndrome (SAIDS). Penyakit ini disebabkan oleh

virus Simian Retrovirus (SRV) dan SIV, menyerang kekebalan tubuh primata. Gejala klinisnya serupa dengan AIDS pada manusia dan memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik (Kuby 1992). SIV pada Macaca dapat dijadikan

model penelitian untuk menemukan vaksin terhadap HIV (Girard 1993; Lu et al.

1996).

Beberapa primata termasuk beruk ternyata dapat terinfeksi pula oleh HIV, meskipun virus ini tidak akan menyebabkan AIDS (Kuby 1992). Kerentanan beruk terhadap infeksi HIV -1 tidak akan berkembang menjadi imunodefisiensi dan setelah beberapa bulan hanya dapat dideteksi adanya DNA HIV -1, bukan


(33)

RNA ataupun virus HIV-1 yang dapat dikultur (Dale et al. 2000). Karena bersifat

peka terhadap HIV, beruk dapat menjadi hewan model yang tepat untuk kepentingan penelitian biomedis manusia sehubungan dengan AIDS (Kuby 1992). Oleh sebab itu, saat ini Macaca nemestrina banyak diminta oleh

laboratorium medis untuk digunakan dalam penelitian HIV (Rowe 1996).

Gambar 4. Satwa primata Macaca nemestrina usia pradewasa (Sumber: Pusat Studi Satwa Primata 2003)

2. 5. Teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Uji serologis Enzyme-Linked Immunosorbent Assay yang biasa disingkat

ELISA adalah uji kuantitatif yang digunakan untuk pengukuran antigen atau antibodi pada spesimen pasien. ELISA merupakan salah satu teknik immunoassay yang prinsipnya adalah reaksi antigen-antibodi, dapat dideteksi

dengan penambahan konjugat dilabel ensim aktif yang bereaksi dengan substrat menghasilkan warna spesifik (Levinson dan Jawetz 2000)

ELISA terdiri dari beberapa tipe yaitu ELISA tipe tidak langsung, Sandwich ELISA dan ELISA kompetitif. Masing-masing tipe digunakan

tergantung dari tujuan uji yang dilakukan. Untuk deteksi antibodi, tipe yang biasa digunakan adalah ELISA tidak langsung. Uji ELISA ini dapat dilakukan untuk


(34)

memeriksa keberadaan antibodi terhadap HIV (Kuby 1992; Constantine et al.

1992, Levinson dan Jawetz 2000; Goldsby, et al. 2000).

Protokol ELISA tidak langsung dalam Constantine et al. (1992) adalah

sebagai berikut. Antigen (biasanya berupa protein suatu virus yang telah diketahui) dilekat kan dalam sumur pada lempeng polistiren. Selanjutnya sampel ditambahkan ke dalam sumur dan jika sampel mengandung antibodi maka terjadi ikatan antigen-antibodi.

Setelah proses pencucian, konjugat ditambahkan dan di lakukan inkubasi. Konjugat akan berikatan dengan antibodi dan kelebihannya akan terbuang pada pencucian berikutnya. Konjugat biasanya merupakan antibodi yang dilabel dengan ensim, florokrom atau reagen lainnya yang jika bereaksi akan menghasilkan wa rna. Antibodi pada konjugat umunya berupa anti-human

immunoglobulin dan ensim yang biasa digunakan adalah Alkaline phosphatase

atau Horseradish peroxidase. Substrat yang ditambahkan selanjutnya tergantung

pada jenis konjugatnya. Karena substrat bersifat peka terhadap cahaya maka inkubasi dilakukan dalam ruang gelap dan pada suhu ruangan. Jika konjugat bereaksi dengan ikatan antibodi-antigen, ensim dalam konjugat mampu membuat kromogen pada substrat menghasilkan warna. Warna yang dihasilkan dapat dideteksi secara visual maupun diu kur dengan alat seperti spektrofotometer.

Hasil uji ELISA diukur dari optical density (OD) pada panjang gelombang

tertentu. Penentuan hasil uji dilakukan berdasarkan nilai OD kontrol positif, kontrol negatif dan sampel-sampel yang diuji. Titer antibodi sebanding dengan aktivitas ensim (Levinson dan Jawetz2000), semakin kuat warna yang dihasilkan berarti titer antibodi sampel semakin tinggi. Jika antibodi pada sampel sedikit atau tidak ada sama sekali, maka semakin sedikit pula konjugat yang berikatan berakibat pada sedikitnya substrat yang bereaksi sehingga warna yang muncul


(35)

lemah dan nilai OD semakin kecil. Pada ELISA tidak langsung, nilai OD akan sebanding dengan konsentrasi antibodi (Constantine et al. 1992).

Saat ini ELISA biasa digunakan sebagai uji penapisan terhadap HIV dengan Western Blot sebagai uji konfirmatorinya (Constantine et al. 1992;

Goldsby et al. 2000; Kresno 2000).


(36)

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Oktober 2003 bertempat di Fasilitas Hewan Penelitian dan Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Insititut Pertanian Bogor (PSSP LPPM-IPB). Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian kerjasama PSSP LPPM-IPB dengan tim peneliti dari University of Melbourne, Australia.

3.2. Sampel

Hewan coba yang digunakan adalah beruk (M. nemestrina) jantan umur

pradewasa (2-3 tahun) yang berasal dari penangkaran PSSP LPPM-IPB Darmaga. Hewan telah melalui proses seleksi dan karantina sehingga dipastikan termasuk kategori hewan bebas patogen tertentu (specific pathogen free, SPF)

dalam hal ini bebas tuberkulosis dan simian retrovirus (SRV).

Sampel yang digunakan adalah plasma beruk dari kelompok hewan divaksinasi (A) dan kelompok hewan kontrol (B). Sebagai kontrol untuk acuan dalam uji ELISA digunakan serum yang telah diketahui positif dan negatif terhadap HIV-1.

3.3. Vaksin

Kelompok A diberi vaksin DNA HIV-1 berupa plasmid DNA pHIS yang diinsersi gen-gen HIV-1 subtipe B (gag dan pol yang dimodifikasi, rev, tat, vpu,

serta nef dan env yang dipotong) dan booster vaksin rekombinan virus Fowlpox


(37)

berupa plasmid DNA pHIS tanpa gen HIV-1 serta booster berupa virus Fowlpox

(FPV) tanpa sisipan gen HIV -1. Vaksin diaplikasikan melalui rute intramuskular. Seluruh regimen vaksin yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari tim peneliti Laboratorium Vaksin HIV, Departemen Mikrobiologi dan Imunologi, University of Melbourne, Australia yang dipimpin oleh Dr. Stephen J. Kent, MD, MBBS, FRACP.

3.4. Reagensia dan Bahan Habis Pakai

Larutan penyangga borat, larutan penyangga PBS (phosphate buffer

saline), Tween-20, susu tanpa lemak, air tanpa ion, protein p24 HIV-1, kontrol

protein, goat anti-monkey IgG yang dikonjugasikan dengan peroksidase, substrat

TMB (3-3-5-5-tetramethylbenzidine), larutan penyangga phosphate citrate buffer,

H2SO4, jarum suntik, tabung hampa udara berheparin, 96 well ELISA plate.

3.5. Alat

Alat yang digunakan adalah sentrifuse, penangas air 56°C, lemari pendingin suhu 4°C dan suhu -70°C, ELISA microplate reader, microplate washer, micropipettor, biosafety cabinet, pipette tips, vortex, inkubator 37°C.

3.6. Metode Penelitian

Seluruh pelaksanaan kegiatan penelitian secara etika dan moral telah memperoleh persetujuan etik dari Komisi Pengawasan Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Penelitian PSSP-LPPM IPB (Animal Care and Use

Committee, Primate Research Center-Bogor Agricultural University) dengan

nomor persetujuan 03-003-OR tahun 2003 (Lampiran 1).


(38)

Gambar 6. Skema desain penelitian disajikan secara ringkas dalam gambar

3.6.1. Program Vaksinasi

Empat belas ekor beruk dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok A (kelompok hewan yang divaksinasi) dan kelompok B (kelompok kontrol). Masing-masing kelompok terdiri dari tujuh ekor dengan nomor identifikasi tato tertera pada Tabel 2.


(39)

Tabel 2. Daftar Identitas Macaca nemestrina (nomor tato) kelompok A (kelompok yang divaksinasi) dan kelompok B (kelompok kontrol)

Kelompok A Kelompok B

5294 5364 5375 5395 5421 5598 5716 5053 5169 5176 5284 5424 5607 5715

Kelompok A diimunisasi dengan vaksin DNA HIV-1 melalui metode priming DNA HIV-1 dan boosting dengan rFPV-HIV, sedangkan kelompok B

merupakan kelompok kontrol yang diberi placebo. Jadwal vaksinasi pada kedua

kelompok dituliskan pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Jadwal vaksinasi priming dan boosting pada hewan kelompok A dan B

Minggu ke- 0 Minggu ke-4 Minggu ke-8 Minggu ke- 12 Minggu ke-16

Kelompok A DNA HIV-1 DNA HIV-1 DNA HIV-1 Booster I rFPV Booster II rFPV

Kelompok B Plasmid DNA Plasmid DNA Plasmid DNA FPV FPV

3.6.2. Koleksi Sampel

Dilakukan pengambilan darah dengan venesectio pada vena femoralis.

Jadwal koleksi sampel disajikan pada Tabel 4. Hewan terlebih dahulu dianastesi dengan injeksi Ketamin (10-20 mg/kg BB) secara intramuskular. Setelah hewan teranastesi, darah diambil dan dimasukkan ke tabung hampa udara dengan anti koagulan heparin.

Selanjutnya darah di sentrifugasi dengan kecepatan 400 x g (gravitasi). Proses sentrifugasi akan memisahkan plasma dari bagian darah lainnya,


(40)

sehingga terbentuk endapan dan supernatan. Supernatan merupakan plasma yang akan digunakan untuk uji. Sebelum diuji, plasma diinaktivasi dengan pemanasan pada suhu 56°C selama tiga puluh menit. Jika sampel tidak langsung digunakan dapat disimpan pada suhu -70°C untuk selanjutnya digunakan dalam uji ELISA.

Tabel 4. Jadwal pengambilan darah yang digunakan untuk uji ELISA Pengambilan Darah Kelompok A Kelompok B I (Minggu 0) Pre-vaksinasi Pre-vaksinasi II (Minggu ke-12) Boosting pertama dengan rFPV

yang mengekspresikan gen HIV-1

FPV tanpa gen HIV-1

III (Minggu ke-14) Dua minggu pasca boosting pertama

Dua minggu pasca FPV

IV (Minggu ke -16) Boosting kedua dengan rFPV yang menge kspresikan gen HIV-1

FPV tanpa gen HIV-1

V (Minggu ke-18) Dua minggu pasca boosting kedua

Dua minggu pasca FPV

VI (Minggu ke -20) Empat minggu pasca boosting kedua

Empat minggu pasca FPV

Secara sekuensial jadwal vaksinasi dan pengambilan darah disajikan pada gambar 5.

o o o o o o o o o o o o o o

0 4 5 8 9 12 13 14 16 17 18 20 21 22 minggu ↑ ↑ ↑↑ ↑↑ ⇓ ⇓ ⇓ ⇓ ⇓ ⇓ Keterangan :

: Vaksinasi DNA HIV-1/ Plasmid DNA


(41)

Gambar 7. Jadwal vaksinasi dan pengambilan darah disajikan secara sekuensial

3.6.3. Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Uji ELISA yang dilakukan pada penelitian ini adalah ELISA tipe tidak langsung untuk mendeteksi ada tidaknya antibodi terhadap HIV-1 protein p24 yang merupakan protein komponen inti (capsid) HIV-1.

Sebanyak 2µg/ml protein p24 HIV-1 dalam larutan penyangga Borat digunakan untuk melapisi tiap sumur dari lempeng ELISA 96-well. Sebagai

kontrol background digunakan protein yang berasal dari sel tidak terinfeksi

tempat ditumbuhkannya p24 HIV dengan konsentrasi yang sama. Setiap sumur pada lempeng dilapis dengan antigen p24 dan kontrol p24 sebanyak 50µl. Selanjutnya dilakukan inkubasi 18 jam pada suhu 4°C. Kemudian dilakukan pencucian dengan PBS-Tween 0.05% menggunakan ELISA microplate washer

yang dilanjutkan dengan blocking selama dua jam pada suhu 37°C menggunakan larutan penghambat berupa susu tanpa lemak 5% dalam PBS-Tween 0.05% dan setelah itu dicuci kembali. Tujuan blocking adalah mencegah

terjadinya ikatan antara lempeng dengan protein asing yang dapat mengganggu hasil uji.

Sebanyak 50µl (perbandingan 1:400 dalam larutan penghambat) plasma M.nemestrina, kontrol positif antibodi p24 HIV, kontrol negatif p24 HIV

dimasukkan ke dalam setiap sumur dan diinkubasi selama 90 menit pada suhu 37°C. Sebanyak empat sumur tidak diberi penambahan sampel oleh karena optical density (OD) yang dihasilkan aka n digunakan sebagai kontrol konjugat

dalam analisis hasil.

Setelah pencucian, dimasukkan ke dalam masing-masing sumur sebanyak 50µl konjugat goat anti-monkey IgG peroxidase dengan pengenceran 1:1000


(42)

dalam larutan penghambat. Inkubasi dilakukan pada suhu 37°C selama 60 menit dan diikuti dengan pencucian menggunakan PBS-Tween 0,05%.

Tahap akhir uji adalah penambahan substrat berupa TMB yang dilarutkan dalam Phosphate Citrate Buffer sebanyak 50 µl pada setiap sumur dalam kondisi gelap selama 20 menit. Penghentian reaksi dilakukan dengan penambahan larutan H2SO4. Substrat akan bereaksi dengan ensim peroksidase sehingga

chromogen yang dikandung substrat tersebut teroksidasi menghasilkan warna

yang akan dibaca dengan alat ELISA microplate reader pada panjang gelombang

450nm. Hasil pembacaan berupa nilai kepadatan optik (OD) sebagai data numerik yang mempresentasikan kadar antibodi dalam sampel.

3.6.4. Analisis Hasil ELISA

Untuk mendapatkan nilai kepadatan optik atau Optical Density (OD) yang

sesungguhnya digunakan formulasi yang merupakan standar penghitungan empirik di Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, PSSP LPPM-IPB, disajikan dalam tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5. Rumus perhitungan ni lai Optical Density (OD)

OD konjugat kontrol = (OD p24 – OD kontrol p24) pada sumur tanpa sampel OD sampel = (OD sampel pada p24 – OD s ampel pada kontrol p 24) –

OD konjugat control

Analisis hasil diamati secara metode deskriptif dengan menggunakan tabel dan grafik yang menyajikan nilai OD sesungguhnya dari setiap sampel asal hewan coba maupun nilai rataannya.


(43)

IV. HASIL PENELITIAN

Dari uji ELISA yang dilakukan, diperoleh hasil berupa nilai OD setiap individu yang menggambarkan kadar antibodi p24 HIV-1 yang terbentuk dalam tubuh sebelum vaksinasi (minggu ke-0) dan setelah vaksinasi DNA HIV-1.

Gambar 8. Sumur lempeng ELISA. Warna kuning yang semakin tua menandakan

nilai OD yang semakin besar

4.1. Kontrol Positif dan Negatif

Nilai OD kontrol positif HIV dan negatif HIV masing-masing menunjukkan nilai rata-rata 0.430 dan 0.015

4.2. Kelompok A

Kadar antibodi p24 HIV-1 yang terbentuk diukur secara tidak langsung dengan membaca nilai OD dari setiap hewan. Kelompok A terdiri dari hewan-hewan yang divaksinasi DNA HIV-1 dan dibooster rFPV. Nilai OD dari setiap


(44)

-0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

0 12 14 16 18 20

minggu

ke-Kepadatan Optik

5716 5294 5364 5375 5395 5421 5598

Tabel 6. Nilai Optical Density Kelompok A

Minggu ke

0 12 14 16 18 20

5716 -0,021 -0,040 0,270 0,164 0,619 0,507

5294 0,021 0,036 0,045 0,104 0,618 0,373

5364 0,011 0,012 0,025 0,064 0,051 0,034

5375 -0,052 -0,002 -0,005 -0,010 0,022 0,021

5395 -0,003 0,014 0,017 0,015 0,216 0,112

5421 0,021 0,003 0,018 0,061 0,617 0,603

5598 0,006 0,039 -0,022 0,080 0,462 0,310


(45)

Gambar 9. Pola induksi respon kebal humoral berupa p embentukan antibodi p24 HIV-1 pada kelompok A yang divaksinasi DNA HIV-1 serta diboosting dengan rFPV-HIV. Terjadi kenaikan nilai OD pada dua minggu pasca booster kedua.

Nilai OD pravaksinasi sampai dengan minggu ke-16 cenderung tidak berubah, kecuali pada hewan nomor 5716 di minggu ke-14. Pada minggu ke-18 yaitu dua minggu setelah booster rFPV yang kedua, lima dari tujuh sampel

menunjukkan kenaikan nilai OD. Pada grafik dalam gambar 9, terlihat bahwa dari lima sampel tersebut, empat hewan yaitu; 5294, 5421, 5598 dan 5716 mengalami kenaikan nilai OD yang tajam. OD hewan-hewan tersebut mencapai nilai yang lebih tinggi daripada OD kontrol positif. Nilai OD kemudian menunjukkan penurunan kembali pada minggu ke-20.

Respon antar individu ternyata berbeda walaupun mengalami perlakuan vaksinasi yang sama. Hewan 5716 menunjukkan respon antibodi yang berbeda dengan keenam hewan lainnya. Pada dua minggu setelah booster rFPV pertama, hewan ini telah menunjuk kan adanya kenaikan nilai OD sedangkan pada hewan lain tidak demikian. Hewan 5421 memiliki respon yang berbeda pula. Setelah OD hewan menunjukkan nilai 0.617 pada dua minggu pasca booster kedua, pada

minggu ke-20 nilainya hampir tidak berubah yaitu 0.603. Sebaliknya, nilai OD hewan 5364 dan 5375 tidak menunjukkan fluktuasi perubahan setelah vaksinasi maupun booster. Nilai OD sebelum dan sesudah perlakuan tetap rendah yakni


(46)

0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 Kepadatan Optik 5053 5169 5176 5284 5424 5607 5715

Walaupun terdapat perbedaan respon antara tiap individu hewan, namun secara umum terlihat adanya suatu keseragaman pola respon antibodi yaitu antibodi p24 HIV terbentuk dan terdeteksi pada dua minggu pasca booster yang

kedua.

4. 3. Kelompok B

Kelompok B merupakan kelompok kontrol. Hewan dalam kelompok ini diberi plasmid DNA dan FPV, keduanya tanpa ekspresi gen HIV. Nilai OD seluruh hewan kelompok B pada tiap waktu perlakuan disajikan dalam tabel 7 dan gambar 10 berikut ini.

Tabel 7. Nilai Optical Density Kelompok B

Minggu ke

0 12 14 16 18 20

5053 0,033 0,043 0,057 0,070 0,114 0,099

5169 0,045 0,029 0,049 0,020 0,034 0,013

5176 -0,049 -0,007 -0,038 -0,039 -0,051 -0,026

5284 -0,013 -0,002 0,007 -0,002 0,012 0,017

5424 -0,013 0,020 -0,013 -0,002 0,009 -0,005

5607 -0,010 0,025 -0,015 0,064 0,034 0,009

5715 0,027 0,085 0,036 0,171 0,105 0,157


(47)

Gambar 10. Respon antibodi p24 HIV-1 pada kelompok B (kelompok kontrol) yang diberi placebo berupa vektor plasmid DNA dan FPV tanpa introduksi gen HIV. Nilai OD cenderung rendah sebelum maupun sesudah divaks inasi.

Secara umum ketujuh hewan tidak memperlihatkan perubahan nilai OD antara satu waktu perlakuan ke perlakuan berikutnya. Kadar antibodi pravaks inasi DNA sampai dengan pasca injeksi FPV konstan dengan nilai OD yang rendah dibawah 0.200.

Gambar 11 menyajikan grafik nilai OD rataan kelompok A dan B. Dapat terlihat bahwa kelompok A menunjukkan kenaikan kadar nilai OD pada dua minggu pasca booster kedua, sementara pada kelompok B sebagai kontrol tidak

menunjukkan adanya pola perubahan kadar antibodi dari pravaksinasi sampai dengan minggu terakhir perlakuan.


(48)

- 0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

0 12 14 16 18 20

minggu

ke-Kepadatan optik

A B

Gambar 11. Grafik rataan nilai OD kelompok A dan B yang menggambarkan kadar antibodi p24 HIV-1 yang dideteksi dengan ELISA. Pada kelompok A yang divaksinasi, terjadi induksi respon kebal humoral terhadap HIV-1 terlihat dari kenaikan kadar antibodi pada dua minggu pasca booster kedua

V. PEMBAHASAN

Saat terpapar suatu protein asing, tubuh hewan akan melakukan respon kebal humoral dengan menghasilkan antibodi yang bereaksi spesifik terhadap protein tersebut. Pada uji ELISA yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh nilai yang menggambarkan respon pembentukan antibodi yang diinduksi oleh vaksinasi. Nilai antibodi yang diperoleh merupakan nilai kuantitas dan tidak menunjukkan nilai titernya.

Protein p24 merupakan protein capsid HIV-1 dan disandi dari gen gag


(49)

infeksi oleh HIV-1 (Levinson dan Jawetz 2001). Terdeteksinya antibodi protein p24 pada penelitian ini menunjukkan bahwa gen gag HIV-1 dalam vaksin DNA

telah ditranskripsi dan ditranslasikan membentuk protein p24 yang selanjutnya dipresentasikan pada sel inang. Pemaparan protein p24 menginduksi respon kebal humoral berupa pembentukan antibodi terhadap protein tersebut.

Nilai OD pada minggu ke-12 (pra-boosting) mendekati nilai OD pravaksinasi

(minggu ke-0), menunjukkan bahwa sampai titik waktu tersebut, hewan coba yang diimunisasi priming tidak menginduksi respon kebal humoral. Pada minggu

ke-12 dilakukan boosting dengan rFPV-HIV yang membawa gen gag dan pol

HIV-1. Setelah boosting pertama tidak terlihat kenaikan nilai OD kecuali pada

satu hewan (5716). Antibodi p24 HIV-1 terdeteksi pada minggu ke-18, dua minggu pasca boosting yang kedua. Grafik pada gambar 9 memperlihatkan

kenaikan nilai OD sampel asal lima dari tujuh hewan coba kelompok A. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Letvin et al. (1997) yang menggunakan vaksin

protein HIV-1 sebagai booster setelah imunisasi priming dengan vaksin DNA.

Respon antar individu tidak sepenuhnya seragam walaupun mendapat perlakuan vaksinasi yang sama. Variasi individu mempengaruhi respon kebal yang terbentuk. Satu individu mungkin mampu berespon kuat terhadap p24, sementara mungkin pada hewan lainnya tidak (Constantine et al . 1992). Hewan nomor 5716 menunjukkan respon pembentukan antibodi p24 terdeteksi sejak dua minggu pasca booster pertama, terlihat dari kenaikan nilai OD pada minggu

ke-14 dan meningkat pada minggu ke-18. Pada hewan 5421, nilai OD melonjak dua minggu setelah booster kedua mencapai 0.617 dan tetap bertahan tinggi

pada nilai 0.603 pada minggu ke-20. Dua hewan pada kelompok A yaitu 5364 dan 5375 tidak menunjukkan pola pembentukan antibodi seperti hewan lain pada kelompok ini, nilai OD pada tiap waktu perlakuan tetap rendah seperti pada kelompok kontrol. Kedua hewan ini menunjukkan respon kebal humoral yang


(50)

kurang baik. Studi oleh Smith et al. (2005) menduga adanya kaitan keragaman

tipe molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) pada hewan coba dengan

variasi respon yang terjadi setelah vaksinasi.

Kelompok hewan kontrol tidak menunjukkan adanya respon spesifik antibodi p24 HIV dari satu waktu ke waktu lainnya, terlihat dari nilai OD pra dan pasca vaksinasi berkisar pada nilai yang rendah dan cenderung konstan. Hal ini membuktikan tanpa introduksi protein asing tidak akan terjadi pembentukan antibodi dalam tubuh.

Antibodi p24 yang terdeteksi pada seorang pasien bukan berarti antibodi yang mampu menetralisasi virus (Levinson dan Jawetz 2001). Hasil ELISA hanya dapat menyatakan kadar antibodi yang muncul tanpa melihat kemampuannya melakukan fungsi kekebalan. Penelitian ini tidak melihat kemampuan antibodi menetralisasi virus HIV-1. Untuk menghasilkan respon kebal humoral berupa antibodi yang mampu menetralisasi (anti-gp120) sangatlah sulit. Antibodi akan bersifat spesifik pada antigen dari strain virus yang digunakan untuk vaksin

sedangkan virus ini memiliki kemampuan mutasi yang luar biasa (Montefiori 2001).

Vaksin DNA HIV-1 dikembangkan dengan fokus untuk menghasilkan respon kebal seluler yang diharapkan akan lebih efektif memberikan proteksi terhadap infeksi HIV. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian oleh Pamungkas (2005) dan dalam studinya ditemukan bahwa vaksinasi DNA HIV-1 dan booster rFPV-HIV menghasilkan respon kebal seluler spesifik terhadap

protein gag HIV-1, yang meningkat pada satu minggu pasca booster pertama dengan rFPV. Pada penelitian Kent et al. (1998) menggunakan hewan coba tikus,

vaksinasi priming dengan DNA HIV-1 dan boosting dengan rFPV-HIV merupakan

usaha imunisasi yang menginduksi respon kebal seluler (Cytotoxic


(51)

Maka menjadi suatu hal yang menarik bahwa ternyata pada vaksinasi DNA HIV-1 metode prime/boost menggunakan hewan coba Macaca, respo n kebal humoral

juga terjadi dengan kadar antibodi yang meningkat pasca booster kedua.

Proses vaksin DNA menginduksi respon kebal di dalam tubuh dijelaskan dalam Gurunathan et al. (2000) dan Simmonds et al. (1996) sebagai berikut.

Plasmid DNA yang diinsersi DNA virus masuk ke dalam tubuh dan melakukan transfeksi pada sel inang. Di dalam sel, protein asing yang terbentuk akan dipecah menjadi peptida-peptida yang kemudian dipaparkan bersama MHC. Jika suatu protein asing muncul dari dalam sel inang, maka protein tersebut akan masuk ke jalur MHC kelas I. Jalur ini menginduksi respon kebal seluler berupa aktivasi CTL yang spesifik terhadap protein antigen. Sebaliknya, respon kebal humoral berupa pembentukan antibodi muncul jika protein asing yang eksogen masuk ke dalam sel inang melalui proses endositosis atau fagositosis, kemudian masuk jalur MHC kelas II sel inang. Respon kebal yang muncul tergantung dari pemaparan antigen di dalam tubuh inang. Transfeksi DNA virus pada sel somatis akan mengaktifkan kekebalan dengan mediasi MHC kelas I. Jika protein virus yang terbentuk keluar dari sel somatis dan ditangkap oleh Antigen Presenting

Cells (APC) maka akan dipaparkan bersama MHC kelas I maupun II. Demikian

pula jika transfeksi langsung terjadi pada APC maka akan mengaktifkan jalur respon kebal yang melibatkan MHC kelas I dan kelas II.

Vaksinasi dengan DNA HIV-1 dan booster menggunakan rFPV-HIV dalam

rangkaian studi ini terbukti mampu menginduksi respon kebal humoral dan juga seluler dengan terdeteksi adanya respon antibodi serta peningkatan jumlah limfosit setelah vaksinasi. Namun, belum dapat dipastikan vaksin akan mampu memproteksi hewan bila dilakukan uji tantang. Data yang diperoleh dari penelitian ini dapat menjadi tambahan bukti mengenai kemampuan vaksin DNA dalam menginduksi respon kebal terhadap HIV-1.


(52)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, imunisasipada Macaca nemestrina dengan

vaksin DNA HIV-1 menginduksi respon kebal humoral. Dengan teknik ELISA dideteksi adanya antibodi terhadap protein p24 HIV -1 yang muncul pada dua minggu setelah boosting rFPV-HIV-1 yang kedua.


(53)

Pengembangan vaksin DNA sebagai vaksin untuk HIV-1 membutuhkan studi lebih lanjut. Berbagai penelitian masih harus dilakukan sehubungan dengan optimalisasi vaksin, baik pengembangan regimen vaksin DNA maupun regimen vektornya agar dapat menghasilkan respon kebal yang lebih baik.

Untuk mengetahui pola respon antibodi hasil imunisasi vaksin DNA HIV-1 ini secara lebih lengkap, penulis menyarankan agar dapat dilakukan penelitian menggunakan sampel plasma dari seluruh waktu perlakuan. Selain itu, dapat dilakukan uji konfirmatori Western Blot untuk mengetahui profil antibodi yang lebih lengkap. Jika fasilitas laboratorium memungkinkan, dapat pula dilakukan uji tantang.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK dan Lichtman AH. 2003. Cellular and Molecular Immunology. Fifth Edition. Saunders-Elsevier Science. Philadelphia, Amerika Serikat. Halaman : 464-475

Amara RR, Villinger F, Altman JD, Lydy SL, O’Neil SP, Satprans SI, Montefiori DC, Xu Y, Herndon JG, Wyatt LS, Candido MA, Kozyr NL, Earl PL, Smith JM, Ma H, Grimm BD, Hulsey ML, Miller J, McClure HM, McNicholl JM, Moss B, Robinson HL. 2001. Control of a Mucosal Challenge and

Prevention of AIDS by a Multiprotein DNA/MVA Vaccine. Science (292):69-74


(54)

Constantine NT, Callahan JD dan Watts DM. 1992. Retroviral Testing: Essentials for Quality Control and Laboratory Diagnosis. CRC Press. Boca Raton, Florida Amerika Serikat. Halaman: 5-58

Dale CJ, Zhao A, Jones SL, Boyle DB, Ramshaw IA da n Kent SJ. 2000. Induction of HIV-1 specific T-helper responses and type 1 secretion following therapeutic vaccination of macaques with a recombinant fowlpoxvirus co-expressing interferon gamma. J.Med Primatol 29(3-4):240-7

Darusman HS. 2001. Pengembangan Uji Penapisan Antibodi Terhadap Simian Retrovirus Tipe-D Serotipe-2 (SRV-2) dengan Teknik Dot Blot Immunoassay (DBIA) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan. Halaman:12-15

Freed EO dan Martin MA. 2001. HIVs and Their Replication. Di dalam: Knipe DM, Howley PM, Griffin DE, Lamb A, Martin MA, Roizman B, Straus SE (Ed.). Fields Virology Vol.2. Fourth Edition. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia, Amerika Serikat. Halaman:1971-2026

Gaschen B, Taylor J, Yusim K, Foley B, Gao F, Lang D, Novitsky V, Haynes B, Hahn BH, Bhattacharya T dan Korber B. 2002. Diversity Considerations in HIV-1 Vaccine Selection. Science (296):2354-2360

Girard M. 1993. The Needs and Hopes for an AIDS Vaccine.Biochimie7 :583-589

Goldsby RA, Kindt TJ dan Osborne BA. 2000. Kuby Immunology. WH Freeman and Company. New York, Amerika Serikat. Halaman: 161, 478-492

Gurunathan SD, Klinman M dan Seder RA. 2000. DNA Vaccines: Immunology, Application dand Optimization. Annual Review Immunology. (18): 927-974 International Committee for Taxonomy on Viruses. 2000. Index of Viruses:ICTV

Index to Virus Classification and Nomenclature, Taxonomic Lists and Catalogue of Viruses. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/IVTVdb/Ictv/fr-indv0.htm Iskandriati, D. 2004. Identifikasi dan Karakterisasi Simian Retrovirus Tipe-D Pada

Macaca fascicularis, M. nemestrina dan Presbytis spp di Indonesia [disertasi]. Bogor:Insititut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana. Halaman : 1-19

Joy AK, Dale J dan Kent SJ. 1999. Can HIV Infection be Prevented with a Vaccine. Journal Drugs R&D (6): 431-440

Kent SJ, Zhao A, Best SJ, Chandler JD, Boyle DB dan Ramshaw IA. 1998. Enhanced T-Cell Immunogenicity and Protective Efficacy of a Human Immunodefficiency Virus Type 1 Vaccine Regimen Consisting of Consecutive Priming with DNA and Boosting with Recombinant Fowlpox Virus. Journal of Virology. Vol 72. (12): 10180-10188


(55)

(171): 124-125

---. 2001. Vaccines to Pre vent HIV and AIDS. Microbiology Australia (22):1215

Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Indonesia. Halaman:1-95

Kuby J. 1992. Immunology. W.H. Freeman and Company. Amerika Serikat. Halaman :1-20, 271-294, 457-486

Letvin NL, Montefiori DC, Yasutomi Y, Perry HC, Davies ME, Lekutis C, Alroy M, Freed DC, Lord CI, Hand LK, Liu MA dan Shiver JW. 1997. Potent, protective anti-HIV Immune Responses Generated by Bimodal HIV Envelope DNA Plus Protein Vaccination. Proc. Natl. Acad. Sci. USA (94): 9378-9383

Levinson W dan Jawetz E. 2000. Medical Microbiology and Immunology : Examination and Board Review, Sixth Edition. The McGraw-Hill Co. Amerika Serikat. Halaman : 271-277, 388

Lu S, Arthos J, Montefiori DC, Yasutami Y, Manson K, Mustafa F, Johnson E, Santoro JC, Wissink J, Mullins JI, Haynes JR, Lervin NL, Luyand M dan. Robinson HL. 1996. SIV DNA Vaccine Trial in Macaques. Journal of Virology. Vol.7 (6): 3978-3991

Mahy BWJ. 1997. A Dictionary of Virology. Second Edition. Academic Press. California, Amerika Serikat.

Mann DA. 1996. Molecular Biology of the Human Immunodeficiency Viruses. Di dalam: Lever AM (Ed.). The Molecular Biology of HIV/AIDS. John Wiley&Sons. Halaman :1-24

Napier JR dan Napier PH. 1985. The Natural History of the Primates. MIT Press. Great Britain. Halaman : 7-19, 128-130

Montefiori DC. 2001. HIV-Specific Neutralizing Antibodies. Di dalam :Pantaleo G dan

Walker BD. Retroviral Immunology, Immune Response and Restoration. Humana Press. New Jersey, Amerika Serikat. (8): 191-211

Pamungkas J. 2005. Respon Imun Spesifik Terhadap Protein-protein Human Immunodeficiency Virus Type-1 (HIV-1) pada Beruk (Macaca nemestrina) yang Diimunisasi dengan Reg imen Vaksin DNA HIV-1 Berbasis Gen Utuh dan Regimen Vaksin DNA HIV-1 Berbasis Genom yang Diacak [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran. Halaman : 8-45, 49-69,73-76,82-100,159-162


(56)

Ramshaw IA, Thomson S dan Kent SJ. 2002. New Genetic Approaches to HIV-1 Vaccination. Presentasi pada International Symposium of Non-human Primates:Application of Non-human Primates in Biotechnology for Conservation and Biomedical Research. Bogor, Indones ia 29-31 July 2002 Robinson, HL, Smith JM dan Rao AR. 2000. AIDS Vaccines: Heterologous

Prime/Boost Strategies for Raising Protective T Cell Responses. AIDS Review; 2:105-110

Robinson HL. 2002. New Hope for an AIDS Vaccine. Nature Review-Immunology 2:239-50

Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. Pogonias Press. New York, Amerika Serikat. Halaman 128

Shen X. dan Siciliano RF. 2000. Preventing AIDS But Not HIV-1 Infection with a DNA

Vaccine. Science (290):463-466

Sidik KR. 2001. Deteksi Antibodi Terhadap Simian Retrovirus Tipe-D Serotipe-2 (SRV-2) pada Kera di Indonesia Menggunakan Teknik Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan. Halaman : 1-14

Simmonds RS, Shearer MH dan Kennedy. RC 1996. DNA Vaccines: From Principles to Practice. Parasitology Today (13): 328-331

Smith MZ, Dale CJ, De Rose R, Stratov I, Fernandez CS, Brooks AG, Weinfurter J, Krebs K, Riek C, Watkins DI, O'connor DH, Kent SJ. 2005. Analysis of pigtail macaque major histocompatibility complex class I molecules presenting immunodominant simian immunodeficiency virus epitopes. Journal of Virol ogy 79(2):684-95

Swindler DR. 1998. Introduction to the Primates. University of Washington Press. Seattle, Amerika Serikat. Halaman : 51, 249

Tortora GJ, Funke BR dan Case CL. 2001. Microbiology: An Introduction, Seventh Edition. Benjamin Cummings, An Imprint of Addison Wesley Longman Inc. San Fransisco, Amerika Serikat. Halaman: 501-502

Utama A. 2003. Mengobati AIDS dengan Virus HIV. Artikel dalam Kompas edisi Rabu, 3 September 2003. Halaman:10


(57)

Lampiran 1 Persetujuan pelaksanaan penelitian oleh Komisi Pengawasan Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat- IPB (PSSP LPPM- IPB)


(58)

Lampiran 2 Data penelitian Pamungkas (2005) menunjukkan respon kebal seluler pada vaksinasi DNA HIV-1 dengan vektor rFPV muncul satu minggu setelah booster pertama.


(59)

(60)

ELISA microplater reader

ELISA Microplate washer


(1)

(171): 124-125

---. 2001. Vaccines to Pre vent HIV and AIDS. Microbiology Australia (22):1215

Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Indonesia. Halaman:1-95

Kuby J. 1992. Immunology. W.H. Freeman and Company. Amerika Serikat. Halaman :1-20, 271-294, 457-486

Letvin NL, Montefiori DC, Yasutomi Y, Perry HC, Davies ME, Lekutis C, Alroy M, Freed DC, Lord CI, Hand LK, Liu MA dan Shiver JW. 1997. Potent, protective anti-HIV Immune Responses Generated by Bimodal HIV Envelope DNA Plus Protein Vaccination. Proc. Natl. Acad. Sci. USA (94): 9378-9383

Levinson W dan Jawetz E. 2000. Medical Microbiology and Immunology : Examination and Board Review, Sixth Edition. The McGraw-Hill Co. Amerika Serikat. Halaman : 271-277, 388

Lu S, Arthos J, Montefiori DC, Yasutami Y, Manson K, Mustafa F, Johnson E, Santoro JC, Wissink J, Mullins JI, Haynes JR, Lervin NL, Luyand M dan. Robinson HL. 1996. SIV DNA Vaccine Trial in Macaques. Journal of Virology. Vol.7 (6): 3978-3991

Mahy BWJ. 1997. A Dictionary of Virology. Second Edition. Academic Press. California, Amerika Serikat.

Mann DA. 1996. Molecular Biology of the Human Immunodeficiency Viruses. Di dalam: Lever AM (Ed.). The Molecular Biology of HIV/AIDS. John Wiley&Sons. Halaman :1-24

Napier JR dan Napier PH. 1985. The Natural History of the Primates. MIT Press. Great Britain. Halaman : 7-19, 128-130

Montefiori DC. 2001. HIV-Specific Neutralizing Antibodies. Di dalam :Pantaleo G dan

Walker BD. Retroviral Immunology, Immune Response and Restoration. Humana Press. New Jersey, Amerika Serikat. (8): 191-211

Pamungkas J. 2005. Respon Imun Spesifik Terhadap Protein-protein Human Immunodeficiency Virus Type-1 (HIV-1) pada Beruk (Macaca nemestrina) yang Diimunisasi dengan Reg imen Vaksin DNA HIV-1 Berbasis Gen Utuh dan Regimen Vaksin DNA HIV-1 Berbasis Genom yang Diacak [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Fakultas Kedokteran. Halaman : 8-45, 49-69,73-76,82-100,159-162


(2)

Ramshaw IA, Thomson S dan Kent SJ. 2002. New Genetic Approaches to HIV-1 Vaccination. Presentasi pada International Symposium of Non-human Primates:Application of Non-human Primates in Biotechnology for Conservation and Biomedical Research. Bogor, Indones ia 29-31 July 2002 Robinson, HL, Smith JM dan Rao AR. 2000. AIDS Vaccines: Heterologous

Prime/Boost Strategies for Raising Protective T Cell Responses. AIDS Review; 2:105-110

Robinson HL. 2002. New Hope for an AIDS Vaccine. Nature Review-Immunology 2:239-50

Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. Pogonias Press. New York, Amerika Serikat. Halaman 128

Shen X. dan Siciliano RF. 2000. Preventing AIDS But Not HIV-1 Infection with a DNA

Vaccine. Science (290):463-466

Sidik KR. 2001. Deteksi Antibodi Terhadap Simian Retrovirus Tipe-D Serotipe-2 (SRV-2) pada Kera di Indonesia Menggunakan Teknik Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan. Halaman : 1-14

Simmonds RS, Shearer MH dan Kennedy. RC 1996. DNA Vaccines: From Principles to Practice. Parasitology Today (13): 328-331

Smith MZ, Dale CJ, De Rose R, Stratov I, Fernandez CS, Brooks AG, Weinfurter J, Krebs K, Riek C, Watkins DI, O'connor DH, Kent SJ. 2005. Analysis of pigtail macaque major histocompatibility complex class I molecules presenting immunodominant simian immunodeficiency virus epitopes. Journal of Virol ogy 79(2):684-95

Swindler DR. 1998. Introduction to the Primates. University of Washington Press. Seattle, Amerika Serikat. Halaman : 51, 249

Tortora GJ, Funke BR dan Case CL. 2001. Microbiology: An Introduction, Seventh Edition. Benjamin Cummings, An Imprint of Addison Wesley Longman Inc. San Fransisco, Amerika Serikat. Halaman: 501-502

Utama A. 2003. Mengobati AIDS dengan Virus HIV. Artikel dalam Kompas edisi Rabu, 3 September 2003. Halaman:10


(3)

Lampiran 1 Persetujuan pelaksanaan penelitian oleh Komisi Pengawasan Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat- IPB (PSSP LPPM- IPB)


(4)

Lampiran 2 Data penelitian Pamungkas (2005) menunjukkan respon kebal seluler pada vaksinasi DNA HIV-1 dengan vektor rFPV muncul satu minggu setelah booster pertama.


(5)

(6)

ELISA microplater reader

ELISA Microplate washer